Rabu, 14 Oktober 2009

Newcastle Disease

Newcastle Disease

ETIOLOGI DAN MORFOLOGI

Newcastle Disease atau disebut juga penyakit Tetelo, Pseudofowl pest, Pseudovogel pest, avian distemper, avian pneumoenchephalitis, pseudopoultry plague dan ranikhet disease. Newcastle Disease (ND) merupakan penyakit viral yang sangat menular pada unggas, bersifat sistemik yang melibatkan saluran pernafasan dan menyerang berbagai jenis unggas terutama ayam serta burung-burung liar dengan angka mortalitas yang tinggi 80-100% (Alexander, 1991).

Newcastle Disease disebabkan oleh virus yang termasuk dalam famili Paramyxoviridae, genus Paramyxovirus. Paramyxovirus mempunyai genom virus ssRNA berpolaritas negative, panjangnya 15-16 kb dan mempuyai kapsid simetris heliks tidak bersegmen, berdiameter 13-18 nm. (Fenner et.al, 1995), genom virus ND membawa sandi untuk 6 protein virus yaitu protin L, Protein HN (hemaglutinin neuraminidase), protin F (protin fusi), protein NP (protin nukleokapsid), protin P (Fosfoprotein), dan protein M (matik).

(Beard dan Hanson, 1984).

Masa inkubasi penyakit ini antara 2-15 hari, rata-rata 5-6 hari. Kejadian infeksi oleh virus ND terutama terjadi secara inhalasi. (Alexander, 1991).

Sifat-sifat fisik virus ND antara lain virus ND mempunyai kemampuan untuk mengaglutinasi dan melisikan eritrosit ayam. Selain eritrosit ayam, virus ND juga mampu mengaglutinasi eritrosit mamalia dan unggas lain serta reptilia. (Beard dan Hanson, 1984).

Virus ND bila dipanaskan pada suhu 56o C akan kehilangan kemampuan untik mengaglutinasi eritrosit ayam, karena hemaglutininnya rusak. Selain itu juga akan merusak infektivitas dan imunogenesitas virus.

GEJALA KLINIS

Wabah penyakit ND beragam dalam hal keganasan klinis dan kemampuan menyebarnya. Pada sejumlah wabah khususnya pada ayam dewasa, gejala klinis mungkin minimum. Virus yang menyebabkan bentuk penyakit ini disebut lentogenik. Pada wabah lain, penyakit ini dapat mempunyai angka mortalitas sampai 25%, seringkali lebih tinggi pada unggas muda; virus yang demikian ini disebut mesogenik. Pada wabah lainnya lagi terdapat angka kematian yang sangant tinggi kadang-kadang mencapai 100% yang disebabkan oleh virus velogenik. Kemampuan menyibak virus F merukanan factor utama yang mempengaruhi virulensi. (Fenner,1995)

Gejala klinis ND dibedakan menjadi 5 patotipe menurut Beard dan Hanson, 1984, yakni bentuk Doyle, Beach, Baudette, Hithcner da enteric Asimptomatik. Bentuk Doyle merupakan bentuk per akut atau akut, menimbulkan akematian pada ayam segala umur dengan mortalitas 100%. Lsi menciri dengan adanya perdarahan pada saluran pencernaan. Bentuk ini disebabkan oleh virus strain velogenik. Penyakit ini terjadi secara tiba-tiba, ayam mati tanpa menunjukkan gejala klinis, ayam kelihatan lesu, respirasi meningkat, jaringan sekitar mata bengkak, diare dengan feses hijau atau putih dapat bercampur darah, tortikalis, tremor otot, paralisa kaki dan sayap. (Alexander, 1991).

Bentuk Beach atau velogenic neitropic Newcastle disease (VVND) bersifat akut, menimbulkan gejala pernafasan dan syaraf, dan menimbulkan kematian ayam segala umur dengan angka mortalitas 50 % pada ayam dewasa dan 90 % pada yam muda.

Bentuk Raudette, kurang ganas dibandingkan bentuk Beach menyebabkan kematian pada ayam muda, bentuk ini disebabkan oleh virus galur mesogenik. Pada ayam dewasa ditandai dengan penurunan produksi telur biasanya terjadi 1-3 minggu. (Beard dan Hanson, 1984).

Bentuk Hitchner disebabkan oleh virus ND galur lentogenik, gejala klinisnya bersifat ringan atau tidak tampak jelas, tidak menimbulkan kematian pada ayam dewasa dan biasanya dipakai sebagai vaksin.

Bentuk enteric asimptomatik merupakan bentuk yang tidak menunjukkan gejala klinis dan gambaran patologis, tetapi ditandai dengan infeksi usus oleh virus-virus galur lentogenik yang tidak menyebabkan penyakit.

(Alexander, 1991).

