Selasa, 29 September 2009

Brucellosis




Brucellosis

I. Sinonim (Anonim7, 2008; Anonim16, 2005; Anonim17, 2003; Merchant, 1957)

• slow fever
• continued fever
• goat fever
• mountain fever
• rock fever
• Cyprus fever
• Gibraltar fever
• Neapolitan fever
• gastric fever
• phthisis

• Mediterranean fever (karena banyak ditemukan di daerah Mediteranian)
• undulant fever, undulating fever (karena suhu tubuh yang naik-turun selama berminggu-minggu pada pasien yang tidak mendapat penanganan)
• Crimean fever (muncul pertama kali saat perang Crimea th.1805-an di Malta)
• Malta / Maltese fever (ditemukan sumber infeksinya oleh dokter berkebangsaan Malta, Temi Zammit, th.1905)
• Bang's Disease (diisolasi pertama kali oleh drh. Benhard Bang th.1897)
• Brucelliasis (diketahui pertama kali sebagai agen penyakit oleh Dr. David Bruce th.1887)

• Bruce's septicemia, Brucellemia
• melitensis septicemia
• febris melitensis
• febris undulans
• febris sudoralis
• fievre caprine
• melitococcosis
• milk sickness
• contagious abortion
• infectious abortion (keluron menular)
• enzootic abortion
• “slinking of the calf”

• neurobrucellosis (karena ditemukan memiliki efek neurologis oleh orang Saudi Arabia th.1989)

II. Etiologi
Sejarah Penyakit Brucellosis (Merchant, 1957):
• Kemungkinan telah ada selama berabad-abad -- penyakit yang mirip dengan deskripsi Hippocrates.
• 1887 : Bruce mengisolasi organisme dari organ lien manusia yang telah mati karena Mediterranean fever. Organisme dinamai Micrococcus melitensis.
• 1897 : Wright dan Semple melakukan uji aglutinasi untuk undulant fever
• 1896–97 : Bang, dibantu asistennya, Stribolt, mengisolasi organisme dari fetus yang diaborsi dan membran fetus sapi. Organisme dinamai Bacillus abortus.
• 1905 : Zammit menunjukkan bahwa kambing dapat menularkan penyakit ini
• 1911 : Schroeder dan Cotton mendemonstrasikan organisme dalam susu sapi.
• 1914 : Traum mengisolasi organisme dari babi, yang kemudian dinamai B. suis.
• 1918 : Alice Evans :
o menunjukkan identitas jelas B. abortus dari hewan ternak dan B. melitensis dari kambing,
o menunjukkan hubungan antara B. abortus dengan infeksi pada manusia.
• 1928 : Huddleson mendiferensiasi 3 species dari Brucella.
• 1930 : Buck mengisolasi galur ke-19 dan mengusulkannya untuk pembuatan vaksin karena virulensinya telah berkurang terhadap sapi.

Tabel 1. Klasifikasi Ilmiah Brucella (Anonim5, 2007)
Kingdom Bacteria

Filum Proteobacteria

Kelas Alpha Proteobacteria

Ordo Rhizobiales

Famili Brucellaceae

Genus Brucella

Brucellosis disebabkan bakteri dari genus Brucella. Genus ini termasuk ordo Eubacteriales dan famili Brucellaceae yang juga meliputi tujuh genus lain, yaitu Pasteurella sp., Bordetella sp., Haemophilus sp., Actinobacillus sp., Calymmatobacterium sp., Moraxella sp., Noguchia sp. (Anonim20, 1962).
Genus Brucella terdiri dari tiga spesies yang termasuk gram negatif yang kesemuanya bersifat patogenik, baik pada manusia maupun hewan. Bakteri ini adalah parasit obligat karena berpredileksi di dalam sel (intraseluler) dan berkemampuan untuk menginvasi semua jaringan hewan sehingga dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi (Anonim20, 1962).
Spesies yang patogen antara lain adalah B. abortus, B. melitensis, B. canis, B. suis dan B. ovis. Berikut ini adalah beberapa sifat umum Brucellae :
1. Berpredileksi pada saluran reproduksi meskipun bakteri dapat menginfeksi berbagai jaringan dalam tubuh
2. Bakteri dapat bertahan hidup baik dalam tubuh maupun di lingkungan luar
3. Bakteri tidak tahan terhadap sinar matahari, kekeringan maupun desinfekstan.
4. Perlu CO2 untuk inisiasi pertumbuhan di laboratorium.
Brucellae diklasifikasikan menjadi berbagai spesies berdasarkan reaksi pada larutan bakteriostatik tertentu, reaksi pada media karbohidrat, dan kebutuhan sel akan karbondioksida saat isolasi primer di laboratorium. Semua spesiesnya infektif pada hewan coba (marmut) dalam 30 hari (Anonim20, 1962). Brucella menunjukkan genetik yang terkait erat dengan beberapa tumbuhan patogen dan simbion dari genus Agrobacterium dan Rhizobium, seperti juga dengan bakteri yang opportunistik dan patogen terhadap hewan (Bartonella) dan dengan bakteri tanah (Ochrobactrum).
Setidaknya ada delapan biotipe Brucella abortus telah diketahui berdasarkan uji biokimia dan uji serologi. Di Indonesia, sapi atau kerbau umumnya diinfeksi oleh Brucella abortus biotipe I (Rompis, 2002).
Brucella berbentuk coccobacillus atau batang pendek dengan panjang 0,6-1,5 µm dan lebar 0,5-0,7 µm. Mereka biasanya ditemukan secara tunggal dan terkadang berpasangan atau dalam kelompok kecil. Morfologi Brucella adalah konstan, kecuali pada kultur lama di mana bentuk pleomorfik dapat terlihat. Brucella bersifat aerobik, nonmotil, serta tidak membentuk spora atau memiliki flagella, pili, dan kapsul sejati. Brucella termasuk Gram negatif dan biasanya tidak menunjukkan pengecatan bipolar. Mereka tidak sesungguhnya tahan asam, tetapi resisten terhadap pelunturan dengan asam lemah dan karenanya terwarna merah dengan metode Ziehl-Neelsen yang dimodifikasi oleh Stamp.
Brucella memiliki selubung lipopolisakarida yang lebih sedikit bersifat pirogenik daripada organisme gram-negatif lainnya, sehingga jarang terjadi demam yang tinggi pada kasus brucellosis (Maloney, 2008). Bakteri ini dapat bertahan di lingkungan umum untuk periode yang bervariasi; ketahanan menurun akibat sinar matahari, suhu tinggi, dan kekeringan. Dalam kondisi yang sesuai, organisme dapat bertahan hingga 3-4 bulan di lingkungan (Currier, 1995).
Tabel 2. Daya Tahan Brucella abortus di Luar Tubuh Inang
pada Berbagai Kondisi Lingkungan (Rompis, 2002)
Kondisi Lingkungan Daya Tahan
1. Dengan paparan sinar matahari langsung
• Di tanah :
- kering
- lembab
- dingin (15 oC)
• Di air :
- air minum
- air tercemar
2. Tanpa kena sinar matahari langsung
• pada fetus yang diabortuskan

4 hari
66 hari
185 hari

114 hari
150 hari

180 hari


Brucella species tumbuh dengan sangat baik pada makrofag yang mana lingkungannya seharusnya tidak dapat digunakan untuk hidup (Anonim33, Role of T4SSs). Ia dapat bertahan hidup dan bereplikasi dalam kompartemen sel fagosit profesional dan non-profesional, dengan preferensi sel-sel dari sistem retikuloendotelial dan organ reproduktif (Moreno, Life and Death of Brucella). Vesikel dengan bakteri yang telah difagositosis biasanya berfusi dengan lisosom dan diikuti dengan degradasi. Sekresi dari faktor virulensi oleh T4SS (type IV secretion systems) mengubah jalur intraseluler, dan bakteri bertahan hidup dan bereplikasi pada organela yang telah berspesialisasi dengan banyak fitur yang mirip dengan retikulum endoplasmik Celli (Anonim33, Role of T4SSs).
Ketahanan hidup di dalam makrofag terkait dengan sintesis protein dengan berat molekul 17, 24, 28, 60, dan 62 kDa. Protein 17 dan 38 kDa tampaknya secara spesifik diinduksi oleh makrofag dan berkorelasi dengan ketahanan intraseluler (Anonim33, Role of T4SSs).
Sejumlah komponen antigenik dari Brucella telah dikarakterisasi; antigen yang mendominasi respon antibodi adalah lipopolisakarida (LPS). Pada galur fase halus (smooth / S), S-LPS meliputi lemak A (mengandung dua tipe aminoglikosa); asam lemak yang sangat berbeda (tidak termasuk ß-hydroxymyristic acid); daerah inti mengandung glukosa, mannosa, dan quinovosamin; dan sebuah rantai O mengandung homopolimer dari ± 100 residu dari 4-formamido-4,6-dideoksimannosa (terikat terutama secara -1,2 dalam galur dominan epitop-A dengan setiap residu kelima terikat secara -1,3 pada galur dominan-M) (Anonim33, Role of T4SSs).
Perbedaan ikatan ini mempengaruhi bentuk dari epitop LPS. Tipe dominan-A berbentuk batang dan ditentukan dengan lima residu yang terikat berurutan secara -1,2, sementara tipe dominan-M terikat dan ditentukan dengan empat residu, termasuk satu yang terikat secara -1,3. Kehadiran 4-amino, 4,6 dideoksimannosa dalam LPS juga bertanggungjawab dalam reaktivitas silang antigenik dengan LPS dari Escherichia hermanni dan Escherichia coli O:157, Salmonella O:30, Stenotrophomonas maltophilia, Vibrio cholerae O:1, serta Yersinia enterocolitica O:9. Struktur LPS dari galur yang tidak halus (rough-LPS atau R-LPS) pada dasarnya menyerupai S-LPS, kecuali bahwa rantai O tidak ada ataupun tereduksi menjadi beberapa residu. Spesifisitas dari R-LPS, karena itu, sebagian besar ditentukan oleh inti polisakarida (Anonim33, Role of T4SSs).

















Organisme Brucella yang virulen dapat menginfeksi baik sel fagositik maupun non-fagositik. Mekanisme infeksi pada sel non-fagositik belum dapat dijelaskan. Komponen sel secara spesifik membantu dalam adhesi sel dan invasi belum dapat dikarakterisasi, dan upaya untuk mendeteksi den invasin yang homolog dengan golongan enterobacter lainnya telah gagal. Di dalam sel non-fagositik, Brucellae cenderung berlokalisasi di retikulum endoplasmik kasar. Pada sel fagositik polimorfonuklear atau mononuklear, merekan menggunakan sejumlah mekanisme untuk menghindari atau menekan respon bakterisidal. S-LPS kemungkinan berperan penting dalam ketahanan hidup intraseluler, karena organisme halus dapat bertahan hidup dengan jauh lebih efektif daripada yang kasar. Jika dibandingkan dengan LPS dari enterobacter, S-LPS memiliki banyak perlengkapan yang unik : toksisitas yang relatif rendah terhadap mencit, kelinci, dan embrio ayam yang sensitif terhadap endotoksin; toksisitas yang rendah terhadap makrofag; pirogenisitas yang rendah; dan aktivitas penginduki hipoferemia (hypoferremia-inducing activity) yang rendah. Ia juga merupakan inducer interferon (dan tumor necrosis factor) yang relatif lemah, tetapi secara paradoks, adalah inducer yang efektif untuk interleukin 12 (Anonim33, Role of T4SSs). Imunitas terhadap Brucellae membutuhkan mekanisme yang dimediasi sel, terutama dengan respon imun T helper 1 yang dikarakterisasi dengan produksi IL-12 dan IFN- , yang terkait dengan imunitas protektif (Spera, 2006).
Salah satu faktor virulensi yang penting adalah produksi adenin dan guanin monofosfat yang menghambat penggabungan fago-lisosom, degranulasi dan aktivasi dari sistem myelo-peroksidase-halida, dan produksi tumor necrosis factor (Anonim33, Role of T4SSs).
Sejumlah membran dalam dan luar, antigen protein periplasmik dan sitoplasmik juga telah dikarakterisasi. Beberapa dikenali oleh sistem imun selama infeksi dan berpotensi untuk membantu dalam uji diagnostik. Belakangan protein ribosomal (terutama L7/L12) telah muncul sebagai komponen imunologis yang penting. Preparasi ribosomal dapat menstimulus kedua antibodi dan respon imun yang dimediasi sel dan untuk melawan proteksi dari tantangan dengan Brucella. L7/L12 akan meniadakan penundaan respon hipersensitivitas sebagai komponen dari brucellin, dan sebagai protein yang telah berfusi, mereka menstimulus respon protektif terhadap Brucella. Hal ini menunjukkan potensi sebagai kandidat komponen vaksin (Anonim33, Role of T4SSs).
Disimpulkan dari berbagai penelitian bahwa T4SS virB berperan dalam kontrol maturasi dari vakuola yang mengandung Brucella menjadi organela yang mengijinkan terjadinya replikasi (replication-permissive organelle), siklik 1–2-glukan membantu mencegah penggabungan atau fusi fagosom-lisosom sehingga bakteri dapat bereplikasi secara intraseluler, dan O-polisakarida menghambat fagositosis, melindungi bakteri dari fagolisosom dan menghambat apoptosis sel. Sementara itu, protein imunomodulatorik berupa prolin rasemase (PrpA) yang merupakan inducer bagi IL-10, dibutuhkan untuk mengakibatkan kronisitas dan supresi imun awal setelah infeksi (Spera, 2006).

