Kamis, 13 Januari 2011

Myasis


Myasis merupakan suatu keadaan infestasi luka terbuka pada jaringan hewan oleh larva lalat. Kondisi ini selalu diawali dari adanya luka di kulit hewan yang terkontaminasi kotoran, yang memicu terjadinya infeksi oleh bakteri oportunistik. Selanjutnya bakteri yang berkembang biak menyebabkan bau yang disukai oleh lalat dan mengundang lalat untuk bertelur di luka yang terkontaminasi tersebut.

Lalat betina dapat menghasilkan hingga 150 telur dalam waktu 4 hari dan dalam waktu 1-2 hari dengan kondisi luka yang lembab dan kotor, menginduksi telur ini untuk menetas menjadi larva lalat. Pada tahap inilah, myasis dimulai dan bila tidak segera ditangani akan memperparah kerusakan jaringan kulit hewan. Larva lalat akan memakan sel-sel mati, eksudat dan debris dari hewan. Kondisi ini disebut "fly strike". Larva dapat menembus lapisan kulit paling atas dan mencapai daerah bawah kulit. Akibatnya dapat terbentuk rongga di bawah kulit dengan diameter bisa sampai beberapa sentimeter.

Sekali "fly strike" terjadi, hal tersebut akan berjalan cepat dan lebih banyak mengundang lalat lain. Myasis dapat menyebabkan penurunan kondisi hewan dengan cepat, karena kerusakan jaringan dan rasa sakit sehingga nafsu makanpun berkurang. Bila myasis tidak cepat ditangani, bisa berakibat fatal dimana hewan yang terkena bisa mati karena shock, intoksikasi ataupun infeksi general (sepsis).

Myasis adalah invasi larva lalat pada jaringan tubuh sehingga menyebabkan kerusakan pada jaringan tersebut. Myasis dapat berasal dari perlukaan akibat trauma yang dibiarkan terbuka dan didukung dengan adanya lingkungan kandang yang kotor sehingga mempermudah adanya invasi larva lalat.

etiologi
Larva lalat yang dapat menyebabkan myasis tergolong dalam genus Chrysomia. Genus Chrysomia yang memegang peranan penting dalam kasus myasis yaitu Chrysomia megacephala dan Chrysomia bezziana.
Patofisiologi

Myasis terbagi menjadi 2 yaitu myasis obligat dan myasis fakultatif. Perbedaan keduanya terdapat pada jaringan tubuh yang diserangnya. Myasis obligat hanya dapat terjadi pada jaringan tubuh yang masih hidup. Sedangkan pada myasis fakultatif dapat terjadi pada jaringan tubuh yang masih hidup maupun yang sudah mati. Myasis obligat disebabkan oleh larva Chrysomia bezziana sedangkan myasis fakultatif disebabkan oleh larva Chrysomia megacephala.

Siklus hidup Chrysomia sp.
Mekanisme myasis bermula dari lalat dewasa betina yang gravid meletakkan telurnya pada jaringan, kemudian telur tersebut menetas menjadi larva. Larva inilah yang berpotensi menyebabkan kerusakan pada jaringan karena untuk melengkapi siklus hidupnya dan untuk mencukupi kebutuhan nutrisinya maka larva akan memakan jaringan yang ada di sekitarnya dengan cara membuat terowongan pada jaringan tersebut. Aktivitas dari larva ini menyebabkan kegatalan yang luar biasa pada inang. Faktor yang menentukan daya tetas telur lalat adalah suhu dan kelembaban. Telur dapat menetas secara optimal pada suhu 37o–38oC dengan kelembaban 70-80%. Sedangkan faktor yang menentukan perkembangan larva menjadi dewasa adalah ketersediaan nutrisi dari larva tersebut. Larva yang sudah matang kemudian merayap keluar dari luka dan berubah menjadi nympha. Nympha yang telah matang kemudian berubah menjadi lalat dewasa.

Terapi
Terapi dapat dilakukan dengan pencucian menggunakan Kalium permanganat (PK) kemudian diberikan Penicillin 20.000 IU/kg bb dan salep biru secara topikal, setelah itu pasien diberikan Metronidazole 20 mg/kg bb po. Pencucian dengan Kalium permanganat bertujuan melisiskan jaringan yang telah mengalami nekrosa. Penicillin diberikan untuk mencegah infeksi bakteri yang mungkin terjadi akibat luka yang terbuka. Pemberian metronidazole untuk mencegah infeksi bakteri yang terjadi terutama bakteri anaerob (Bishop 1996). Salep biru merupakan salep racikan yang digunakan secara topikal serta mengandung minyak ikan, vaselin album, sulfanilamida, dan Gusanex®. Minyak ikan mengandung vitamin A dan D yang bagus untuk regenerasi kulit. Sulfanilamida serbuk merupakan antibiotik yang berfungsi untuk mencegah infeksi sekunder oleh bakteri. Sedangkan Gusanex® merupakan parasitidal yang bagus untuk mengatasi ektoparasit.

Sedangkan cara lain untuk pengobatan yang diterapkan dengan membersihkan luka, selanjutnya dilakukan pemberian antibiotik Penstrep dan atau Vet-Oxy, dan disemprot dengan Gusanex dan atau Limoxsin spray.

Terapi untuk myasis adalah dengan membuang semua larva dan membersihkan luka dari telur lalat yang ada. Pengecekan kondisi luka perlu dilakukan setiap hari untuk mencegah adanya larva lalat yang belum terambil. Bila hewan anda terkena myasis, sebaiknya segera diperiksakan ke dokter hewan supaya mendapatkan pengobatan intensif, terutama anitibiotik untuk mengobati infeksi sekundernya serta antiparasit untuk membunuh larva lalat yang masih tinggal di hewan anda.

Pengendalian myasis hanya akan berhasil jika setiap pemilik hewan selalu menjaga kebersihan hewannya. Menjaga kebersihan luka sekecil apapun dan mencegahnya terkontaminasi oleh urin, feses atau tertutup bulu gimbal.

Vesica Urinaria



Vesica urinaria merupakan organ musculer berongga yang ukuran dan posisinya tergantung pada jumlah urine didalamnya. Pada keadaan kosong vesica urinaria mempunyai struktur berdinding tebal, berbentuk seperti buah pir yang terletak diatas pelvis. Peritonium menutupi bagian cranial dari vesica urinaria, bagian caudal ditutupi oleh fascia pelvis. Vesica urinaria disuplai oleh arteri-arteri yang berasal dari arteri pudenda, cabang dari arteri obturatoria dan arteri umbilikalis (Frandson, 1996).

Vesica urinaria dibagi menjadi bagian leher atau cervic vesicae yang dihubungkan dengan urethra, bagian cranial yang tumpul atau fundus vesicae dan badan vesika urinaria atau corpus vesicae Urin pada vesica urinaria diperoleh dari ginjal melewati ureter yang kemudian disimpan, setelah disimpan urin dikeluarkan melewati urethra. (Frandson, 1996).

Pengeluaran urin dari vesica urinaria disebut mixturisi. Mixturisi merupakan aktivitas yang dirangsang oleh terjadinya distensi vesica urinaria karena masuknya urin melalui ureter. Vesica urinaria akan beraksi terhadap masuknya urin secara bertahap sampai tekanannya cukup tinggi untuk merangsang pusat reflek yang terdapat di dalam corda spinalis. Hal ini akan menyebabkan timbulnya kontraksi dinding vesica urinaria melalui saraf-saraf parasimpatik sacral. Reflek mengosongkan vesica urinaria dicegah oleh kontrol volunter dari spincter eksternal yang mengelilingi leher vesica urinaria tersebut (Frandson, 1996). Letak vesica urinaria pada hewan jantan dan betina disajikan pada Gambar 1.

A B

Gambar 1. A. Letak vesica urinaria pada hewan jantan

B. Letak vesica urinaria pada hewan betina


Mukosa memiliki epithel peralihan (transisional) yang terdiri dari 5-10 lapis sel pada yang kendor, apabila teregang (penuh urine) terdiri atas 3-4 lapis sel. Propria mukosa terdiri dari jaringan ikat, pembuluh darah, saraf dan jarang terlihat limphonodulus atau kelenjar. Submukosa terdapat dibawahnya, terdiri atas jaringan ikat yang lebih longgar. Tunika muskularis tersusun oleh lapisan otot longitudinal dan sirkuler (luar). Lapisan paling luar atau tunika serosa, berupa jaringat ikat longgar (jaringan areoler), sedikit pembuluh darah dan saraf.

Cystotomi

Cystotomi adalah tindakan operasi untuk membuka dinding vesica urinaria. Cystotomi pada hewan diindikasikan untuk penanganan kalkuli vesicae, neoplasia atau terapi akibat traumatik pada vesica urinaria (Lewis et al., 1994). Cyctotomi berarti penyayatan pada dinding vesica urinaria yang berfungsi untuk mengetahui bagian dalam vesica urinaria. Operasi Cystotomy dilakukan dengan membuka abdomen dibagian ventral kemudian membuka vesica urinaria (kandung kencing) (Koesharyono, 2008 ).

Indikasi cystotomy adalah sebagai tindakan pengobatan saluran perkencingan seperti tumor, batu kencing, dan jendolan darah paba vesica urinaria. Cystotomy dilakukan untuk memperbaiki kerusakan pada saluran urin. Sebelum dilalukan cystotomy terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan ultrasonografi dan radiografi untuk meneguhkan diagnose penyakit.Resiko dari cystotomy antara lain bleeding (perdarahan), infeksi postoperasi, dan urine leakage (Anonim, 2007).

Gangguan terhadap vesica urinaria dapat terjadi karena adanya endapan garam-garam fosfat, oksalat, cystin dan urat pada vesica urinaria. Pertumbuhan jaringan yang abnormal pada dinding vesica urinaria juga akan merangsang terbentuknya tumor atau neoplasma yang akan mengganggu fungsi vesica urinaria sebagai penampung urin. Kondisi seperti itulah yang mendorong untuk dilakukannya cystotomi (Martin, 2007).