PATOGENESIS

Ayam yang terinfeksi mempunyai peranan penting dalam penyebaran penyakit dan sebagai sumber infeksi. Pada mulanya virus bereplikasi pada epitel mukosa dari saluran pernafasan bagian atas dan saluran pencernaan; segera setelah infeksi virus menyebar lewat aliran darah ke ginjal dan sumsum tulang yang menyebabkan viremia skunder. Kesulitan bernafas dan sesak nafas timbul akibat penyumbatan pada paru-paru dan kerusakan pada pusat pernafasan di otak.

Produksi antibody berlangsung dengan cepat. Antibody penghambat hemaglutinasi dapat diamati dalam waktu 4-6 hari setelah infeksi dan menetap selama paling tidak 2 tahun. Titer antibody penghambat hemaglutinasi merupakan ukuran dari kekebalan. Antibody asal induk dapat melindungi anak ayam sampai 3-4 minggu setelah menetas. Antibody IgG yang terbatas dalam aliran darah tidak mampu mencegah infeksi pernafasan tetapi dapat mencegah viremia; antibody 0 IgA yang dihasilkan secara local berperan penting dalam melindungi saaluran oernafasan dan saluran pencernaan. (Fenner, 1995).

Perubahan pasca mati meliputi perdarahan ekimotok pada larings, trachea, esophagus, dan di sepanjang usus. Lesi histology yang paling menonjol adalah nekrosis terpusat pada mukosa usus dan jaringan limfe dan perubahan hyperemia di sebagian organ, termasuk otak. (Fenner, 1995).

Perubahan patologis

1. Perubahan makroskopis

Nekrosis dan hemorragi pada saluran pencernaan meliputi proventrikulus, ventrikulus dan berbagai bagian usus. Tidak dijumpai perubahan pada sistem syaraf, kadng-kadang juga pada saluran nafas. Jika ditemukan perubahan pada saluran nafas maka akan terlihat hemorrhagi dan congesti berat pada trakea.. Penebalan kantong udara disertai timbunan eksudat kataral sampai mengeju pada permukaannya. Organ reproduksi mengalami hemorragi dan perubahan warna menjadi lebih pucat.

2. Perubahan mikroskopis

Hiperemi, edema, hemorrhagi, trombosis, dan nekrosis pembuluh darah. Hiperplasia sel-sel reticulohistiositik dan nekrosis multifokal pada hati. Nekrosis pada lympha. Degenerasi lymphocyt bursa fabricius. Nekrosis dan hemorragi pada usus. Kongesti dan infiltrasi sel radang pada trachea. Hemorragi dan edema pada bagian-bagian paru. Perivascular cuffing sel limposit dan nekrosis dari neuron pada otak. (Tabbu,2000).

DIAGNOSIS

Karena gejalanya tidak spesifik diagnosis harus dipastikan dengan isolasi virus dan serologi. Virus dapat diisolasi dari limpa, otak atau paru-paru melalui inokulasi alantois dari telur berembrio umur 10 hari, virus dibedakan dengan yang lainnya dengan menggunakan uji penghambatan-jerapan darah dan penghambatan hemaglutinasi. Penentuan virulensi sangat diperlukan untuk isolat lapangan. Sebagai tambahan atas indeks kerusakan syaraf dan rataan waktu kematian dari embrio ayam, juga dipakai pembentukan plak dalam keadaan ada atau tidak adanya tripsin pada sel ayam. Uji penghambatan-hemaglutinasi digunakan dalam diagnosis dan pemantauan penyakit Newcastle kronis di negara tempat bentuk penyakit ini merupakan endemis. (Fenner, 1995).

PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN

Penyakit ini tidak dapat diobati. Oleh karena itu ayam yang sudah terserang sebaiknya cepat dimusnahkan karena dapat menulari ayam yang lain. Pengendalian terbaik adalah dengan vaksinasi seperti vaksin strain F, K dan LaSota. Pola pemberian vaksin adalah 4-4-4, maksudnya vaksin diberikan pada ayam berumur 4 hari, 4 minggu, 4 bulan dan seterusnya dilakukan 4 bulan sekali. (Sujionohadi, 2004)

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B. T. 1993. Manual Kesehatan Unggas. Panduan Bagi Petugas Teknis, Penyuluh dam Peternak. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Alexander,D.J. 1991. ND and Other Paramyxovirus Injection in Disease of Poultry, 9th ed. Edited by Calnek, B. J., dkk. Iowa State University Press, Armes, Iowa. USA.

Beard, C.W, and Hanson. 1984. Newcastle Disease in Disease of Poultry, 8th ed. Iowa State University Press, Armes Iowa. USA.

Fenner, Frank J., dkk.1995. Virologi Veteriner. Edisi kedua. Academic Press INC. California.

Jordan, F. T. W.1990. Poultry Diseases. Third Edition. Baillere Tindall. London.

Mitruka B. M. 1981. chlinical Bchemical and Hematological Reference Values Normal Experimental Animals and Normal Humans. MASSON Publishing USA. New York.