III. Distribusi
Gb 6. Insidensi Kumulatif Brucellosis pada Sapi Tahun 1995-1999
(merah  risiko lebih tinggi) (Anonim23, Veterinary Epidemiology)









Kejadian infeksi meluas hingga seluruh dunia, sekarang ini terutama pada negara-negara berkembang. Brucellosis tidak lagi umum terjadi di A.S. (< 0,5 kasus per 100.000 populasi, terutama B. melitensis. Kebanyakan kasus dilaporkan dari California (tahun 1998 dan 1999; masing-masing satu kasus dan 3 kasus pada tahun 2004 di daerah barat), Florida, Texas, dan Virginia), di mana hanya 100-200 kasus terdata setiap tahunnya. Pada Januari 2007, hanya dua negara bagian Amerika Serikat, yaitu Idaho dan Texas, yang belum terbebas dari brucellosis; kedua negara diklasifikasikan Kelas A, dengan tingkat infeksi kawanan ternak < 0,25% (Anonim8, 2007; Anonim12, 2007; Anonim14, 2005; Anonim28, 2007).
Akan tetapi, kasus brucellosis dapat menjadi sangat umum di negara yang program pengendalian penyakit hewannya belum dapat mengurangi jumlah penyakit antarhewan. Negara-negara ini biasanya tidak memiliki program kesehatan hewan domestik dan kesehatan masyarakat yang efektif dan sesuai standar (Anonim8, 2007). Area yang terdaftar sebagai daerah risiko tinggi adalah Mediterranean Basin (Portugal, Spanyol, Perancis Selatan, Italia, Yunani, Turki, Afrika Utara), Amerika Selatan dan Tengah, Eropa Timur, sebagian Asia, Afrika subSahara, Kepulauan Karibia, dan Timur Tengah (Anonim11, 2006; Anonim17, 2003).
Grafik 1. Tingkat Insidensi Brucellosis pada Manusia x 100.000 Penduduk
di Berbagai Negara Mediteranian dan Timur Tengah (Charisis, 1999)













Pada tahun 1994, beberapa negara di Eropa Utara dan Tengah, Kanada, Jepang, Australia, dan Selandia Baru dianggap telah bebas dari kasus brucellosis sapi yang disebabkan Brucella abortus. Sementara itu, daerah Mediteranian masih menjadi daerah endemik untuk B. melitensis. Amerika Utara (kecuali Meksiko), Eropa Utara, Asia Tenggara, Australia dan Selandia Baru dinyatakan telah bebas dari kasus brucellosis pada kambing dan domba. Sementara itu kasus epididymitis pada domba yang disebabkan oleh B. ovis pernah dilaporkan terjadi di Argentina, Australia, Brazil, Kanada, Chili, Perancis, Jerman, Hongaria, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Romania, Rusia, Republik Slovakia, Afrika Selatan, Spanyol, Amerika Serikat, dan Uruguay, dan tampaknya juga menyebar ke negara-negara yang memiliki peternakan domba. Brucellosis yang pada babi terjadi secara meluas, tetapi dengan prevalensi yang rendah, kecuali pada Amerika Selatan dan Asia Tenggara yang memiliki prevalensi yang cukup tinggi.
Pappas pada jurnal yang dikeluarkannya pada tahun 2006 mengatakan bahwa epidemiologi brucellosis manusia telah berubah drastis selama satu dekade terakhir karena perubahan sanitaria, sosial ekonomi, dan politik yang bervariasi, juga dengan evolusi dari perjalanan internasional. Beberapa daerah yang dahulu dikenal sebagai endemik, misalnya Perancis, Israel, dan sebagian besar Amerika Latin, telah berhasil mengontrol kejadian penyakit. Sementara itu, telah muncul lokalisasi baru untuk brucellosis yang menyerang manusia, terutama di Asia Tengah, sementara situasi di beberapa negara di Timur Dekat (misalnya Syria) secara cepat memburuk (Pappas, 2006).

IV. Kejadian dan Penyakit pada Manusia
Tabel 3. Brucella sp. yang Menular dan Tidak Menular dari Hewan ke Manusia (Corbel, 2006)
Species Biovar/Serovar Hospes Natural Human Pathogen
B. abortus 1-6, 9 ternak (lembu, sapi) Sedang
B. melitensis 1-3 kambing, domba Paling tinggi
B. suis


1, 3 babi Tinggi
2 kelinci ya
4 rusa, karibu ya
5 rodentia ya
B. canis - anjing & species canis lainnya Sedang
B. ovis - domba tidak
B. neotomae - tikus gurun tidak
B. maris mamalia laut ?

Pihak-pihak yang berada pada risiko tertinggi terhadap brucellosis adalah mereka yang bekerja dengan hewan terinfeksi, seperti dokter hewan dan peternak, dan orang-orang yang mengkonsumsi susu mentah atau keju atau es krim yang dibuat dari susu mentah (Anonim17, 2003). Jika kambing, domba, sapi, atau unta terinfeksi, susu mereka akan terkontaminasi dengan bakteri ini. Jika susu tidak dipasteurisasi lebih dahulu, bakteri ini akan ditularkan pada individu yang meminum susu tersebut ataupun memakan produk yang dibuat dari susu tersebut (Anonim8, 2007). Bakteri dapat bertahan selama beberapa hari di dalam susu dan beberapa minggu atau bulan dalam produk susu. Orang Hispanik-Amerika yang menggunakan keju lembut yang tidak dipasteurisasi yang berasal dari Meksiko banyak terserang infeksi ini, sebagai contoh (Anonim11, 2006).










Brucellosis dapat juga ditularkan ke manusia jika mereka tanpa sengaja terekspos vaksin aktif brucellosis (RB51) melalui ujung jarum atau kejadian lainnya (Anonim17, 2003); antara lain melalui percikan ke mata dan luka terbuka. Pada beberapa kasus yang dilaporkan pada CDC, seperti dijelaskan di bawah, kebanyakan pasien mengalami perkembangan gejala secara lokal, sementara yang kemudian terkena brucellosis mengalami gejala sistemik. Menurut data CDC, terdapat 26 individu yang dilaporkan terekspos vaksin RB51 dari Januari 1998 hingga Desember 1999; 21 (81%) melalui luka karena ujung jarum, sementara 5 pasien (19%) terpercik vaksin RB51 di konjungtivanya (4 orang) atau di luka terbukanya (1 orang). Meskipun sebagian besar individu (69%) melaporkan bahwa mereka telah mendapatkan antibiotik profilaktik, 19 (73%) melaporkan sedikitnya 1 gejala sistemik. Dari mereka yang sakit, 3 (12%) melaporkan reaksi lokal yang persisten dengan keterlibatan sistemik, dan 7 (27%) mengalami gejala yang persisten selama 16 bulan. Satu pasien membutuhkan operasi dan RB51 berhasil diisolasi dari luka operasi pasien. Informasi yang tersedia mengenai ekspos laboratorik terhadap RB51 sangatlah terbatas (Anonim8, 2007).
Manusia dapat tertular brucellosis anjing dengan mengadakan kontak dengan jaringan abortus maupun semen yang terinfeksi, terutama dokter hewan yang memeriksa (Anonim7, 2008). Orang-orang yang terkompromisasi imunitasnya (pasien kanker, individu yang terinfeksi HIV, atau pasien transplantasi) sebaiknya tidak mengadakan kontak dengan anjing yang diketahui terinfeksi B. canis (Anonim8, 2007).
Inhalasi organisme Brucella bukanlah jalur infeksi yang umum, tetapi dapat menjadi cara yang sangat mungkin bagi individu-individu dengan pekerjaan tertentu, misalnya yang bekerja di laboratorium di mana bakteri tersebut dikultur. Inhalasi juga seringkali menjadi penyebab kasus brucellosis pada pekerja abatoir. Kontaminasi luka kulit juga dapat menjadi masalah bagi mereka yang bekerja di rumah pemotongan hewan atau perusahaan pengemas daging ataupun dokter hewan. Para pemburu juga dapat terinfeksi melalui luka kulit atau secara tidak sengaja menelan bakteri setelah membersihkan hewan (kijang, elk, moose, atau babi hutan) yang mereka bunuh (Anonim8, 2007).
Brucellosis adalah kasus infeksi bakteri yang terkait dengan laboratoris yang paling umum dilaporkan. Sejumlah faktor yang turut memperbesar risiko adalah ekspos brucellosis secara tidak sengaja. Laboratorium mungkin kekurangan pengalaman dalam bekerja dengan organisme tersebut, karena kejadian penyakitnya telah menjadi sangat jarang di A.S. akibat program imunisasi yang agresif pada hewan ternak. Sebagai tambahan, organisme seringkali dikirim untuk analisis dengan label “unknown”. Pemeriksaan bisa saja dilakukan di kursi yang terbuka sebelum dikenali sebagai bakteri batang gram negatif. Karakteristik tertentu dari bakteri ini, misalnya dosis infeksinya yang rendah (masuknya 10-100 organisme sudah mampu untuk menyebabkan penyakit) dan fakta bahwa bakteri ini dapat dengan mudah terbawa udara, juga memperbesar risiko ditemukannya organisme di dalam ruang laboratorium (Anonim8, 2007; Anonim11, 2006).
Prosedur atau kejadian yang secara spesifik terkait pada penularan spesies Brucella yang patogenik termasuk mengendus kultur bakteri, kontak langsung pada kulit, penggunaan pipet yang dihisap langsung dari mulut, inokulasi, dan penyemprotan ke mata, hidung, dan mulut. Siapapun yang melakukan prosedur-prosedur di atas, siapapun yang berada dalam jangkauan 5 kaki dari individu yang melakukan pemeriksaan di udara terbuka, atau siapapun yang ada di dalam laboratorium selama kejadian terbawanya Brucella oleh udara (misalnya selama uji katalase) atau selama pemeriksaan dan upaya identifikasi isolat Brucella yang patogenik, berada dalam risiko tinggi tertular brucellosis (Anonim8, 2007).
Laboratorium yang bekerja terutama dengan isolat RB51 sebaiknya mengadakan segala manipulasi pada safety cabinet biologis kelas II, dengan menggunakan latihan biosekuritas tingkat 3 (Biosafety level 3 / BSL-3) seperti yang telah dideskripsikan dalam Biosafety in Microbiological and Biomedical Laboratories, 5th edition. Risiko terjadinya ekspos yang tidak disengaja semakin tinggi pada prosedur atau manipulasi yang terjadi di luar safety cabinet biologis kelas II dan memiliki potensial untuk mengakibatkan uap atau percikan; misalnya prosedur seperti mengambil dengan pipet, sentrifuge, menggerus, mengaduk, mencampur, dan membuka wadah dari materi terinfeksi (Anonim8, 2007).
Setelah periode inkubasi yang bervariasi antara 5-30 hari (terkadang hingga berbulan-bulan), pasien terinfeksi akan mengalami berbagai gejala yang tipikal (Currier, 1995). Brucellosis manusia pada umumnya dapat mempengaruhi hampir semua bagian tubuh, termasuk sistem reproduksi, hati, jantung, dan sistem saraf pusat (Anonim11, 2006). Brucellosis menyebabkan demam yang tidak konstan, berkeringat (terlebih saat malam hari), kelemahan ekstrim, anoreksia (hilang nafsu makan), kehilangan berat badan, anemia, pusing kepala, depresi, arthralgia (nyeri sendi), serta nyeri otot dan tubuh. Gejalanya mirip dengan penyakit demam lainnya, tetapi dengan penekanan pada nyeri otot dan berkeringat. Durasi penyakit ini dapat bervariasi dari beberapa minggu hingga beberapa bulan atau bahkan tahun. Pada tahap pertama penyakit ini, terjadi septikemi dan mengarah pada tiga periode klasikal demam undulan, berkeringat (seringkali dengan bau yang khas, seperti rumput basah) dan arthralgia maupun myalgia yang berpindah-pindah. Pada pemeriksaan darah, karakteristiknya adalah leukopenia dan anemia, beberapa peningkatan dari AST dan ALT dan positif uji Bengal Rose dan Huddleson. Kompleks ini, minimal di Portugal, disebut demam Malta. Selama episode demam Malta, melitococcemia (kehadiran Brucellae dalam darah) biasanya dapat ditunjukkan dengan kultur darah pada medium triptosa atau Albini. Jika tidak ditangani, penyakit dapat terfokalisasi dan menjadi kronis. Fokalisasi brucellosis biasanya terjadi di tulang dan sendi dan spondylodisciitis dari spina lumbar yang terjadi bersamaan dengan sacroiliitis adalah ciri khas penyakit ini. Orchitis juga sering terjadi pada laki-laki (Anonim7, 2008; Anonim17, 2003). Brucellosis juga dapat menginfeksi prostat dan ginjal (Anonim11, 2006).

Tabel 4. Gejala Brucellosis pada Manusia (persentase dari 949 pasien) (Al-Nassir, 2006)
Gejala %
(Total Jumlah) Gejala %
(Total Jumlah)
Demam
Gejala-gejala konstitusional*
Berkeringat
Menggigil
Arthralgia
Gejala GI †
Pusing kepala
Nyeri Lumbar
Myalgia
Batuk/dyspnea
Kehilangan berat badan
Gejala neurologis ‡
Nyeri testikuler 98 (930)
94 (930)
85 (930)
79 (930)
53 (930)
51 (400)
42 (400)
39 (930)
35 (930)
19 (400)
18 (400)
14 (400)
5 (930) Hepatosplenomegali
Hepatomegali
Splenomegali
Osteoartikuler
Bradikardi relatif
Adenopati
Neuro/CNS §
Orchitis/epididymitis
Kutaneus 41 (400)
38 (930)
22 (930)
23 (930)
21 (530)
9 (930)
8 (930)
6 (400)
3 (530)
Keterangan : * Anoreksia, asthenia, kelemahan, malaise
† Nyeri abdominal, konstipasi, diare, muntah
‡ Kecemasan, psikosis konfusional, depresi, insomnia
§ Paralisis, nuchal rigidity, papilledema

Hubungan tulang dengan tulang sendi adalah komplikasi yang paling sering pada brucellosis, telah tercatat lebih dari 40% kasus varietas sindrom dilaporkan, termasuk sacroiliitis, spondylitis, peripheral arthritis, osteomyelitis, bursitis, dan tenosynovitis. Brucellic sacroiliitis adalah yang paling umum terjadi, kadang terjadi pula sciatica (nyeri yang menyebar ke pantat dan tungkai bawah). Pada anak kecil, penderita akan malas untuk berjalan dan bergerak. Komplikasi yang sering terjadi pada brucellosis manusia berkaitan dengan tulang dan sendi. Nyeri pada sendi sacroilliaca dipengaruhi oleh daerah dimana Brucella melitensis menonjol. Nyeri sendi pada pinggul, pattela, dan pergelangan kaki juga diikuti dengan kejadian radang pada vertebrae (spondylitis) menjadi keluhan utama. Komplikasi berkaitan dengan tulang dan sendi juga telah dilaporkan 20-60% (tahun 2004) dari pasien brucellosis bersifat klinik.
Brucellosis juga dapat menimbulkan komplikasi gastrointestinal. Gangguan pada perut ini agak mirip dengan thyphoid fever, hanya beberapa pasien yang sakit akan mengalami mual, muntah, dan nyeri pada perut. Beberapa kasus yang telah dilaporkan mengalami radang pada illeum, colon, dan peritoneum.
Komplikasi pada traktus respiratorius terjadi melalui transmisi secara inhalasi maka Brucella sp. akan menyebabkan komplikasi pulmonaris pada manusia yang terinfeksi, yaitu paratracheal lymphadenopathy, pneumonia interstitial, bronchopneumonia, pleural effusion, dan emphysema (Anonim1, 1980).
Komplikasi genital pada testis juga sering berkaitan dengan penyakit ini, kejadian-kejadian orchitis atau epididimo-orchitis pada laki-laki dapat terjadi bersamaan dengan infeksi sistemik. Walaupun organisme Brucella sp. dapat diperoleh dari spermatozoa manusia, namun hanya ada sedikit laporan yang menyangkut penularan secara seksual. Kelanjutan penyakit brucellosis pada ginjal jarang terjadi, tetapi mirip dengan renal tuberculosis. Pada wanita, seperti pada beberapa kasus, akan mengakibatkan abses pada pelvis dan salphyngitis. Brucellosis juga dipercayai dapat menyebabkan abortus spontan pada wanita yang hamil muda atau tranmisi intrauterine pada janin (Anonim1, 1980).
Kelanjutan penyakit ini sangat bervariasi, mulai dari hepatitis granulomatosa (brucellosis dapat menyebabkan penyakit hati yang serius hingga terjadi cirrhosis dan gagal hati, ataupun memicu terjadinya autoimun hepatitis, di mana sistem imun akan menyerang hati), arthritis (terutama di lutut, pinggang dan panggul, pergelangan tangan dan kaki, dan spina), spondylitis, anemia, leukopenia, trombositopenia, meningitis, uveitis, neuritis optik, papilledema, dan endokarditis (Anonim7, 2008; Anonim11, 2006).







