Jumat, 21 Mei 2010

Domba dan Penyakitnya

Domba sangat peka terhadap penyakit terutama pada domba muda. Kebiasaan dan sifat domba dalam merumput mendukung munculnya penyakit pada hewan tersebut, dan akan diperparah apabila manajemen atau pemeliharaan di dalam peternakan kurang memperhatikan aspek higiene dan sanitasi lingkungan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kandang yang langsung beralaskan tanah, penggembalaan pada pada pagi hari, dan kurangnya pemberian nutrisi beresiko mengundang agen penyakit. Domba muda lebih peka terhadap penyakit sehingga perlu diawasi dengan ketat agar gejala penyakit dapat dikenal lebih awal. Pengobatan lebih awal terhadap penyakit akan meningkatkan kemungkinan kelangsungan hidup.

Pada tanggal 3 Maret 2007 telah dilakukan eutanasi dan nekropsi terhadap seekor Domba betina 3 bulan, berat badan 5 kg milik Bapak Bapak Basuki yang beralamt di Dusun Banteran, kelurahan Donoharjo, Ngaglik, kabupaten Sleman, Yogyakarta. Dari anamnesa diperoleh domba dengan populasi 10 ekor, kandang tipe lemprak, ukuran 6 m x 3 m untuk 10 ekor domba, mortalitas 0, morbiditas 2 ekor (20%). Pakan rumput sawah, tidak diberi minum, belum pernah diobati. Gejala yang terlihat adalah 10 hari yang lalu diare, nafsu makan turun, bulu kusam, badan lemah, dan lesu

TINJAUAN PUSTAKA

Domba

Taksonomi

Domba (Ovis aries) mempunyai tata nama sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Ungulata

Subordo : Artiodactyla

Famili : Bovidae

Subfamili : Caprinae

Genus : Ovis

Spesies : Ovis aries (Anonim, 2008)

Domba yang kita kenal sekarang merupakan hasil dometikasi manusia yang sejarahnya diturunkan dari 3 jenis domba liar, yaitu Mouflon (Ovis musimon) yang berasal dari Eropa Selatan dan Asia Kecil, Argali (Ovis amon) berasal dari Asia Tenggara, Urial (Ovis vignei) yang berasal dari Asia (Anonim, 2005).

Kita mengenal beberapa bangsa domba yang tersebar di Indonesia, seperti : domba kampung, domba Priangan berasal dari Indonesia dan banyak terdapat di daerah Jawa Barat, domba ekor gemuk merupakan domba yang berasal dari Indonesia bagian timur seperti Madura, Sulawesi dan Lombok, dan domba Garut adalah domba hasil persilangan segi tiga antara domba kampung, merino dan domba ekor gemuk dari Afrika Selatan (Anonim, 2005).

Domba dipelihara terutama untuk keperluan produksi daging, wol, kulit, susu dan kotorannya (Payne dan Williamson, 1993). Daging domba merupakan sumber protein dan lemak hewani. Bulu domba dapat digunakan sebagai industri tekstil. Walaupun belum memasyarakat, susu domba merupakan minuman yang bergizi (Anonim, 2005). Namun seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi tidak jarang domba digunakan sebagai hewan percobaan untuk penelitian (Payne dan Williamson, 1993).

Domba merupakan herbivora yang merumput, tidak seperti kambing dan jerapah yang menyukai dedaunan yang tinggi (Smith et.al., 1997). Domba lebih suka rumput pendek, legum dan berbagai jenis semak pendek (Payne dan Williamson, 1993). Domba memotong tumbuhan sangat dekat dengan tanah (Smith et.al., 1997)

Bahan baku makanan yang dapat diberikan untuk domba terdiri dari dua jenis, yaitu pakan hijauan dan konsentrat. Pakan hijauan merupakan merupakan makanan kasar yang terdiri dari hijauan yang dapat berupa rumput lapangan, limbah hasil pertanian, rumput jenis unggul, dan beberapa jenis leguminosae. Pakan hijauan berfunsi sebagai sumber gizi, yaitu protein, sumber tenaga, vitamin dan mineral. Konsentrat merupakan makanan penguat yang terdiri dari bahan baku yang kaya akan karbohidart dan protein seperti jagung kuning, bekatul, dedak, gandum, dan bungkil. Konsentrat untuk ternak domba umumnya disebut makanan penguat atau bahan baku makanan yang memiliki kandungan serat kasar kurang dari 18 % dan mudah dicerna (Murtidjo, 1993) .

Pada umumnya petani ternak domba hanya memberikan hijauan pakan pada ternaknya. Perlakuan tersebut akan dapat mencukupi kebutuhan ternak domba jika hijauan pakan yang diberikan memiliki kualitas baik. Namun jika dievaluasi dari karakteristik hijauan pakan yang tumbuh di lingkungan tropis, sangat jelas bahwa pemberian makanan pada domba yang mengandalkan hijauan pakan akan kurang berarti. Sebab domba tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuhnya yang berkaitan dengan zat makanan, khususnya protein. Sebagai konsekuensinya, maka dalam pemanfaatan hijauan pakan sebagai makanan ternak domba harus disuplementasikan dengan makanan penguat atau konsentrat. (Murtidjo, 1993)

Secara alami, air merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk domba (Wooster et.al., 2005). Kebutuhan air dari domba yang dipelihara pada kondisi tropis setengah kering adalah 4,5 liter (Payne dan Williamson, 1993).

Pada hakikatnya kandang domba dapat dibedakan dalam 2 tipe, yaitu: tipe kandang panggung dan tipe kandang lemprak. Tipe kandang panggung memiliki kolong yang bermanfaat sebagai penampung kotoran. Kolong digali dan dibuat lebih rendah daripada permukaan tanah sehingga kotoran dan urine tidak berceceran. Alas kandang terbuat dari kayu atau bambu yang telah diawetkan. Tinggi panggung dari tanah dibuat minimal 50 cm/2 m untuk peternakan besar. Palung makanan harus dibuat rapat, agar bahan makanan yang diberikan tidak tercecer keluar. Sedangkan kandang lemprak tidak dilengkapi dengan alas kayu, tetapi ternak beralasan kotoran dan sisa-sisa hijauan pakan. Kandang tidak dilengkapi dengan palung makanan, tetapi keranjang rumput yang
diletakkan diatas alas. Pemberian pakan sengaja berlebihan, agar dapat hasil kotoran yang banyak. Kotoran akan dibongkar setelah sekitar 1-6 bulan (Anonim, 2005).