Sujionohadi, Kliwon dan Ade Iwan Setiawan. 2004. Ayam Kampung Petelur. Penerbit Swadaya. Jakarta

Tabbu, C. R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulagannya. Volume I. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

0 comments share


Blog Entry

Marek's Disease

Nov 20, '08 1:00 AM
for everyone

Penyakit neoplastik yang ditimbulkan oleh virus meliputi Marek’s disease (MD), kelompok leucosis/sarcoma, retikuloendoteliosis (RE) dan penyakit limfoproliferatif. Ketiganya dpat ditemukan pada ayam dan kelompok avian lainnya. Penyakit neoplastik neoplastik yang tidak diketahui etiologinya secara pasti, meliputi berbagai jenis tumbuha ganda tenang (benigna) dan ganas (malignan) yang beasal dari berbagai jaringan, misalnya otot, epitel, saraf, membrane serus dan sel berpigmen.(Tabbu 2000)

Marek’s disease merupakan suatu penyakit limfoproliferatif pada ayam yang sangat mudah menular dan tersifat oleh adanya pembengkakan atau tumor pada berbagai syaraf perifer dan pembentukan tumor limfoid pada berbagai organ viscerol, kulit, dan otat. Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Dr Jozsef marek pada tahun 1907 di Hongaria. Penyakit ini dikenal juga dengan nama fowl paralysis, range paralysis dan neurolymphomatosis. Marek’s disease merupakan salah satu penyakit yang paling penting pada ayam, yang menyebabkan kerugian ekonomik yang besar pada peternakan ayam pedagang maupun petelur. Marek’s disease biasanya ditemukan pada ayam muda, walaupun penyakit ini dapat juga menyerang ayam dewasa.(Tabbu, 2000)

ETIOLOGI

Marek’s disease disebabkan oleh Herpesviuss grup B yang bersifat highly cell-associated (sangat tergantung pada sel) pada semua jaringan, terkecuali pada epitel folikel bulu. Beberapa peneliti mengelompokkan berbagai isolat MDV (Marek’s Disease Virus) berdasarkan fotogenesitasnya ke dalam tiga kelompok, yaitu isolat yang bersifat apatogenik, isolat yang menyebabkan marek’s disease akut, dan isolat yang menyebabkan marek’s disease klasik.(Tabbu, 2000)

Gabungan penyakit marek’s dan herpes virus diklasifikasikan menjadi tiga serotype. Isolate serotype 1 terdapat pada ayam dan menyerang secara ganas (oncogenic) sampai tidak ganas (avirulent). Isolat serotype 2 umumnya terdapat pada ayam dan bersifat tidak ganas (nononcogenic).(Polana, 2004)

Etiologi herpesvirus spesifik dari penyakit marek’s yang terdapat diseluruh dunia, dikukuhkan pada 1967. Sebebum dikenalkan vaksinasi pada 1970, penyakit marek’s merupakan penyakit moliferasi limfoid paling umum pada ayam, yang dapat menyebabkan kerugian tahunan sampai 150 juta dolar di Amerika Serikat dan 40 juta dolar di Inggris, vaksinasi menerunkan dengan drastis kejadian penyakit, tetapi tidak untuk infeksinya. Karena kerugian terus menerus yang ditimbulkan oleh penyakit ini dan biaya vaksinasinya, penyakit marek’s masih tetap merupakan penyakit penting pada unggas. Virus secara lambat merusak sel dan tetap sangat terkait sel, dengan demikian vrus menular bebas. Sel jelas tidak mungkin dapat diperoleh kecuali sebagai pemacu ( “dander” ) berasal dari folikel bulu, walaupun pernah digolongkan sebagai gamaherpesvirus berdasarkan gambaran patologinya, genomnya sangat mirip dengan genom alfaherpesvirus lainnya.(Fenner, 1995)

PATOGENISITAS

Penularan terutama melalui udara dalam kandang ayam, bulu, debu kandang, tinja dan air liur. Ayam terinfeksi mengandung virus dalam darah untuk waktu yang lama dan menjadi sumber infeksi bagi ayam yang rentan. Penularan melalui telur tidak menciri.(Akoso, 1998)

Herpes alami yang panting untuk marek’s disease adalah ayam, disamping itu marek’s disease dapat juga ditemukan pada kalkun, dan burung puyuh. Berbagai species ayam misalnya burung merak, burung dara, itik, angsa, burung kenari, burung hantu juga diperkirakan dapat terserang MDV sehubungan dengan adanya lesi makroskopik maupun mikroskopik yang menciri untuk marek’s disease.(Tabbu, 2000)

Virus marek’s disease dapat ditularkan secara langsung maupun tidak langsung. Virus marek’s disease tidak ditularkan melalui telur dari induk kepada anak ayam sehingga DOC yang dtetaskan bebas dari virus tersebut. Umur pada saat ayam terinfeksi oleh MDV bervarasi dan tergantung pada manajemen peternak. Jika infeksi MDV terjad pada suatu kelompok ayam, maka infeksi akan ditemukan selama ayam hidup dan ayam yang terinfeksi akan mencemari lingkungan dengan virus tersebut.(Tabbu, 2000)