Komplikasi yang umum terjadi biasanya berupa pendarahan, infeksi post-operasi, keluarnya urin yang tidak dapat terkontrol, dan dehisensi (terbukanya luka kembali). Secara keseluruhan komplikasi jarang terjadi, akan tetapi komplikasi yang serius dapat menyebabkan kematian sehingga diperlukan tindakan lebih lanjut. Dalam kasus yang jarang terjadi, kandung kemih mungkin tidak sembuh dengan baik setelah cystotomy dan urin mungkin mulai bocor ke perut. Jika hal ini terjadi hewan peliharaan mungkin mulai merasa kurang nyaman dan menunjukan tanda-tanda berupa perut yang buncit. Jika hewan tidak membaik setelah operasi atau mulai merasa buruk (nafsu makan berkurang, lesu) segera lakukan pemeriksaan untuk menguatkan diagnosa penyebab infeksi atau gangguan. Jika sudah bisa dipastikan bahwa kandung kemih bocor, maka bisa segera dilakukan operasi untuk memperbaiki (Martin, 2007).

cara infeksi cacing kait

Infeksi dari cacing kait dapat terjadi melalui beberapa cara:

1. Infeksi melalui kulit

Larva stadium ketiga yang infekstif langsung menembus kulit yang segera diikuti proses migrasi larva ke dalam pembuluh darah atau limfe, langsung ke jantung, paru-paru dan selanjutnya menuju pangkal tekak, kerongkongan dan lambung. Larva akan berubah menjadi cacing dewasa muda di dalam usus halus.

2. Infeksi secara oral

Larva stadium ketiga yang infektif memasuki tubuh melalui mulut bersama makanan. Larva tersebut bermigrasi ke dalam lapisan atas dari mukosa usus halus dalam beberapa hari setelah tertelan, kemudian kembali ke lumen usus halus. Di dalam lumen berkembang menjadi dewasa setelah mengalami dua kali moulting (Subronto, 2006). Infeksi parasit kebanyakan melalui ingesti dari telur. Kejadian ini terjadi ketika kucing menjilati daerah yang mengandung feses kucing terinfeksi seperti halaman, taman dan rumput.

3. Infeksi transmamaria dan intra uterus

Dalam migrasinya larva dapat mencapai uterus menembus selaput janin hingga anak yang baru dilahirkan pun telah mengandung larva di dalam tubuhnya. Larva tersebut dapat juga mencapai kelenjar susu dan dapat terlarut dalam air susu hingga anak yang masih menyusu dapat terinfeksi melalui susu yang diminum.

4. Infeksi melalui hospes paratenik

Larva yang bermukim di dalam tubuh hewan yang bertindak sebagai hospes paratenik, mencit misalnya, dapat menginfeksi anjing dan kucing atau spesies lain yang rentan cacing tambang bila binatang hospes paratenik tersebut terkonsumsi (Subronto, 2006)

Kulit

Kulit


Kulit adalah suatu jaringan/organ yang sangat kompleks, suatu organ yang sangat dinamis dengan banyak sel multiple dengan tipe dan fungsi yang khas. Karena merupakan organ pembalut paling luar, sedemikian rupa sehingga kulit sangat krusial bagi kesehatan karena merupakan pertahanan terdepan (Dharmojono,2002).

Kulit merupakan bagian badan yang terbesar, tergantung pada umur dan jenis hewannya. Berat kulit rata-rata mempunyai 12-24% dari berat badan hewan tersebut. Kulit mempunyai berbagi fungsi diantaranya untuk menghalangi dan melindungi jaringan yang lebih dalam dari pengaruh linkungan seperti kekeringan, melindungi dari sinar UV, agen infeksi, mengatur dan mempertahankan suhu tubuh, sebagai tempat untuk produksi pigmen dan vitamin D, sebagai organ neuroreseptor yang berfungsi untuk memonitor rangsangan dari luar (Amstutz, dkk,1998).

Kulit seperti organ lainnya juga dapat terkena penyakit dan keradangan. Keradangan ini menyerang lapisan kulit, dermis dan epidermis kadang-kadang juga menyangkut jaringan subkutis. Kejadian ini dapat bersifat akut maupun kronis, yang dapat disebabkan oleh karena trauma, suhu, sinar, racun dan agen-agen infeksi (bacterial, viral, jamur dan parasit) (Amstutz, dkk,1998).

Salah satu penyakit penyakit pada kulit yang disebabkan oleh parasit adalah kudis. Kudis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh parasit Sarcoptes spp yang mampu menyebabkan rasa gatal yang amat menyebalkan. Menurut Hartiningsih dkk (1999), dewasa ini skabies/kudisan karena parasit Sarcoptes spp masih banyak ditemukan pada anjing yang berkeliaran disepanjang jalan di kota atau di desa.

Sarcoptes spp

Sarcoptes spp merupakan parasit tungau yang mampu menyerang berbagai hewan mamalia dan manusia. Menyebabkan infeksi kulit yang menimbulkan rasa gatal yang menjengkelkan yang berupa kudis. Banyak berbagai jenis penyebab kudis diantaranya Sarcoptes scebiei var. suis yang biasa menyerang pada domba, Sarcoptes scebiei var. bovis yang menyerang pada sapi, Sarcoptes scebiei var. canis biasanya menyerang pada anjing dan lain sebaginya. Biasanya nomenklatur sarcoptes didasarkan pada sepesies hospes yang diserangnya, dalam hal pengendalian penyakit pengetahuan seperti ini penting, karena parasit ini dapat pindah dari hospes satu ke hospes yang lain. Walaupun begitu, ada juga yang menganggap sarkoptes-sarkoptes tersebut hanyalah satu. Hal ini berdasarkan parasit ini dapat berpindah dari hospes satu ke hospes lain, yang mungkin saja sarcoptes pada satu spesies merupakan variasi dalam evolusinya.

Pada anjing-anjing yang lemah biasanya lebih peka (mudah terkena) terhadap penyakit kudis, biasanya penyakit ini berjalan berkenan dengan pemberian makan yang kurang baik dan tidak bergizi serta didukung dengan menejemen yang buruk. Penyakit ini biasanya aktif pada cuaca yang basah dingin dan menyebar secara bertahap pada musim panas (Blood and Radostits,1989). Karena di Indonesia tidak ada musim panas dan dingin maka penyebaran tungau ini dapat sepanjang tahun.

Menurut Urquhart, dkk (1996), Sarcoptes scebiei yang sering menyerang pada hewan ini merupakan Phylum: Artropoda, Class: Arachanida, Ordo: Acarina, Family: Sarcoptidae, Genus: Sarcoptes, Spesies: Sarcoptes scabiei. Sedang Sarcoptes scabiei yang sering menerang pada anjing merupakan Sarcoptes scabiei var canis.

Parasit ini sangat kecil dan hanya bisa dilihat dengan mikroskup. Pada anjing parasit ini menyebabkan kudisan , biasanya parasit ini hidup dipermukaan kulit yaitu di stratum korneum atau di lapisan permukaan malpigi. Parasit ini dapat menyerang berbagai umur (Hartiningsih dkk,1999).

Parasit tungau ini berkaki pendek, kaki yang ketiga dan keempat tidak teratur melewati pinggir badan, pada tungau yang jantan mempunyai alat penghisap pada kaki 1,2 dan 4 dan sedangkan pada yang betina terdapat pada kaki 1 dan 2. tungau ini merupakan parasit yang sangat kecil sekali berbentuk bulat, pipih dengan panjang 300-600 mikron x 250-400 mikron pada betina, dan 200-240 mikron x 150-200 mikron pada yang jantan (Levine,1990).


Daur hidup

Daur hidup tungau betina dengan membuat liang didalam kulit untuk meletakkan telur mereka, meletakkan telur sebanyak 40-50 butir dalam liang yang dibuatnya. Setiap hari tungau tersebut bertelur 1 atau 2 butir dan dalam sehari jumlahnya 3-5 butir, yang akan menetas 3-5 hari sebagai larva. Kemudian larva bisa keluar dari lubang ke permukaan kulit atau tetap tinggal sebagai nimpa. Larva yang keluar akan mudah mengalami kematian atau masuk lagi membuat liang didalam lapisan tanduk, membentuk kantong-kantong dan berkembang sebagai tungau. Jika kita menyingkap kulit secara cepat maka akan terlihat trowongan tungau tersebut. Tungau dan larva hidup dengan memakan runtuhan jaringan (Levine,1990).

Blood and Radostits (1989) mengatakan waktu yang diperlukan telur untuk menjadi tungau dewasa antara 10-14 hari. Sedangkan menurut Levine, (1990) waktu yang diperlukan telur menjadi tungau dewasa lebih kurang 17 hari. Tungau betina dewasa akan tetap terdapat didalam kantung-kantung ujung liang sampai dibuahi oleh pejantan. Dalam 3-4 hari tungau betina bertelur lagi sampai berumur 3-4 minggu.

Parasit ini dapat pindah dengan kontak secara langsung dengan penderita atau secara tidak langsung melalui selimut, pakaian , alat ataupun tempat tidur. karena peralatan tersebut bisa sebagai agen pembawa parasit ini/ carier. Bila berada diluar hospes maka parasit ini sedikit yang mampu bertahan hidup biasanya hanya hidup beberapa hari saja, namun jika dimasukan pada laboratorium biasanya mampu bertahan sampai 3 minggu (Blood and Radostits ,1989).


Patogenesis

Tungau Sarcoptes spp merupakan parasit yang lebih menyukai tempat/ permukaan tubuh yang jarang rambutnya. Misalnya pada muka , daun telinga, moncong, pangkal ekor, kaki. Kadang pada sebagian anjing dapat menginfestasi keseluruh tubuh. Akibat yang ditimbulkan oleh tungau ini hanya sedikit yang mengalami perubahan pada berat badan dan efisiensi makanan, biasanya hanya merubah vitalitas dan kondisi hewan yang menjengkelkan, karena penampilannya terpengaruh/buruk. Tungau menembus kulit, menghisap cairan limfe dan memakan sel-sel epidermis. Rasa gatal yang sangat bias dialami oleh hospes dan jika digosok-gosokan atau digaruk akan menyebabkan rasa gatal dan sakitnya bertambah. Eksudat yang merembes keluar, menggumpal dan mongering membentuk sisik-sisik dipermukaan kulit. Selanjutnya terjadi keratinisasi dan poliferasi jaringan ikat, yang menyebabkan kulit menebal dan berkerut serta tidak lagi rata. Kejadian ini menyebakan rambut jadi jarang bahkan dapat hilang sama sekali (Urquhart, dkk ,1996; Amstutz dkk,1998).