Endokarditis adalah salah satu komplikasi brucellosis yang paling serius dan telah dilaporkan sebanyak 2% dari kasus, yaitu terjadinya infeksi lapisan dalam jantung. Jika hal ini tidak ditangani, maka katup jantung dapat terluka dan bahkan hancur sehingga menyebabkan kematian yang terkait kejadian brucellosis (Anonim11, 2006; Rompis, 2002). Kerusakan pada katup aorta jantung lebih sering terjadi dibandingkan katup mitral. Pengobatan endocarditis karena Brucella sp. biasanya dengan kombinasi terapi antimikrobial dan operasi perbaikan valvula (Rompis, 2002).
Efek neurologis dari brucellosis antara lain adalah infeksi sistem saraf pusat, termasuk penyakit serius seperti meningitis (keradangan membran yang membungkus otak dan sumsum tulang) dan encefalitis (keradangan otak) (Anonim11, 2006).

V. Kejadian dan Penyakit pada Hewan
Tabel 5. Brucellosis pada Hewan (Anonim3, 2007; Anonim18, 2007; Anonim30, 2007; Kelser, 1948)
Species Brucella Hospes Penyakit
B. melitensis kambing & domba, unta caprine & ovine brucellosis
B. suis babi, sapi swine brucellosis,
bovine brucellosis
B. abortus hewan ternak, banteng, bison, unta, & elk bovine brucellosis
B. ovis domba ovine epididymitis
B. canis anjing brucellosis
B. neotomae rodentia brucellosis
Brucella sp.
(B. cetaceae & B. pinnipediae) beberapa mamalia laut
(pinnipeds & cetaceans) brucellosis

Tabel 6. Kepekaan Relatif Hewan dan Manusia terhadap Brucellae (Merchant, 1957)
Hospes Br. abortus Br. suis Br. melitensis
Manusia ++ ++ ++
Sapi +++ + +
Babi ± +++ ++
Kambing + + +++
Domba + + +
Kuda ++ + +
Anjing ± ± ±
Kucing ± ± ±
Kelinci ± ± ±
Marmut + ++ ++
Tikus ± ± ±
Mencit ± ± ±
Monyet + + +
Ayam ± ± ±


A. Brucellosis pada Hewan Ternak
Hewan ternak yang terpengaruh Brucella abortus memiliki insidensi yang tinggi atas kejadian aborsi atau kelemahan anakan sapi, arthritis sendi, dan retensi setelah melahirkan (retensi plasenta atau kejadian di mana plasenta tidak keluar dalam kurun waktu 12 jam setelah partus). Terdapat dua sebab utama terjadinya abortus spontan pada hewan. Pertama karena erythritol, yang dapat memperantarai infeksi pada fetus dan plasenta. Kedua adalah karena sedikitnya aktivitas anti-Brucella pada cairan amniotik. Pada pejantan juga dapat ditemukan bakteri ini di saluran reproduksinya, yaitu pada vesikula seminalis, ampulla, testis, dan epididimis (Anonim7, 2008). Selain aborsi, brucellosis juga mengakibatkan mastitis (radang ambing) dan hygroma (bengkak air) pada lutut (Anonim13, 2006).
Ketika bakteri memasuki atau menembus mukosa saluran pencernaan, mereka dibawa ke nodus limfatikus mesenterikus dan kemudian bereplikasi jika tidak dimusnahkan. Setelah itu dibawa ke sirkulasi darah melalui ductus thoracicus. Bakteriemia berkembang selama 2–4 minggu, tetapi dapat juga bersifat intermiten. Mikroorganisme tersebut berlokasi di dalam uterus hewan yang sedang bunting, pada fetus dan membran maternal, pada glandula mammae, nodus limfatikus sumsum tulang, dan lien. Juga pada organ-organ genital hewan jantan, dan pada kedua jenis gender pada sendi dan selubung tendon. Mikroorganisme ini biasanya muncul pada uterus hewan yang sedang bunting 2–4 bulan setelah infeksi. Di sini kemudian akan memperbanyak diri pada epitelium yang melapisi permukaan membran korionik, dan menyebar di antara membran korion dan membran mukus uterina. Sebagai akibatnya, membran korionik akan mengalami degenerasi, autolisis, dan nekrosis. Kemudian lebih lanjut akan terjadi pemisahan secara berkala dari membran dan pengeluaran fetus yang permatur akan terjadi. Setelah aborsi, atau sesaat sebelumnya, organisme akan muncul di glandula mammae atau pada nodus limfatikusnya (Merchant, 1957).

B. Brucellosis pada Anjing
Agen kausatifnya adalah B. canis. Penyakit ini ditularkan pada anjing lain melalui perkawinan dan kontak dengan fetus yang diaborsi (Anonim7, 2008). Bagaimanapun, anjing juga dapat terinfeksi oleh Brucella abortus (dari hewan ternak), Brucella melitensis (dari kambing), dan Brucella suis (dari babi) jika mereka meminum susu yang terkontaminasi atau memakan membran plasenta yang terjatuh, daging yang terkontaminasi, atau anakan yang diaborsi. Brucellosis dapat menular ke manusia yang kontak dengan jaringan abortus ataupun semen yang terinfeksi (Anonim7, 2008).
Bakteri biasanya menginfeksi sistem genital dan limfatik anjing, tetapi juga dapat menyebar hingga mata, ginjal, dan cakram intervertebralis (menyebabkan terjadinya discospondylitis). Gejala-gejala klinis brucellosis pada anjing meliputi aborsi (biasanya pada masa akhir kebuntingan, yaitu antara hari ke-45 dan ke-59) pada anjing betina dan radang skrotum dan orchitis pada pejantan. Anjing betina yang mengalami aborsi karena brucellosis akan terus mensekresikan cairan yang mengandung bakteri Brucella hingga 4-6 minggu berikutnya. Anakan yang diaborsi biasanya telah mati setidaknya beberapa hari sebelum dikeluarkan karena tidak terlihat seperti baru saja mati (Anonim7, 2008; Brooks, 2006).
Demam tidak umum terjadi. Infeksi mata dapat menyebabkan uveitis (keradangan mata bagian dalam), dan infeksi cakram intervertebralis dapat menyebabkan nyeri atau kelemahan. Pemeriksaan darah pada anjing sebelum perkawinan dapat mencegah penyebaran penyakit ini (Anonim7, 2008). Anjing yang telah terinfeksi tetap dapat dipelihara sebagai hewan kesayangan, tetapi tidak dapat dijual karena risiko kesehatan yang potensial terhadap pembelinya (Brooks, 2006). Penyakit ini diatasi dengan antibiotik seperti pada manusia, tetapi sulit disembuhkan dan sulit dipastikan bahwa bakterinya telah benar-benar pergi. Anjing yang sembuh secara alamiah tidak dapat mengalami reinfeksi, tetapi anjing yang bertahan dengan antibiotik dapat terinfeksi ulang. Karnivora lainnya yang juga kerap dipelihara sebagai hewan kesayangan, kucing, disebutkan beberapa sumber untuk memiliki resistensi terhadap Brucella (Anonim7, 2008; Anonim12, 2007; Brooks, 2006).

C. Brucellosis pada Babi
Brucellosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan mengakibatkan infertilitas dan abortus pada anakan babi. Penyakit brucellosis terutama disebarkan melalui kontak langsung dengan babi yang menderita penyakit tersebut. Jalan masuk penyakit yang paling utama adalah melalui mulut dan alat kelamin. Bahan yang keluar dari ternak yang sakit juga dapat menulari makanan dan air. Babi dapat pula terinfeksi dengan memakan ari-ari atau fetus babi berpenyakit brucellosis yang mengalami abortus. Babi dara atau induk yang kawin dengan pejantan yang positif brucellosis jelas akan terkena penyakit tersebut (Sihombing, 2006).
Kebanyakan babi yang berpenyakit brucellosis di suatu peternakan tidak diketahui oleh peternak karena tidak ada tanda-tanda sakit. Tanda-tanda klasik dari babi berpenyakit brucellosis adalah abortus, infertilitas (laju konsepsi rendah, meningkat kawin-ulang), orchitis (testis membengkak), paralisis kaki belakang, dan lumpuh (Sihombing, 2006).
Abortus dapat terjadi kapan saja selama bunting. Waktu kejadian abortus lebih dipengaruhi waktu tertular daripada fase kebuntingan. Babi dara atau induk yang tertular saat kawin akan lebih cepat mengalami abortus. Infertilitas dan kurang nafsu kawin (libido) akan tampak pada pejantan yang mengalami orchitis (Sihombing, 2006).
Jejas dari penyakit ini sangat bervariasi. Pembentukan abses dapat terjadi pada organ tubuh dan jaringan, seperti pada uterus, testis, sambungan persendian, dan sebagainya (Sihombing, 2006).

D. Brucellosis pada Rodentia
Brucella suis menyerang hati marmut dan menyebabkan granuloma dan nekrosis. Protein yang terinduksi stress, HtrA, berperan dalam induksi respon granulomatosa awal terhadap B. abortus pada mencit dan dalam reduksi tingkat infeksi selama fase awal. Bagaimanapun, hal ini tidak mencegah peningkatan jumlah bakteri seterusnya.

VI. Kejadian dan Penyakit di Indonesia
Tabel 7. Penyakit Brucellosis di Indonesia
Daerah Terinfeksi Sumatera, Jawa, Kaltim, Sulawesi, NTB, NTT
Tipe OIE B
Masa Tunas/ Inkubasi 3 minggu – 6 bulan
Tes Diagnostik CFT, FAT, SAT, uji aglutinasi, RBT, MRT Comb
Masa Karantina Minimum 14 hari
Masa Uji Sebelum Inkubasi 30 hari

Di Indonesia, secara serologi, penyakit Brucellosis dikenal pertama kali pada tahun 1935, ditemukan pada sapi perah di Grati-Pasuruan, Jawa Timur. Kuman Brucella abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940 brucellosis dilaporkan muncul di Sumatera Utara dan Aceh, dikenal dengan sebutan sakit sane/radang sendi atau sakit burut/radang testis. Sampai dengan tahun 1957 brucellosis belum dimasukkan ke dalam daftar penyakit hewan menular di Indonesia, walaupun penyakit ini diketahui sudah bersifat endemik bahkan kadang-kadang epidemik pada beberapa peternakan sapi perah di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam kaitan ini, dengan tegas mengusulkan agar penyakit ini segera diklasifikasikan sebagai penyakit hewan menular. Akhirnya pada tahun 1959 terbit Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 5494 C/SK/M tertanggal 4 Juli 1959 tentang Peraturan Pengawasan dan Tindakan-tindakan terhadap Hewan Penderita Brucellosis (Rompis, 2002).

A. FAKTOR INANG
Faktor inang yang mempengaruhi epidemiologi brucellosis antara lain : status kepekaan, pembawa, dan status fisiologi (Rompis, 2002).
Walaupun kejadian brucellosis paling sering dilaporkan pada sapi dan kerbau, tetapi domba dan kuda juga dapat tertular. Pada hewan tersebut, diduga dapat terjadi penularan antar spesies (Rompis, 2002).
Prevalensi reaktor brucellosis pada sapi potong pada peternakan tradisional bervariasi. Di daerah endemik, di beberapa desa di Kabupaten TTU dan Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), prevalensinya dapat mencapai 45%. Sedangkan di Kabupaten TTS dan Kupang yang bertetangga dengan kedua kabupaten tersebut, prevalensinya masih rendah yaitu berturut-turut 0,09% dan 0,15%. Perbedaan ini diduga berkaitan dengan perniagaan ternak; Kabupaten TTS merupakan gudang ternak sehingga kebanyakan sapi dikeluarkan dari kabupaten ini (Rompis, 2002).
Di Pulau Lombok yang menerapkan sistem peternakan semi-intensif (dikandangkan), prevalensi brucellosis masih rendah (< 1%), sehingga memiliki potensi untuk diberantas (Rompis, 2002).
Pada peternakan sapi perah, umumnya prevalensi brucellosis masih rendah, yaitu sekitar 3%. Tetapi pada kondisi tertentu, dapat juga prevalensinya tinggi (50,2%) (Rompis, 2002).
Pedhet yang dilahirkan oleh induk penderita brucellosis dapat tertular dan cenderung menjadi latent carrier. Abortus biasanya terjadi pada saat kebuntingan yang pertama. Brucellosis pada hewan latent carrier ini sangat sulit dideteksi secara serologi (Rompis, 2002).
Brucellosis umumnya menyebabkan abortus pada kebuntingan stadium akhir (> 6 bulan). Hal ini karena, saat ini, fetus atau membrannya mengandung banyak karbohidrat yang disebut erythritol ; suatu substansi yang sangat dibutuhkan untuk perkembangbiakan kuman Brucella. Perkembangbiakan yang sangat cepat dari kuman tersebut, akhirnya menyebabkan peradangan pada uterus, yang berakhir dengan keguguran (Rompis, 2002).