Koksidia

Koksidiosis merupakan enteritis menular yang disebabkan infeksi Eimeria spp. dan terjadi pada semua hewan domestik Koksidia merupakan protozoa filum Apicomplexa, parasit intraseluler (Blood dan Henderson, 1974). Setiap jenis coccidia terdapat pada lokasi yang khas dan terdapat dalam saluran pencernaan dari induk semang tipe yang khas pula. Lokasi mereka dalam induk semang juga khas (Levine 1994). Karakteristik penyakit adalah diare, disentri, anemia, dan emasiasi. (Blood dan Henderson, 1974). Eimeria yang diketahui pada domba adalah Eimeria ahsata,E. ninakohlyakimovae, E. ovina, E. crandalis, E. gonzalesi, E. granulosa, E. intricata, E. hawkinsi, E. marsica, E.pallida, dan E. faurei, E. parva, E. punctata dan E. weybridgensis (Levine, 1994). Penyebaran penyakit adalah feses dari hewan terinfeksi atau karier, ingesta yang terkontaminasi dengan feses terinfeksi (Jubb dkk., 1993).

Oosista dari genus Eimeria memiliki empat sporosista, masing-masing sporosista dengan dua sporozoit, sedangkan oosista genus Isospora memiliki dua sporosista, masing-masing dengan empat sporozoit. Kebanyakan koksidia merupakan parasit intraseluler dari alat pencernaan, tetapi beberapa terdapat pada tempat lain seperti hati dan ginjal (Levine, 1994). Siklus koksidiosis sangat komplek, terdiri atas siklus aseksual (skizogoni) dan siklus seksual (gametogoni) yang terjadi di dalam tubuh hospes, sedangkan siklus sporogoni terjadi di luar tubuh hospes. Kerusakan sel-sel hospes disebabkan oleh stadium skizogoni dan gametogoni serta adanya pelepasan oosista. Multiplikasi koksidia tergantung dari jumlah oosista infektif yang masuk. Setiap oosista mampu merusak ratusan sel epitel usus karena setiap skizon mengandung banyak merozoit dan beberapa generasi skizon akan terbentuk. Keparahan kejadian koksidiosis tergantung dari jumlah oosista yang masuk dan patogenesitas setiap spesies (Bowman dkk., 1999).

Metode diagnosis yang baik adalah dengan melihat perubahan setelah mati (post mortem) pada usus (jejunum dan ileum) yaitu adanya membran fibrin nekrotik, vili usus yang menjadi pendek, nekrosis pada usus, dan secara histopatologik dapat ditemukan bentuk merozoit dan skizon pada epitel usus. Pemeriksaan dengan melihat oosista hanya dapat dilihat pada stadium kesembuhan penyakit, sedangkan pada stadium penyakit yang akut (saat terjadi diare), pemeriksaan feses untuk menemukan oosista memiliki arti diagnostik yang kecil, karena oosista akan sedikit atau bahkan tidak dikeluarkan bersama feses (Blood dan Henderson, 1974).

Koksidiosis akan sembuh sendiri secara spontan pada beberapa minggu jika tidak ada infeksi ulang. Pengobatan yang diberikan tidak menghilangkan oosista, tetapi akan menghambat perkembangan stadium parasit yang akan menghasilkan oosista untuk infeksi ulang, mempercepat kesembuhan, menurunkan atau menghentikan pengeluaran oosista serta menurunkan insiden adanya infeksi sekunder. Preparat seperti sulfaguanidin (0,22 mg/kg p.o.), sulfamethazin, sulfamerazin, amprolium (25-65 mg/kg p.o.) dapat dipakai untuk menurunkan pengeluaran oosista dan akan bermanfaat untuk pencegahan, sedangkan pengobatan pada kejadian diare lebih ditujukan dengan terapi suportif menggunakan antibiotik untuk infeksi sekunder dan rehidrasi (Urquhart, 1987).

Pencegahan penyakit dengan menjaga sanitasi melalui desinfeksi fasilitas kandang dan peralatan, membuang feses sesering mungkin, sehingga dapat memotong siklus koksidia. Pemberian amprolium yaitu 8 hari sebelum sampai dengan 8 hari sesudah melahirkan, salinomicin sodium (60 ppm untuk berat <50>50 kg), dan halofunginone hydrobromide (3 ppm), dapat mengurangi ekskresi oosista Eimeria spp. dan Isospora suis (Blood dan Henderson, 1974).

Nematoda

Nematoda yang berparasit pada saluran maupun organ pencernaan ruminansia umumnya termasuk dalam cacing strongyle yaitu sekelompok cacing yang mempunyai bentuk telur yang hampir sama dan sukar dibedakan satu sama lain yaitu dari superfamili Strongyloidea, Trichostrongyloidea dan Ancylostomatoidea. Cacing strongyle biasanya berparasit pada abomasum, usus halus dan usus besar ruminansia. Cacing dari superfamili Strongyloidea yang berparasit pada ruminansia adalah Oesophagostomum sp dan Chabertia sp. Dari superfamili Trichostrongyloidea adalah Haemonchus sp, Cooperia sp, Nematodirus sp dan Trichostrongylus sp. Sedangkan dari superfamili Ancylostomatoidea adalah Bunostomum sp (Soulsby, 1982).

Siklus hidup cacing nematoda dapat terjadi secara langsung. Setiap hari 5.000-10.000 butir telur cacing dikeluarkan bersama tinja dan bersama-sama menetas dalam tanah. Larva stadium 1 dan 2 tidak infektif dan bisa mati karena cuaca yang tidak sesuai (Marsh, 1958). Larva stadium 2 yang telah menetas kemudian tumbuh menjadi larva stadium 3 yang infektif. Larva stadium 3 merayap pada daun rumput. Daun rumput dengan larva infektif dimakan sapi, domba dan sebagainya. Pada saluran gastrointestinal larva stadium 3 melepaskan selubungnya dan menyilih menjadi larva stadium 4 kemudian dewasa di mukosa usus (Brotowijoyo, 1987).

Bunostomum trigonocephalum

Taksonomi

Taksonomi cacing Bunostomum trigonocephalum adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Nemata

Kelas : Secernentea

Subkelas : Rhabditia

Ordo : Strongylida

Subordo : Strongylina

Famili : Ancylostomatidae

Genus : Bunostomum

Species : Bunostomum trigonocephalum (Anonim,2008).

Cacing genus Bunostomum mempunyai ujung anterior yang membengkok ke dorsal. Kapsula bukal infundibuler, dengan dua lempeng pemotong ventral semilunar pada tepinya, dua lanset kecil di dekat esofagus, dan kadang-kadang sepasang lanset subventral yang lebih kecil pada dinding kapsula bukal. Kerucut dorsal berkembang baik. Sepasang spikulum cacing jantan sama besar, dan tidak terdapat gubernakulum. Vulva cacing betina terdapat di sebelah anterior pertengahan tubuh (Levine, 1994).