Gejala-gejala

Anjing yang menderita biasanya menggaruk-garuk menggosok-gosok atau menggigit-gigit bagian yang terserang. Sekali tungau dapat berkembang mungkin seluruh permukaan tubuh dapat menderita. Gejala biasanya dimulai dari leher dan muka kemudian menyebar kebagian tubuh lainnya. Gejala paling awal/infeksi yang baru terjadi diikuti dengan pembentukan papula atau vesikula, disertai merembesnya cairan limfe. Hewan sangat menderita karena iritasi. Gejala yang dapat ditimbulkan oleh tungau ini adalah rasa gatal. Sehingga biasanya penderita yang sangat merasakan gatalnya diberbagi tubuh, dan menyebabkan hewan tidak tenang. Hewan tidak makan sebagai mana mestinya, yang lama kelamaan akan diikuti oleh kekurusan, kondisi hewan yang lemah akan lebih menderita (berat) dari pada hewan yang kondisinya bagus. Kulit terlihat berkerut, menebal, dan terdapat keropeng kering di atasnya. Parasit ini biasanya menyebabkan keradangan kronis (Anonimus,1991; Hartiningsih dkk,1999).


Diagnosis

Diagnosis dapat ditetapkan dari sejarah binatang tersebut yang berhubungan dengan rasa gatal pada kulit yang menjengkelkan dan keterlibatan binatang lain yang mungkin berhubungan dengan penyakit ini. Hal yang tidak boleh dilewatkan dalam mendiagnosis adalah goresan atau kerokan kulit yang dicurigai kemudian diperiksa di bawah mikroskup. Penegakan diagnosis ini didasarkan pada ditemukannya tungau melalui pemeriksaan kerokan kulit. Kerokan dilakukan pada kulit yang diduga terdapat Sarcoptes spp menggunakan pisau seteril sampai berdarah. Diagnosis biasanya sulit karena karena biasanya hanya sedikit parasit yang ditemukan pada kerokan kulit tersebut (Blood and Radostits ,1989).

Jika preparat kulit tersebut dibasahi dengan menggunakan NaCl fisiologis memungkinkan terlihatnya gerakan tungau yang masih hidup. Tapi perlu diketahui bahwa tungau yang terlihat tidak menjamin bahwa tungau tersebut adalah Sarcoptes spp, sehingga penggabungan dengan gejala klinis dan morfologinnya perlu di diperhatikan (Blood and Radostits ,1989).

Diagnosa banding terhadap penyakit ini perlu dipertimbangkan, karena ada beberapa diantaranya penyakit yang mirip. Seperti penyakit ketombe, ciri spesifik dari penyakit ketombe adalah kulit lunak dan mudah dilipat, serta pemeriksaan preparat kulit secara mikroskopik tidak ditemukan adanya parasit. Penyakit kadas, biasanya penyakit ini tidak disertai penebalan kulit dan ditemukannya spora yang menempel pada rambut. Kutu, scabies beda dengan kutu rambut karena kutu ini bisa dilihat dengan mata biasa serta tidak menyebabkan penebalan kulit hanya saja keduanya bias menghasilkan kropeng-kropeng dan rambut saling melekat.

Tungau Psoroptes, Notoedres, maupun Chorioptes biasanya menyerang pada bagian tubuh yang lain disamping pemeriksaan mikroskopiknya juga berbeda. Disamping itu perlu juga dibedakan dengan parasit Demodex, tentu sangat berbeda dengan scabies selain bentuknya , parasit demodex menyebabkan kudis yang sifatnya bernanah ataupun squamus (Belding,1965; Blood and Radostits ,1989).


Terapi

Dalam dermatologi veteriner berbagai terapi baru telah banyak memberikan keuntungan dalam pengobatan akibat penyakit parasit. Namun perlu diperhatikan terapi dengan cara baru serta penggunaan kombinasi dengan obat-obat yang telah dikenal beberapa tahun. Sehingga kesembuhan pasien dapat terjadi, selain itu sebelum dilakukan pengobatan efaluasai kondisi hewan perlu dilakukan (Dharmojono,2002).

Kudis biasanya dapat dikendalikan dengan cara pencelupan memakai akarisida. Beberapa produk bisa digunakan untuk mengatasi kudis akibat Sarcoptes spp ini. Sebelumnya rambut harus dipotong sekitar daerah yang rusak dipangkas selebar mungkin (alat pemangkas diseterilkan sebelum digunakan), hilangkan kotoran dan kulit keras, kemudian digosok dengan sabun + air, penggosokan yang efektif menggunakan gaummexane (lindane), pencelupan selama lima hari dengan lime-sulfur (calcium poly sulphide 2%) untuk hewan muda sangat anjurkan , coumaphos 0,3%, toxaphene 0,5%. Dimana dapat diperoleh formula celupan. Sebagian besar memerlukan pengulangan aplikasi dengan jarak waktu tiap minggu sampai terlihat proses kesembuhan (Anonimus,1991).

Amitraz adalah salah satu obat yang efektif untuk skabies namun penggunaan ini perlu hati-hati, karena ada kelebihan dan kekurangannya. Fungsi amitraz menghambat enzima mono amine-oxidase dan sintesa prostaglandin, serta bertindak sebagai antagonis dari reseptor oktopamin. Enzima mono amine-oxidase menjadi katalisator pemecah amin-nemotransmitter didalam caplak dan tungau, sedang oktopamin mampu meningkatkan kontaksi otot parasit. Suntikan invermectin (bila perlu diulang) akan membantu proses kesembuahan, namun perlu diketahui ivermectin bisa menyebabkan kontra indikasi pada anjing jenis colli (Amstutz, dkk,1998).

Ivermectin mempunyai sifat vermisidal dan acarisidal karena kesanggupannya berikatan dengan asam gamma aminobutirat (GABA) dan mengganggu saluran khlor (chlor pathway) hingga terjadi hiperpolarisasi mimbran sel dan selanjutnya menghambat hantaran syaraf, yang berakibat kelumpuhan syaraf pada otot perifer. GABA sendiri pada mamalia hanya menghambat hantaran syaraf pada susunan syaraf pusat, sedangkan pada nematoda dan artropoda pada mengatur hantaran syaraf sampai otot perifer (Subronto dan Ida Tjahajati 2001).

Hartiningsih dkk,(1999) menganjurkan anjing-anjing yang terkena kudis ini hendaknya dikurung atau diikat sehingga tidak bercampuir dengan anjing yang sehat lainnya karena dapat menularkan ke anjing keanjing yang lain (agen pembawa penyakit), dan diobati sampai benar-benar sembuh. Dengan demikian penyebaran penyakit dapat dihindari.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus,1991, Manual untuk Paramedis Kesehatan Hewan, PT Tiara Wacana Yogyakarta.


Belding D.L., 1965, Textbook of Parasitology, 3th edition, Meredith Publishing Campany New York.


Blood,D.C., and Rodostits, O.M., 1989, Veterinary Medicine, 7thedition, Bailliere Tindall.


Dharmojono,2002, Kapita Selekta kedokteran Veteriner (Hewan Kecil) 2, Pustaka Populer Obor, Jakarta.


Hartiningsih,N., Dharma. D.M.N., dan Rudiyanto, D., 1999, Anjing Bali Pemeliharaan dan Pelestarian, Kanisius, Yogyakarta.

Lavine,N.D., 1990, Parasitologi Veteriner, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.


Urquhart,GM. ,Armour,J., Duncan,J.L., Dunn,A.M.,and Jennings,F.W., 1996, Veterinary Parasitology, 2nd edition, The Faculty of veterinary Medicine The University of Glasgow Scotland.


Subronto dan Ida Tjahajati , 2001, Ilmu Penyakit Ternak II, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Hipersensitivas Dermatoses

Hipersensitivas Dermatoses


Hipersensitivas atau alergi dermatoses meliputi banyak orang penyakit kulit penting di (dalam) binatang. Flea-Bite hipersensitivas, atopy ( inhalant infeksi kulit alergi), dan makanan hipersensitivas adalah penyakit kulit kucing dan anjing penting.


Urticaria ( penyakit gatal bintik merah dan bengkak, bengkak panas, bengkak makanan, bengkak protein) mengacu pada penumpang sementara, dengan baik membatasi, edematous, sering bengkak [yang] pruritic [menyangkut] [itu] dermis. Pemrakarsa meliputi vaksin dan obat/racun, makanan, inhalant dan penyebab alergi kontak, agen cepat menyebar, dan serangga menggigit atau menyengat. Urticaria tidak imunologi boleh melibatkan faktor phisik seperti radiasi dingin, [yang] matahari, panas dan tekanan, tiang kapal yang cell-releasing agen seperti radiocontrast media, agen [yang] mempengaruhi metabolisme cuka arachidonic, . seperti (itu) aspirin dan faktor psycogenic.

gross Luka urticaria adalah berbagai, temporer, dengan baik membatasi, flatt-topped edematous papules atau tanda peringatan [yang] menyebabkan pengangkatan/tingginya [yang] focal [menyangkut] mantel rambut. Panas lokal tidak ada, dan lubang (galian) kecil luka dengan tekanan digital. Luka adalah sering dilihat pada [atas] wajah, leher cabang samping, bahu, dan rongga dada.


