Rabu, 16 September 2009

Staphylococcus aureus


TINJAUAN PUSTAKA



Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus berbentuk sel bulat gerombol seperti buah anggur, kadang terlihat sel tunggal atau berpasangan (Foster, 2004). Staphylococcus aureus juga dapat bergerombol empat coccus, secara khas membelah lebih dari satu bidang pada bentuk cluster yang tidak beraturan (Prescott dan Langsing, 1999). Staphylococcus aureus termasuk bakteri Gram positif, non motil, ukurannya 0,5 hingga 1,5 µm (Todar, 2002). Staphylococcus aureus dapat tumbuh optimum pada pH 7,0-7,5 dan suhu 30ºC - 37ºC. Dinding sel tersusun dari peptidoglikan dan asam teikoat. Staphylococcus aureus merupakan bakteri anaerob dan katalase positif (Prescott dan Langsing, 1999). Pertumbuhan terbaik pada suasana aerob, tetapi juga bersifat anaerob fakultatif, pada lempeng agar darah koloni lebih besar, dan pada varietas tertentu koloninya dikelilingi oleh zona hemolisis (Warsa,1994).
Menurut Dwidjoseputro (1994) dan Warsa (1994), taksonomi Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut :
Regnum : Plant
Filum : Protophyta
Kelas : Schyzomycetes
Ordo : Eubacteriales
Famili : Microccaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus mempunyai daya tahan yang lebih kuat jika dibandingkan dengan bakteri lain yang tidak membentuk spora. Pada agar miring masih dapat bertahan hidup sampai berbulan–bulan baik di dalam lemari es maupun pada suhu kamar (Warsa, 1994). Menurut Mahon et al. (1995) pada media PAD Staphylococcus aureus memproduksi pigmen lipochrome yang membuat koloni tampak berwarna kuning keemasan dan kuning jeruk atau putih. Menurut Jawetz et all (1996), Staphylococcus aureus membentuk koloni berwarna abu-abu sampai kuning emas tua. Pada uji katalase memberi hasil positif, uji koagulase positif, memfermentasi glukosa dalam keadaan anaerobik fakultatif dan membentuk asam dari fermentasi manitol secara anaerobik (Todar, 2005; Foster, 2004).
Staphylococcus aureus mempunyai sifat mengasamkan dan mengkoagulasikan susu litmus dan secara perlahan akan membentuk pepton pada beberapa strain. Sifat bakteri ini adalah indol negatif, NH3 positif, methyl red positif, Voges-Proskauer positif, mereduksi methylene blue, mereduksi nitrat menjadi nitrit, menghasilkan H2S, menghidrolisis gelatin dan mengkoagulasi plasma Staphylococcus aureus menghasilkan asam dari glukosa, maltosa, manitol, laktosa, sukrosa dan gliserol, tetapi tidak memfermentasi salisin, rafinosa ataupun inulin. (Merchant dan Parker, 1961).
Staphylococcus aureus dapat menyebabkan lesi permukaan pada kulit seperti melepuh dan furunkulosis. Patogenitas bakteri ini sering dihubungkan dengan infeksi luka bernanah baik pada manusia maupun pada hewan, yang merupakan penyebab utama kasus pyemia. Infeksi serius dapat berupa pneumonia, mastitis, meningitis, dan infeksi saluran perkencingan. Infeksi bagian dalam bisa berupa osteomyelitis dan endocarditis. Staphylococcus aureus menyebabkan kerusakan jaringan epitel mammae akibat adanya enzim koagulase, berbagai eksotoksin dan toksin hemolisin. Hemolisin α biasanya dihasilkan oleh Staphylococcus aureus yang diisolasi dari manusia, sedangkan hemolisin β diisolasi dari hewan. Kadang-kadang dari radang ambing sapi dapat diisolasi Staphylococcus aureus yang memproduksi hemolisin α akibat tertular dari manusia (Subronto, 2003).
Staphylococcus aureus menyebabkan keracunan makanan, karena mengeluarkan enterotoksin, dan dapat menyebabkan toxic shock syndrome, karena mengakibatkan sitokinin berlebihan dalam peredaran darah (Todar, 2005). Flora normal Staphylococcus aureus yang terdapat pada saluran pernafasan, kulit, dan membran mukosa, patogen untuk manusia sehingga dapat menyebabkan infeksi yang bersifat supuratif (Todar, 2005). Pada hewan, bakteri ini merupakan penyebab utama kasus mastitis pada sapi dan kambing, pustular dermatitis pada anjing dan pembentukan abses pada semua spesies hewan (Merchant dan Parker, 1961).
Struktur dinding sel Staphylococcus aureus
Kapsul
Kapsul melindungi bakteria dengan cara mencegah fagositosis bakteri terhadap leukosit polimorfonuklear (PMN). Mikrokapsul polisakarida pada beberapa strain Staphylococcus aureus berperan sebagai antifagosit (Carter dan Wise, 2004). Kapsul merupakan lapisan terluar dinding sel Staphylococcus aureus yang diselubungi oleh kapsula polisakarida. Sebelas serotype kapsular Staphylococcus aureus diidentifikasi Staphylococcus auerus, dengan serotype 5 dan 8 yang mayoritas sebagai penyebab infeksi. Kapsul Staphylococcus aureus berfungsi mencegah fagosit berinteraksi dengan determinan subkapsular bakteri, sehingga tidak terjadi penelana oleh fagosit. Kapsul juga tidak mengikat komplemen, akibatnya komplemen tidak dapat berinteraksi dengan reseptor C-3 pada fagosit (Roht, 1988)
Polisakarida pada Staphylococcus aureus biasa disebut dengan mikrokapsul karena hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop electron, tidak seperti kapsul bakteri pada umumnya yang dapat dilihat dengan mikroskop cahaya. Strain Staphylococcus aureus yang diisolasi dari kasus infeksi menunjukkan peningkatan ekspresi polisakarida tetapi secara cepat akan kehilangan kemampuan antigenesitasnya bila dikultur dilaboratorium (Todar, 2002).
Gen cap 5 sering ditemukan diantara isolate Staphylococcus aureus dari susu sapi di Indonesia. Distribusi kapsular polisakarida tipe 5 (cap 5) di Indonesia meliputi wilayah D.I. Yogyakarta dan jawa Tengah berasal dari sapi perah, sedang distribusi dari kapsular polisakarida tipe 8 (cap 8) dapat diisolasi dari pasien adalah wilayah D.I. Yogyakarta (Salasia et al., 2004). Menurut Nilsson et al (1997), mencit yang diinokulasi dengan Staphylococcus aureus serotype 5 mempunyai kemampuan tinggi dalam menimbulkan arthritis dan beberapa bentuk penyakit lain. Hal ini berbeda dengan bila hewan diinokulasi dengan strain bakteri yang tidak berkapsul. Staphylococcus aureus serotype 5 bersifat antifagositik, juga menghasilkan faktor virulensi yang lebih tinggi (Thakker et al., 1998). Gen cap 8 sering ditemukan pada Staphylococcus aureus di Jerman (Salasia et al., 2004) dan di Negara Eropa yang lain (Tollersrud et al,. 2000).