GEJALA KLINIK

Gejala ayam terkena penyakit marek’s disease di antaranya terdapat tumor visceral dan terjadi infiltrasi lymphoid pada saraf tepi (peripheral). Akibat adanya infiltrasi lymphoid pada iris , ayam mengalami kelumpuhan dan kebutaan. Gejala tersebut sedikit membantu mendiagnosis karena ayam yang terserang akan selalu diikuti dengan kematian.(Polana, 2004)

Gejala yang menciri adalah terjadinya kepincangan, sayap menggantung, sempoyongan, kurus, pucat, dan lemah. Terjadi kelumpuhan saraf pada kaki sehingga kaki dijulurkan kedepan atau kebelakang. Pernafasan cepat, folikel bulu melebar, iris kelabu dengan permukaan tak teratur dan pupil menyempit. (Akoso, 1998)

Penyakit marek’s merupakan penyakit yang progresif dengan berbagai tanda, diberikan empat sindrom yang tumpang tindih.

1. Neurolimfom atosis, atau disebut penyakit marek’s klasik, berkaitan dengan kelumpuhan tidak simetris dari satu atau kedua kaki atau sayap. Inkoordinasi merupakan gejala awal yang biasa terjadi, satu kaki direntangkan kedepan dan satunya lagi kebelakang bila berdiri karena terjadinya paresis atau kelumpuhan sebelah saja. Sayap yang menggantung dan kepala serta leher yang menunduk biasa diamati. Bila saraf vagus terlibat, dapat terjadi pemelaran tembolok dan megap-megap.

2. Penyakit marek’s akut, terjadi secara mewabah dengan sejumlah besar ayam dalam kawanan menunjukkan kelesuan yang diikuti dalam beberapa hari kemudian oleh kejang-kejang dan kelumpuhan dalam beberapa ekor ayam. Mortalitas yang nyata terjadi tanpa disertai oleh tanda neurologi terbatas.

3. Limfomatosis okuler menyebabkan iris salah satu atau kedua bola mata menjadi berwarna abu-abu, akibat terjadinya infilterasi sel limfobastoid, pupil maka tidak teratur dan eksentrik , dan terjadi kebutaan sebagian atau total.

4. Penyakit marek’s kulit dengan mudah bisa dikenali setelah bulu dicabuti dengan adanya lesi noduler bundar berdiameter sampai 1 cm, khususnya pada folikel rambut.(Fenner, 1995)

PERUBAHAN PATOLOGIK

Lesi menyerupai tumor limfoma, tidak dapat dibedakan dari lesi leukosis unggas, biasanya kecil, menyebar berwarna abu-abu, dan bening. Ini sangat umum ditemukan pada penyakit marek’s yang akut, dan terjadi pada organ kelamin, khususnya ovarium, dan jaringan yang lain.(Fenner, 1995)

A. Perubahan Makroskopik

Marek’s disease bentuk akut ditandai oleh adanya tumor limfoid pada satu atau lebih organ visceral dan organ lainnya , yaitu hati, gonade, limpa, ginjal, paru, meseterium, proventrikulus, usus, timus, kelenjar adrenal, pankreas, jantung, dan iris. Kadang-kadang tumor lifoid ditemukan juga pada kulit sehubungan dengan tumor folikel bulu, yang dikenal dengan nama leukosis kulit dan adanya tumor limfoid pada oto skelet. Tumor pada organ visceral lebih sering ditemukan. Pada marek’s disease bentuk akut dan dapat ditemukan tanpa adanya perubahan makroskopik pada syaraf.

Marek’s disease dapat juga menimbulkan lesi non neoplastik, melputi atrofi pada bursa fabrcius dan timus, lesi degeneratif dan atau nekvotik pada sumsum tulang dan berbagai organ visceral. Lesi-lesi tersebut merupakan akibat infeksi sitolitik yang ekstensif dan dapat menyebabkan kematian pada ayam pada stadium awal infeksi MDV sebelum pembentukan tumor limfoid. Penyakit ini juga menimbulkan aterosklerosis pada berbaai pembuluh darah, misalnya arteri kononaria ukuran besar, aortra dan percabangannya dan berbagai arteri lainnya.(Tabbu, 2000)

B. Perubahan Mikroskopik

Perubahan histopatologik pada marek’s disease akut dan klasik pada dasarnya sama. Pada awalnya, penyakit ini ditandai oleh proliferasi sel-sel limfoid, yang menjadi progresif pada sejumlah kasus tetapi mengalami regresi pada sejumlah kasus lainnya. Pada MD bentuk klasik, perubahan regresi lebih sering terjadi dibandingkan dengan MD akut, yang biasanya menyebabkan proliferasi sel-sel limfoid yang mengakibatkan pembentukan tumor pada berbagai organ.(Tabbu, 2000)