Makanan Hipersensitivas adalah luar biasa di (dalam) kucing dan anjing. Mekanisme makanan hipersensitivas boleh melibatkan jenis klasik yang manapun . Immunopathogenesis makanan hipersensitivityin binatang belum diterangkan. [yang] Segera ( di dalam beberapa menit ke jam) dan menunda ( di dalam beberapa jam ke hari) reaksi ke makanan telah dilaporkan. Banyak alergi makanan yang bereputasi baik *apakah mungkin nonimmunologic. reaksi Kurang baik yang dimasukkan ke makanan, ini meliputi reaksi idiosyncratic, toxicites, dan efek pharmakologis, seperti di (dalam) makanan yang berisi vasoactive amina. provokasi Test untuk menetapkan suatu hasil diagnosa pasti *apakah jarang dikerjakan. Di (dalam) anjing, makanan mencakup di (dalam) makanan hipersensitivas meliputi daging sapi, produk susu, kedelai, dan gandum; di (dalam) kucing, meliputi ikan, hati, ayam, dan produk susu. tanda makanan [yang] Yang klinis hipersensitivas adalah nonseasonal dan sering juga dengan kurang baik mau mendengarkan ke glucocorticoid therapy. Cutaneus sindrom berhubungan dengan makanan hipersensitivas adalah serupa [bagi/kepada] [yang] diuraikan itu sebelumnya untuk binatang keluarga kucing atopy: masase muka gatal-gatal, pinnal gatal-gatal, gatal-gatal generalizied, miliary infeksi kulit, granuloma eosinophilic luka kompleks, alopecia, dan urticaria, kudis.


Allergis infeksi kulit kontak menghadirkan hipersensitivas reaksi di/tertunda yang klasik, menengahi dengan T lymphocytes. pemicu Unsur adalah haptens, yang tidaklah*janganlah immunogenic sampai dihubungkan dengan suatu protein pengangkut. Pengangkut pada umumnya suatu epidermal protein. kontak Hipersensitivas jarang didokumentasikan di (dalam) kucing dan anjing. Ini mungkin (adalah) tiba, pada sebagian, kepada alam[i] [yang] yang bersifat melindungi [menyangkut] mantel rambut. Mungkin juga mempertunjukkan perbedaan jenis di (dalam) potensi untuk menaiki hipersensitivas di/tertunda reations di (dalam) kulit [itu]. Lain unsur berhubungan dengan kontak hipersensitivas di (dalam) kucing dan anjing meliputi berbagai obat mengenai pokok-pokok ( [yang] terutama sampo, neomycin), [pabrik/tumbuhan], rumah [yang] memperlengkapi, dan membersihkan produk. Suatu situasi unik adalah infeksi kulit [yang] yang yang depigmentating [menyangkut] bibir dan hidung melihat dengan reaksi kontak ke karet dan plastik ( mangkuk/pasu makanan, mainan kenyal). tanda Yang utama di (dalam) kontak hipersensitivas adalah suatu pruritic, erythrematous, maculopapular infeksi kulit. Luka kronis *apakah sedang kulit keras, scaling, alopecia, dan hiperpigmentation.


Flea-Bite hipersensitivas adalah format [yang] [yang] umum [dari;ttg] infeksi kulit alergi. Kutu [yang] yang terutama bertanggung jawab adalah Ctenocephalides felis dan C. canis. Pulex pengganggu kadang-kadang dilibatkan. Tidak ada kesukaan untuk flea-bite hipersensitivas di (dalam) kucing atau anjing, dan penyakit tidaklah*janganlah dihubungkan secara konsisten dengan jenis mantel. Walaupun kucing dan anjing boleh kembang;kan hipersensitivas pada manapun [umur/zaman], adalah jarang untuk tanda [yang] klinis untuk menghadap 6 bulan. Ada suatu kecenderungan untuk tanda [yang] klinis untuk [yang] lebih menjengkelkan di (dalam) musim panas dan musim gugur, kapan kutu adalah [yang] paling aktip, tetapi ini tergantung pada penempatan mengenai ilmu bumi dan derajat tingkat pengerumunan [menyangkut] envoironment [itu]. Awal tanda klinis adalah gatal-gatal. Di (dalam) langkah yang akut, luka sekunder adalah jerawat, kulit keras, alopecia, dan tambalan [yang] tidak beraturan [dari;ttg] infeksi kulit lembab, yang mengikuti pukulan tetap. luka kronis Pertunjukan yang bermacam-macam derajat tingkat alopecia, scaling, kulit keras, dan hiperpigmentation. Lokasi adalah lumbosacrum yang di belakang, caudomedial paha dan caudoventral abdomen.


Staphylococcal hipersensitivas di (dalam) anjing adalah suatu sindrom [yang] dermatologic jarang percaya untuk diakibatkan oleh suatu reaksi alergi ke antigents Staphylococcus intermedius. Pathogenesis yang tak dikenal. Hipersensitivas hasil bakteri boleh juga menemani lain alergi ( atopy, makanan) dan hypothyroidism. Luka nampak tiba-tiba pada [atas] abdomen yang yang mengenai sirip perut dan menyebar dengan cepat untuk melibatkan rongga dada yang cabang samping dan thoraco-lumbar area di belakang. Luka adalah bulla hemorraghic, erythematous jerawat dan tanda peringatan seborrheic.


Obat/racun Letusan *apakah adakalanya dilaporkan di (dalam) kucing dan anjing. Obat/Racun yang bertanggung jawab untuk letusan kulit mungkin (adalah) diatur dengan lisan, secara mengenai pokok-pokok, atau oleh suntikan. Manapun obat/racun boleh menyebabkan suatu letusan, dan tidak (ada) jenis spesific reaksi secara konsisten diproduksi oleh tiap orang obat/racun. obat/racun [yang] Yang paling umum yang regocnized untuk menghasilkan hipersensitivas reaksi adalah sulfonamides dan penisilin. Ulcerative luka menyembuhkan dengan hiperpigmentation ketika obat/racun *apakah menarik mundur, tetapi kambuh di lokasi yang sama, dengan vesiculation, terjadi ketika anjing *apakah ditantang kembali. Mekanisme [yang] mendasari letusan obat/racun ditetapkan;perbaiki yang tak dikenal.


Infeksi kulit sebagai hasil alergi ke endoparasites dengan kurang baik didokumentasikan kondisi di (dalam) kucing dan anjing. [Itu] didalilkan reaksi [yang] kebal Ige-Mediated itu ke gastrointestinal nematode antigens boleh mempengaruhi hipersensitivas reaksi di (dalam) kulit [itu]. Gatal-Gatal adalah tanda [yang] klinis yang utama dan dihubungkan yang manapun dengan kulit [yang] normal. [Yang] adakalanya urticarial luka hadir. Dirofilaria immitis microfilariae telah dihubungkan dengan papulonodular infeksi kulit pruritic di (dalam) anjing. Luka *apakah paling umum ditemukan pada [atas] kepala dan wajah, (di) atas batang/belalai, dan pada [atas] proximal [otot/dahan/anggota]. Luka sungguh [baik] circum-scribed, perusahaan, alopecia, dan sering juga membisul.

Hexamine

Hexamine (Methenamine hippurate/ Hexamine hippurate) dan (Hiprex*; Methenamine dan sodium acid phosphate)

Methenamine digunakan sebagai antiseptik sistem urinari untuk kontrol jangka panjang pada infeksi saluran urinari. Tidak dapat diberikan sendiri karena bukan bakteriostatik. Efektif pada urin yang bersifat asam. Sediaan 150 mg monosodium phosphate tablet; 1 g methenamine hippurate (Hiprex) tablet. Dosis untuk anjing 1 – 3 tablet methenamine/ sodium acid phosphate sehari satu kali atau 500 mg methenamine sehari dua kali. Kontraindikasi methenamine dapat menyebabkan gangguan pada gastrointestinal, iritasi vesika urinaria, kerusakkan ginjal yang berat, dehidrasi, dan metabolik asidosis. Efektifitas obat akan berkurang jika digunakan pada urin yang bersifat alkali (Tennant, 2002).

pruritis

Sistem integumentum adalah jaringan yang melindungi tubuh, meliputi kulit, rambut (atau bulu), dan kuku (atau cakar). Seringkali kondisi kulit dan rambut mencerminkan kondisi kesehatan hewan kerena dua alasan. Pertama karena gangguan kesehatan yang mendasar akan mempengaruhi sirkulasi vaskular atau suplai nutrien. Kedua karena hewan yang sakit seringkali segan untuk membersihkan diri atau secara fisik tidak mampu (Agar, 2003).

Kulit yang sehat adalah kulit yang memiliki elastisitas baik, tampak bersih, dan tidak ada bagian kulit yang kemerahan atau basah. Selain itu kulit yang sehat tidak kering, tidak bersisik, dan tidak tampak lebih abu-abu. Lapisan rambut yang sehat tampak mengkilap, tanpa ujung rambut yang patah, tipis, atau pecah-pecah. Sedangkan untuk tekstur dan ketebalan rambut berbeda-beda sesuai dengan jenis ras (Agar, 2003).

Alergi makanan dapat didefinisikan sebagai reaksi imunologi dasar terhadap makanan. Pada sebagian besar kasus, etilogi yang pasti masih belum sepenuhnya dimengerti. Hipotesanya adalah mekanisme imunologi tipe I-IV. Sebaliknya, pada kejadian intoleransi terhadap makanan secara umum tidak ada reaksi imunologi dasar, termasuk kejadian keracunan makanan (disebabkan langsung oleh aksi toksin). Secara teoritis sebagian besar makanan yang dapat menjadi alergen adalah protein (White, 2005).

Jenis kelamin dan ras bukanlah predileksi kasus alergi makanan. Tetapi ada penelitian lain yang menyebutkan bahwa terdapat beberapa ras anjing yang memiliki resiko alergi makanan. Ras tersebut adalah: Soft-Coated Wheaton Terrier, Dalmatian, West-Highland White Terrier, Collie, Chinese Shar Pei, Llasa Apsa, Cocker Spaniel, Springer Spaniel, Miniature Schnauzer, Labrador Retriever Dachshund, dan Boxer. Data dari Colorado State University menunjukkan bahwa ras retriever mempunyai resiko tertinggi mengalami alergi makanan dibandingkan dengan ras lainnya. Meskipun catatan umur bervariasi, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa 33% kasus terjadi pada umur di bawah satu tahun. Jadi meskipun kejadian alergi makanan dapat terjadi pada semua umur, namun pada anjing berumur kurang dari satu tahun kejadian pruritis dapat diwaspadai sebagai kejadian alegi makanan (White, 2005).