Protein A
Perlekatan bakteri dan kolonisasi pada jaringan inang umumnya merupakan tahap awal proses patogenesis penyakit (Mohamed et al., 1999). Menurut Wibawan et al (1993), peran antigen protein-A dan komponen protein permukaan lainnya dalam mekanisme infeksi berefek langsung pada sifat adhesif bakteri.
Protein A sebagai protein permukaan secara khusus bersifat patogenik pada bakteri Staphylococcus aureus. Protein ini mempunyai peranan penting dalam mekanisme bakteri penginfeksi tubuh inang, diantaranya berperan dalam pelekat (adhesi), kolonisasi, dan perusakan sel pada berbagai jaringan tubuh. Selain itu efek biologis yang ditimbulkan diantaranya reaksi hipersensitivitas diperlambat, menghambat opsonisasi dan antifagositosis (Suarsana, 2002)
Deteksi protein A dapat digunakan sebagai uji identifikasi spesifik terhadap Staphylococcus aureus. Protein A adalah suatu komponen dinding Staphylococcus aureus yang berikatan kuat pada bagian Fc setiap molekul IgG. Hal ini membuat bagian Fab molekul antibodi menghadap keluar, sehingga antibodi bebas berikatan dengan antigen spesifik. Proses ini banyak dipakai dalam imunologi dan teknologi diagnostik (Jawetz et al., 1992). Protein A merupakan komponen permukaan pada strain Staphylococcus aureus yang virulen dan berperan dalam terjadinya proses aglutinasi. Protein A sebagai antifagosit mempunyai kemampuan untuk mengikat bagian Fc dari IgG. Lapisan dari sel bakteri ini oleh antibodi digunakan sebagai penyamaran dan perlindungan. Ketika IgG spesifik ditambahkan pada protein A yang terdapat pada Staphylococcus aureus dan kemudian diikuti antigen homolog akan dihasilkan koaglutinasi (Carter dan Wise, 2004).
Ikatan Fc-Ig dengan protein A dapat mengakibatkan tidak terjadinya opsonisasi dan proses fagositosis dihambat atau antifagosit, sehingga terhambatnya proses fagositosis memberi kesempatan pada bakteri untuk berbiak dan menginfeksi inang. Protein A merupakan salah satu faktor virulensi dan mempunyai peran biologis dalam mekanisme patogenesis bakteri Staphylococcus aureus untuk menginfeksi inang (Carlton dan Charles, 1993).