Herpesvirus yang bersifat produktf akan bereplikasi di dalam bursa febricius dan timus akan menghasilkan perubahan degreneratif pada kedua organ tersebut. Bursa fabricius dapat menunjukkan adanya atrofi korteks dan medula, nekrosis, pembentukan cyst dan proliferasi sel-sel limfoid yang bersifat interfolikular. Replikasi virus herpes yang bersifat produktif di dalam bursa febrcius dan timus dapat menimbulkan perubahan degeneratif pada kedua organ tersebut. Kadang-kadang atrofi pada timus bersifat berat, dan meliputi korteks dan medula. Pada sejumlah kasus terdapat daerah tertentu pada timus yang terdiri atas del limfoid yang berproliferasi.(Tabbu, 2000)

C. Patogenesis

Akibat dari infeksi ayam oleh virus penyakit marek’s dipengaruhi oleh galur virus, dosis, dan jalur infeksi, dan oleh umur, jenis kelamin, status kekebalan, dan kerentanan genetik dari ayam. Infeksi subklinis yang disertai oleh pengeluaran produktif dan mendorong terjadinya viremia terkait sel yang melibatkan makrufag. Pada har keenam terjadi infeksi produktif dari sel limfoid pada berbagai organ, melipti timus, bursa febricius, sumsum tulang dan limpa, yang mengakibatkan penekanan kekebalan. Selama minggu kedua setelah infeksi terjadi viremia, sel yang menetap diikuti oleh pelipat gandaan sel limfoblastoid T, dan seminggu kemudian mulai terjadi kematian, walaupun mulai saat itu regresi dapat juga terjadi.(Fenner, 1995)

Infeksi dengan MDV secara invivo dapat dibedakan menjadi 4 fase, yaitu infeksi restriktif. Produktif awal yang menimbulkan perubahan degeneratif, infeksi laten, fase kedua infeksi sitolitik yang bersaman dengan timbulnya imunosupresi yang permanen, dan fase proliferatif yang melibatkan sel-sel limfoid yang mengalami infeksi nonproduktif, yang mungkin ataupun tidak mengalami perkembangan lebih lanjut menjadi limfona.(Tabbu, 2000)

DIAGNOSIS

Diagnosis marek’s disease dapat didasarkan atas gejala klinik dan perubahan patologik meliputi lesi makroskopik dan mikroskopik. Meskipun pembesaran pada syaraf perifer dan tumor pada organ visceral sering dtemukan pada marek’s disease, tidak ada lesipun yang dtemukan secara konsisten. Beberapa krteria lain, misalnya umur dan distribusi lesi parlu dipertimbangkan dalam diagnosis dari MD. Ayam dapat didiagnosis positif terhadap MD, jika memenuhi minimal satu diantara beberapa kondisi berikut pembesaran leukosik dari nervi perifer tanpa adanya infeksi REV, tumor limfoid pada berbagai jaringan (hati, jantung, gonade, kulit, otot, proventrikulus, limpa, ginjal) pada ayam umur

<>

Penyakit yang mirip dengan MD adalah LL, retikuloen doteliasis (RE), mieloid leukosis (ML), dan berbagai penyakit yang dapat menyebabkan pembentukan tumor, misalnya eritroblastosis, karsinoma pada ovarium. Differensiasi antara LL dan MD dapat didasarkan pada riwayat flek dan perubahan patologik.(Tabbu, 2000)

Bila unggas dalam jumlah mencukupi diperiksa, sejarah, umur, gejala klinis, dan perubahan pascamati akan memadai untuk diagnosis, yang dapat diperiksa dengan histopatologi. Penentuan antigen virus dengan imunofluoresensi tidak langsung, dan penetralan virus digunakan untuk mendeteksi antibodi virus. (Fenner, 1995)

PENANGGULANGAN

Marek’s disease dicegah dengan vaksinasi pada anak ayam umur sehari atau embrio yang telah diinkubasikan selama 18 hari. Vaksin MD umumnya dapat memberikan perlindungan yang optimal, jika dihubungkan dengan kenyataan bahwa anak ayam kerapkali dipelihara pada kandang yang tercemar dalam waktu satu atau dua hari pasca-vaksinasi atau sebelum antibodi hasil vaksinasi terbentuk. Meskipun ketiga serutipe vaksin MD dapat memberikan perlindungan kepada ayam, kadang-kadang ditemukan adanya vaccine breaks (kebocoan vaksinasi). Keadaan tersebut merupakan sejumlah kematian atau kerusakan jaringan/organ akibat MD yang mengakibatkan adanya kerugian ekonomik tertentu. Kebocoran vaksinasi terutama disebabkan oleh proses vaksinasinasi yang suboptimal, praktek manajemen yang kurang memadai atau adanya galur MDV yang sangat virulen (VVMDV atau VV+NDV). (Tabbu, 2000)

A. Pengobatan

Tidak ada obat yang efektif untuk penyakit marek’s. Pengobatan terhadap ayam yang terserang penyakit neoplastik belum ditemukan.