Biasanya kejadian alergi makanan menyebabkan pruritis, namun tidak ditemukan adanya eksternal parasit dan tidak tergantung musim (Strombeck, 1999). Sangat jarang terjadi terdapat lesi pada kulit tetapi tanpa pruritis. Lesi kulit yang pertama sering timbul adalah papula dan eritrema; lesi yang kedua adalah epidermal collarettes (biasanya mengindikasikan pyoderma), pyotraumatic dermatitis (“hot spots”), hyperpigmentation, dan seborrhea (White, 2005).

Salah satu bentuk alergi pada kulit karena alergen makanan adalah pruritis pada kaki, wajah, telinga, dan bagian bawah tubuh. Bentuk lain dari alergi makanan dapat menyerang bagian tubuh manapun. Pengaruhnya pada telinga adalah otitis eksterna. Biasanya otitis eksterna dapat diobati dengan antibiotik. Ketika otitis eksterna tidak sepenuhnya sembuh atau kembali timbul setelah pengobatan dihentikan, kemungkinan alergi makanan adalah penyebabnya (Strombeck, 1999).

Sulit dibuktikan diagnosa untuk alergi makanan. Tidak ada tes laboratorium yang menunjukkan bahwa alergi makanan adalah penyebab terjadinya gangguan pada kulit ataupun gastrointestinal. Tes kulit intradermal sering digunakan untuk mengidentifikasi jenis alergen yang menyebabkan gangguan kulit. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa tes kulit dapat diandalkan untuk membuktikan alergen makanan. Tes untuk alergi makanan dapat juga meliputi radioallergosorbent test (RAST) dan enzyme-linked immunosorbent (ELISA). Tes tersebut dapat mendeteksi antibodi yang melawan alergen (alergen makanan). Beberapa masalah kulit kronik dapat dievaluasi dengan tes darah dan biopsi kulit. Jumlah komponen darah dan kimia darah hanya sedikit memberikan informasi yang bermanfaat untuk mengidentifikasi alergi atau intoleransi terhadap makanan. Biopsi kulit tidak pernah menunjukkan perubahan yang mengindikasikan alergi makanan. Semua perubahan yang ditemukan pada biopsi tidaklah spesifik, contohnya radang (Strombeck, 1999).

Terapi dermatitis karena alergi makanan meliputi menghilangkan alergen (sebagian besar adalah protein) dan mengganti formula pakan (Day, 1999; Strombeck, 1999). Terapi tambahan (antimikrobial, antiinflamantori) mungkin diperlukan pada awal kejadian (Day, 1999).

Terkadang pruritis terus berlanjut selama beberapa bulan setelah pergantian pakan. Direkomendasikan untuk mengontrol pakan selama 60 hari sebelum membuat kesimpulan tentang pruritis yang tidak diketahui penyebabnya dan berlangsung lama (Strombeck, 1999).

Ivomex


Ivomex adalah suatu obat anti ektoparasit dan anti endoparasit. Ivomec merupakan larutan ivermektin 1,0 w/v steril yang siap pakai. Ivermektin dihasilkan lewat proses fermentasi dari Streptomyces avermitis. Pemberian secara peroral memiliki half-life 10-12 jam. Ekskresinya sebagian besar bersama feses dan hanya 2% lewat urin. Dosis yang dianjurkan pada anjing secara peroral adalah 300 mcg/kg berat badan dengan konsentrasi obat 1% (Rossof, 1994).

Mekanisme kerjanya dengan merangsang pelepasan inhibitor neurotransmitter GABA dan mempotensiasi perlekatan GABA pada spesifik neural junction invertebrata, sehingga terjadi paralisa ringan inkoordinasi irreversibel dan parasit mati (Brander, 1991).

Nufadipect

Nufadipect

Setiap 1 tablet Nufadipect mengandung bromheksin HCL 8 mg yang bersifat mukolitik dan Gliseril Guaiakolat 100 mg yang bersifat ekspektoran. Bromheksin adalah derivat sintetik dari vasicine, suatu zat aktif dari Adhatoda vasica. Bromheksin mengencerkan sekret saluran nafas dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari eksudat. Obat ini digunakan sebagai mukolitik pada bronkhitis atau kelainan saluran nafas yang lain. Efek samping pada pemberian oral berupa mual (Ganiswarna, 2001). Dosis Bromheksin pada anjing sebesar 2-2,5 mg/kg secara peroral setiap 12 jam Antibiotik ini bersifat bakteriosidal dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri yaitu menghambat transpeptidasi rangkaian reaksi sel bakteri kemudian terjadi lisis dinding sel akibat tekanan osmotik dalam sel bakteri lebih tinggi.

Gliseril Guaiakolat merupakan ekspektoran yang dapat merangsang pengeluaran dahak dari saluran nafas. Mekanisme kerjanya berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya secara reflek merangsang sekresi kelenjar saluran nafas lewat N. Vagus, sehingga menurunkan viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. Efek samping yang mungkin timbul dengan dosis besar, berupa kantuk, mual, dan muntah (Ganiswarna, 2001).


Leukocytosis

Leukositosis merupakan peningkatan jumlah leukosit yang melebihi range/kisaran jumlah normal leukosit per mikroliter. Adanya peningkatan jumlah salah satu tipe leukosit saja (misalnya peningkatan neutrofil) sudah dapat menyebabkan leukosistosis, atau disertai juga peningkatan jumlah komponen sel-sel leukosit yang lain. Peningkatan jumlah neutrofil sering menyebabkan leukositosis, dibanding dengan peningkatan jummlah sel-sel yang lainnya. Derajat leukositosis dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain respon spesies hewan terhadap stres, jenis infeksi, resistensi hewan dan respon lokalisasi daerah keradangan. Pada dasarnya leukositosis dapat disebabkan oleh faktor fisiologis dan patologis (Haryono, 1993).

1. Leukositosis fisiologis

Leukositosis bentuk ini disebabkan oleh proses fisiologis pada hewan dan bukan disebabkan adanya penyakit. Perubahan leukosit pada kondisi ini berkaitan dengan meningkatnya aktivitas otot peningkatan tekanan darah serta dilepaskanya hormon epineprin dan kortikosteroid. Leukositosis fisiologis hanya bersifat sementara, dan keadaanya akan pulih setelah beberapa jam kemudian.

  • Pengaruh hormon epineprin

Pada hewan dalam kondisi istirahat, sejumlah leukosit berada marginal pool. Sekresi hormon epineprin dari medula adrenalis, menyebabkan kontraksi pembuluh darah dan kapiler bed serta kelenjar limfe sehingga leukosit yang berada di marginal pool akan ke sirkulai darah sehingga menyebabkan leukositosis. Leukositosis karena pengaruh hormon ini tidak disertai munculnya neutropil muda dalam sirkulasi tapi akan banyak dijumpai neutropil dewasa. Leukositosis karena pengaruh hormon ini juga dapat disertai peningkatan jumlah limfosit (limfositosis).

  • Pengaruh hormon kortikosteroid

Pelepasan adrenocorticotropic hormone (ACTH) di kortek adrenal sebagai respon fisiologis atau penyakit menyebabkan perubahan pada jumlah dan deferential leukosit. Perubahan yang sama pada hewan yang diinjeksi kortikosteroid. Leukositosis jenis ini ditandai dengan neutropilia limfopenia dan eosinopenia.

Leukositosis fisiologis biasanya dapat terjadi pada keadaan; latihan berat, ketakutan, kekuatiran, kegaduhan, lingkungan baru, handling yang dilakukan orang baru, dan rasa sakit pada hewan. Juga terjadi pada saat kehammilan serta partus (Haryono, 1993).

  1. Leukositosis Patologis

Peningkatan jumlah leukosit disebabkan adanya suatu penyakit, dan sifat leukositosis yang terjadi dapat bersifat reversibel atau irreversibel.

  1. Leukosistosis reverrsibel

Disebabkan oleh infeksi, baik infeksi yang terjadi secara lokal ataupun secar umum. Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, protozoa atau riketsia. Intoksikasi endogen (uremia, diabetes melitus dalam keadaan ketoacodosis, toksin yang dihasilkan di usus) Intoksikasi eksogen (Pb, Hg, Th, Insektisida), protein asing (Injeksi serum, vaksinasi), endokrin (kortikosteroid, ACTH, tiroksin, adrenalin, dan penyakit syaraf.

  1. Leukositosis irreversibel, contohnya; Leukemia

Berdasarkan analisis kasus, mulai dari anamnesa dari pemilik, pemeriksaan umum dari pasien dan didukung oleh pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan darah dan feses) bahwa, gangguan pada tractus gastrointestinal yang terjadi pada kucing “ucyl” bisa dihubungkan dari diet, yang kemudian berlanjut pada infeksi sekunder oleh bakteri. Pathofisilogis jelasnya sebagi berikut;

b. Leukositosis dan neutrophilia

Kekebalan pada GI hospes mempunyai peran penting dalam pertahanan terhadap infeksi pada GI. GI secara normal dalam keadaan peradangan physiologic dalam kaitan dengan kehadiran neutrophils, makrofage, sel plasma dan Lymphosit (Boothe, 2001). Peningkatan Leukosit dan neutrophil pada kucing “Ucyl”, bervariasi dari stress neutrophilia sampai neutrophilia akibat peningkatan kebutuhan jaringan untuk proses fagositosis (peradangan) akibat adanya infeksi sekunder bakteri. Stress menyebabkan pelepasan cortikosteroid yang akan menurunkan perlekatan neutrophil pada dinding pembuluh darah dan emigrasi neutrophil dari darah. Neutrophilia juga terjadi bila, kecepatan emigrasi sel lebih kecil dari kecepatan pelepasan sel dalam sumsum tulang. Pelepasan (release) neutrophil dari sumsum tulang ini dipromosikan oleh plasma factor, yaitu; Lukocytosis-inducing faktor (LIF), konsentrasi LIF meningkat oleh adanya bakteri dan produk toxinnya Leukocytosis. Adanya peningkatan jumlah salah satu tipe leukosit saja (misalnya peningkatan neutrofil) sudah dapat menyebabkan leukosistosis, atau disertai juga peningkatan jumlah komponen sel-sel leukosit yang lain. Peningkatan jumlah neutrofil sering menyebabkan leukositosis, dibanding dengan peningkatan jummlah sel-sel yang lainnya. Derajat leukositosis dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain respon spesies hewan terhadap stres, jenis infeksi, resistensi hewan dan respon lokalisasi daerah keradangan. Pada dasarnya leukositosis dapat disebabkan oleh faktor fisiologis dan patologis (Haryono, 1993).