Lapisan peptidoglikan
Lapisan peptidoglikan berjumlah 60% dari berat kering dinding sel dan merupakan komponen utama dari dinding sel Staphylococcus aureus (Madigan et al., 2000). Peptidoglikan merupakan suatu polimer polisakarida yang mengandung subunit-subunit yang terangkai, merupakan eksoskeleton pada dinding sel. Peptidoglikan dapat dihancurkan oleh asam kuat atau lisozim. Substansi yang berperan penting dalam patogenesis infeksi karena dapat merangsang monosit mengeluarkan interleukin-1 (pirogen endogen) dan antibodi. Zat ini juga dapat menjadi zat kimia penarik (kemotraktan) untuk leukosit polimorfonuklear, mempunyai aktifitas endotoksin, dan mengaktifkan komplemen (Jawetz et al., 1996).
Asam teikoat
Asam teikoat merupakan gliserol atau ribitol fosfat yang berikatan dengan peptidoglikan dinding sel dan dapat bersifat antigenik. Antibodi antiteikoat yang dapat dideteksi melalui gel dapat ditemukan pada penderita endokarditis aktif yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus (Jawetz et al., 1996).

Faktor Virulensi
Staphylococcus aureus memproduksi eksoprotein yang dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu, kelompok enzim antar lain, koagulase, lipase, hialuronidase, fibrinolisin, dan nuklease, serta sekelompok eksotoksin misalnya leukosidin, dan toxic shock syndrome toksin (Salasia et al., 2005).
Patogenesis dan virulensi Staphylococcus aureus ditentukan oleh substansi-substansi yang diproduksi antara lain adalah enzim ekstraseluler yang dikenal dengan eksoprotein (Salasia et al., 2005). Staphylococcus aureus menghasilkan berbagai faktor virulen baik yang bersifat seluler maupun ekstraseluler. Sejumlah faktor ini berperan dalam proses kolonisasi dan pertumbuhan pada berbagai organ tubuh. Adanya berbagai faktor ini dapat menjelaskan mengapa bakteri dapat menyebabkan infeksi pada seluruh organ dari berbagai jenis hewan. Timbulnya penyakit yang disebabkan oleh bakteri, karena adanya satu atau beberapa faktor virulen tersebut yang berperan secara terpisah atau secara sinergi dalam proses infeksi (Abrar, 2001).
Koagulase
Koagulase merupakan salah satu protein yang menyerupai enzim dan dapat menggumpalkan plasma oksalat atau sitrat dengan bantuan suatu faktor yang terdapat dalam serum. Faktor reaksi koagulase (coagulase reacting factor, CRF) serum bereaksi dengan koagulase untuk menghasilkan esterase dan aktivitas pembekuan dengan cara yang sama, seperti pengaktifan protrombin menjadi trombin (Jawetz et al., 2001). Proses fagositosis Staphylococcus aureus koagulasi positif dapat dikurangi dengan adanya reaksi penggumpalan darah. Hal ini merupakan mekanisme penghambatan yang mungkin berasal dari fibrin bagian permukaan organisme (Merchant dan Parker, 1961)
Enzim koagulase bereaksi terhadap bentuk kompleks yang dapat membelah fibrinogen dan menyebabkan pembentukan bekuan fibrin, fibrin juga tersimpan pada permukaan Staphylococcus aureus, yang mampu melindungi bakteri dari kerusakan sel akibat aksi fagositosis sel. Produksi koagulase terkait dengan potensi patogenitas yang invasive (Prescott dan Langsing, 1999).