Bunostomum trigonocephalum merupakan cacing kait pada sebangsa domba. Lokasi di usus halus Panjang cacing jantan 12-17 mm dan mempunyai spikulum yang agak terpuntir dengan panjang 600-640 mikron. Cacing betina panjangnya 19-26 mm dan berdiameter 250-257 mikron, dan menghasilkan telur berukuran 82-97 × 45-57 mikron (Levine, 1994).

Siklus hidup langsung, infeksi terjadi melalui ingesti maupun penetrasi pada kulit. Telur pada feses mungkin menetas dan mencapai larva stadium infektif dalam 5 hari Setelah terjadi penetrasi pada kulit, Larva Bunostomum stadium 3 terbawa sirkulasi vena melalui jantung dan paru-paru. Larva melakukan penetrasi pada alveoli, dibatukkan dan kemudian tertelan. Larva sampai di usus halus di mana perkembangan selanjutnya terjadi dan larva menjadi dewasa. Periode prepaten 8-10 minggu (Anonim 2006).

Cacing dewasa menyerang dinding usus dan menghisap darah, menyebabkan hospes kehilangan darah. Anemia karena defisiensi zat besi, malnutrisi, oedema hipoproteinemia mungkin terjadi, namun ”bottle jaw” seperti pada infeksi oleh Haemonchus sangat jarang ditemui. Sebagai tambahan, larva yang masuk melalui kulit mungkin menyebabkan iritasi dan kegatalan, terutama pada pada bagian perut dan kaki (Anonim 2006).

Diagnosa dengan menemukan telur tipe strongyle di dalam feses (Anonim 2006). Akhir-akhir dilakukan uji pada obat cacing benzimidazole dan oxfendazole secara oral dengan dosis 4,5 dan 2,8 mg/kg.untuk melawan infestasi nematoda buatan pada kambing di Mesir. Didapatkan bahwa pada dosis 4,5 mg/kg obat sangat efektif menanggulangi Haemonchus contortus dewasa maupun yang belum dewasa, Trichostrongylus axei, Ostertagia circumcincta, Cooperia curticei, Bunostomum trigonocephalum dan Chabertia ovina. Dosis 2,8 mg/kg mampu menanggulangi cacing dewasa namun pada dosis yang lebih rendah.kurang efektif menanggulangi cacing yang belum dewasa. PCV, konsentrasi hemoglobin, dan perhitungan eritrosit total menurun setelah infeksi dan secara signifikan akan meningkat (P<0.001)> (Michael et. al., 2005).

Strongyloides papillosus

Strongyloides merupakan salah satu dari genus nematoda parasitik yang biasanya mempunyai generasi dewasa yang hidup bebas. Pada sebagian parasit pada gastrointestinal vertebrata, cacing jantan dan cacing betina hidup di dalam usus hospes kemudian cacing betina bertelur dan telur dikeluarkan lewat feses. Bergantung pada spesies, telur maupun larva infektif tertelan atau larva melakukan penetrasi pada kulit hospes untuk melakukan transmisi pada hospes yang baru. Kemudian terjadi periode migrasi larva pada hospes yang baru sebelum stadium dewasa mencapai intestinum. Strongyloides mengalami hal ini, tetapi ada perbedaan yang signifikan. Hanya cacing Strongyloides betina yang mengalami stadium parasitik (Schad, 1989 cit Viney dan Lok, 2007). Periode prepaten kurang kebih selama 10 hari (Kusiluka dan Kambarage, 2005)

Gambar 1. Siklus hidup Strongyloides

Morfologi pada stadium parasitik dan stadium bebas sangat berbeda. Cacing betina parasitik kira-kira panjang 2mm, dengan ujung ekor yang tumpul, esofagus panjang dan filariform, menempati kira-kira sepertiga panjang tubuhnya Vulva terletak pada dua pertiga panjang tubuhnya.(Speare, 1989 cit. Viney dan Lok, 2007). Stadium dewasa yang hidup bebas panjang kira-kira 1mm, di mana cacing betina lebih besar bila dibandingkan dengan cacing jantan. Baik cicing jantan maupun cacing betina mempunyai esofagus yang rhabditiform. Cacing betina yang hidup bebas mempunyai vulva yang terletak di pertengahan tubuhnya. (Viney dan Lok 2007).

Strongyloides papillosus menginfeksi usus halus pada domba, (terutama anak domba), sapi, dan kambing Banyak terjadi pada kondisi yang lembab dan pada populasi ternak dengan kepadatan tinggi (Kusiluka dan Kambarage, 2005)

Gejala klinis meliputi diare intermittent, kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan, dan terkadang terdapat darah dan mucus di dalam feses. Cacing dalam jumlah besar dalam intestinum menyebabkan enteritis kataralis dan dengan hemoragi petechiae dan echymosa, terutama pada duodenum dan jejunum (Kusiluka dan Kambarage, 2005)

Linognathus pedalis

Taksonomi dari ektoparasit Linognathus pedalis adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Subfilum : Hexapoda

Kelas : Insecta

Ordo : Anoplura

Famili : Linognathidae

Genus : Linognathus

Species : Linognathus pedalis (Anonim, 2008)

Sejumlah banyak kutu penggigit (ordo Mallophaga) dan kutu penghisap (ordo Anoplura) adalah parasit obligat pada hewan domestik. Kutu tidak mempunyai sayap, insektisida yang rata, biasanya mempunyai panjang 2-4 mm. Cakar pada kakinya diadaptasikan untuk berpegang pada hospes. Kutu hidup dalam lingkungan pada bulu dan kulit, dan sebagian besar ditransmisikan melalui kontak di antara hospes. Kutu lebih suka hidup pada pada kelembaban 70-90%. Kutu sangat peka terhadap perubahan temperatur dan kelembaban yang ekstrim Sebagian besar kutu mempunyai hospes spesifik, hidup pada satu spesies atau beberapa spesies yang berhubungan (James and Moon, 1999).

Anoplura adalah parasit yang terbatas pada mamalia. Sedangkan Mallophaga menginfestasi baik mamalia maupun burung. Mallophaga mempunyai mandibula pengunyah ventral dan makan produk epidermal, misalnya kelupasan kulit. Kepala pada Mallophaga lebih lebar bila dibandingkan dengan prothorak. Anoplura adalah penghisap darah. Ketika tidak digunakan, stylet pada bagian mulutnya ditarik masuk ke bagian kepala. (Anonim, 2008). Family Linognathidae mempunyai 3 genera dengan species yang penting untuk hewan domestik, termasuk (1) Solenopotes, yang mempunyai dua bristle pada setiap setiap segmen abdominal, sebagian besar berparasit pada kijang (2) Linognathus, mempunyai dua bristle pada setiap segmen abdominal, tidak punya mata termasuk L. vituli pada sapi, L. stenopsis pada kambing, L. pedalis pada domba, L. setosus pada anjing, dan (3) Microthoracius, mempunyai sejumlah bayak bristle, kepala yang sangat panjang, mempunyai mata, termasuk M. cameli pada unta dan tiga species pada Ilama (Chlander, 1955).