B. Epidemiologi dan Pengendalian

Sebaain besar unggas mempunyai antibodi terhadap virus penyakit marek’s ketika telah dewasa, infeksi terus terjadi dan virus dilepaskan dalam pemacu dari folikel bulu. Infeksi secara bawaan tidak terjadi, dan anak ayam dilindungi oleh antibodi induk selama beberapa minggu setelah lahir. Kemudian mereka menjadi terinfeksi melalui meghirupan virus dalam debu. Epdemi penyakit marek’s biasanya melibatkan ayam belum dewasa kelamin berumur 2-6 bulan, angka kematian tinggi (80%) yang segera memuncak dan kemudian menurun dengan tajam. (Fenner, 1995)

Tidak ada obat yang efektif untuk penyakit marek’s. Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian vaksinasi sejak ayam keluar dar penetasan. Kejadian penyakit dapat ditekan dengan: vaksinasi yang sesuai, sanitasi yang baik, menghindarkan cekaman, ventilasi yang baik dan pemusnahan bangkai yang sempurna. (Akoso, 1998)

Tingkat pengendalian lebih jauh dapat diperoleh bila dihasilkan ayam yang membawa alloantigen B12. Mungkin saja dapat dihasilkan kawasan yang bebas dari penyakit marek’s, tetapi secara komersial sulit sekali memper- tahankan status bebas penyakit itu. Produksi ayam pada sistem “sekaligus masuk, sekaligus keluar “, dengan adanya unit tersendiri bagi ayam yang baru menetas dan dengan tingkat pertumbuhan yang berbeda, akan dapat meningkatkan keandalan vaksinasi sebagai sarana pengendalian.(Fenner, 1995)

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, Budi Tri, 1998, Kesehatan Unggas; Panduan Bagi Petugas Teknis, Penyuluhan, dan Peternak, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Fadilah, Roni dan Polana,Agustin, 2004, Aneka Penyakit Pada Ayam dan Cara Mengatasinya, Agromedia pustaka, Jakarta.

Fenner, Frank. J, Giggs E. Paul, dkk, 1995, Vivologi Veteriner edisi kedua, Academic Press. Inc, Harcort Brace, Jovanovich, San Diego New York Boston London Sidney Tokyo Toronto.

Tabbu, Charles, 2000, Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Volume I, Penerbit Kanisius, Yogyakartra

EPISTAXIS

EPISTAXIS

A. Definisi

Hidung berdarah (Kedokteran:epistaksis atau Inggris:epistaxis) atau mimisan adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung.
Dalam kasus tertentu, darah dapat berasal dari sinus dan mata. Selain itu pendarahan yang terjadi dapat masuk ke saluran pencernaan dan dapat mengakibatkan muntah

Mimisan, baik yang bersifat menetes (epistaxis) maupun mengalir (rhinorhagia), secara harafiah berarti pendarahan hidung. Dalam pengertian sehari-hari semua perdarahan yang melalui rongga hidung, tanpa memandang asalnya, disebut mimisan.

367413_xlarge

Gambar 1. Epistaxis pada kuda.

(By permission from Knottenbelt DC, Pascoe RR, Diseases and Disorders of the Horse, Saunders, 2003)

Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus Kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang arteri sfenopalatina (merupakan tipe yang biasa terjadi).

B. Etiologi

Kasus epistaxis pada hewan besar banyak dijumpai pada kuda. Epistaxis sendiri dapat disebabkan oleh faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer meliputi trauma kepala, abses pada septum nasi, sinus nasi, dan pharynx, adanya benda asing yang melukai vasa darah, sinusitis, tumor, mikosis saccus gutturalis, dan EIPH.

Trauma kepala bisa terjadi akibat benturan kepala ke dinding kandang, tersepak oleh kawan, terjatuh, dan juga luka iatrogenic, yaitu kelukaan akibat pemasukan alat bantu ke dalam atau melalui cavum nasi, misalnya sonde. Trauma ini menyebabkan membran mukosa dan atau os turbinata terluka. Biasanya disertai dengan fraktur dan kebengkakan pada daerah yang terluka. Kondisi akan nampak lebih parah jika hewan menundukkan kepala.

Adanya abses di septum nasi, sinus nasi, maupun pharynx bisa menyebabkan hemoragi, baik unilateral maupun bilateral. Pada saat makan, terkadang jerami yang masuk juga bisa melukai pembuluh darah sehingga menyebabkan hemoragi. Pada kasus sinusitis, terjadi pengikisan pembuluh darah yang menyebabkan perdarahan, dan biasanya disertai dengan pus yang sama banyak dengan jumlah darah yang keluar. Pada domba epistaxis biasanya disebabkan oleh infeksi larva Oestrus ovis.