Dari berbagai analisa kasus pada kucing Ucyl serta didukung dengan pemeriksaan darah, dapat disimpulkan gangguan pada GI pada kucing Ucyl telah berlanjut pada infeksi/ peradangan yang disebabkan oleh bakteri, sehingga didiagnosa bahwa kucing Ucyl menderita Gastroenteritis.

Leukositosis merupakan peningkatan jumlah leukosit yang melebihi range/kisaran jumlah normal leukosit per mikroliter. Adanya peningkatan jumlah salah satu tipe leukosit saja sudah dapat menyebabkan leukositosis, atau disertai jumlah komponen sel-sel leukosit yang lain. Peningkatan jumlah neutrofil sering menyebabkan leukositois, dibanding dengan peningkatan jumlah sel-sel yang lainnya. Derajat leukositosis dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain respon spesies hewan terhadap stress, jenis infeksi, resistensi hewan dan respon lokalisasi daerah keradangan. Pada dasarnya leukositosis dapat disebabkan oleh faktor fisiologis dan patologis (Hariono, 1993).

Leukositosis fisiologis. Leukositosis bentuk ini disebabkan oleh proses fisiologis pada hewan dan bukan disebabkan oleh penyakit. Perubahan leukosit pada kondisi ini berkaitan dengan meningkatnya aktivitas otot peningkatan tekanan darah serta dilepaskannya hormon epinephrin dan kortikosteroid. Leukositosis fisiologis hanya bersifat sementara dan keadaannya akan pulih setelah beberapa jam kemudian. Leukositosis fisiologis biasanya dapat terjadi pada keadaan latihan berat, ketakutan, kekhawatiran, kegaduhan, lingkungan baru, handling yang dilakukan oleh orang baru dan rasa sakit pada hewan. Juga terjadi saat kebuntingan dan partus (Hariono, 1993).

Neutrofilia. Peningkatan leukosit dan nutrofil pada gambaran darah kucing “Icut” mungkin terjadi akibat peningkatan kebutuhan jaringan untuk proses fagositosis (peradangan) akibat adanya infeksi sekunder bakteri. Stres juga dapat menyebabkan pelepasan kortikosteroid yang akan menurunkan perlekatan neutrofil pada dinding pembuluh darah dan migrasi neutrofil dari darah. Neutrofilia juga terjadi bila kecepatan migrasi sel lebih kecil daripada kecepatan pelepaan sel dalam sumsum tulang. Pelepasan (release) neutrofil dari sumsum tulang ini dipromosikan oleh plasma faktor, yaitu leukcocytosis-inducing factor (LIF), konsentrasi LIF meningkat oleh adanya bakteri dan produk toksinnya. Peningkatan jumlah neutrofil ini seringkali menyebabkan lukositosis, dibandingkan dengan peningkatan jumlah sel-sel lainnya. Derajat leukositosis dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain respon spesies terhadap stress, jenis infeksi, resistensi hewan dan respon lokalisasi daerah keradangan. Pada dasarnya leukositosis dapat disebabkan oleh faktor fisiologis dan patologis (Hariono, 1993).



KOLITIS

KOLITIS

Kolitis adalah radang pada kolon. Radang ini disebabkan akumulasi cytokine yang mengganggu ikatan antar sel epitel sehingga menstimulasi sekresi kolon, stimulasi sel goblet untuk mensekresi mucus dan mengganggu motilitas kolon. Mekanisme ini menurunkan kemampuan kolon untuk mengabsorbsi air dan menahan feses ( Tilley et al, 1997).

Gejala-gejala yang sering muncul pada kasus kolitis antara lain ( Tilley et al, 1997) :

  • Diare kronis yang seringkali disertai dengan mucus dan darah

  • Feses bervariasi dari semi padat sampai cair

  • Peningkatan frekuensi defekasi dengan jumlah feses yang dikeluarkan sedikit

  • Tenesmus yang lama setelah defekasi

  • Pada anjing sering disertai muntah

  • Penurunan berat badan jarang

  • Hasil pemeriksaan fisik biasanya normal

Pemeriksaan darah sering didapatkan hasil yang normal, dimungkinkan adanya neutrophilia dengan left shift. Anemia microcytic hypocromic bisa terjadi pada pasien yang mengalami diare berdarah kronis. Pada penderita yang sudah kronis dapat terjadi hyperglobinemia ( Tilley et al, 1997).

Kolitis bisa menjalar ke belakang sehingga menyebabkan proktitis. Penyebab dari kolitis ada beberapa macam antara lain ( Tilley et al, 1997) :

  • Infeksi : Trichuris vulpis, Ancylostoma sp, Entamoeba histolytica, Balantidium coli, Giardia spp, Trichomonas spp, Salmonella spp, Clostridium spp, Campylobacter spp, Yersinia enterolitica, Escherichia coli, Prototheca, Histoplasma capsulatum, dan Phycomycosis.

  • Trauma : benda asing, material yang bersifat abrasif.

  • Alergi : protein dari pakan atau bisa juga protein bakteri.

  • Polyps rektokolon

  • Intususepsi ileokolon

  • Inflamasi : Lymphoplasmacytic, eoshinophilic, granulopmatous, histiocytic

  • Neoplasia : Lymphosarcoma, Adenocarcinoma

  • Sindrom iritasi usus besar (Irritable Bowel Syndrome)

DIARE

DIARE

Diare merupakan peningkatan frekuensi pengeluaran feses yang mengandung air melebihi normal (Lewis et al, 1992; Nelson, RW and Couto, CG., 2003). Faktor penyebab diare dapat dikelompokkkan dalam 3 kelompok (Kirk and Bistner, 1985) :

  1. Gangguan fungsional - alergi makanan dan obat, cacat digesti, cacat absorpsi dan aspek psikologi.

  2. Penyakit metabolik atau penyakit umum yang mempengaruhi saluran pencernaan – uremia, congestive heart failure, liver chirrhosis, hypoadrenocorticism, dan keracunan logam berat.

  3. Penyakit intrinsik pada usus – bakteri, fungi, protozoa, metazoa parasit, virus dan radang non spesifik.


Mekanisme terjadinya diare dapat dibedakan dalam beberapa tipe (Lewis et al, 1992) :

  1. Perubahan motilitas usus

Perubahan motilitas usus dapat terjadi sebagai akibat adanya radang usus, sehingga usus (terutama usus besar) tidak mampu menahan laju isi usus dan terjadi diare.

  1. Sekresi aktif

Sekresi aktif dapat disebabkan karena kerusakan usus atau karena penyakit sistemik seperti congestive heart failure ataupun hepatic congestion. Kedua penyakit tersebut menyebabkan peningkatan tekanan hidrolik pada vena mesenterica sehingga mendorong keluarnya cairan ke lumen usus.

  1. Sekresi pasif / peningkatan osmolalitas

Peningkatan osmolalitas dapat disebabkan oleh maldigesti akibat kekurangan enzim pancreatik, garam empedu ataupun enzim disakaridase. Kekurangan enzim-enzim tersebut akan menyebabkan karbohidrat, lemak, protein tidak terabsorbsi dengan baik. Pakan yang tidak terabsorbsi tersebut akan diubah menjadi asam laktat dan asam lemak volatil oleh bakteri di kolon. Ini akan menyebabkan penurunan pH (asam) dan peningkatan osmolalitas, yang akhirnya menimbulkan watery diare.

  1. Peningkatan permeabilitas (exudatif)

Peningkatan permeabilitas dapat disebabkan karena adanya toxin bakteri yang menyerang sel epitel gastrointestinal. Rusaknya epitel akan menyebabkan aktivasi enzim adenylcyclase yang akan mengkatalis perubahan ATP menjadi cyclic AMP. Cyclic AMP ini akan meningkatkan permeabilitas sel.


Berdasarkan lamanya, diare dapat dibedakan menjadi dua yaitu diare akut dan diare kronis. Diare akut biasanya disebabkan oleh pakan, parasit ataupun karena penyakit infeksi. Diare kronis pada hewan, pertama kali harus dicurigai adanya parasit seperti nematoda, Giardia, Tritrichomonas. Parasit ini dapat diketahui dengan pemeriksaan feses. Pada diare kronis perlu dibedakan penyebabnya pada usus halus atau usus besar ( Nelson, RW and Couto, CG., 2003).

Gejala Klinis yang berhubungan dengan Diare Kronis dan lokasi usus yang mengalami gangguan (Kirk and Bistner, 1985) :

Gejala Klinis

Usus halus

Usus besar

Nafsu makan


Penurunan berat badan

Muntah

Bersendawa

Flatulence

Kembung

Kuantitas feses

Jumlah feses per hari

Tenesmus

Pengujian umum feses :

Darah

Mucus

Lemak

Pengujian rektal

Bisa meningkat atau menurun

Bisa muncul

Kadang2 sampai sering

Kadang2

Sering

Sering

Banyak

Mendekati normal

Jarang


Gelap, hitam

Tidak ada

Bisa ada

Normal

Normal


Minimal

Kadang2

Jarang

Jarang

Jarang

Sedikit

Lebih banyak

Sering


Segar, merah

Ada

Tidak ada

Darah, mucus, rasa sakit



Penyebab utama terjadinya diare kronis pada usus besar antara lain (Nelson, RW and Couto, CG., 2003) :

  • Anjing : alergi makanan, parasit (cacing, Giardia, Tritrichomonas), colitis clostridial, gangguan fungsi, histoplasmosis, radang usus besar ( Lymphocytic-plasmacytic colitis, Eosinophilic colitis, Chronic ulcerative colitis, Histiocytic ulcerative colitis), neoplasia.

  • Kucing : alergi makanan, radang usus besar ( Lympocytic-plasmacytic colitis), gangguan fungsi, infeksi virus.