Kutu betina mengeluarkan dua telur setiap 3 hari. Telur berwarna putih, berukuran mikroskopik. Telur melekat pada hospes mamalia, berwarna pucat, sub oval, di dekat permukaan tubuh. Nympha menetas dari telur setelah kurang lebih 10 hari. Ada tiga stadium nympha, di mana nympha stadium 3 menyilih menjadi kutu dewasa. Kutu menghabiskan seluruh hidupnya pada kulit atau rambut hospes, misalnya wool pada domba. Panjang siklus hidup kurang lebih selama 34 hari (James dan Moon, 1999).

Sheep lice lifecycle

Gambar 2. Siklus hidup Linognathus pedalis

Pediculosis termanifestasi oleh pruritus dan iritasi dermal. Pada infestasi yang parah, mungkin terjadi kerontokan rambut dan skarifikasi pada daerah lokal. Pada infestasi yang ekstrim oleh kutu penghisap dapat menyebabkan anemia. Diagnosis berdasarkan pemeriksaan ada atau tidaknya kutu. (James,PJ and Moon, RD 1999). Pengobatan bisa dengan menggunakan spray maupun dipping 0,5% DDT, Chlordane, atau Methoxychor. Pengulangan setelah 14 hari diperlukan, namun biasanya sekali pengobatan bisa bertahan selama 6-8 minggu. (Asa chandler, 1955)

Pasteurellosis Pneumonia

Kingdom : Bacteria

Filum : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria

Ordo : Pasteurellales

Famili : Pasteurellaceae

Genus : Pasteurella

Species : P. multocida (Skerman et al., 1980)

Agen bakterial yang berhubungan dengan pasteurellosis pada domba dan sapi mungkin bisa Pasteurella multocida atau Pasteurella hemolytica. Kedua strain ini terisolasi dari pasteurellosis pada domba (Newson dan Cross, 1932 cit Marsch, 1958). Karena kedua jenis organisme dapat ditemukan pada wabah pasteurellosis, maka harus diperhatikan mengenai penyebab penyakit ini. Indikasinya bahwa Pasteurella multocida bertanggung jawab terhadap wabah penyakit septisemia dan pneumonia crouposa pada domba muda (biasanya setelah pengangkutan) sedangkan Pasteurella hemolytica lebih sering dijumpai pada domba yang masih menyusu dan domba dewasa yang tidak terlindung dari udara dingin dan kelelahan (Marsch, 1958).

P. multocida diimplikasikan sebagai penyebab penyakit respirasi pada sapi, domba, kambing, kelinci, atropik rhinitis pada babi dan fowl cholera (Timoney et al., 1988 cit Weiser et al., 2003). Beberapa strain seringkali terdeteksi sebagai komensal normal pada saluran respirasi bagian atas pada mamalia. Banyak faktor seperti infeksi oleh Mycoplasma, kepadatan yang tinggi, dan pengangkutan berhubungan dengan penurunan pertahanan fisik dan imunologi, memungkinkan organisme untuk menginvasi traktus respirasi bagian bawah dan penyebabkan penyakit respirasi. Beberapa strain yang menyebabkan septisemia hemoragi mempunyai karakteristik profil restriction endonuclease (Rimler, 2000 cit Weiser et al., 2003).

Pasteurellosis septikemia pada sapi (haemorrhagic septicaemia atau barbone) sering terjadi karena infeksi Pasteurella multocida tipe 1 atau B. Penyakit ini merupakan penyakit klasik Asia Selatan yang dicirikan dengan septikemia akut dan mortalitas yang tinggi. Pasteurella pneumonia (pneumonic pasteurella) pada sapi biasanya merupakan gabungan infeksi P.multocida tipe 2 atau A dan P. haemolytica. Pasteurella pneumonia pada ternak ini sering terjadi di Eropa dan negara-negara barat. Karakter penyakit yang spesifik adalah terjadinya bronkopneumonia, kejadian berlangsung lebih lama, dan mortalitas yang rendah dibandingkan dengan pasteurellosis septikemia. Diagnosa pasteurellosis didasarkan pada pemeriksaan setelah mati dan isolasi bakteri dari paru-paru (Blood dan Henderson, 1974).

Pasteurella multocida merupakan bakteri kokobasil atau batang gram negatif, tidak motil yang memiliki ukuran 0,5-1 x 1-2 μm, bersifat fakultatif anaerob, sebagian besar berkapsula, tidak membentuk spora, dan bersifat fermentatif. Bakteri ini tumbuh subur pada media diperkaya, bersifat non hemolitik, positif pada uji oksidase dan indol, dan urease negatif. Bakteri tidak tumbuh pada media Mac Conkey (Carter dan Wise, 2004; Anonimus, 2007a).

Mekanisme patogenesis genus Pasteurella sangat komplek dan berbeda tergantung predileksi dan variasi antigenik. Faktor virulensi P. multocida meliputi kapsula, endotoksin, eksotoksin, adhesin, hemaglutinin, dan protease. Strain yang memiliki kapsula asam hialuronidase lebih resisten terhadap fagositosis dan aksi makrofag. Kapsula merupakan faktor virulensi khususnya pada serotipe A karena membantu organisme menghindari fagositosis yang dilakukan oleh makrofag alveoler. Fagositosis makrofag alveoler terhadap P. multocida sangat rendah meskipun dengan adanya opsonisasi. Strain dari serotipe A, B, dan D memiliki empat fimbria, yang dapat melakukan adhesi pada sel epitel permukaan hospes (Songer dan Post, 2005).

Strain serotipe A mudah melekat pada sel epitel trakea khususnya pada sel epitel bersilia, sedangkan serotipe D lebih sering menginvasi epitel yang tidak bersilia. Strain patogen melekatkan diri pada epitel permukaan trakea dengan menggunakan pili (fimbria). Rendahnya kemampuan beberapa strain P.multocida untuk melekat pada epitel trakea, memungkinkannya untuk melakukan invasi pada mukosa nasal (Anonimus, 2007c).

Diagnosa Pasteurella multocida berdasarkan isolasi organisme penyebab dari jaringan terinfeksi. Isolasi rutin dilakukan pada agar darah. Plat harus diinkubasi pada kondisi 3-5% CO2 dengan suhu 37°C selama 24-48 jam. Isolat merupakan gram negatif dengan morfologi yang bervariasi dan karakteristik koloni yang berbeda-beda pada plat agar darah. P.multocida membentuk koloni mukoid dan halus atau lebih kering, kadang-kadang kasar. Koloni halus bersifat iridesen, bau yang khas, dan beberapa strain membentuk warna kehijauan pada agar darah (Songer dan Post, 2005).