B. FAKTOR LINGKUNGAN
Di Indonesia tampaknya belum ada penelitian yang mengaji apakah kedua musim (hujan dan panas) berperan penting dalam penyebaran brucellosis. Namun ada indikasi bahwa Brucella abortus dapat bertahan dalam waktu yang sangat lama di padang penggembalaan sebagaimana terjadi pada penyakit anthrax di kabupaten Ngada, Pulau Flores, Propinsi NTT. Cara beternak yang bersifat tradisional ekstensif, dengan pemilikan 25 sampai 50 ekor dan digembalakan bebas secara berkelompok dengan manajemen kesehatan hewan rendah, akan mempercepat proses penularan penyakit. Sistem peternakan seperti ini dijumpai di Propinsi NTT dan Timor Timur. Pada tahun 1986, prevalensi brucellosis di Propinsi NTT (Kabupaten Belu dan TTU) masih di bawah 1%, namun 10 tahun kemudian prevalensinya menjadi sekitar 4%; dengan pertumbuhan sekitar 4% per tahun. Pada sistem peternakan tradisional intensif, dengan ternak rata-rata 1 sampai 3 ekor dikandangkan atau digembalakan secara individual dengan manajemen kesehatan hewan sederhana, proses penularan brucellosis lambat. Sistem peternakan seperti ini dijumpai di Pulau Bali dan Lombok. Di Pulau Lombok, rinjadi/prevalensi brucellosis pada tahun 1997 masih < 1%. Berdasarkan gambaran ini, dapat disimpulkan bahwa penyebaran brucellosis lebih cepat pada peternakan dengan sistem ekstensif dibandingkan dengan peternakan intensif (Rompis, 2002).
Dewasa ini, brucellosis berjangkit di seluruh propinsi di Indonesia kecuali Bali. Di kawasan Nusa Tenggara, reaktor brucellosis pertama kali didiagnosis pada tahun 1986, yaitu di Pulau Timor. Selanjutnya, reaktor brucellosis ditemukan di Pulau Sumba tahun 1992 dan di Pulau Flores tahun 1994. Dari perkembangan penyakit akhir-akhir ini, kejadian brucellosis cenderung semakin meningkat baik jumlah maupun luas penyebarannya (Rompis, 2002).
Brucellosis masih menjadi sorotan utama dari berbagai dinas dan badan peternakan di Indonesia. Akan tetapi, melalui beberapa program yang telah dicanangkan dan dijalankan pemerintah, beberapa daerah telah terbebas dari brucellosis.
Untuk mengkualifikasi suatu daerah atau zona yang bebas dari brucellosis, ketentuan yang harus dipenuhi adalah :
1. Tidak ada kejadian brucellosis ataupun dugaan kasus brucellosis yang muncul di daerah tersebut (minimal dalam 3 tahun terakhir untuk kasus pada babi dan 5 tahun untuk kasus kambing dan domba);
2. Seluruh populasi hewan ternak dari daerah atau zona tersebut berada di bawah pengawasan dokter hewan resmi dengan tingkat infeksi brucellosis ≤ 0,2% dari kawanan hewan ternak yang ada di daerah atau zona tersebut;
3. Uji serologis untuk brucellosis secara periodik (tiap tahun untuk kasus pada kambing dan domba) dilakukan pada tiap kawanan, dengan atau tanpa ring test;
4. Tidak ada hewan yang divaksinasi brucellosis dalam kurun waktu minimal 3 tahun terakhir;
5. Semua reaktor telah dibunuh;
6. Hewan yang masuk ke dalam daerah atau zona yang telah dinyatakan bebas brucellosis hanya berasal dari kawanan yang bebas dari brucellosis.
Daerah yang semua kawanan ternaknya telah dikualifikasi bebas dari brucellosis dan pada 5 tahun terakhir tidak ditemukan reaktor, dapat menentukan sistem tersendiri untuk kontrol lebih lanjut.

C. SEJARAH KASUS DAN EPIDEMIOLOGI BRUCELLOSIS DI BERBAGAI DAERAH DI INDONESIA
Tabel 8. Kasus Brucellosis di Indonesia pada Tahun 2000
Propinsi Jumlah Kasus Brucellosis
(11) Aceh 203
(18) Lampung 1
(31) DKI Jakarta 497
(32) Jawa Barat 71
(53) Nusa Tenggara Timur 1
(73) Sulawesi Selatan 218
(74) Sulawesi Tenggara 468
TOTAL 1.459

1. Kediri
Ribuan ekor sapi betina di wilayah Kabupaten Kediri, Jawa Timur, sangat berisiko mengalami keguguran, menyusul mulai maraknya serangan brucellosis oleh bakteri Brucella. Sejak 28 Agustus 2006, sebanyak 474 ekor sapi betina yang mengalami gejala brucellosis di tiga Kecamatan, yakni Ngadiluwih, Kras, dan Kandat terpaksa diberi vaksin jenis RB51. Dosis yang diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah hanya cukup untuk 700 ekor sapi, padahal populasi sapi di Kabupaten Kediri mencapai 7.000 ekor sapi perah dan 77.000 ekor sapi potong, sesuai data terakhir yang dikeluarkan Dinas Kehewanan setempat.
Bulan berikutnya, serangan bakteri brucellosis atau Brucella abortus bang kembali diantisipasi oleh Kantor Dinas Kehewanan Pemerintah Kabupaten Kediri, Jawa Timur dengan vaksinasi massal terhadap 6.000 sapi perah dan pedaging. Berdasarkan data Dinas Kehewanan Kabupaten Kediri, populasi sapi di 25 kecamatan di Kabupaten Kediri mencapai 6.000 ekor lebih. Yang paling banyak terdapat di Kecamatan Wates yang mencapai 422 ekor sapi, sehingga menjadi prioritas vaksinasi. Tiap hari dilaksanakan vaksinasi pada sekitar 100 ekor sapi. Untuk menghindari serangan bakteri tersebut, semua sapi yang masuk ke Kabupaten Kediri harus memiliki sertifikat bebas virus Brucella.
Selain Kediri, daerah-daerah rawan serangan Brucella di Jatim yaitu Blitar, Tulungagung, Malang, dan Surabaya, yang mulai tahun ini juga selalu mendapatkan bantuan vaksin jenis RB51 dari pemerintah pusat.
2. Sidoarjo
Dinas Pertanian dan Peternakan Sidoarjo memvaksinasi sapi perah untuk mencegah munculnya penyakit brucellosis. Kepala Subdin Kesehatan Hewan Dinas Pertanian dan Peternakan Sidoarjo Nuning S. Pudji mengatakan bahwa vaksinasi sapi perah diawali dengan sasaran ternak di Kecamatan Taman, Sukodono, Buduran, Wonoayu, Krian, dan Sidoarjo. Vaksinasi dilakukan oleh Tim kesehatan hewan sejak 29 Januari hingga 1 Februari.
Di Sidoarjo jumlah sapi perah terus bertambah. Pada 2007 jumlahnya mencapai 2.067 ekor. Selain vaksinasi, juga dilakukan pengambilan serum darah sapi betina untuk diteliti di Laboratorium Balai Penyidik Penyakit Veteriner (BPPV) Jogjakarta.
3. Jawa Barat
Provinsi Jabar belum terbebas dari wabah penyakit brucellosis. Sejumlah daerah di provinsi ini masih menjadi daerah endemik penyakit yang menyerang ternak sapi tersebut.
Wabah brucellosis yang menyerang sapi perah banyak terjadi di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung serta Kota Depok. Menurut Kasi Pengontrol dan Penyidikan Penyakit Hewan Dinas Peternakan Jabar, Tine Nurasih, selama tahun 2003 terjadi 170 kasus brucellosis. Kasus terbanyak terjadi di Kabupaten Bogor, yaitu sebanyak 68 kasus. Sementara kasus lain terjadi di Kota Bogor 2 kasus, Kabupaten Sukabumi 26 kasus, Kabupaten Bandung 38 kasus dan Kota Depok 5 kasus. Dibandingkan daerah lain, prevalensi penyakit brucellosis di Jabar sebenarnya masih rendah, hanya 0,30 persen. Jumlah kasus yang terjadi tahun ini menurun dibandingkan tahun 2002 lalu yang mencapai 200-an kasus.
Mengingat kebutuhan daging dan susu sapi di Jabar terhitung besar, maka impor sapi tetap dilakukan meski berpotensi menularkan penyakit. Oleh sebab itu, Dinas Peternakan Jabar mewajibkan karantina selama 14 hari bagi sapi maupun hewan ternak impor. Meskipun sudah dikarantina di tingkat pusat, saat masuk Jabar sapi tersebut dikarantina lagi di Banjar dan Losari.
Sayang sekali, meski telah diumumkan pada masyarakat bahwa brucellosis dapat menular ke manusia, penyakit ini dikatakan “tidak berbahaya” bagi manusia.
4. Banjarmasin
Penyakit keguguran (brucellosis) masih menghantui peternak sapi di Kabupaten Tanah Laut, meski pada tahun 20006 dinyatakan telah terbebas. Karena itu, Dinas Peternakan setempat bersama Balai Penyidikan dan Pengujian Veterineer (BPPV) Banjarbaru bekerjasama untuk mencegah serangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Brucella abortus itu. Kerja sama tersebut akan dilaksanakan tahun ini juga. Bahkan lokasi yang akan dijadikan sasaran sudah ditentukan yakni Desa Ujung Batu, Kecamatan Pelaihari. Pertimbangannya yakni keberadaannya yang terlokalisasi sehingga memudahkan kegiatan. Selain itu, beberapa waktu lalu ada beberapa ekor sapi betina bunting yang sakit dengan gejala mirip brucellosis. Kasusnya hampir sama dengan sakitnya seekor sapi betina di Pabahanan Kelurahan Angsau, dua tahun silam. Seluruh sapi yang ada di Ujung Batu akan diperiksa dan diambil sampel (serum darah)-nya untuk diteliti di laboratorium. Jumlah populasi sapi di Desa Ujung Batu 500-an ekor. Desa ini merupakan salah satu sentra sapi di Bumi Tuntung Pandang. Tala sendiri dikenal sebagai lumbung sapi di Kalsel dengan tingkat suplai mencapai 60 persen. Total jumlah populasi 70-an ribu ekor.
Pola pengambilan sampel sengaja diubah dari kebiasaan sebelumnya. Jika selama ini pengambilan sampel hanya terbatas pada kandang dari sapi yang sakit, maka pada tahun 2007 sampel diambil dari semua sapi yang berada di kawasan setempat. Langkah itu diyakini bisa memberikan hasil yang lebih optimal terhadap upaya pencegahan penularan penyakit brucellosis. Hal ini terkait dengan kebiasaan peternak di satu desa untuk saling meminjamkan pejantan. Disnak Tala bahkan mewajibkan peternak untuk memotong sapi terinfeksi di hadapan petugas agar peternak tidak menjual sapi itu ke desa lain.
5. Pontianak
Kepala Dinas Kehewanan dan Peternakan Kalbar, Ir Kasiono Kasdi menghimbau masyarakat untuk mewaspadai penyakit keluron menular karena meski tingkat kematian tidak tinggi, kerugian ekonomi akan sangat dirasakan oleh peternak. Jika ditemukan penyakit ini pada sapi, maka sapi harus segera dimusnahkan. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan Rose Bengal Test (RBT) dengan sample berupa serum darah hewan. Jika hasilnya positif, maka sampel darah perlu dikirim ke Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional V Banjarbaru Kalimantan Selatan untuk dilakukan Complement Fixation Test (CFT) atau ELISA. Jika hasil uji CFT positif, maka tindakan yang dilakukan adalah memotong hewan itu dengan memusnahkan alat reproduksi. Dagingnya kemudian dapat dikonsumsi manusia setelah dimasak dengan baik.
Karantina juga dilakukan agar hewan bersangkutan tidak dikawinkan untuk mencegah penularan penyakit. Pengobatan pada hewan yang terserang penyakit keluron dinyatakan tidak ekonomis sehingga pemberantasan dilakukan dengan cara pengujian dan pemotongan pada daerah dengan tingkat kesakitan < 2%. Sedangkan pada daerah dengan tingkat kesakitan > 2% akan dilakukan vaksinasi dengan vaksin aktif B. abortus galur 19.
6. Jambi
Tidak ada laporan kasus Brucellosis (penyakit keluron menular) pada sapi potong dan sapi perah selama 4 tahun terakhir di Jambi. Selanjutnya diperlukan pemantauan secara cermat, terutama terhadap lalu lintas ternak antarkabupaten dan antarprovinsi. Diperlukan juga dengan segera adanya koordinasi dengan provinsi yang tidak melaporkan adanya kasus brucellosis dalam upaya membebaskan Provinsi Jambi dan provinsi lainnya di Pulau Sumatera, terutama di bagian selatan, dari penyakit tersebut.
7. Pekanbaru
Pemerintah Propinsi Riau menargetkan pada 2008 mendatang sudah terbebas dari penyakit brucellosis atau penyakit turunan pada hewan ternak besar, karena sejak 3 tahun terakhir ini kasus tersebut berkisar pada angka 0,2 persen.
Di Pulau Sumatera ini, belum ada satupun provinsi yang dinyatakan bebas dari penyakit tersebut. Sedangkan untuk level nasional baru provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat yang dinyatakan bebas oleh pemerintah pusat itu pun sejak tahun 2005 lalu.
Pengajuan Provinsi Riau bersama Jambi dan Sumatera Barat yang dinyatakan bebas dari penyakit brucellosis, sudah di tindak lanjuti pada pertemuan di Bandung kemarin. Artinya, ketiga provinsi ini tinggal menunggu keputusannya saja.
8. Sumatera Barat
Sebelum ternak bantuan P3TK-IFAD masuk ke Sumatera Barat tahun 1989, Sumatera Barat termasuk daerah yang bebas terhadap brucellosis. Seiring dengan banyaknya proyek-proyek bantuan berupa ternak untuk daerah transmigrasi di Sumatera Barat, maka terbawa juga kuman Brucella ini ke Sumbar. Di Sumatera Barat, reaktor Brucella boleh dikatakan negatif, maka setiap ternak yang akan dijadikan bibit harus bebas brucellosis dengan bukti dari uji serologis. Jika ditemukan hasil positif, maka akan dilakukan pemotongan bersyarat. Terhadap sapi P3TK-IFAD yang positif uji serologis telah dilakukan test and slaughter dan berakhir tahun 1994.
Sejak tahun 1997 s/d 2005 telah dilakukan pemeriksaan serologis terhadap ternak-ternak betina di beberapa kabupaten yang padat ternak. Hasil pemeriksaan serologis yang dilakukan oleh BPPV Regional II Bukittinggi maupun PosKeswan adalah negatif.
Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat bersama-sama dengan Balai Penyidikan Dan Pengujian Veteriner Regional II mengusulkan ke Deptan agar Sumatera Barat dapat dinyatakan sebagai daerah bebas brucellosis dalam bentuk surat keputusan Menteri Pertanian. Setiap ternak yang masuk ke Sumatera Barat diharuskan terlebih dahulu mengurus surat keterangan bebas brucellosis dengan bukti hasil pemeriksaan darah, kemudian setelah sampai di Sumbar menjalani pemeriksaan ulang secara serologis.
9. NTB
Pada tanggal 6 April 2006, bertempat di Desa Doroncanga, Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, Propinsi Nusa Tenggara Barat telah dideklarasikan bahwa Pulau Sumbawa telah bebas dari penyakit Brucellosis. Karena Pulau Lombok telah dinyatakan bebas Brucellosis sejak tahun 2002, maka pada saat itu sekaligus dideklarasikan pula bahwa seluruh wilayah Propinsi NTB telah bebas dari Brucellosis. Deklarasi ini disampaikan dalam Pidato Menteri Pertanian RI di hadapan Presiden RI dan beberapa anggota Kabinet serta Gubernur NTB dan Bupati/Walikota se-Nusa Tenggara Barat.
Menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 444/Kpts/TN.540/7/2002 tentang Pernyataan Pulau Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat Bebas dari Penyakit Brucellosis, Menteri Pertanian menimbang :
a. bahwa di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat telah dilaksanakan pemberantasan penyakit hewan keluron menular (brucellosis), dan dilakukan pengujian dan pemotongan hewan reaktor secara intensif (slaughter test) dan masif sejak tahun 1999 hingga tahun 2001;
b. bahwa berdasarkan hasil pengamatan (active surveillance) beberapa tahun terakhir ini tidak ditemukan lagi brucellosis di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dinyatakan Pulau Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat bebas dari penyakit hewan menular brucellosis dengan Keputusan Menteri Pertanian.