Lipase dan Tributirinase
Lipase terutama dihasilkan oleh jenis Staphylococcus aureus koagulase positif (Warsa, 1994). Lipase adalah enzim yang menghidrolisis lipid. Aktivitas enzim pada berbagai substrat termasuk lipid yang terdapat dalam plasma, lemak dan minyak yang terakumulasi pada permukaan tubuh. Aktivitas lipase yang demikian sangat membantu Staphylococcus aureus bertahan dan berkoloni dalam darah atau pada daerah kelenjar sebaseous. Lipase sangat penting untuk menembus barier jaringan kutan dan subkutan (Joklik et al., 1992). Tributirinase atau egg-yolk faktor merupakan suatu lipase-like enzyme yang menyebabkan terbentuknya fatty droplets dalam suatu pembenihan kaldu yang mengandung glukosa dan kuning telur (Warsa, 1994).



Hialuronidase
Hialuronidase adalah enzim yang memecahkan asam hialuronat, suatu komponen penting dalam jaringan ikat, merupakan antigen spesifik (Jawetz et al., 1986). Enzim ini terutama dihasilkan oleh jenis Staphylococcus aureus koagulase positif (Warsa, 1994). Hialuronidase merupakan spreading factor dari bakteri Staphylococcus aureus (Merchant dan Parker, 1961). Lebih dari 90% strain Staphylococcus aureus menghasilkan hialuronidase dan diketahui sebagai faktor penyebar infeksi. Enzim ini mampu menghidrolisis asam hialuronik yang berada pada interseluler, sebagai substansi dasar jaringan penghubung, sehingga mempermudah penyebaran infeksi (Joklik et al., 1992; Prescott dan Langsing, 1999).
Enzim ini dihubungkan dengan faktor penyebaran. Hialuronidase menurunkan asam hialuronik, substansi dasar pada jaringan penghubung, dan sebagai sarana penyebaran organisme melalui jaringan (Carter and Wise, 2004).
Gelatinose dan Protease
Gelatinose adalah suatu enzim yang dapat mencairkan gelatin. Protease dapat melunakkan serum yang telah diinspirasikan yaitu diuapkan cairannya dan menyebabkan nekrosis jaringan termasuk jaringan tulang (Warsa, 1994).
Stafilokinase (fibrinolisin)
Fibrinolisin merupakan enzim yang dapat melisiskan bekuan darah dari pembuluh darah yang sedang meradang, sehingga bagian-bagian yang penuh kuman terlepas dan menyebabkan terjadinya lesi metastatik di jaringan lain (Warsa, 1994). Stafilokinase merupakan enzim proteolitik yang dihasilkan Staphylococcus. Enzim ini secara antigenik dan enzimatik berbeda dengan streptokinase yang dihasilkan oleh Streptococcus. Stafilokinase banyak dihasilkan oleh strain Staphylococcus aureus. Perbedaan produksi stafilokinase tergantung pada phage genome dan ekspresinya selama lisogeni. Gangguan pembekuan darah oleh enzim ini, merupakan akibat proenzim plasminogen yang diubah menjadi enzim fibrinolitik plasmin (Joklik et al., 1992).
Nuklease
Nuklease adalah enzim fosfodiesterase dengan kemampuan endonukleolitik dan eksonukleolitik dan dapat memotong DNA atau RNA. Enzim ini tersusun atas rantai tunggal polipeptida, berbentuk kompak globuler, berada dalam permukaan sel, pada permukaan sel atau dekat permukaan sel Staphylococcus aureus. Enzim ini akan berubah strukturnya pada pemanasan 65ºC, tetapi bersifat reversible, artinya strukturnya akan berubah ke bentuk semula setelah suhu turun kembali dengan cepat (Joklik et al., 1992). Enzim nuklease mempunyai kemampuan untuk memecah asam nukleat (Prescott dan Langsing, 1999).