Vaksin yang aman dan efektif untuk P.multocida pada ternak tidak tersedia. Vaksin yang tersedia berupa vaksin mati, praktis digunakan pada daerah endemik. Vaksin dapat menurunkan insidensi penyakit, tetapi jangka waktu kekebalan pendek dan kejadian dapat terus berlangsung (Songer dan Post, 2005).

MATERI DAN METODE

Materi

Peralatan yang digunakan meliputi alat nekropsi hewan yang terdiri atas gunting, scalpel, pinset, pisau, dan gunting tulang, kontainer sampel, deck glass, eppendorf, sarung tangan, masker, cawan petri, obyek glass, double obyek glass, nampan plastik, beker glass, spuit, tabung reaksi, sentrifus, mikroskop, pipet leukosit, pipet eritrosit, pipet Hb, kamar hitung Neurbauer, mikrohematokrit, TS meter, spektrofotometer, penangas air, usa, lampu spritus.

Hewan yang digunakan adalah seekor domba betina yang berumur 3 bulan, berat badan 5 kg dengan nomor protokol C-1. Bahan yang digunakan adalah EDTA, metanol, larutan giemza absolut, formalin 10%, kalium bikromat 2%, minyak emersi, NaCl fisiologis, gula jenuh, akuades, hidrogen peroksida 3%, alfa-naphtol, KOH 40%, kertas oksidase, plat agar darah (PAD), plat agar Mac Conkey, media Triple Sugar Iron (TSI), media semisolid, sitrat, agar urea, pepton, MR/VP, glulosa, laktosa, sukrosa, manitol.

Metode

Metode yang digunakan meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pengambilan sampel darah melalui vena jugularis sebelum dilakukan eutanasi. Darah dimasukkan ke dalam tabung eppendorf yang telah diberi EDTA untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan patologi klinik yang meliputi perhitungan jumlah total eritrosit, leukosit, kadar hemoglobin (Hb), Pack Cell Volume (PCV), total protein plasma (TPP), dan fibrinogen. Selain itu juga dibuat preparat apus darah tanpa EDTA yang difiksasi dengan metanol kemudian dilakukan pengecatan giemza dengan perbandingan 1 bagian giemza absolut dilarutkan dengan 9 bagian buffer fosfat selama 30-45 menit. Preparat apus ini digunakan untuk pemeriksaan diferensial leukosit, parasit darah, dan adanya bakteremia pada darah.

Domba dieutanasi dengan cara emboli yaitu memasukkan sejumlah udara ke jantung dengan menggunakan spuit, kemudian dilakukan nekropsi sesuai dengan prosedur. Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, dan incisi pada organ. Perhatikan adanya cairan asites pada rongga perut atau cairan abnormal pada perikardium, tampung cairan untuk pemeriksaan patologi klinik. Organ-organ dikeluarkan dan dipreparir menurut bagian-bagiannya, kemudian diamati perubahan warna, konsistensi, bidang sayatan, ukuran, lesi yang tampak, serta abnormalitas pada lapisan serosa, mukosa, maupun penggantung pada organ pencernaan. Bagian yang mengalami perubahan sebagian diambil dan dimasukan ke dalam kantong plastik steril secara terpisah untuk pemeriksaan mikrobiologi. Organ yang menunjukkan perubahan dipotong kurang lebih 2 cm dan dimasukkan ke dalam kontainer berisi formalin 10% untuk dibuat preparat histopatologi.

Pemeriksaan parasit dilakukan dengan metode natif, sentrifus, Mac Master, Parfitt and Banks, dan sporulasi untuk feses, gerusan hati dan paru-paru, kerokan usus, dan pemeriksaan parasit darah terhadap preparat apus darah. Pemeriksaan patologi klinik meliputi pemeriksaan darah rutin antara lain perhitungan total eritrosit, leukosit, hemoglobin (Hb), Pack Cell Volume (PVC), total protein plasma (TPP), fibrinogen, dan diferensial leukosit dengan menggunakan preparat apus darah yang diwarnai giemza. Pemeriksaan mikrobiologi dilakukan dengan mengisolasi bakteri dari organ yang berlesi atau dicurigai. Pada kasus ini, sampel yang diambil adalah paru-paru. Isolasi bakteri dilakukan dengan cara penanaman sampel pada media plat agar darah (PAD), dilanjutkan dengan pengecatan gram, uji oksidase dan katalase, penanaman biakan pada agar Mac Conkey, media Triple Sugar Iron (TSI), agar urea, dilanjutkan dengan uji-uji biokimia yaitu IMViC (indol, methyl red, voges proskover, cytrat), motilitas, glukosa, laktosa, sukrosa, dan manitol. Pengamatan dilakukan setelah inkubasi selama 24 jam pada tiap-tiap media.

HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIK

1. Berdasarkan pemeriksaan patologi, domba dengan nomor protokol C-1 mengalami pneumonia interstitialis, hepatitis, dan enteritis.

2. Berdasarkan pemeriksaan parasitologi, domba dengan nomor protokol C-1 mengalami koksidiosis, infestasi Bunostomum trigonocephalum dan infestasi Linognathus pedalis.

3. Berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi, domba dengan nomor protokol C-1 terisolasi bakteri Pasteurella multocida..

4. Berdasarkan pemeriksaan patologi klinik, domba dengan nomor protokol C-1 mengalami anemia mikrositik, neutrofilia, hipoproteinemia, poikilositosis, dan trombositosis.

DISKUSI

Anamnesa terhadap domba dengan nomor protokol C-1 diperoleh keterangan bahwa domba betina, umur 3 bulan, milik Bapak Basuki yang beralamat di Dusun Banteran, kelurahan Donoharjo, Ngaglik, kabupaten Sleman, Yogyakarta. Berdasarkan hasil anamnesa diketahui populasi domba berjumlah 10 ekor, kandang tipe lemprak ukuran 6 m x 3 m untuk 10 ekor domba, mortalitas 0, morbiditas 2 ekor (20%). Pakan rumput sawah, digembalakan pada pagi hari, tidak diberi minum, belum pernah diobati. Domba memperlihatkan gejala klinis 10 hari yang lalu diare, anoreksia, kekurusan, dan kelemahan.