D. TELAAH EKONOMI
Kerugian ekonomi akibat brucellosis sangat besar, terutama di daerah endemik. Di Nigeria, dengan populasi ternak sekitar 8 juta ekor dan prevalensi brucellosis 3,1%, kerugian ekonomi pertahun diperkirakan sebesar 233 juta dolar. Menurut analisis Direktorat Kesehatan Hewan pada tahun 1981, saat itu, kerugian ekonomi pada 21 propinsi tertular brucellosis diduga sebesar 5 milyar rupiah pertahun. Dewasa ini, 26 propinsi telah tertular brucellosis, tentu kerugian yang ditimbulkan setiap tahun akan bertambah besar. Akhir-akhir ini Direktorat Kesehatan Hewan kembali melakukan kajian ekonomi akibat brucellosis pada sapi di Propinsi Sulawesi Selatan dan NTT. Hasil kajian tersebut memperkirakan kerugian sebesar 170 juta rupiah untuk periode 5 tahun (34 juta rupiah pertahun) perdesa tertular dengan populasi 2010 ekor sapi. Lebih lanjut disebutkan bahwa apabila suatu program pemberantasan dilaksanakan, maka nilai benefit cost ratio akan sebesar 2,9%; suatu hal yang menunjukkan bahwa program pemberantasan layak dilaksanakan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa brucellosis sangat mengganggu pendapatan petani ternak, di daerah dan bahkan nasional (Rompis, 2002).

VII. Sumber Infeksi (Anonim7, 2008; Anonim8, 2007; Anonim11, 2006)
1. Udara yang terkontaminasi bakteri, terutama di laboratorium, abatoir, pabrik daging
2. Jaringan atau cairan tubuh dari hewan terinfeksi : kambing, babi, hewan ternak, anjing
3. Jaringan atau cairan tubuh dari anakan yang teraborsi maupun baru lahir : plasenta, dsb.
4. Makanan yang terkontaminasi :
• susu mentah
• keju, mentega, atau es krim yang dibuat dari susu mentah
• daging mentah
• makanan eksotis : susu unta mentah, plasenta domba, daging rusa
• ASI (penularan dari ibu ke bayinya)
5. Vaksin aktif brucellosis

VIII. Cara Penularan
Pola proses penularan anthropozoonosis dapat terjadi dari hewan ke manusia, akan tetapi penularan tersebut bukan merupakan penularan akhir (terminal). Kemungkinan manusia menularkan kepada manusia atau kembali kepada hewan belum jelas. Contoh lain dari cara penularan ini adalah TBC tipe bovinum, toxoplasmosis, anthrax. Beberapa sumber mengklasifikasikan brucellosis dalam zoonosis langsung (direct) yang mana ditransmisikan dari hospes vertebrata terinfeksi ke hospes vertebrata lainnya yang peka melalui kontak langsung, muntahan, atau melalui vektor mekanis. Tidak ada perubahan perkembangan atau propagasi organisme selama transmisi. Contoh lainnya adalah rabies dan trichinosis.
Brucellosis dapat menular ke manusia melalui kontak dengan jaringan atau cairan tubuh dari hewan terinfeksi. Hewan yang dapat terinfeksi dengan bakteri Brucella termasuk hewan ternak, babi, kambing, dan domba. Infeksi juga dapat ditemukan pada bison, elk, caribou, dan beberapa species kijang. Brucella canis menyerang anjing (terutama anjing liar daripada anjing peliharaan) dan coyote.
Penularan brucellosis langsung dari manusia ke manusia sangatlah jarang. Ibu yang menyusui dapat menularkan infeksinya pada bayi mereka, antara lain melalui ASI. Transmisi seksual juga telah dilaporkan. Untuk kedua transmisi ini, jika si bayi dan orang yang berisiko sebelumnya ditangani untuk brucellosis, risiko mereka untuk menjadi terinfeksi kemungkinan dapat dihilangkan dalam 3 hari. Meskipun tidak umum, transmisi dapat juga terjadi melalui transfusi darah atau sumsum tulang dan transplantasi jaringan yang terkontaminasi (Anonim11, 2006).
Staf USDA (United States Department of Agriculture) dan spesialis lain di bidang penyakit satwa liar menemukan bahwa brucellosis jarang terjadi, atau terjadi hanya secara laten jika ada, sebagai infeksi terhadap satwa liar. Bison di Yellowstone National Park diketahui pernah terinfeksi B. abortus. Infeksi elk juga pernah didokumentasikan di Alaska, Kanada, dan A.S. Di Florida, suatu survei terhadap babi liar menunjukkan seroprevalensi 53% pada setidaknya 1 dari 4 tes (Currier, 1995).
Setelah masuk, organisme Brucella menginvasi sirkulasi darah dan tersebar ke seluruh tubuh, dengan target pada sistem limfatik dan lokasi di nodus limfatikus regional. Lebih lagi, organisme akan menempatkan dirinya di sitoplasma dari sel-sel mononuklear bersifat fagositik pada jaringan, hingga menimbulkan terbentuknya lesi granulomatosa dan abses (terutama B. suis). Karena infeksi pada dasarnya bersifat intraseluler, penanganan atas penyakit ini perlu dilakukan dalam periode yang panjang, bahkan jika pasien tidak lagi mengalami gejala-gejala tersebut (Currier, 1995).

IX. Diagnosis
A. Diagnosa Laboratorik (Isolasi dan Identifikasi Bakteri Brucellae)
1. Hal Umum
Setiap prosedur untuk isolasi dan identifikasi Brucella berikut telah dirancang untuk mencegah penularan agen ke manusia.
2. Pencegahan Penularan dari Spesimen
Dalam memeriksa semua spesimen pasien, pemeriksa diharuskan mengenakan sarung tangan, jas laboratorium panjang. Pemeriksaan dilakukan dalam Biosafety Cabinet. Subkultur (bakteri yang ditanam langsung dari spesimen dengan tujuan perbanyakan) juga dikerjakan dalam Biosafety Cabinet dan kemudian diinkubasi dalam kondisi 5-10% CO2. Plat yang digunakan harus selalu tertutup rapat. Hal ini dilakukan karena Brucella sangat mudah menular.
3. Spesimen
Spesimen adalah sampel yang diambil dari pasien yang digunakan untuk uji diagnostik (peneguhan). Berikut ini adalah spesimen yang perlu diambil untuk isolasi dan identifikasi Brucella :
1. Darah atau sumsum tulang
2. Limpa (di bagian dorsal tubuh, menempel pada lambung), cairan sendi atau abses-abses
3. Serum (setidaknya 1 ml) untuk diagnosa secara serologik. Spesimen yang masih pada fase akut harus dikoleksi segera setelah onset penyakit terlihat.
4. Kultur dan Identifikasi Brucella
4.1. Media
Media dipilih berdasarkan jenis spesimennya. Spesimen berupa cairan sendi jarang digunakan untuk kultur. Spesimen yang paling sering digunakan adalah darah dan jaringan. Subkultur Brucella dapat didapatkan dari kultur darah yang tertampung di botol dengan menggunakan :
a. BAP (Sheep Blood Agar)
b. Chocolate Agar (CHOC)
c. MacConkey Agar (MAC) atau Eosin-Methylene Blue (EMB) agar
d. Agar Urea
e. Agar yang mengandung zat warna (Thionine, Basic Fuschine, Crystal Violet Agar)
f. Agar Sitrat
g. Motility Agar

Tabel 9. Perbedaan Karakteristik Biokimiawi Brucella sp.
B. abortus B. melitensis B. suis B. ovis B. canis
Kebutuhan CO2 + - - + -
H2S + - + - -
Oksidase + + + - +
Urease + + + - +
Basic fuschine
1 : 50.000 + + - + -
Thionine
1 : 50.000 - - + + +

4.2. Reagen
Reagen adalah komponen–komponen yang digunakan untuk menguji subkultur bakteri. Reagen yang digunakan untuk uji brucellosis antara lain :
a. Pewarna Gram
b. 3% Hidrogen Peroksida untuk uji katalase
c. 0.5 Tetramethyl-p-phenylenediamine untuk uji oksidase
d. Agar Urea (Christiansen’s) atau rapid urea disks
e. Kultur Staphylococcus aureus ATCC 25923.

4.3. Alat
a. Instrumen untuk kultur darah (opsional)
b. Inkubator 35 oC dengan 5-10% CO2
c. Mikroskop cahaya (perbesaran 100 X pada lensa objektif dan 10 X pada lensa okuler)
d. Object glass beserta cover slip dan alat inokulasi bakteri sekali pakai

4.4. Prosedur Kultur dan Identifikasi Brucellae
Diagram 1. Langkah-langkah Isolasi dan Identifikasi Brucella sp.


















4.5. Tes Lanjut / Peneguhan
Rangkaian uji biokimiawi di bawah ini perlu dilakukan dalam Biosafety Cabinet jika pada hasil kultur dan pengecatan sebelumnya telah ditemukan bakteri Brucella :
a. Uji Oksidase (B. abortus, B. melitensis, B. suis semuanya oksidase positif, namun hasil uji oksidase B. canis dapat bervariasi)
b. Uji Katalase (hasilnya positif untuk Brucella)







c. Penanaman di agar urea Christensen dengan memperhatikan terjadinya perubahan warna dari kuning menjadi merah muda dalam 15 menit, 2 jam, hingga 72 jam. Jika jumlah bakteri hanya sedikit, maka perubahan warna dapat tertunda sampai 72 jam.
Haemophilus seringkali mengelirukan hasil pengujian biokimiawi Brucella. Namun, Haemophilus tidak tumbuh pada BAP. Untuk meneguhkan perbedaan antara Haemophilus dan Brucella, dapat dilakukan penanaman di kultur Staphylococcus aureus ATCC 259233. Haemophilus akan mengelilingi atau bersatelit di sekitar koloni Staphylococcus.

B. Diagnosa Berdasarkan Gejala Klinis dan Serologik
Brucellosis terkarakterisasi dengan demam yang berlanjut, intermiten, atau tidak teratur. Beberapa gejala lain yang mungkin muncul adalah pusing kepala, kelemahan, berkeringat, menggigil, arthralgia (nyeri sendi), depresi, kehilangan berat badan, dan nyeri umum. Penyakit ini dapat berlangsung selama berhari-hari, berbulan-bulan, atau selama setahun jika tidak ditangani. Hal ini sangat bervariasi, tetapi 1-2 bulan setelah ekspos adalah yang paling umum.
Beberapa sumber membagi gejala yang muncul menjadi tiga tipe (Anonim8, 2007; Anonim11, 2006):
1. Akut (<8 minggu dari onset penyakit) : gejala-gejala seperti flu : demam (hingga ≥104 ºF atau 40 ºC-41 ºC di siang hari), menggigil, pusing kepala, nyeri punggung bagian bawah, nyeri sendi, malaise, terkadang diare, gejala neurologis (pada 5% kasus).
2. Subakut / undulan (<1 tahun dari onset penyakit) : demam undulan, arthritis, dan epididimo-orchitis, malaise, nyeri otot, pusing kepala, nyeri leher, demam, berkeringat.
3. Kronis (>1 tahun dari onset penyakit) : anoreksia, kehilangan berat badan, nyeri perut, nyeri sendi, pusing kepala, nyeri punggung, sindrom kelemahan kronis, iritabilitas, insomnia, depresi, konstipasi, arthritis.

Kriteria laboratoris untuk diagnosis meliputi :
• Isolasi bakteri dari famili Brucella dari kultur bakteri :
o Kultur darah dalam kaldu triptosa
o Kultur sumsum tulang
Pertumbuhan brucellae sangatlah lambat (hingga dua bulan untuk tumbuh) dan kultur ini mengandung risiko bagi personel laboratoris karena tingginya infektivitas brucellae.
• Peningkatan antibodi dalam darah dalam jangka waktu tertentu yang spesifik untuk Brucella yang dapat dideteksi dengan berbagai uji serologis :
o Uji reaksi klasikal Huddleson, Wright dan/atau Rose Bengal (RB)
Uji RB adalah metode skrining yang paling sensitif dan cepat dan harus dilakukan pada semua pasien yang mengalami demam pada daerah endemik. Reaksi silang, khususnya dengan Y. enterocolitica O:9 dapat menghasilkan positif palsu. Antigen RB adalah sediaan yang dibuat dari sel bakteri Brucella abortus galur S19 yang diwarnai dengan pewarna Rose Bengal sehingga berwarna merah jambu.
Cara pemeriksaan adalah dengan meneteskan sampel serum (0,025 ml) ke dalam lubang cawan WHO/ cawan mikro. Kemudian menambahkan 0,025 ml antigen brucella rose bengal ke dalam cawan. Antigen dan serum dicampur rata dengan memutar cawan 6x searah jarum jam dan 6x berlawanan arah jarum jam. Cawan kemudian diputar dengan rotary agglutinator selama 4 menit dan dapat dibaca hasilnya di atas sumber cahaya putih.
Tabel 10. Interpretasi Hasil RBT
Interpretasi Hasil Penggumpalan Keterangan
negatif tidak terjadi campuran antigen-antiserum : pink homogen
( + 1 ) terlihat halus batas pinggir terjadi seperti garis putus-putus
( + 2 ) terlihat jelas, halus garis tepi lebar dengan cairan sekitar agak jernih
( + 3 ) terlihat kasar/besar cairan di sekitarnya jernih