Kehilangan cairan dan elektrolit merupakan akibat dari diare yang perlu diwaspadai. Air, sodium, chloride, bicarbonat dan potassium merupakan unsur-unsur utama yang hilang dari tubuh. Kehilangan air, sodium dan chloride akan menyebabkan dehidrasi. Kehilangan bicarbonat akan menimbulkan asidosis metabolik, sedangkan kehilangan potassium akan menyebabkan kelemahan, penurunan nafsu makan ( Lewis, et al., 1992)

CANINE DISTEMPER VIRUS



Distemper pada anjing adalah merupakan ancaman serius, mungkin merupakan ancaman utama pada anjing. Distemper adalah suatu penyakit yang menular pada anjing, serigala, anjing hutan, rakun, cerpelai, dan sejenis musang (Dharmojono, 2001).

Canine distemper lebih sering menyerang pada anjing muda yang berumur 3-.9 bulan. Ini biasa terjadi pada hewan di bawah tekanan atau anjing yang terisolasi dari anjing lainnya. Penyakit distemper kira-kira 90% pada anjing berakibat fatal jika tidak ada perawatan pada anjing yang menderita distemper tersebut. Jika ada anjing yang bisa bertahan, maka banyak yang akan menderita kerusakan permanent pada sistem saraf ( otak dan tulang belakang), parsial atau total kelumpuhan sering terjadi, atau otot /anggotagerak tidak dapat dikendalikan sehingga terdapat gangguan secara berkala (Lane dan Cooper, 2003).

Radius penyebaran distemper dapat mencakup seluruh dunia, cara penularan penyakit ini melalui kontak langsung dan udara. Penyakit ini menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada populasi anjing yang tidak divaksinasi di seluruh dunia (Anonimus, 2004). Morbiditas mencapai 25 %-75%, sedangkan mortalitas mencapai 50%-90% (Ettinger, 1989).

ETIOLOGI

Virus distemper termasuk virus yang besar ukurannya. Diameternya antara 150-300 um dengan nukleocapsid simetris (nucleocapsid of helical symetryl) dan terbungkus lipoprotein (lipoprotein envelope). Virus distemper terdiri atas 6 struktur protein yaitu Nukleoprotein (N) dan 2 enzim (P dan L) pada nukleocapsidnya, juga membran protein (M) di sebelah dalam dan 2 protein lagi (H dan F) pada bungkus lipoprotein di sebelah luar. Hemaglutinasi protein hanya terjadi pada virus measle tetapi tidak pada virus morbili lainnya (Dharmojono, 2001).

Virus distemper termasuk dalam famili Paramyxoviridae, genus morbilivirus dan spesies Canine Deistemper Virus. Terdapat hanya satu serotipe virus, tetapi galur beraneka ragam. Virus menjadi tidak aktif dengan cepat pada temperatur 37ÂșC dan dalam beberapa jam pada temperatur kamar. Desinfektan dengan mudah dapat merusak infektivitas virus (Fenner dkk, 1993).

PATOGENESIS

Penularan virus lewat udara menyebabkan infeksi ke dalam sel makrofag alat pernafasan. Virus mula-mula akan berkembang di dalam kelenjar getah bening lokal dan kemudian dalam 7 hari ke seluruh jaringan kelenjar getah bening. Dalam 3-6 hari setelah infeksi virus distemper suhu badan akan meninggi dan interferon virus mulai masuk ke dalam peredaran darah. Dalam minggu kedua dan ketiga pasca infeksi, anjing mulai membentuk zat kebal baik humoral maupun seluler untuk merespon infeksi dan jika mampu mengatasi virus distemper anjing tersebut akan sembuh tanpa menunjukkan gejala klinik. Apabila tidak mampu mengatasi virus tersebut maka anjing tersebut akan memperlihatkan penyakit baik akut atau subakut (Dharmojono, 2001).

Anjing yang tidak mampu mempertahankan diri pada fase awal, maka akan diikuti terjadinya viremia dan infeksi diseluruh organ limphatik, kemudian limfosit dan makrofag yang terinfeksi akan membawa virus ke permukaan epitel dari alat pencernaan, alat pernafasan, dan saluran urogenital sampai ke susunan syaraf pusat (CNS) (Merck and Co, 1986).

Strain virus yang mampu menginfeksi secara akut dan fatal secara jelas kelihatan merusak CNS. Gejala-gejala CNS dapat timbul pada anjing yang sebelumnya tidak memperlihatkan penyakit ini (Dharmojono, 2001).

GEJALA KLINIK

Gejala klinis pada kasus akut ditandai timbulnya demam dan kematian secara mendadak. Anoreksia, pengeluaran lendir, konjungtivitis dan depresi biasa terjadi selama stadium ini (Fenner dkk, 1993). Setelah masa inkubasi 3-7 hari, anjing yang terinfeksi menderita 2 fase : 1) Fase mukosa : ditandai dengan gejala muntah dan diare, kulit yang tebal dan keras pada hidung serta bantalan kaki (”Hard Pad Disease”), 2) Fase Neurology/saraf (gejala klasik dimulai dari gemeretak dan gemetar dari rahang, gangguan hebat ke seluruh tubuh :”Chewing Gum Fit”): tremor, hilang keseimbangan dan tungkai menjadi lemah, jika keadaan melanjut bisa menyebabkan kematian atau dapat juga menjadi non progresif dan permanen (Anonimus, 2004).

Beberapa anjing terutama dapat menderita gangguan pernafasan dan juga terjadi gangguan pencernaan. Gejala pertama dari bentuk pulmonaris (paru) adalah peradangan cair dari laring dan bronchi, tonsillitis dan batuk. Selanjutnya terjadi bronchitis atau bronchopneumonia cair dan kadang-kadang pleuritis. Sehingga hewan menunjukkan dyspnoe dan takypnoe. Kemudian terlihat adanya akumulasi mukopurulen didaerah canthus medial mata, anjing terlihat depresi dan anoreksia kemudian berkembang menjadi diare. Gejala saluran pencernaan meliputi muntah yang hebat dan mencret berair. Setelah mulainya penyakit, gangguan syaraf pusat dapat diamati pada sejumlah anjing, dicirikan oleh perubahan tingkah laku, pergerakan yang dipaksakan, spamus, serangan menyerupai ayan, ataxia, dan paresis (Merck and Co, 1986).

Pada beberapa penderita akan memperlihatkan gejala CNS dan diikuti gejala penyakit sistemik. Gejala CNS antara lain : hiperestesia, depresi, ataxia, paresis atau paralisa, dan tremor otot, encephalitis. Pada anjing tua adanya gejala encephalitis sangat berkurang sejak diperkenalkannya vaksin aktif distemper. Encephalitis dapat menyebabkan kerusakan mental yang fatal (Dharmojono, 2001). Gejala klinis lain diantaranya, hewan selalu ingin tidur , hyperkeratosis pada hidung dan bantalan kaki dan lesi pada syaraf mata dan retina (Tilley and Smith, 2000).

DIAGNOSA

Canine distemper virus dapat didiagnosa berdasarkan riwayat hidup, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium (Nelson and Couto, 2003).

Pemeriksaan antemortem diantaranya : tes hematology, imunofluresensi, dan tes ELISA untuk antibody spesifik distemper. Pada tes hematology dalam keadaan akut limfopenia dan thrombositopenia dapat ditemukan dan monosit bertambah. Disamping itu jumlah IgG dan IgA berkurang sedangkan level IgM masih normal. Jika keadaan subakut atau kronis jumlah immunoglobulin tersebut masih normal. Pada tes imunofluoresensi atau imunositokhemistri jika keadaan akut antigen virus dan atau badan inklusi dapat terlihat di dalam sel darah putih dan preparat sentuh dari konjunktiva dapat terlihat di sel darah putih dan preparat sentuh dari konjungtiva atau vagina, aspirasi bronchial, sediment urin dan cairan cerebrospinal. Partikel-partikel virus dalam feses dapat terlihat melalui mikroskop electron. Pada keadaan subakut dan kronis tes tersebut dapat berhasil negative, tetapi kenegatifan ini tidak dapat menjadi pegangan. Test ELISA untuk IgM spesifik distemper sangat perlu. IgM akan berada di dalam tubuh anjing penderita untuk waktu 5 minggu hingga 3 bulan tergantung pada strain distemper dan respon penderita. IgM pada anjing yang divaksinasi akan ada selama ± 3 minggu (Dharmojono, 2001).

Pada pemeriksaan postmortem diantaranya : tes imunofluoresensi, histopatologi, serta isolasi virus dan PCR. Pada tes imunofloresensi atau imunositokhemistri, antigen terhadap distemper yang dapat didemonstrasikan dari preparat apus bisa berasal dari limfosit, epitel lambung, paru atau kandung kemih, otak kecil, dan batang otak. Diagnosis berdasarkan histopatologi dengan menggunakan lesi yang terdapat pada jaringan limfe dan CNS bersama adanya badan inklusi dalam CNS, paru, lambung, epitel kandung kemih. Isolasi virus biasanya tidak dilakukan bila digunakan untuk diagnosa secara rutin karena memerlukan waktu yang lama dan biayanya mahal. Isolasi virus dengan melakukan kultur langsung dari jaringan otak, paru, ginjal atau sel kandung kemih dari anjing penderita merupakan pendekatan terbaik. Inokulasi pada kultur makrofag atau limfosit dengan suspensi paru, otak, dan jaringan limfatik dapat pula dicoba (Dharmojono, 2001).

DIFERENSIAL DIAGNOSA

Diferensial diagnosa dari distemper pada anjing yaitu rabies, pneumonia. Infeksi B. bronchiseptica, idiopatik epilepsy , hipoglikemia, trauma CNS dan gagal ginjal (Schaer, 2003). Sedangkan menurut Tilley and Smith (2000) adalah kennel cough dapat meyebabkan penyakit respirasi, gejala enteritis merupakan differesial diagnosa dari infeksi CPV dan corona virus, infeksi bakteri, gastroenteritis dan penyakit radang bowel.