Pemeriksaan patologi ditemukan pada paru-paru memperlihatkan bintik kemerahan pada semua lobus. Konsistensi lunak, bidang sayatan rata, uji apung mengapung. Pada hati mengalami bintik kemerahan dengan diameter <1mm style="color: fuchsia;"> Jejunum mengalami hemoragi petechiae. Pemeriksaan patologi secara mikroskopik pada paru-paru terlihat infiltrasi limfosit di sekitar septa interalveolaris, alveoli sangat mengecil, dinding alveoli terlihat hampir sejajar. Hati memperlihatkan pelebaran sinusoid, infiltrasi limfosit di sekitar segitiga portae, dan terdapat vacuola pada sitoplasma sel hati. Jejunum terdapat infiltrasi eosinofil di tunika mukosa, terdapat potongan cacing nematoda di tunika mukosa, terdapat oosista stadium macrogamet di sel epitel. Berdasarkan pemeriksaan patologi, domba dengan dengan nomor protokol C1 mengalami pneumonia interstitialis, hepatitis, dan enteritis.

Pemeriksaan parasitologi pada feses ditemukan oosista koksidia, telur cacing strongyle, dan telur cacing Strongyloides. Dengan metode Mc Master terhitung 6000 oosista/gram feses, 4600 telur Strongyle/gram feses dan 600 telur Strongyloides/gram feses. Feses kemudian disporulasikan dan teridentifikasi Eimeria intricata. Identifikasi berdasarkan morfologi oosista dan waktu sporulasi. Morfologi oosista yang ellipsoid agak ovoid, mempunyai mikrophil dan topi mikrophil, waktu sporulasi 3 hari.

Pada kerokan mukosa usus cacing teridentifikasi Bunostomum trigonocephalum pada usus halus sebanyak 124 ekor, panjang cacing jantan 1,3 cm, panjang cacing betina 1,9 cm. Bunostomum trigonocephalum dicirikan dengan ujung anterior yang membengkok ke dorsal, kapsula bukal infundibuler, dengan dua lempeng pemotong ventral semilunar pada tepinya. Sepasang spikulum cacing jantan sama besar, dan tidak terdapat gubernakulum. Menurut Levine (1994), panjang cacing jantan 12-17 mm dan mempunyai spikulum yang agak terpuntir dengan panjang 600-640 mikron. Cacing betina panjangnya 19-26 mm dan berdiameter 250-257 mikron, dan menghasilkan telur berukuran 82-97 × 45-57 mikron. Pada kerokan usus tidak ditemukan cacing Strongyloides dewasa.

Pada pemeriksaan kulit dan bulu teridentifikasi ektoparasit Linognathus pedalis. Linognathus pedalis termasuk golongan kutu, dicirikan dengan ukuran yang kecil, tidak punya sayap, antena pendek, kaki yang diadaptasikan untuk berpegang pada hospes. Linognathus pedalis termasuk dalam ordo Anoplura yang terbatas pada mamalia, antena terletak pada sisi kepala, dan biasanya terdiri dari 5 segmen. Salah satu genus dari famili Linognathidae yang penting pada hewan domestik adalah genus Linognathus, mempunyai dua bristle pada setiap segmen abdominal, tidak punya mata, termasuk L. pedalis yang berparasit pada domba.

Pemeriksaan mikrobiologi dilakukan mengisolasi bakteri dari paru-paru dan pembuatan preparat film darah. Isolasi dari paru-paru berlesi dilakukan pada media plat agar darah. Koloni bakteri yang tumbuh berwarna kelabu-putih, halus, tidak bersifat hemolitik. Menurut Merchant dan Packer (1956), Pasteurella multocida dibedakan dengan P. hemolytica dari kemampuan menghemolisis sel darah merah. Pada media PAD, P. hemolytica bersifat β hemolitik, ditandai adanya zona terang di sekitar koloni.

Pengecatan gram teridentifikasi bahwa bakteri bersifat gram negatif kokobasil bipolar. Uji oksidase diperoleh hasil positif, ditandai dengan perubahan warna kertas oksidase menjadi keunguan, yang berarti bakteri menghasilkan enzim oksidase. Uji katalase diperoleh hasil positif, bakteri menghasilkan enzim katalase, ditandai dengan terbentuknya gelembung-gelembung gas, yang membuktikan kemampuan bakteri mengubah hidrogen peroksida (H2O2) menjadi O2 dan H2O. Penanaman pada Mac Conkey agar tidak terjadi pertumbuhan. Agar tersebut merupakan media pertumbuhan untuk bakteri enterik gram negatif dan menghambat pertumbuhan bakteri gram positif karena adanya komponen garam empedu dan kristal violet.

Pasteurella multocida merupakan bakteri kokobasil atau batang gram negatif, tidak motil yang memiliki ukuran 0,5-1 x 1-2 μm, bersifat fakultatif anaerob, berkapsula, tidak membentuk spora, dan bersifat fermentatif. Bakteri ini tumbuh subur pada media diperkaya, bersifat non hemolitik, positif pada uji oksidase dan indol, dan urease negatif. Bakteri tidak tumbuh pada media Mac Conkey (Carter dan Wise, 2004; Anonimus, 2007a).

Pada TSI agar, media berwarna kuning (bagian tegak) dan bagian miring juga kuning, tidak terbentuk gas dan endapan hitam pada media. Hasil tersebut menunjukkan bahwa bakteri mampu memfermentasi glukosa dan sukrosa atau laktosa, tidak membentuk gas dan H2S. Uji-uji biokimia didapat hasil bahwa bakteri bersifat non motil (pada media agar semisolid, pertumbuhan hanya pada bagian tusukan), tidak memproduksi enzim urease, mampu membentuk indol dari triptofan, tidak mampu membentuk asetil metil karbinol. Uji sitrat diperoleh hasil media tetap jernih yang menunjukkan bahwa bakteri tidak memanfaatkan sitrat sebagai sumber karbon. Uji gula-gula secara spesifik, didapat hasil bakteri mampu memfermentasi glukosa, sukrosa, dan manitol, tetapi tidak mampu mefermentasi laktosa. Berdasarkan hasil tersebut, diidentifikasi bahwa bakteri yang terisolasi dari paru-paru babi adalah bakteri Pasteurella multocida. Pada pemeriksaan preparat film darah, tidak ditemui adanya bakteri di dalam darah, artinya tidak terjadi bakteremia.