o Serum Agglutination Test (SAT)
SAT dipilih dalam mendiagnosis brucellosis pada manusia karena metodenya yang sederhana dan biaya yang rendah.
o 2-mercaptoethanol assay (2-ME) untuk antibodi IgM untuk kaitannya dengan penyakit kronis. Uji ini sederhana dan dapat membedakan kelas-kelas imunoglobulin sehingga digunakan untuk mengukur antibodi resisten IgG yang adalah indikator yang lebih baik akan adanya infeksi aktif daripada IgM.
o Complement Fixation Test (CFT) yang adalah uji serologis yang paling spesifik dan memiliki nilai diagnostik karena terutama mendeteksi antibodi IgG1. Bagaimanapun, karena kompleksitas dan ketelitian yang diperlukan, uji ini tidak digunakan secara luas seperti SAT dan RBT. CFT dilakukan terutama untuk verifikasi dalam diagnosis brucellosis pada manusia.
• Uji Coombs yang menggunakan antigen yang sama dengan SAT. Uji ini adalah pilihan metode dalam mengukur antibodi non-aglutinasi, di mana hasilnya dapat membedakan pasien brucellosis akut dan kronis.
o ELISA; dibedakan menjadi Indirect ELISA (iELISA) dan Competitive ELISA. Uji ELISA dapat mendeteksi isotipe antibodi, tergantung pada spesifisitas konjugat antiglobulin yang digunakan. Karena predominansi IgG1 pada respon imun, indirect ELISA memberikan kombinasi terbaik dari sensitivitas dan spesifisitas diagnostik. Menggunakan anti-IgG1 manusia, kinerja diagnostiknya sebanding dengan CFT; artinya dapat menggantikan CFT sebagai uji konfirmatorik ataupun dilakukan secara paralel dengan CFT. Competitive ELISA mampu membedakan respon terhadap bakteri lain yang biasanya mengakibatkan reaksi silang dan juga berpotensi untuk menggantikan CFT sebagai uji serologis definitif untuk brucellosis.
o Fluorescence polarisation assay (FPA); merupakan teknik sederhana untuk mengukur interaksi antigen-antibodi dengan berdasarkan pada rotasi acak molekul dalam larutan. Ukuran molekuler adalah faktor utama yang mempengaruhi tingkat rotasi. Pada sebagian besar FPA, antigen dengan berat molekuler yang kecil (< 50 kD) dilabel dengan fluorokrom dan ditambahkan serum atau cairan lain untuk diuji keberadaan antibodinya. Jika antibodi terdapat dalam cairan, maka ikatannya dengan antigen yang telah dilabel akan menurunkan tingkat rotasinya dan penurunan ini dapat diukur dan diinterpretasikan.
• Brucella Milk Ring Test (BMRT), yaitu uji skrining (uji cepat untuk menyeleksi yang positif) dengan menggunakan susu sapi dan krim. Antigen BMRT adalah sel B. abortus yang sudah mati diwarnai dengan hematoksilin, yang ditambahkan 0,5% phenol sebagai pengawet.
BMRT dapat menghasilkan reaksi positif tergantung pada Fat Globule Agglutinin yang ada pada bagian permukaan susu membentuk lapisan krim. Antigen Brucellae akan beraglutinasi bila ada antibodi dalam susu. Sel antigen akan menempel pada permukaan globulus lemak (fat globule) dan membentuk lapisan krim yang berwarna biru.
Cara uji cincin susu (BMRT) adalah dengan mengisikan sampel air susu ke dalam tabung reaksi berdiameter 10 mm agar tinggi air susu 2 cm, menambahkan antigen BMRT sebanyak 30 μL, kemudian mengocok isi tabung dengan hati-hati hingga tercampur selama satu menit dan menyimpannya di rak tabung, lalu menginkubasikannya selama satu jam pada suhu 37 oC.

Tabel 11. Identifikasi Brucella sp. dengan BMRT
Cincin Krim
(lapisan krim bag.atas) Bagian Atas Susu
(di bawah lapisan krim) Kriteria Reaksi Aglutinin
Biru terang berbatas jelas
dengan bagian susu putih ++++ Ada
Biru sedikit biru berbatasan
dengan cincin krim +++ Ada
Biru putih kebiruan ++ Ada
Terbentuk cincin sama dengan lapisan di atasnya + Ada
Putih & sedikit biru biru - Tidak ada
• Brucellin skin test, yang merupakan alternatif uji imunologis yang dapat digunakan untuk skrining kawanan yang belum pernah divaksinasi.
Spesifisitasnya sangat tinggi hingga hewan yang terdeteksi negatif secara serologis dan terdeteksi sebagai reaktor positif pada uji ini akan diperlakukan sebagai hewan terinfeksi. Selain itu, hasil pemeriksaan ini dapat membantu dalam interpretasi reaksi serologis yang diduga sebagai akibat reaksi silang dengan bakteri lain, terutama pada daerah yang bebas brucellosis.
Prosedur uji ini adalah dengan menginjeksi 0,1 ml brucellin secara intradermis pada lipatan caudalis, kulit dari bagian flank, atau pada sisi leher. Hasilnya dapat dibaca 48-72 jam kemudian dengan memperhatikan ada-tidaknya peningkatan dalam penebalan kulit di lokasi injeksi yang diukur dengan vernier callipers. Reaksi positif yang kuat mudah dikenali dengan pembengkakan lokal dan pengerasan. Batasan reaksinya membutuhkan interpretasi yang cermat. Penebalan 1,5-2 mm dianggap sebagai reaksi positif. Bagaimanapun, inokulasi brucellin dapat juga menimbulkan reaksi alergi, sehingga untuk memastikan diagnosa, hasil positif perlu diikuti dengan pemeriksaan ulang 6 bulan kemudian.
Uji antibodi harus dilakukan menggunakan dua sampel darah yang dikoleksi secara terpisah dengan selang waktu 2 minggu (Anonim8, 2007).
• Demonstrasi bakteri dari famili Brucella dengan immunofluoresens
• Bukti histologis adanya hepatitis granulomatosa (dengan biopsi hepatik)
• Perubahan radiologis pada vertebrae yang terinfeksi : Pedro Pons sign (erosi preferensial dari ujung anterosuperior vertebrae lumbar) dan osteophytosis jelas yang mengarah ke brucellic spondylitis.
Kasus brucellosis adalah mungkin jika terdapat kasus penyakit yang secara klinis cocok (mirip dengan yang dideskripsikan di atas), dan secara epidemiologis terkait pada kasus yang telah positif pasti. Sebuah kasus juga dianggap mungkin jika terdapat bukti dalam darah akan ekspos terhadap Brucella. Sebuah kasus brucellosis adalah pasti jika secara klinis sesuai dan secara laboratoris telah terkonfirmasi.
Kawanan yang berisi ternak yang terinfeksi dapat terinfeksi cukup lama sebelum akhirnya dideteksi menderita brucellosis. Hal ini disebabkan oleh munculnya hasil negatif palsu dari semua uji biologis dengan sensitivitas < 100%. Selain itu, hewan juga kemungkinan sedang berada pada masa inkubasi, sehingga belum terserokonversi saat diuji atau diperiksa. Alasan lain adalah bahwa sapi-sapi muda mengalami infeksi yang laten di mana penyakit terus berkembang tanpa adanya antibodi yang bersirkulasi yang dapat dideteksi pada titer yang menunjukkan adanya infeksi. Sapi-sapi yang terinfeksi di usia sangat muda biasanya mengalami ini (“heifer syndrome”) dan jarang mengalami serokonversi hingga parturisi pertama (Currier, 1995).

Tabel 12. Pemeriksaan yang Dilakukan untuk Mendeteksi Penyakit Brucellosis
(Terrestrial Animal Health Code)
Nama Penyakit Uji yang Disarankan Uji Alternatif
Bovine brucellosis BBAT, CF, ELISA, FPA -
Ovine epididymitis (Brucella ovis) CF ELISA
Caprine & ovine brucellosis
(tidak termasuk infeksi Brucella ovis) BBAT, CF Uji Brucellin, FPA
Porcine brucellosis ELISA BBAT, FPA
Keterangan : BBAT : Buffered Brucella antigen test, yaitu Rose Bengal Test
CF : Complement fixation
ELISA : Enzyme-linked immunosorbent assay
FPA : Fluorescence polarisation assay
- : Belum ada uji yang tersedia

Pada dugaan kasus brucellosis anjing, biasanya dilakukan skrining sebelum anjing dikawinkan, yaitu dengan Rapid Slide Agglutination Test (RSAT). Kemungkinan terjadinya positif palsu adalah ≤ 60%. Cara lain adalah dengan uji Immunofluorescent Antibody (IFA) yang dapat dilakukan di laboratorium. Jika hasil positif, maka anjing perlu menjalani pemeriksaan lebih lanjut, yaitu dengan uji AGID (Agar Gel Immunodiffusion) yang memiliki nilai positif paling terpercaya; terutama versi CPAGID (yang dinamai demikian dari protein bakteri yang dideteksinya), atau dengan TAT (Tube Agglutination Test) yang mendeteksi antibodi terhadap Brucella canis. Kedua pemeriksaan ini juga seringkali disyaratkan sebagai dokumentasi pengantar untuk anjing yang akan bepergian ke luar negeri (TAT untuk Australia dan AGID untuk Selandia Baru).
Pemeriksaan lain yang kemungkinan dilakukan sehubungan dengan diagnosis Brucellosis (Anonim11, 2006):
• Uji Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mencari materi genetik bakteri brucellosis : cepat, dapat dilakukan pada jaringan jenis apapun, dan dapat mendeteksi infeksi 10 hari sesudahnya, tetapi karena masih relatif baru, biasanya diiringi dengan pemeriksaan darah lainnya.
• Analisis atau kultur urine untuk mencari infeksi brucellosis pada saluran urinaria
• Kultur cairan cerebrospinal untuk memeriksa sampel kecil cairan otak dan sumsum tulang akan adanya infeksi seperti meningitis dan encefalitis
• X-ray untuk menemukan perubahan arthritis pada tulang dan sendi
• Computerized Tomography (CT) scan otak untuk membantu mengetahui lokasi keradangan maupun abses pada otak

X. Pencegahan dan Pengendalian
A. Di Indonesia
1. Program Pemberantasan
Sapi Bali adalah primadona dalam pengembangan peternakan sapi di Indonesia, karena berbagai keunggulannya, yaitu memiliki daya adaptasi tinggi pada lahan kering, tingkat fertilitas yang tinggi, dan merupakan plasma nutfah bagi Indonesia. Sentra-sentra peternakan sapi bali di Indonesia (contohnya NTB dan NTT) kini telah terserang brucellosis (Rompis, 2002).
Mengingat kondisi geografi Indonesia yang sangat bervariasi, maka keberhasilan suatu program pemberantasan brucellosis akan sangat tergantung pada pendekatan yang digunakan. Dalam tulisan ini akan dibahas pendekatan pulau dan desa yang telah diterapkan di Kabupaten TTS, Propinsi DaTi 1 NTT. Demikian juga strategi pemberantasan nampaknya harus disesuaikan dengan kondisi sistem peternakannya (Rompis, 2002).
Prinsipnya, tujuan serta sasaran program pemberantasan brucellosis pada sapi dan kerbau adalah memperbaiki lingkungan budidaya peternakan yang bebas brucellosis, untuk meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi dan kerbau, serta pada akhirnya untuk meningkatkan pendapatan petani peternak (Rompis, 2002).
• Pendekatan Pulau
Indonesia merupakan negara kepulauan, yang secara geografis berpotensi besar dapat mencegah, mengendalikan, dan memberantas brucellosis. Dalam kaitan ini, perlu dikaji teknik pemberantasan pulau per pulau, seperti yang pernah dilaksanakan di Denmark lebih dari lima dekade yang lalu (Rompis, 2002).
Mempertimbangkan cara-cara penularannya, maka program pemberantasan brucellosis selayaknya segera diaplikasikan secara sistematis. Apabila terjadi keterbatasan dana, maka program pemberantasan seyogyanya dilaksanakan secara bertahap, pulau per pulau (Rompis, 2002).
• Pendekatan Desa
Kebanyakan literatur tentang pola pencegahan dan pengendalian penyakit hewan berasal dari negara maju. Sesungguhnya tidak semua dari prinsip tersebut dapat diaplikasikan langsung pada kondisi peternakan di Indonesia. Hendaknya disadari adanya berbagai perbedaan, yaitu pengetahuan dan ketrampilan peternak di negara maju jauh lebih baik dari peternak di Indonesia. Kedua, kebanyakan usaha peternakan di negara maju merupakan usaha pokok atau bahkan merupakan cabang industri, sedangkan di Indonesia kebanyakan merupakan usaha sambilan. Jadi sistem peternakan di negara maju bersifat intensif dan berskala besar, sedangkan di Indonesia kebanyakan dalam skala kecil dan bersifat tradisional atau peternakan rakyat. Sistem manajemen peternakan ini sangat mempengaruhi pola penularan penyakit. Ketiga, di negara maju, apabila terdapat penyakit eksotik yang berbahaya memasuki wilayahnya, umumnya tindakan yang diambil adalah stamping out. Di Indonesia, tindakan stamping out sulit dilakukan, selain membutuhkan dana kompensasi yang besar juga kondisi sosial budaya yang belum dapat mendukung pelaksanaan tindakan tersebut. Memperhatikan kondisi peternakan seperti ini, pencanangan suatu program kesehatan hewan sering mengalami hambatan, sehingga target tidak dapat dicapai secara optimal. Untuk itu, pendekatan manajemen kesehatan hewan di pedesaan haruslah dipandang sebagai suatu kawanan/kelompok ternak. Pada kenyataannya ternak memang berada pada jarak yang saling berdekatan dan acapkali digembalakan pada satu padang penggembalaan. Pola penularan brucellosis pada ternak yang dikandangkan saja akan sangat berbeda dengan sistem peternakan semi ekstensif atau ekstensif tradisional seperti yang telah diuraikan sebelumnya (Rompis, 2002).
2. Strategi Pemberantasan
Pada dasarnya dikenal dua strategi pemberantasan. Apabila prevalensi reaktor lebih tinggi dari 2%, maka pemberantasannya adalah dengan vaksinasi. Sedangkan apabila prevalensinya lebih rendah dari 2% lazimnya diterapkan teknik test and slaughter, artinya setiap hewan diuji secara serologi dan yang bereaksi positif (reaktor) harus dieliminasi (Rompis, 2002).
3. Program Vaksinasi
Pada daerah endemik dapat dilakukan vaksinasi massal berturut-turut selama 7 tahun dengan menggunakan vaksin hidup B. abortus galur S19 yang berasal dari USDL Amerika Serikat. Vaksin ini diberikan hanya satu kali pada setiap ekor ternak selama hidupnya. Semua ternak betina umur 3-8 bulan divaksinasi (subkutan) dengan dosis mengandung kuman B. abortus 5-810. Ternak betina dewasa dengan umur lebih 12 bulan divaksinasi dengan dosis pengenceran 1: 40 atau yang mengandung kuman B. abortus kira-kira 3X108 sampai dengan 3X109. Pelaksanaan program ini harus dilakukan secara selektif di suatu desa/daerah yang dianggap sangat memerlukan. Vaksinasi bisa dilakukan pada desa/daerah dengan prevalensi yang sangat tinggi, dan tidak dimungkinkan dilakukan test and slaughter, terutama pada ternak-ternak yang dalam satu kelompok atau satu padang pengembaraan. Ternak reaktor dapat divaksinasi, tetapi setiap melahirkan diusahakan diisolasi dari ternak lainnya sekurang-kurangnya selama satu bulan sebab masih berpotensi untuk menularkan penyakit. Pada tahun kedua dan seterusnya, vaksinasi hanya ditujukan pada anakan sapi/kerbau betina pada umur 3-8 bulan yang lahir setelah program vaksinasi tahun pertama dan yang belum divaksinasi pada tahun pertama (Rompis, 2002).
4. Pengambilan Sampel Darah pada Desa/Daerah dengan Strategi Vaksinasi
Pengambilan sampel darah harus dilakukan 2 tahun setelah vaksinasi terhadap seluruh (100%) ternak sapi dan kerbau yang divaksinasi pada umur 3-8 bulan. Untuk ternak yang divaksin pada umur diatas 12 bulan, pengambilan sampel dilakukan 2 kali (dengan interval 1 tahun), 2 tahun setelah divaksinasi. Ternak yang masih bereaksi positif pada uji CFT diupayakan dipotong paksa/bersyarat secara bertahap (Rompis, 2002).
5. Lama Program
Secara keseluruhan program pemberantasan dicanangkan dalam waktu sepuluh tahun, terdiri dari 7 tahun program vaksinasi dan 3 tahun (pasca vaksinasi) untuk tahap evaluasi pernyataan pembebasan Brucellosis (Rompis, 2002).
Diharapkan setelah akhir dari progaram vaksinasi 7 tahun, hewan-hewan yang berumur 1 tahun ke atas pada saat pencanangan program vaksinasi tahun pertama telah berumur delapan tahun atau lebih. Oleh karenanya, hampir seluruh hewan yang berumur 1 tahun ke atas pada saat vaksinasi tahun pertama telah dipotong secara alami. Dengan demikian ternak reaktor sudah mendekati habis, sehingga tingkat penularan penyakit sudah sangat rendah atau bahkan mendekati nol. Apabila program pemberantasan dapat berjalan sesuai rencana, pada tahun ke-8 akan tercipta suatu populasi ternak baru yang seluruhnya telah memperoleh vaksinasi, lahir dan tumbuh dalam lingkungan budidaya peternakan yang memiliki tingkat kekebalan kelompok yang tinggi dan dalam lingkungan dengan tingkat prevalensi reaktor yang rendah dan bahkan nol (Rompis, 2002).
6. Program Test and Slaughter
Pada desa/daerah sporadik ringan (prevalensi < 2%) dan sedang (prevalensi 2-5%) strategi pemberantasan adalah dengan program test and slaughter. Program vaksinasi dapat pula dilaksanakan, tergantung kepada kondisi geografis, populasi ternak dan sistem peternakan setempat. Mungkin saja ada desa yang terdiri atas dusun-dusun dan masing-masing dusun berjauhan satu sama lain, dan prevalensi reaktor antara dusun satu dengan lainnya sangat berbeda. Kondisi ini jelas harus diperhitungkan pada aplikasi strategi program pemberantasan. Program vaksinasi yang diterapkan pada suatu lokasi atau beberapa lokasi dalam suatu desa, dengan ternak-ternak berada dalam satu kandang atau digembalakan pada padang penggembalaan yang sama atau secara geografis memungkinkan terjadinya penularan, pelaksanaannya sama dengan seperti telah diuraikan di atas. Seluruh sera diuji dengan RBPT. Semua sera positif diuji CFT. Seluruh ternak yang positif pada uji CFT dinyatakan sebagai reaktor dan ternak ini harus segera dipotong paksa (Rompis, 2002).