Tumor biasanya terjadi pada saluran nafas bagian atas, antara lain polip nasal, ethmoid hematoma, squamous cell carcinoma, granuloma pada sapi dan kuda akibat Rhinosporodium seeberi. Umumnya kuda yang sering terkena ethmoid hematoma adalah kuda yang telah berumur lebih dari 8 tahun, antara lain kuda jenis Thoroughbred, Arabian, or Warmblood horses. (Pascoe, 2008)

Mikosis saccus gutturalis dapat menyerang satu bahkan kedua sisi saccus gutturalis yang menyebabkan hemoragi secara tiba-tiba dan tanpa gejala. Fungi menyerang dan mengikis dinding arteri (cabang a.carotis interna) penyuplai area saccus gutturalis daerah dorsocaudal dari kompartemen medial saccus gutturalis. Walaupun lesinya juga bisa terlihat sampai ke kompartemen lateral dan menyebabkan terjadinya hemoragi berat.. Invasi fungi pada struktur neurovaskuler dinding saccus gutturalis bisa menimbulkan gejala yang nampak. Walaupun penyebab pasti mikosis saccus gutturalis masih belum diketahui, beberapa fungi terutama Aspergillus (Emericella) nidulans, dapat terisolasi dari lesi yang ada (Pascoe, 2008). Biasanya kondisi ini berakhir dengan ditemukannya hewan mati dalam kolam darah.

Exercise Induced Pulmonary Hemorrhage (EIPH) biasanya terjadi pada kuda pacu yang over exercised. Epistaxis terjadi akibat ruptur kapiler pulmo karena perbedaan tekanan ekstrim yang terjadi selama latihan. Kondisi ini tidak mempengaruhi performa kuda, kecuali pada kasus EIPH berat akibat ruptur pada vasa yang lebih besar. Hal ini bisa berakibat fatal.

Faktor sekunder meliputi radang limpa, hipertensi, arteriosclerosis, thrombus, toxicitas obat, nekrosis choncae, gangguan nutrisi, abnormalitas homeostasis. Faktor pendukung lainnya TBC, abnormalitas darah (hemofilis, leukemia, anemia sel sabit, trombositopenia, defisiensi vitamin C,D,K), gangguan homeostasis (pembekuan darah : turunnya faktor IX). Epistaxis juga merupakan gejala klinis yang terjadi pada kasus anthrax, malleus, dan strangles pada kuda, dan distemper serta chronic nasal catarrhal pada anjing.

C. Patogenesis

Penyebab umum pada epistaxis anterior adalah pecahnya pembuluh darah pada plexus Kiesselbach yang terletak di bagian anterior (depan) nasal septum (bagian yang membagi lubang hidung menjadi dua). Sedangkan epistaxis posterior berasal dari cabang-cabang arteri sfenopalatina yang berada di bagian posterior (belakang) rongga hidung atau nasofaring .



www.hughston.com

www.drdavidson.ucsd.edu

Mekanisme pembekuan darah (hemostasis), fungsi trombosit dan faktor pembekuan yang terganggu, serta suhu relatif rendah dengan kelembaban rendah, dan penggunaan obat semprot hidung jangka panjang (dekongestan) dapat juga memicu epistaksis.

D. Gejala Klinis

Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari lubang hidung. Jika sumber epistaksis dekat dengan lubang hidung, maka darah yang keluar berupa merah terang. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat. Sumber epistaksis yang jauh berada di dalam hidung umumnya mengeluarkan darah yang berwarna merah gelap.

Pusing, denyut jantung cepat, dan pernafasan yang dangkal dapat menjadi gejala klinis epistaksis akut.

E. Cara Diagnosis

Epistaxis akan mudah didiagnosa dari warna darah yang keluar dari satu ataupun kedua nostril untuk menentukan area perdarahan . Namun hal yang sulit adalah menentukan penyebabnya. Penentuan diagnosa bisa dilakukan berdasar gejala kinis, misalnya pada kasus trauma kepala bias terlihat dari adanya tanda-tanda luka dan bengkak di wajah.

Diagnosis epistaksis juga dapat dilakukan dengan membuka hidung menggunakan spekulum, kemudian dengan alat pengisap semua kotoran dalam hidung dibersihkan baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan

Sumber perdarahan dicari oleh dokter dengan bantuan alat pengisap untuk membersihkan hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang sudah dibasahi dengan obat tertentu dimasukkan ke dalam rongga hidung. Tampon dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapat diketahui apakah sumber perdarahan dari anterior atau posterior.

Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior dengan cara yang lebih rumit karena tampon harus dimasukkan ke dalam. Setelah darah berhasil dihentikan, barulah diteliti lebih lanjut penyebabnya. Pemeriksaan tidak bisa hanya berdasarkan darah yang keluar saja sebab tidak akan terdeteksi penyebab yang tepat.

Cara yang lebih pasti bias dengan pemeriksaan radiografi yaitu untuk cek keberadaan fraktur, cairan (darah/pus) pada sinus, perubahan letak struktur jaringan oleh benda asing, abses, juga tumor. Serta pemeriksaan endoskopi pada saluran nafas bagian atas maupun bawah. Pemeriksaan endoskopi dapat lebih akurat menemukan penyebab, tapi akan sulit dilakukan jika darah terlalu banyak. Kasus hemoragi pada sinus nasi bias terlihat melalui endoskopi daerah sinus. Pada kasus EIPH saat diendoskopi akan ditemukan darah di daerah trachea. Sedang pada kasus mikosis saccus gutturalis pemeriksaan endoskopi diarahkan ke area saccus gutturalis.