Menurut Sihombing (2006), pasteurellosis dapat timbul dalam dua bentuk yaitu pasteurellosis pneumonia dan septikemia akut. Infeksi bakteri Pasteurella multocida pada domba dengan nomor protokol C-1 merupakan bentuk pasteurellosis pneumonia, bukan bentuk septikemia, karena gambaran darah tidak terjadi bakteremia. Pada kasus ini, kepadatan yang tinggi, domba yang telah terinfeksi koksidiosis, termanifestasi nematoda, dan termanifestasi ektoparasit menyebabkan penurunan pertahanan fisik dan imunologi, memungkinkan Pasteurella (sering ditemukan sebagai komensal normal di saluran respirasi bagian atas pada mamalia) untuk menginvasi traktus respirasi bagian bawah dan menyebabkan penyakit respirasi. Dalam kasus ini domba berumur 3 bulan, merupakan umur di mana Pasteurella multocida lebih sering bertanggung jawab terhadap adanya penyakit respirasi. Hasil pemeriksaan mikroskopik pada paru-paru terlihat infiltrasi limfosit, kemungkinan berhubungan dengan infeksi virus yang berperan dalam penurunan imunitas fisik dan imunologis, sehingga memungkinkan Pasteurella untuk menginvasi traktus respirasi bagian bawah dan menyebabkan penyakit respirasi. Menurut Davies et al., (1977) virus Para Influenza mempunyai peranan dalam perkembangan pasteurellosis pneumonia. Dalam studi ini tidak dilakukan uji isolasi virus.

Menurut Marsch (1958) Pasteurella multocida bertanggung jawab terhadap wabah penyakit septisemia dan pneumonia crouposa pada domba muda sedangkan Pasteurella hemolytica lebih sering dijumpai pada domba yang masih menyusu dan domba dewasa yang tidak terlindung dari udara dingin dan kelelahan.

.Interaksi bakteri dengan hospes menyebabkan kerusakan jaringan. P. multocida melakukan kolonisasi pada mukosa menggunakan pili untuk perlekatan, kemudian menstimulasi reaksi supuratif yang cepat dengan karakterisasi infiltrasi neutrofil yang merupakan respon terhadap lipopolisakarida (LPS) yang mengeluarkan sitokin inflamatorik (Anonimus, 2007c). Kemampuan bakteri dalam menghindari fagositosis makrofag alveolar dengan adanya kapsula, memungkinkan kolonisasi yang bebas pada paru-paru. Kemungkinan lain tidak terjadi bakteremia adalah karena infeksi P. multocida belum mengarah ke stadium lanjut yang memungkinkan penyebarannya dalam sirkulasi darah (sistemik).

Pemeriksaan patologi klinik menunjukkan terjadinya anemia mikrositik neutrofilia, anemia mikrositik, hipoproteinemia, neutrofilia, poikilositosis, dan trombositosis. Pada pemeriksan Hb terjadi kesalahan teknis sehingga perhitungan Hb tidak dimasukkan dalam diagnosa.

Pada kasus ini adanya infeksi koksidia, nematodiasis, dan infestasi ektoparasit pada domba menyebabkan anoreksia yang berakibat penurunan asupan pakan. Hal ini menyebabkan penurunan asupan nutrisi, termasuk di dalamnya asupan zat besi. Menurut Fieldman, et al., (2000) sebagian besar literatur tentang anemia karena defisiensi nutrisi pada hewan domestik adalah berdasarkan data historisnya.

Gangguan yang berakibat pada anemia karena defisiensi nutrisi diantaranya defisiensi asupan zat besi, hemoragi kronis, dan kehilangan darah secara eksternal (pada sebagian besar hewan domestik). Sebagian besar penyebab anemia karena defisiensi zat besi adalah adalah hemoragi intestinal dari endoparasit atau proses lainnya, akan tetapi ektoparasit penghisap darah juga bisa menjadi penyebabnya Anemia karena defisiensi zat besi lebih cepat terjadi pada hewan muda yang kehilangan darah secara eksternal (Fieldman, et al., 2000)

Pada anemia karena defisiensi zat besi, gambaran darah perifer dan eritrosit adalah mikrositik hipokromik, fragmentasi eritrosit, dan mungkin terjadi trombositosis (Fieldman, et al., 2000). Pada pemeriksaan apus darah ditemukan trombosit pada pemeriksaan apus darah > 100 trombosit / 100x HPF. Menurut Duncan dan Praisse (1976) jika ditemukan 8-10 trombosit / 100x HPF = >100.000/μl. Jadi pada kasus ini jika ditemukan > 100 trombosit / 100x HPF = >1.000.000/μl. Menurut Fieldman, et al., (2000) jumlah trombosit normal pada domba adalah 100.000-800.000 . Jadi pada kasus ini hewan mengalami trombositosis.

Respon sumsum tulang belakang pada anemia karena defisiensi zat besi adalah ketidak efektifan dan ketidak sinkronan eritropoiesis dan seringkali digantikan oleh rubricyte (selanjutnya mungkin akan menyebabkan penurunan eritropoiesis). Pada kasus ini adanya penurunan eritropoiesis terbukti dengan ditemukanya poikilositosis pada pemeriksaan apus darah.

Pada kasus ini adanya infeksi koksidia, nematodiasis, dan infestasi ektoparasit pada domba menyebabkan terjadinya anemia karena kehilangan darah secara akut. Menurut Fieldman, et al., (2000) selama kehilangan darah yang terjadi secara akut, konsentrasi protein total biasanya juga berkurang karena hilangnya protein plasma. Hal ini terutama tampak jelas pada kehilangan darah secara eksternal. Kehilangan darah secara internal sangat sulit untuk dideteksi karena protein plasma dan sel darah merah diabsorbsi kembali. Pada kasus ini terbukti domba mengalami hipoproteinemia. Selain karena hal tersebut hipoproteinemia terjadi karena kurangnya asupan protein dari makanan, karena domba hanya diberikan makanan hijauan. Menurut Murtidjo (1993) pada umumnya petani ternak domba hanya memberikan hijauan pakan pada ternaknya. Perlakuan tersebut akan dapat mencukupi kebutuhan ternak domba jika hijauan pakan yang diberikan memiliki kualitas baik. Namun jika dievaluasi dari karakteristik hijauan pakan yang tumbuh di lingkungan tropis, sangat jelas bahwa pemberian makanan pada domba yang mengandalkan hijauan pakan akan kurang berarti. Sebab domba tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuhnya yang berkaitan dengan zat makanan, khususnya protein. Sebagai konsekuensinya, maka dalam pemanfaatan hijauan pakan sebagai makanan ternak domba harus disuplementasikan dengan makanan penguat atau konsentrat.

Neutrofil memiliki fungsi primer sebagai pertahanan tubuh terhadap invasi bakterial. Neutrofil bermigrasi dan berkumpul pada tempat infeksi (radang) melalui proses kemotaksis yang melibatkan antibodi spesifik, komponen komplemen dan komplek, serta beberapa pseudoglobulin. Neutrofil lebih berperan dalam fagositosis dibanding eosinofil atau basofil (Mitruka dan Rawnsley, 1977). Pada kasus ini domba mengalami neutofilia sebabai pertahanan tubuh terhadap infeksi Pasteurella multocida.