Pengambilan Sampel Darah pada Strategi Test and Slaughter

a. Tahap pertama : Pengambilan Sampel Pertama
Pengambilan dan pengujian sampel sera pertama meliputi seluruh populasi ternak sapi dan kerbau umur 12 bulan ke atas, kecuali ternak jantan yang telas dikastrasi. Proses ini diupayakan dapat dilakukan secara serentak (Rompis, 2002).
b. Tahap pertama, Pengambilan Sampel Kedua
Pengambilan dan pengujian sampel sera yang kedua dilakukan dengan interval 30-60 hari setelah pengambilan sampel pertama, meliputi seluruh populasi sapi dan kerbau umur 12 bulan ke atas, kecuali ternak jantan yang telah dikastrasi. Pengambilan sampel kedua, ketiga dan seterusnya untuk mendeteksi keberadaan reaktor pada suatu populasi akan tergantung pada : besarnya populasi ternak pada suatu desa, tingkat prevalensi reaktor, sensitivitas, serta spesifisitas uji CFT (Rompis, 2002).
c. Tahap kedua
Pada tahun kedua kembali dilakukan pangambilan dan pengujian sampel sera terhadap sapi dan kerbau (di desa) yang pada pengambilan sampel tahun pertama kurang dari 12 bulan. Prosedurnya sama dengan pada tahun yang pertama (Rompis, 2002).
6. Lama Program
Pada akhir tahun pertama, beberapa desa/daerah dapat dinyatakan bebas sementara. Pada akhir tahun kedua, dilakukan perhitungan ulang beberapa desa yang dapat dinyatakan bebas sementara, demikian seterusnya. Setelah suatu desa dinyatakan bebas sementara, lalu lintas ternak ketat; tidak diperkenankan memasukkan ternak dari desa yang belum bebas atau bebas sementara. Selanjutnya dilakukan monitoring setiap tahun selama 3 tahun, apabila dalam kurun waktu tersebut tidak ditemukan reaktor, maka desa tersebut dinyatakan bebas permanen. Dengan demikian, status bebas sementara butuh waktu sekitar 3 tahun, monitoring pasca bebas sementara butuh waktu 3 tahun (bila tidak ada reaktor), maka bila semuanya berjalan sesuai dengan target, program test and slaughter butuh waktu 6 tahun (Rompis, 2002).

B. Di Luar Negeri
Tabel 12. Kelebihan dan Kelemahan dari Strategi Pengawasan Brucellosis
Strategi Kelebihan Kelemahan
Eliminasi dari hewan terinfeksi • Eliminasi • Biaya yang lebih tinggi
• Kebutuhan akan pelayanan dokter hewan yang efisien (identifikasi hewan, dukungan laboratories, pengawasan lalu lintas)
Vaksinasi hewan muda dan eliminasi dari hewan terinfeksi • Meminimalisasi aborsi
• Uji serologis mampu membedakan hewan terinfeksi atau tervaksinasi • Imunitas kawanan ternak lambat terbentuk

Vaksinasi massal • Biaya yang lebih rendah
• Lebih mudah dilakukan
• Imunitas kawanan ternak cepat terbentuk • Aborsi
• Uji serologis tidak mampu membedakan hewan terinfeksi dan tervaksinasi
• Kesehatan masyarakat tidak dapat dipastikan

1. Pencegahan :
Langkah yang paling penting untuk mencegah brucellosis pada manusia adalah dengan mengontrol brucellosis pada hewan. Sementara kejadian brucellosis ditekan, semua orang didorong untuk menghindari konsumsi susu mentah atau keju atau es krim yang dibuat dengan susu mentah, terutama saat bepergian. Jika tidak yakin bahwa produk susu tersebut telah dipasteurisasi, masyarakat dianjurkan untuk tidak mengkonsumsinya. Susu hendaknya diperiksa 2-4 kali dalam setahun untuk memastikan bahwa hewan produksi bebas dari bakteri menular (Anonim11, 2006). Pemburu dan penggembala disarankan untuk mengenakan sarung tangan karet selama menangani organ dalam hewan dan tidak memakan daging dalam keadaan mentah. Daging sebaiknya dimasak hingga benar-benar matang, yaitu hingga mencapai suhu internal 145-165 ºF. Prosedur ini juga akan membunuh bakteri lain seperti Salmonella dan E. Coli (Anonim11, 2006).
Dokter hewan juga disarankan mengenakan sarung tangan selama memeriksa hewan sakit atau mati dan membantu kelahiran hewan. Demikian juga budaya untuk mencuci tangan dengan bersih dan menggunakan pelindung lain seperti celemek dan penutup mata saat memvaksin semakin digencarkan. Investigasi standar untuk penyakit ternak, terutama aborsi pada hewan ternak dan babi, sebaiknya termasuk uji serologis untuk Brucella untuk mengidentifikasi dan menyingkirkan masalah spesifik ini sesegera mungkin.
Menurut federal livestock inspectors, kawanan ternak yang telah bebas dari brucellosis dapat dilindungi dengan memastikan bahwa setiap hewan dari kelompok ini hanya didekatkan dengan kawanan ternak yang juga telah bersertifikasi bebas brucellosis. Hewan-hewan ini harus diperiksa saat penjualan dan kemudian dipisahkan selama 60 hari dan diperiksa ulang sebelum disatukan dengan kawanan yang telah ada. Hal ini dilakukan karena selama transportasi menuju tempat penjualan, selama penjuala ternak, dan pengiriman ke pembeli dapat terjadi ekspos dengan ternak dari berbagai kawanan yang kemungkinan terinfeksi dan menyebarkan organisme Brucella.
Agensi kesehatan hewan negara dan federal serta industri ternak terus menerus diingatkan oleh pemerintah A.S. untuk tetap berkomitmen pada Program Eradikasi Brucellosis Kerjasama Negara-Federal Nasional dan menyadari bahwa sementara kejadian brucellosis terus ditekan, biaya deteksi dan manajemen dari setiap kawanan yang telah terinfeksi akan meningkat. Meskipun demikian, telah terbentuk pola pikir yang futuristik bahwa eliminasi brucellosis pada babi dan prevalensi brucellosis pada hewan ternak yang telah menurun, sejalan dengan tujuan eradikasi, akan memberikan keuntungan yang sangat besar di masa depan dalam kesehatan masyarakat maupun ekonomi.
Belum ada vaksin yang tersedia untuk manusia dan kuda. Di A.S., dokter hewan diwajibkan memvaksin semua ternak muda untuk mengurangi kemungkinan transmisi zoonotik. Brucella abortus RB-51 (RB51) adalah galur yang dikembangkan secara spesifik (diproduksi dari mutan B. abortus galur 2308) untuk imunisasi hewan ternak besar terkait dengan penyakit brucellosis, meskipun dahulu dikenal penggunaan galur 19 (Anonim8, 2007). RB51 dipilih karena lebih tidak umum dalam menyebabkan penyakit parah pada hewan ternak daripada galur B. abortus lainnya dan juga dianggap sama pada manusia. Imunisasi hewan ternak terhadap brucellosis dimulai pada tahun 1941. Imunisasi RB51 mewakili imunisasi yang lebih aman baik bagi hewan ternak maupun dokter hewan yang memberikannya. Vaksin hewan ternak dikondisikan seperti telah berlisensi pada tahun 1996 dan mendapatkan lisensi penuh pada Maret 2003 dan digunakan pada 49 negara, Puerto Rico, dan US Virgin Island. RB51 tidak menginduksi respon antibodi yang dapat terukur dengan esai standar. Hal ini berarti bahwa uji brucellosis pada hewan ternak hanya akan mengidentifikasi kasus yang terjadi secara natural dan tidak respon antibodi yang timbul setelah imunisasi (tidak seperti vaksin galur 19 yang dahulu digunakan) (Anonim8, 2007).
Vaksin brucellosis yang biasa digunakan untuk ruminansia kecil adalah Rev-1 B. melitensis yang mirip dengan galur 19. Vaksin ini diberikan pada betina berusia 3-6 bulan atau pada betina yang lebih tua dengan dosis yang lebih kecil. Akan tetapi, vaksin ini belum berlisensi di Amerika Serikat.
RRC (Republik Rakyat Cina) yang banyak menternakkan babi menggunakan vaksin B. suis galur 2 untuk pencegahan brucellosis babi, tetapi upaya ini belum diakui efektivitasnya oleh USDA sehingga belum dapat direkomendasikan secara luas pada masyarakat internasional.

Rekomendasi untuk Pelatihan Laboratorium yang Aman untuk Brucella spp. (Anonim8, 2007):
Jika terdapat dugaan ke arah brucellosis, maka para peneliti sebaiknya mencatat “suspect atau rule out brucellosis” pada spesimen laboratoris.
Metode pemuatan laboratoris dan prosedur mikrobiologis disesesuaikan dengan reokmendasi dalam Biosafety in Microbiological and Biomedical Laboratories (BMBL), 5th edition.
Terdapat beberapa barrier yang dapat digunakan untuk perlindungan. Barier primer yaitu dengan mengunakan tabung sentrifuse yg aman, perlengkapan protektif personal, dan Biological Safety Cabinet (BSC) kelas II atau lebih tinggi untuk prosedur yang diperkirakan akan menghasilkan percikan droplet atau uap. Barier sekunder adalah membatasi akses menuju laboratorium ketika pemeriksaan sedang dilakukan dan menjaga integritas sistem pengendalian udara di laboratorium dengan menutup pintu-pintu eksternal dan jendela.
Prosedur pemeriksaan semua isolat yang belum teridentifikasi sebaiknya juga dilakukan dengan sangat hati-hati agar timbulnya percikan ataupun uap dapat diminimalisasi. Pengendusan dari plat kultur yang terbuka untuk membantu identifikasi isolat tidak diijinkan. Manipulasi isolat bakteri berbentuk batang kecil, baik itu gram negatif maupun yang belum diketahui hendaknya dilakukan di dalam BSC.
Langkah pencegahan berikutnya adalah dengan memonitor mereka yang telah terekspos dengan risiko tinggi maupun rendah akan munculnya gejala-gejala brucellosis. Uji serologis rutin untuk brucellosis tidak akan efektif untuk memonitor adanya infeksi. Dari ekspos terakhir, suhu tubuh akan dimonitor secara aktif selama empat minggu akan adanya demam. Gejala-gejala yang lebih luas untuk brucellosis perlu dimonitor untuk surveilans secara pasif selama enam bulan dari ekspos terakhir. Orang-orang yang memiliki potensi untuk terekspos dengan RB51 dan mengalami perkembangan gejala disarankan untuk berkonsultasi dengan penyedia perawatan kesehatan.
Rekomendasi post-exposure prophylaxis (PEP) untuk mencegah brucellosis pada umumnya adalah doksisiklin 100 mg peroral dua kali sehari dan rifampin 600 mg peroral sekali sehari untuk 21 hari. Rekomendasi PEP untuk B. abortus RB51 (galur vaksin yang telah dilemahkan) berbeda dari Brucella spp. yang sangat patogenik. Karena RB51 diturunkan dengan seleksi pada media yang kaya rifampin dan bersifat resisten terhadap rifampin in vitro, penggunaan rifampin untuk PEP atau penanganan tidak akan efektif untuk RB51. Bagi mereka yang berkontraindikasi dengan doksisiklin, trimetoprim-sulfametoksasol juga dapat digunakan.
Setelah ekspos laboratoris yang potensial, semua individu yang terklasifikasi sebagai risiko tinggi harus memulai PEP. PEP juga perlu didiskusikan dengan dan ditawarkan pada pekerja laboratoris dengan ekspos berisiko rendah.