F. Terapi

Penanganan epistaksis dapat dilakukan dengan cara : membersihkan hidung terlebih dahulu, kemudian memasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan pendarahan.

Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan perdarahan.

Hal-hal yang penting adalah :

1. Riwayat perdarahan sebelumnya.

2. Lokasi perdarahan.

3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien ditegakkan

4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya

5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga

6. Hipertensi

7. Diabetes melitus

8. Penyakit hati

9. Gangguan koagulasi

10. Trauma hidung yang belum lama

11. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon

Pengobatan disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah dalam keadaan akut atau tidak.

a) Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.

b) Pada pasien yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit.

c) Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah.

d) Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu.

Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari.

Pengobatan juga disesuaikan dengan kasus penyebabnya. Hemoragi sinus dengan trauma minor dapat sembuh hanya dengan istirahat dan pemberian antibiotic selama beberapa hari, karena perlu diingat bahwa darah merupakan media tumbuh bakteri yang amat baik. Pemberian antiboik juga dapat mencegah sinusitis sekunder. Sinusitis kadang bisa sembuh hanya dengan pemberian antibiotic, namun penting untuk mengeluarkan cairan dari cavum nasi ke pharynx yaitu dengan cara membuat lubang pada sinus. Pada sinusitis berat dan kronis, perlu dilakukan pembedahan untuk mengangkat jaringan kanker.

Untuk kasus mikosis saccus gutturalis perlu dilakukan operasi untuk menambal arteri dan penyemprotan antifungal pada saccus. Pada kasus ethmoid hematoma, hewan akan kehilangan banyak darah sebelum atau saat operasi, dan terkadang perlu dilakukan operasi ulangan karena tumor bias muncul lagi. Sedang pada EIPH tidak ada terapi spesifik, untuk mengurangi kesakitan bias digunakan diuretic dan nasal dilatators strip.

G. Pencegahan

Karena munculnya kasus epistaksis yang disebabkan trauma terjadi tanpa dapat diduga, beberapa hal dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya luka. Peralatan yang melindungi kepala dapat digunakan selama beraktivitas, sehingga diharapkan dapat mengurangi kejadian epistaksis.

Hewan harus dihindarkan seminimal mungkin terhadap trauma yang dapat mengakibatkan epistaksis dan bila terjadi trauma segera dilakukan penanganan. Kasus yang lain seperti bendung lokal dan tumor harus diobati segera.

. . .
DAFTAR PUSTAKA

Anonymus. 2003. Epistaksis. http://www.republika.co.id

Anonymus. 2005. Definition of Epistaxis. http://www.medicinenet.com/

Anonymus. 2005. Mimisan Itu Karena Apa. http://www.dunia-ibu.org/

Anonymus. 2006. Mengenal dan Mencegah Mimisan. johannesharry.wordpress.com

Anonymus. 2008. Nasal Trauma. http://medical-dictionary/

Anonymus. 2008. Epistaxis. www.drdavidson.ucsd.edu

Anonymus. 2006. How to stop a nosebleed fast. http://stop-nosebleeds.org/

DC, Knottenbelt, Pascoe, RR. 2003. Epistaxis in a horse. In Diseases and Disorders of the Horse. Saunders Company

Deslivia, Maria F. 2006 Tetap Tenang Menghadapi Mimisan. www.kompas.com

Dixon, PM and S.Z Barakzai. 2004. Epistaxis in Horse. Equine Vet. Educ 16 (4), 207-217.

Fai, Lo Kwok. 2000. What are the common causes of epistaxis. www.hk-doctor.com

Hui, Raymond C. 2000. Nosebleeds (Epistaxis). www.hughston.com

Keenan, Daniel P.2008. Epistaxis. www.keenanmcalister.com

Kuntari, Rien. 2006. Mimisan dan Fenomena Sirih. www.kompas.com

Pascoe, John R. 2008. Epistaxis : Cause and Treatments. www.veterinaria.uchile.cl

Purborini, Artanti. 2008. Mimisan. http://www.freelists.org/

Steficek, BA, JS Thomas, JC Baker, and TG Bell. 2003. Hemorrhagic diathesis associated with a hereditary platelet disorder in Simmental cattle. Journal of Veterinary Diagnostic Investigation, 5 (2), 202-207.

Selamihardja, Nanny. 2001. Mimisan Bisa Pertanda Penyakit Berat. www.indomedia.com

Soedjak, Sarjono. 1985. Bagaimana Memasang Tampon pada Epistaksis. Cermin Dunia Kedokteran No.38

Triana, Nunik. 2007. Jangan Anggap Enteng Mimisan. http://jurnalnasional.com/