Domba dengan nomor protokol C-1 didiagnosa mengalami koksidiosis, infestasi Bunostomum trigonocephalum, pasteurellosis pneumonia yang tidak bersifat septikemia, dan infestasi Linognathus pedalis. Diagnosa didasarkan pada anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan organ secara makroskopik dan mikroskopik, dengan didukung pemeriksaan mikrobiologi, parasitologi, dan patologi klinik. Pemeriksaan parasitologi memperlihatkan adanya infeksi parasit yang signifikan terhadap perkembangan gejala klinik karena dari penemuan oosista, cacing, dan ektoparasit, kuantitas infeksi termasuk derajat tinggi. Selain itu infeksi bakteri Pasteurella multocida jua ikut berperan terhadap perkembangan gejala klinik.

PATOGENESIS

Domba

Gejala: diare, lemah, anoreksia, gatal


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan pemeriksaan patologi, parasitologi, mikrobiologi, dan patologi klinik, domba dengan nomor protokol C 1 menderita koksidiosis, nematodiasis, pneumonia pasteurellosis, dan infestasi Linognathus pedalis.

Saran

Manajemen peternakan yang baik untuk menghindari faktor-faktor predisposisi penyakit, meliputi perbaikan manajemen kandang, mengurangi penyebab stres pada domba seperti meminimalkan pengaruh cuaca, menghindari kepadatan kandang, dan sanitasi lingkungan tempat domba tinggal. Domba yang yang terinfeksi diisolasi dari kawanan. Segera dilakukan terapi bila didapatkan indikasi yang mengarah terhadap terjadinya penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2005. Teknologi Tepat Guna tentang Budaya Peternakan, Budidaya Ternak Domba. BPPT. Jakarta www.iptek.net.id

Anonimus, 2006, Merck & Co., Inc.Whitehouse Station, NJ USA. http://www.merckvetmanual.com

Anonimus, 2007a. www.scielo.org.ar/scielo.php?=sci_arttext&pid

Anonimus, 2007b.http//en.wikipedia.org/wiki/Pasteurella__multocida.

Anonimus, 2007c.www.zoologix.com/dogcat/Datasheets/Pasteurellamultocida.htm

Anonimus. 2008. The BayScience Foundation http://zipcodezoo.com

Blood, D.C. and Henderson, J.A., 1974. Veterinary Medicine 4th Edition, The English Language Book Society and Bailliere Tindall: London, pp. 364, 369-371, 585-588.

Bowman, D.D., Lynn, R.C., and Eberhard, M.L., 1999. Georgis’ Parasitology for Veterinarians 8th Edition, Saunders: USA, pp. 92-96, 228-229.

Brotowijoyo, M. D. 1987. Parasitologi dan Keparasitan. Edisi ke-1. Badan Usaha Penerbitan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal 109-111.

Carter, G.R. and Wise, D.J., 2004. Essentials of Veterinary Bacteriology and Mycology 6th Edition, Iowa State Press: Iowa, pp. 149-151.

Chlander, Asa C. 1955. Introduction to Parasitology with Refference to the Parasit of Man, 9th edition. John Wiley & Sons Inc, New York.

Davies DH, Dungworth DL, Humphreys S and Johnson AJ (1977) Concurrent infection of lambs with parainfluenza virus type 3 and Pasteurella haemolytica NZ vet J 25 p 263

Fieldman, Bernard F et al., 2000, Schalm’s Veterinary Hematology, fifth edition, Lippincot William & Wilkins, Philadelphia

Duncan, R.D., dan Prasse, K.W. 1976. Veterinary Laboratory Medicine-Clinical Pathology. First ed. Iowa State University Press. Ames. Iowa

James, P.J. and Moon, RD (1999) Spatial distribution and spread of sheep biting lice, Bovicola ovis, from point infestations. Veterinary Parasitology 81, 323-339.

Jubb, K.V.F., Kennedy, P.C., and Palmer, N., 1993. Pathology of Domestic Animals 4th Edition Volume 2, Academic Press Inc.: New York, pp. 295, 632-638.

Kusiluka, L., Kambarage, D. 2005. A Handbook Common Diseases of Sheep and Goats in Sub-Saharan Africa. DFID NR international. http://www.smallstock.info/credits/dfid.htm

Levine, N.D., 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, hal. 57, 70, 287-288.

Marsch,H. 1958. Newsom’s Sheep Diseases, second edition. The William ang Wilkins Company, Baltimore.

Merchant, I.A. and Packer, R.A., 1956. Veterinary Bacteriology and Virology 6th Edition, Iowa State University: Iowa, pp. 413-415

Michael S. A., A. J. Higgins dan El Refaii A. H. 2005. Oxfendazole anthelmintic activity in egyptian goats artificially infected with gastrointestinal nematodes Tropical Animal Health and Production Journal Volume 11, Number 1 / February, 1979. Springer Netherlands 63-68

Mitruka, B.M. dan Rawnsley, H.N., 1977. Clinical Biochemical and Hematological Reference Values in Normal Experimental Animals and Normal Humans 2nd Edition, Year Book Publishers Inc.: Chicago, pp. 43-46, 51-53, 110, 218.

Murtidjo, B. A. 1993. Memelihara Domba. Kanisisus, Yogyakarta

Payne, W. J. A. dan Williamson, G. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Edisi ke-3, Gadjah Mada University Press. Hal 547-578.

Sihombing, D.T.H., 2006. Ilmu Ternak Babi, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, hal. 498, 535-536.

Skerman, Mc. G. 1980. Lists of Bacterial Names. Int. J. Syst. Bacteriol. http://es..wikipedia.org/Pasteurella

Smith M.S., Barbara; Mark Aseltine PhD, Gerald Kennedy DVM (1997). Beginning Shepherd's Manual, Second Edition. Ames, Iowa: Iowa State University Press.

Songer, J.G and Post, K.W., 2005. Veterinary Microbiology Bacterial and Fungal Agents of Animal Disease. Elsevier Saunders: St.Louis, pp. 184-190.

Soulsby, E. J. L. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domestic Animals, 7th ed. William and Willems, Baltimore. The ELBS and Bailliere Tyndall. London. Hal 84-86, 231-238.

Urquhart, G.M., Duncan, J.L,Dunn, A.M., and Jennings, F.W., 1987. Veterinary Parasitology 1st Edition, ELBS Logman Group: Inggris.

Viney, M. E., Lok , J. B. 2007. Strongyloides spp. Pennsylvania University Press http://www.wormbook.org/

Weiser, G.C., DeLong, W.J. 2003. Characterization of Pasteurella multocida associated with pneumonia in Bighorn Sheep. Journal of Wildlife Diseases, 39(3), 2003, pp. 536–544

Wooster, Chuck; Geoff Hansen (Photography) (2005). Living with Sheep: Everything You Need to Know to Raise Your Own Flock. Guilford, Connecticut: The Lyons Press.