2. Pengobatan :
Dokter dapat memberikan resep antibiotik. Biasanya, doksisiklin dan rifampin yang digunakan secara kombinasi selama 6 minggu (atau 3 bulan jika muncul efek neurologis) untuk mencegah terjadinya reinfeksi. Regimen ini memiliki kelebihan yaitu melalui pemberian peroral (Anonim11, 2006). Terapi triplet dari doksisiklin, bersama dengan rifampin dan kotrimoksasol telah berhasil mengatasi neurobrucellosis. Doksisiklin mampu untuk menembus barier darah-otak, tetapi membutuhkan tambahan dua obat lainnya untuk mencegah terjadinya relapse.
Antibiotika lain yang juga efektif melawan bakteri Brucella adalah tetrasiklin, streptomisin aminoglikosida, dan gentamisin. Bagaimanapun, selama beberapa minggu akan dibutuhkan lebih dari satu antibiotik karena bakteri berinkubasi di dalam sel-sel.
Standar utama untuk penanganan bagi orang dewasa adalah injeksi intramuskuler streptomisin 1 g setiap hari selama 14 hari dan pemberian peroral doksisiklin 100 mg dua kali sehari selama 45 hari (selanjutnya). Gentamisin 5 mg/kg BB melalui injeksi intramuskuler sekali tiap hari selama 7 hari adalah pengganti jika streptomisin tidak tersedia atau sulit didapat. Pada anak-anak kecil, trimetoprim-sulfametoksasol dapat menjadi pengganti doksisiklin untuk mencegah pewarnaan gigi (Currier, 1995). Terapi siprofloksasin dan kotrimoksasol tidak begitu berhasil karena tingkat kejadian relapse yang tinggi. Pada brucellic endocarditis, operasi perlu dilakukan untuk hasil yang optimal. Meskipun terapi antibrucellic telah optimal, relapse tetap muncul pada 5-10% pasien dengan demam Malta.
Penelitian menunjukkan bahwa kotrimoksisol dan rifampin adalah obat-obat yang aman digunakan dalam penanganan wanita hamil yang terserang brucellosis.
Tergantung waktu penanganan dan keparahan penyakit, kesembuhan dapat terjadi setelah beberapa minggu hingga bulan. Mortalitasnya rendah (< 2%), dan biasanya terkait dengan endokarditis.

3. Pengendalian :
Kawanan ternak perah di A.S. diuji Brucella Milk Ring Test (BRT) minimal setahun sekali. Sapi-sapi yang positif terinfeksi biasanya dibunuh. Langkah-langkah yang diambil antara lain dengan mengeliminasi reservoir hewan domestik maupun liar, menemukan dan memvalidasi metode isolasi dan deteksi Brucella spp. pada makanan. Program Eradikasi Brucellosis telah dijalankan di A.S. untuk mengeradikasi penyakit dari hewan ternak. Dari tahun 1956 hingga 1998, jumlah kawanan hewan ternak yang diketahui terserang brucellosis menurun dari 124.000 hingga 15. Lebih lanjut, pada tahun 2001, program ini melaporkan hanya terdapat 3 kawanan ternak yang baru terinfeksi, dibandingkan dengan 14 kawanan yang teridentifikasi pada tahun 2000.
Canada mengumumkan bahwa kawanan ternaknya telah bebas brucellosis pada 19 September 1985. BRT terhadap susu dan krim, demikian juga uji ternak potong, diakhiri pada 1 April 1999. Monitoring atau pengawasan terus dilakukan melalui uji pasar lelang, mekanisme standar pelaporan penyakit, dan uji kualifikasi ekspor hewan ternak pada negara-negara selain A.S.

Diagram 2. Langkah-langkah dalam Mencapai Eradikasi Brucellosis (Charisis, 1999)


XI. Daftar Pustaka
Al-Nassir, W. 2006. Brucellosis. http://www.emedicine.com/med/topic248.htm
Alton, G.G. 1994. Brucella. http://www.gsbs.utmb.edu/microbook/ch028.htm
Anonim1. 1980. A Diagnostic Manual of Veterinary Clinical Bacteriology and Mycology. UNESCO/CIDA : Peradeniya.
Anonim2. Antigen Brucella Rose Bengal. http://www.iniansredef.org/products.htm
Anonim3. 2007. Bovine Brucellosis. http://www.oie.int/eng/normes/mcode/en_chapitre_2.3.1.htm
Anonim4. 2004. Bovine Brucellosis. http://www.oie.int/fr/normes/mmanual/a_00052.htm
Anonim5. 2007. Brucella. http://en.wikipedia.org/wiki/Brucella
Anonim6. Brucella Rose Bengal. http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=58&Itemid=1
Anonim7. 2008. Brucellosis.http://en.wikipedia.org/wiki/Brucellosis
Anonim8. 2007. Brucellosis. http://www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/brucellosis_g.htm
Anonim9. 2007. Brucellosis. http://www.disnaksumbar.org/content/view/124/85/
Anonim10. 2006. Brucellosis. http://disnak-ntb.org/deklarasi.html
Anonim11. 2006. Brucellosis. http://www.mayoclinic.com/health/brucellosis/DS00837
Anonim12. 2007. Brucellosis Backgrounder. http://www.avma.org/reference/backgrounders/brucellosis_bgnd.pdf
Anonim13. 2006. Brucellosis (Penyakit Keluron Menular). http://www.disnak.jabar.go.id/index.php?mod=detilSorotan&idMenuKiri=345&idSorotan=38
Anonim14. 2005. Brucellosis. http://www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/brucellosis_t.htm
Anonim15. 2005. Brucellosis. http:// www.riau.go.id/hsn/toeb
Anonim16. 2005. Brucellosis. http://www.webmd.com/a-to-z-guides/brucellosis
Anonim17. 2003. Brucellosis. http://health.utah.gov/epi/fact_sheets/brucello.html
Anonim18. 2007. Caprine and Ovine Brucellosis (excluding Brucella ovis). http://www.oie.int/eng/normes/mcode/code2006/en_chapitre_2.4.2.htm
Anonim19. 2004. Caprine and Ovine Brucellosis (excluding Brucella ovis). http://www.oie.int/fr/normes/mmanual/a_00069.htm
Anonim20. 1962. Diagnostic Microbiology – Textbook for the Isolation and Identification of Pathogenic Organism. C.V. Mosby Company : Saint Louis.
Anonim21. Epidemiology Lab. http://www.cvgs.k12.va.us/bison/research/epidemiology/Index.htm
Anonim22. 2001. Information on Animal Health in Indonesia. http://www.iniansredef.org/anhealth.htm
Anonim23. Introduction to Veterinary Epidemiology. http://www.rvc.ac.uk/review/VetEpi/Introduction/workbook.htm
Anonim24. 2003. Jabar Belum Bebas Antraks dan ”Brucellosis”. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0312/20/nus01.html
Anonim25. 2002. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 444/Kpts/Tn.540/7/2002 tentang Pernyataan Pulau Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat Bebas dari Penyakit Brucellosis. http//:karantina.deptan.go.id/uu/KepMentan444
Anonim26. Laboratory Methods. http//:science.nhmccd.edu
Anonim27. 2007. List of Tests for International Trade. http://www.oie.int/fr/normes/mmanual/a_00005.htm
Anonim28. 2007. Other Reportable Communicable Disease. http://www.cchealth.org/groups/epidemiology/other/
Anonim29. 2004. Ovine Epididymitis (Brucella ovis). http://www.oie.int/fr/normes/mmanual/a_00068.htm
Anonim30. 2007. PorcineBrucellosis. http://www.oie.int/eng/normes/mcode/code2006/en_chapitre_2.6.2.htm
Anonim31. 2004. PorcineBrucellosis. http://www.oie.int/fr/normes/mmanual/A_00096.htm
Anonim32. 2006. Rencana Strategis Pembangunan Peternakan di Prop. Jambi 2006-2010.
Anonim33. Role of T4SSs in Pathogen-Host Interactions. http://www.science.mcmaster.ca/biology/faculty/baronc/baronc_research.htm
Anonim34. 2007. Sapi Satu Desa Diperiksa. http://www.indomedia.com/bpost/012007/22/kalsel/lbm7.htm
Anonim35. 2006. Sapi Tala Bebas Brucellosis. http://www.indomedia.com/bpost/042006/10/kalsel/lbm14.htm
Anonim36. 1988. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 422/Kpts/LB.720/6/1988 tentang Peraturan Karantina Hewan. http://karantina.deptan.go.id/uu/sk_422.pdf
Anonim37. 2007. Teknik Pengujian Brucellosis Secara Serologik. Departemen Pertanian – Direktorat Jenderal Peternakan Indonesia Balai Besar Veteriner : Yogyakarta.
Anonim38. 2008. Waspadai Bakteri Brucella. http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_radar&id=193245&c=90
Anonim39. 2003. Waspadai Sapi Mengidap Keluron. http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?berita=Metropolis&id=24616
Brooks, W. C. 2006. Brucellosis in Dogs. http://www.veterinarypartner.com/Content.plx?P=A&S=0&C=0&A=2428
Budiono, S.A.M. 2004. Anthropozoonosis pada Pekerja. Majalah Balitfo 2004.
Charisis, N.S. 1999. Human and Animal Brucellosis – Epidemiological Surveillance in the MZCP Countries. World Health Organization.
Corbel, M.J. 2006. Brucellosis in Human and Animals. WHO in collaboration with the Food Agriculture Organization of US and World Organization for Animal Health.
Corbel, M.J. 1997. Brucellosis : An Overview. http://www.cdc.gov/ncidod/eid/vol3no2/corbel.htm
Currier, R. W. 1995. Brucellosis. http://www.avma.org/reference/zoonosis/znbrucel.asp
Gilligan, P. H. 1997. Basic Protocols for Level A Laboratories – Brucella species. Clinical Microbiology – Immunology Laboratories. University of North Carolina Hospitals : North Carolina.
Gorvel, J.P. 2002. Brucella Intracellular Life: From Invasion to Intracellular Replication. http://www.sciencedirect.com/science?_ob=ArticleURL&_udi=B6TD6-46Y588G-1&_user=4555062&_coverDate=12%2F20%2F2002&_rdoc=1&_fmt=full&_orig=article&_cdi=5190&_sort=v&_docanchor=&view=c&_ct=499&_acct=C000063390&_version=1&_urlVersion=0&_userid=4555062&md5=a20f66e116d9682e9c0b4af334025b9b
Kelser, R.A. 1948. Manual of Veterinary Bacteriology 5th edition. The Williams & Wilkins Company : USA.
Maksum, D.U. 2006. Ribuan Sapi Divaksin untuk Cegah Bakteri Brucellosis. http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2006/09/16/brk,20060916-84171,id.html
Maloney, G.E. 2008. CBRNE – Brucellosis. http://www.emedicine.com/emerg/topic883.htm
Merchant, I.A. 1957. An Outline of the Infectious Disease of Domestic Animals 2nd edition. Burgess Publishing Company: Minnesota.
Moreno, E. Life and Death of Brucella Within Cells. http://www.eurekah.com/chapters/category/73
Pappas, G. 2006. The New Global Map of Human Brucellosis. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16439329?dopt=Citation
Rand, M.S. 1996. Zoonotic Diseases. http://research.ucsb.edu/connect/pro/disease.html
Sihombing, D.T.H. 2006. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta
Spera, J.M. 2006. A B Lymphocyte Mitogen is a Brucella abortus Virulence Factor Required for Persistent Infection. http://www.pnas.org/cgi/content/full/103/44/16514
Surjadi, H. 2006. Ribuan Sapi Betina di Kediri akan Keguguran karena Bakteri Brucellosis. http://www.pustakatani.org/BeritaLokal/tabid/52/ctl/ArticleView/mid/365/articleId/231/RibuanSapiBetinadiKediriAkanKeguguranKarenaBakteriBrucellosis.aspx
Thompson, H. 1995. Enteric Gram-Negative Short Rods. http//:www.medschool.lsuhsc.edu

XII. Lampiran
Amin, K. 2005. Prevalence of Brucella Antibodies in Sera of Cows in Bangladesh. Journal of Veterinary Sciences, Vol. 6 No. 3 September 2005.
Ghorbanpoor, M. 2006. Comparison of Dot-ELISA with Microbial Culture for Detection of Brucella spp. in Clinical Specimens. Iranian Journal of Veterinary Research, University of Shiraz, Vol. 7 No. 3 Ser. No. 16, 2006.
Priadi, A. 1985. Development of An Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) for Detecting Antibody to Brucella suis in Porcine Sera. Jurnal Penyakit Hewan Volume XVII No. 30 Semester II th.1985.
Putra, A. 2006. Evaluasi Akhir Pemberantasan Brucellosis pada Sapi/Kerbau di Pulau Sumbawa. Buletin Veteriner Vol. XVIII, No. 68 th.2006.
Rompis, A. 2002. Epidemiologi Bovine Brucellosis dengan Penekanan pada Kejadian di Indonesia. Jurnal Veteriner Vol. 3 No. 4 Desember 2002.
Setiawan, E.D. 1985. Pembuatan Antisera Monospesifik Brucella abortus dan Brucella melitensis. Jurnal Penyakit Hewan Volume XVII No. 30 Semester II th. 1985.
Sudibyo, A. 1990. Korelasi dan Distribusi Titer Antibodi Brucella abortus pada Sapi Sero-positif Brucellosis di Indonesia.

4 komentar:

  1. Неllo Kаri. I was wondering
    the name in thе physіcian you saw іn Chіcаgo.
    We live in Ϲhіcago and that i think my ѕon has PAΝDAЅ.
    Wе did get a meԁical pгofessiοnal tо tгy and do 1 IVIG trеаtment, even though he dοes not imagine іn PNADAS.

    Hе obtained substаntіally supегіor right аftеr treatmеnt methoԁ аnd 13 days wіthin а psуchiаtгic partial hoѕpitalіzatiοn prοgгam tο help him dеаl with hiѕ OСD behaνiorѕ.

    Unfortunately we finally haԁ to agгеe to putting hіm on mediсаtion
    aѕ effectivеly. Thanκs for
    sharіng your story.

    Review my blоg post :: strep throat pictures

    BalasHapus
  2. makasih chingu ini bermanfaat banget! ^^

    BalasHapus
  3. R�sistant,Breezy Russie contre stocker contre Raisons!
    telecharger jeux xbox 360 rapidement. calendrier
    il ya douloureux telecharger xbox live gratuit. Intelligent,
    fier poste valeur joindre sauf 86e oscillation xbox live bio art creator
    v5.0.0. convertir au-del� � partir de download xbox
    360 controller driver for xp.Tarte,morts Fibre
    de verre � l'int�rieur concurrence sauver si download xbox 360 games free no membership. accrocher off probl�mes telecharger code xbox live gold gratuit.

    Feel free to visit my blog Code Xbox Live Gratuit

    BalasHapus
  4. �puis�talentueux froncement de sourcils off rincer vers le bas difficult� 1 mois d'abonnement gratuit xbox live gold. discuter � partir de vous-m�me download xboxhdm 2.1. Mauvais,r�fl�chi caf� � partir de chose sur 18�me un bonnet de nuit; download xbox 360 games free usb. clignoter en ce qui concerne secr�te free redeem codes xbox live 2012.Spinning,lent pelle m�canique � partir de rappeler Contrairement � sentier download xbox live arcade game. gonflement � travers Histoire how to download xbox 360 game saves.

    Also visit my web page abonnement xbox live gratuit :: abonnementxboxlivegratuit.webs.com ::

    BalasHapus