Toksin
Toksin merupakan suatu substansi termolabil yang mematikan bagi binatang, menyebabkan nekrosis pada kulit, dan mengandung beberapa hemolisin yang dapat larut dan dapat dipisahkan dengan elektroforesis (Jawetz et al., 1986).
Alfa toksin (alfa hemolisin)
Alfa toksin merupakan protein dengan berat molekul 34 kDa dan diproduksi oleh organisme sebagai monomer larut air, terdiri dari empat bentuk yang dapat dipisahkan dengan menggunakan metode elektroforesis. Interkonversi bentuk dapat terjadi dalam penyimpanan. Polimerase monomer murni 3 S alfa toksin secara reversible dapat menjadi bentuk 12 S larut air atau tidak larut air. Bentuk terakhir ini tidak mempunyai aktivitas biologik dan ini mengarah sebagai toksoid. Alfa hemolisin mempunyai aktivitas biologik yang luas, yaitu hemolitik, letal dan dermonekrotik (Jawetz et al., 1982; Joklik et al., 1992).
Toksin ini terutama dihasilkan oleh jenis Staphylococcus yang berasal dari manusia (Warsa, 1994). Alfa hemolisin merusak makrofag dan trombosit manusia, tetapi monosit resisten terhadap toksin ini. Alfa hemolisin melarutkan eritrosit dan merusak trombosit kelinci, kambing, domba, dan sapi tetapi tidak melisiskan sel darah merah manusia . Toksin ini juga merusak sistem sirkulasi, jaringan otot dan jaringan korteks ginjal. Meskipun alfa toksin bukan satu-satunya faktor virulensi Staphylococcus, alfa toksin mempunyai peran yang nyata pada patogenitas dengan menimbulkan kerusakan jaringan (Jawetz et al.,1982).
Pemacu proses heksamerisasi tidak tergantung adanya reseptor khusus pada membran, tetapi karena sel-sel tertentu yang mempunyai afinitas pengikatan toksin yang tinggi (Joklik et al., 1992). Menurut Jawetz et al. (1982), mekanisme yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan secara tepat, belum diketahui dengan jelas, namun diperkiraan melalui tahap-tahap sebagai berikut : (1) Peningkatan monomer pada permukaan sel, (2) Pembentukan heksamer untuk pembentukan transmembrane channel dengan diameter 2-3 nm, (3) Kebocoran ion-ion kecil melalui channel, (4) Kelainan tekanan osmotik yang mampu melisiskan sel.
Beta toksin (beta hemolisin)
Beta toksin adalah protein dengan berat molekul antara 11 kDa-59 kDa, tergantung strain Staphylococcus aureus yang menghasilkan (Wiseman, 1975). Produksi β hemolisin merupakan toksin dari Staphylococcus yang berasal dari hewan, dapat digunakan untuk karakterisasi yang penting (Merchant dan Parker, 1961). Beta hemolisis dapat menyebabkan terjadinya hot-cold lysis pada sel darah merah domba dan sapi (Warsa, 1994). Beta toksin mempunyai aktivitas biologis menimbulkan lisis hot-cold, yang berarti bahwa aksi hemolitik beta toksin akan menurun jika diinkubasi pada suhu 37ºC, dan akan meningkat jika diinkubasi pada suhu 4ºC (Brückler et al., 1994)
Beta hemolisin mempunyai kemampuan untuk menghancurkan eritrosit dan sphingomyelin di sekitar sel saraf (Prescott dan Langsing, 1999). Menurut Joklik et al. (1992), beta toksin adalah enzim dengan substrat spesifik yaitu merusak sphingomyelin (dan lisofosfolipida). Degradasi sphingomyelin akan menyebabkan lesi membran dan akan memacu prose hemolisis jika sel dalam kondisi kedinginan. Reaksi akan terjadi sebagai berikut:

ß- toksin
Sphingomyelin + H2O N-asilsfingosin + fosforilkolin
Mg 2+
Eritrosit berbagai spesies hewan mempunyai tingkat kepekaan yang berbeda terhadap toksin ini, tergantung konsentrasi sphingomyelin yang terkandung dalam eritrosit tersebut (Joklik et al.,1992).
Delta toksin (delta hemolisin)
Toksin ini mempunyai kandungan asam amino hidrofobik yang tinggi, sehingga jika berada dalam lingkungan cair akan membentuk molekul amfipatik. Delta hemolisin dari berbagai galur Staphylococcus aureus yang telah berhasil diisolasi mempunyai berat molekul antara 68-200 kDa (Wiseman, 1975). Delta toksin mempunyai aktivitas biologik yang luas dan tidak menunjukkan spesifitas sel tertentu. Delta toksin relatif termostabil terhadap bahan yang mampu menurunkan tegangan permukaan yang kuat seperti deterjen. Eritrosit, makrofag, limfosit, netrofil dan trombosit dapat dirusak oleh delta toksin. Delta toksin mempunyai kemampuan menghambat absorbsi air dalam ileum, serta dapat merubah permeabilitas ion pada ileum marmot. Efek lain delta toksin adalah mempengaruhi fungsi leukosit polimorfonuklear dan metabolisme platelet activation factor (PAF) (Joklik et al., 1992). Toksin ini juga dihasilkan oleh Staphylococcus epidermidis. Delta hemolisin merupakan toksin yang dihasilkan dalam jumlah yang relatif sedikit oleh sebagian besar dari jenis Staphylococcus aureus (Todar, 2002). Zona hemolitiknya bertepi tajam, muncul hanya dalam CO2 atmosfir atau plat dengan buffer pH 6 (Smith et al., 1960).
Gamma toksin (Gamma hemolisin)
Gamma hemolisin merupakan protein yang bersifat antigenik dengan berat molekul 26-45 kDa. Toksin ini mempunyai aktivitas hemolitik pada eritrosit manusia, kelinci dan kambing, tetapi tidak beraktivitas pada eritrosit kuda dan unggas (Wiseman, 1975). Menurut Joklik et al. (1992), gamma toksin mempunyai aktivitas hemolitik yang nyata, tetapi mekanisme yang pasti belum diketahui. Gamma toksin terdiri dari dua komponen protein yang bekerja sinergis untuk aktivitas hemolisis dan toksisitas. Sulfated polimer dan agar menghambat gamma-hemolisin sehingga tidak efektif pada plat agar darah. Kolesterol dan kapsula menghambat gamma-hemolisin (Morse, 1980).

Toksin eksfoliatif
Toksin ini dihasilkan oleh Staphylococcus grup II dan merupakan suatu protein ekstraseluler yang tahan panas tetapi tidak tahan asam. Toksin eksfoliatif dapat menyebabkan Staphylococcus scalded skin syndrome (sindrom kulit keropeng akibat Staphylococcus) yang antara lain meliputi dermatitis eksfoliativa pada neonatus (Ritter’s disease), impetigo bulosa, Staphylococcal scarlatiniform rash dan toksin epidermal nekrolisis pada orang dewasa (Jawetz et al, 1996). Secara serologis dan biokimiawi, toksin ini dibedakan menjadi dua yaitu eksfoliatif A (ETA) dan eksfoliatif B (ETB). Gen yang menyandi ETA terletak pada kromosom, sedang ETB terletak pada plasmid. Toksin ini mempunyai berat molekul 30.000 dan 39.500. Toksin ini merusak interseluler pada lapisan granuler epidermis, tetapi tidak menimbulkan respon keradangan (Joklik et al., 1992).
Toksin sitolitik
Toksin sitolitik adalah enzim yang dihasilkan oleh beberapa bakteri yang dapat menghancurkan sel hospes. Sebagian besar merupakan protein ekstraseluler dan dapat menimbulkan netralisasi antibodi. Berbagai toksin mempunyai cara yang berbeda dalam berhubungan dengan permukaan sel hospes. Staphylococcus aureus menghasilkan empat toksin hemolitik, yaitu (alpha), (beta), (gamma), (delta)-hemolisin. Hemolisin dan leukosidin adalah toksin yang mempunyai efek toksin yang nyata, yang disebarkan oleh Staphylococcus aureus, seperti halnya streptolisin O dan S, serta beberapa toksin yang dihasilkan oleh Clostridium sp. (Joklik et al., 1992; Brückler et al., 1994).


Leukosidin
Leukosidin dihasilkan oleh Staphylococcus aureus, toksin ini hanya menyerang leukosit polimorfonuklear dan makrofag (Joklik et al., 1992). Leukosidin mempunyai kemampuan untuk menghambat fagositosis oleh granulosit dan dapat menghancurkan sel dengan pembentukan pori-pori pada bekas fagosomnya (Prescott dan Langsing, 1999). Antibodi terhadap leukosidin dapat berperan dalam resistensi terhadap infeksi Staphylococcus berulang (Jawetz et al., 1986).
Toksin ini dapat merusak sel darah putih beberapa macam binatang dan ada 3 tipe yang berbeda: (1) Alfa hemolisin; (2) Yang identik dengan Delta hemolisin, bersifat termostabil dan menyebabkan perubahan morfologik sel darah putih dari semua tipe kecuali yang berasal dari domba; (3) Yang terdapat pada 40-50% jenis Staphylococcus dan hanya merusak sel darah putih manusia dan kelinci tanpa aktivitas hemolitik (Warsa, 1994).
Leukosidin mengandung dua komponen protein, yaitu S dan F yang bereaksi secara sinergis untuk sitolisis. Komponen S dan F berikatan spesifik pada Gm1-gangliosidase. Pada awal leukositolisis, leukosidin diaktivasi oleh metiltransferase sehingga leukosit berikatan dengan komponen protein S. Selanjutnya ikatan leukosit komponen S akan mengaktivasi fosfolipase dan meningkatkan phosphatidyl binding site sel membran untuk komponen F. Respon khusus leukosit terhadap leukosidin adalah perubahan permeabilitas membran untuk kation dan diikuti perubahan-perubahan lain (Joklik et al., 1992). Enzim ini berfungsi membunuh granulosit dan makrofag yang tersusun atas dua heat-labile protein (Carter and Wise, 2004).