TERAPI

Terapi untuk CDV menigoencephalomyelitis yang akut adalah terapi supportif (Nelson and Couto, 2003). Tidak ada obat anti virus yang efektif, sehingga terapi distemper tidak spesifik. Pemberian antibiotik dimaksudkan untuk mengatasi terjadinya infeksi sekunder oleh bakteria. Terapi cairan dan elektrolit harus diberikan, karena penderita mengalami diare sehingga timbul dehidrasi. Untuk terapi simptomatik dapat diberikan obat sedative dan antikonvulsi. Dexamethasone dapat diberikan pada anjing yang telah terlihat tanda-tanda gejala syaraf. Terapi Corticosteroid jangka pendek (1-3 hari) dilaporkan adanya perbaikan yang lumayan, tetapi corticosteroid jangka panjang tidak dianjurkan karena akan terjadi imunosuppresi. Pemberian antibody monoclonal pada protein H (homoserum) dapat diberikan pada anjing yang menunjukan gejala klinik dengan perkiraan masih dalam fase inkubasi (Dharmojono, 2001).

PENCEGAHAN

Pemberian gizi yang baik dan benar, control terhadap adanya parasit (ekto dan endo) dan vaksinasi yang teratur menurut prosedur (Nelson and Couto, 2003). Vaksinasi dengan menggunakan vaksin aktif(hidup) dapat memberikan imunitas yang cukup dan berdurasi kurang lebih 1 tahun dan untuk anjing dengan kondisi prima dapat berdurasi beberapa tahun (2-3 tahun) (Dharmojono, 2001).

Jadwal Vaksinasi terhadap distemper anjing adalah sebagai berikut :

  • pada umur 6-8 minggu diberikan vaksin aktif kombinasi MV-CDV( Measle virus dan Canine Distemper Virrus) atau vaksin CDV titer tinggi.

  • 2X lagi vaksin ulangan yang diberikan setelah 3-4 minggu kemudian.

  • Vaksinasi ulangan tahunan perlu dilakukan karena terjadi penurunan titer antibody.

Pemberian imunisasi pasif akan memanjang dan memperkuat keberadaan MA (Maternal Antobodi). Imunisasi ini dapat diberikan pada anak anjing yang tidak mendapat kolostrum susu induk atau yang mungkin sudah terkena CDV dan belum menujukan gejala klinis (Dharmojono, 2001).

daftar pustaka

Bistner and Kirk., 1985, Handbook of Veterinary Procedures and Emergency Treatment, Fourth edition, WB. Saunders Co, Philadelphia.


Dharmojono, H., 2001, Kapita Selecta Kedokteran Veteriner, Edisi I, Pustaka Popular Obor, Jakarta, hal 16-20.


Ettinger, S. J., 1989, Text Book of Veterinary Internal Medicine Disease of The Dog and Cat, W. B. Saunders Company, California, hal 301-303.


Fenner, F. J., Gibbs, E. P. J., Murphy,F. A, Rott, R., Studdert, M. J., White, D. O., 1995, Virologi Veteriner, Edisi kedua, Academic Press, inc., Harcourt Brace Jovanovich, Publishers, San Diego New York Boston London Sidney Tokyo Toronto, hal 516-519.


Lane, D.R., Cooper, B.C., 2003, Veterinary Nursing, 3rd.ed, Butterworth Heinemann, pp: 432-435.


Merck and Co., 1986, The Merck Veterinary Manual, Eight Edition, A Merck and Rhone-Poutene Company, pp: 326-328.


Nelson R.W and Couto C.G., 2003, Small Animal Internal Medicine, Third Edition, Mosby, pp:1015-1016.


Plumb, D.C., 1999, Veterinary Drugs Handbook, Third Edition, Iowa State University Press, Ames.


Schaer, M., 2003, Clinical Medicine of The Dog and Cat, Manson Publising, hal 80-81.


Tilley L.P and Smith F.W.K., 2000, The 5 Minute Veterinary Consult, LEA and Febiger Book, New York.


Tjay T.H dan Rahardja K., 1986, Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan efek-efek Sampingnya, Edisi Keempat, Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hal: 82-83.





stomatitis

Radang mulut atau stomatitis adalah gangguan yang berupa radang pada selaput lendir rongga mulut. Radang pada alat terterntu dalam rongga mulut mungkin diberi istilah khusus, misalnya radang lidah (glositis), radang gusi (gingivitis), radang langit-langit (palatitis), secara klinis gangguan pada mulut ditandai dengan anoreksia, partial atau total, hipersalivasi dan sering diikuti dengan penutupan bibir agak kuat (smacking). Proses radang bias bersifar primer atau sekunder, sebagai akibat ikutan dari penyakit sistemik

II. Kejadian Penyakit

Radang mulut hampir terjadi setiap waktu. Proses radang mungkin terjadi dan lolos dari pengamatan pemilik hewan penderita

III. Etiologi

Secara primer kejadian yang terbanyak disebabkan oleh penyebab yang bersifat fisik, misalnya benda asing yang ikut termakan seperti potongan kayu kawat duri dan sebagainya. Juga penggunakan alat-alat kedokteran seperti pembuka mulut, dapat menyebabkan radang traumatic bila tidak hati-hti menggunakannya. Gigi yang salah arah tumbuhnya dapat menyebabkan radang pad gusi, lidah dan pipi. Secara teori apabila termakan atau sengaja diberikan bahan kimia juga dapat menyebabkan iritasi jaringan selaput lender yang mungkin berlanjut dapat menyebabkan radang pada mulut.

Radang sekunder timbul sebagai kelanjutan dari penyakit menular maupun tidak menular yang disebabkan oleh kuman virus dan jamur. Virus akan mengakibatkan lesi jaringan yang beraneka ragam manifestasinya. Infeksi jamur terjadi setelsh keadaan setempat bersifat mendukung untuk pertumbuhan jamur. Kondisi tubuh yang menurun, infeksi viral dan penggunaan antibiotic yang berlebihan sering merupakan factor prediposisi untuk bertumbuhnya jamur

IV. Patogenesis

Pada kejadian primer oleh kerjaan agen penyebab radang, akan berbentuk lesi pada selaput lendir mulut. Karena adanya radang terjadi kebengkaan yang diertai dengan nyeri. Hal tersebut akan merangsang keluarnya air liur yang berlebihan. Juga karena rasa nyeri nafsu makan akan tertekan. Pada radang yang bersifat sekunder, patogenesisnya belum diketahui secara pasti

V. Pemeriksaan patologis anatomis

Perubahan yang dijumpai pada radang mulut bervariasi tergantung dari macam dan derajat radang. Secara umum perubahan tersebut meliputi kongesti jaringan yng bersifat difus hingga selaput lender jadi bengkak; apabila terdapat lepuh, vesikula dengan cairan jernih di dalamnya. Lepuh yang pecah akan segera diikuti dengan kematian jaringan. Dapat pula setelah pecah lepuh berbentuk tukak, ulsera hingga terjadi radang yang sifatnya ulceratif. Pada radang papulosa biasanya melanjut dengan pembentukan jaringan granulomatosa. Proses radang yang meluas yang disertai dengan pembusukan jaringan akan dijumpai pada radang flegmonosa.



VI. Gejala

Gejala klinis yang ditemukan bervariasi tergantung jenis radang maupun penyebabnya. Secara garis besar gejala tersebut berupa, hilangnya nafsu makan, rasa sakit waktu mengunyah, penderita berulang kali membuka mulut, hipersalivasi, mulut berbau busuk disertai dengan kenaikan suhu. Apabila disertai dengan kenaikan suhu, biasanya kenaikan tersebut tidak begitu menyolok. Pada radang yang disebabkan oleh infeksi kuman, tidak jarang suhu akan naik sesuai dengan derajat infeksi serta reaksi tubuh

VII. Prognosa

Dalam keadaan ringan, radang primer dapat sembuh, baik dengan atau tanpa pengobatan

VIII. Terapi

Meskipun tidak selalu mudah perlu diusahakan membersihkan mulut dengan air atau larutan antiseptik. Secara lokal dapat digunakan larutan antiseptik Tembaga sulfat 2 %, Borax gliserin 1%, Iodium tincture 5 – 10 %. Dengan menghebatnya proses radang, yang berarti terjadi mobilisasi seluler, pada akhirnya kesembuhan preimer dapat dipercepat. Pada kejadian infeksi yang berat, penggunaan preparat Sulfonamide atau antibiotik sangat dianjurkan. Pemberian preparat antihistamin dapat pula diberikan. Pada kejadian radang mulut mikotk, biasanya memngenai 1 – 5% dari kolompok hewan yang diberi pakan yang sama, perlu diatasi dengan penggantian pakan. Selanjutnya pengobatan topikal juga dianjurkan, juga dapat diberikan Povidon Iodine yang diberikan dengan cara dioleskan pada mulut pada bagian yang mengalami keradangan, dan sebagai antibiotiknya dapat diberikan Cotrimoxazole 2 kali sehari seperempat sendok teh.

Toxocara leonina

Toxocara leonina

Merupakan Ascaridia pada kucing, yang berlokasi di usus halus. Kucing terinfeksi karena larva II yang infektif masuk ke lambung setelah diingesti, telur netas di lambung dan sebagian besar larva pindahmelalui sistem porta hati, hati, paru-paru menuju trakhea dan kembali lagi kelambung. Mereka memasuki dinding lambung atau usus halusmenyilih menjadi stadium ketiga terus stadium keempatdan kembali lagi kelumen usus untuk menjadi dewasa.

Induk semang adalah cacing tanah, kecoa, ayam, anjing, anak kambing, mencit. Diinduk semang ini telur menetas di dalam usus,larva stadium dua berpindah kedalam jaringanuntuk membentuk kista. Toxoca ini pada kucing tidak ada infeksi prenatal

Kucing yang terinfeksi berat dapat menyebabkan perut kejang dan distensi. Obstruksi dari intestinum dapat terjadi, dan bisa menyebabkan intususepsi. Edema pulmonum akan tampak saat migrasi larva II, gejalanya batuk, leleran hidung, dan naiknya frekuensi nafas. Migrasi larva III ke perut akan menyebabkan distensi, muntah, dan memuntahkan cacing belum dewasa. Pada anjing dewasa yang terinfeksi berat gejala yng tampak muntah, diare, sakit perut, obstruksi parsial, emasiasi, rambut kusam dan kucing malas-malasan. Kemoterapi yang dianjurkan adalah piperazin, mebendazole, dichlorvos, fenbendazole, atau pyrantel pamoat(Kirk and Bistner, 1985).