Toxic Shock Syndrome Toxin-1 (TSST-1)
Gen untuk TSST-1 ditemukan sekitar 20% dari Staphylococcus aureus yang diisolasi (Jawetz et al, 1996 ). Beberapa kasus disfungsi multi organ, yang biasanya fatal disebabkan Staphylococcus aureus, selalu dihubungkan dengan toxic shock syndrome toxin (TSST). Beberapa kasus TSST-1 biasanya berhubungan dengan kondisi menstruasi pada wanita. TSST-1 merupakan eksotoksin dengan berat molekul 22 kDa, yang dapat menimbulkan berbagai macam efek imunologik. Efek imunologik yang ditimbulkan adalah induksi ekspresi reseptor interleukin-2, sintesis interleukin, proliferasi limfosit T dan stimuli sintesis interleukin-1 oleh monosit manusia. Tempat utama perlekatan TSST-1 pada sel mononuklear manusia dapat dikenali dengan molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas II (Joklik et al., 1992). Toksin ini penyebab keracunan makanan dengan gejala yang timbul secara mendadak, yaitu mual, muntah-muntah dan diare, kadang-kadang dapat terjadi kolaps (Warsa, 1994).
Enterotoksin
Enterotoksin merupakan suatu zat yang dihasilkan oleh Staphylococcus khususnya jika dibiakkan dalam CO2 konsentrasi tinggi pada perbenihan setengah padat (Jawetz et al., 1986). Enterotoksin dihasilkan oleh bakteri pada waktu fase pertumbuhan. Enterotoksin pada umumnya diproduksi oleh Staphylococcus aureus di dalam makanan basah yang sudah pernah dimasak atau dipanaskan. Enterotoksin ini bersifat tahan panas (heat stable) sehingga toksin tidak rusak oleh pemanasan. Enterotoksin menyebabkan toxic shock like syndrome, keracunan pangan, beberapa penyakit alergi dan autoimun (Marrack dan Kappler, 1990).
Sampai saat ini telah diidentifikasi ada 19 enterotoksin S. aureus yaitu Staphylococcal enterotoxin A (SEA), B (SEB), C (SEC), D (SED), E (SEE), G (SEG), H (SEH), I (SEI), J (SEJ), K (SEK), L (SEL), M (SEM), N (SEN), O (SEO), P (SEP), Q (SEQ), R (SER), T (SET) dan U (SEU) (Williams et al., 2000; Akineden et al.,;2001; Jarraud et al., 2001; Larsen et al., 2002; Orwin et al., 2002; Yarwood et al., 2002; Letertre et al., 2003; Omoe et al., 2003; Tseng et al., 2004). Beberapa sampel susu sapi perah di Jawa Tengah pernah diisolasi S. aureus yang mengandung gen penyandi stafilokokal enterotoksin B, G, H dan I (Salasia et al., 2004). Pada pasien-pasien di rumah sakit Dr. Sardjito, Yogyakarta, telah diisolasi S. aureus dengan gen penyandi enterotoksin yang bervariasi, yaitu enterotoksin A, B, E, G, H dan I (Salasia et al., 2004). Enterotoksin dapat diukur melalui tes presipitasi (difusi gel). Domain molekul enterotoksin yang berbeda bertanggung jawab terhadap sindroma syock toksik dan keracunan makanan (Jawetz et al., 2001).
Adesi Bakteri
Perlekatan bakteri pada sel jaringan inang diawali dengan kejadian kolonisasi dan selanjutnya berkembang menjadi infeksi (Pascu et al., 1996). Adesi bakteri pada permukaan sel memperpendek jarak antara bakteri dengan permukaan tubuh hospes sehingga mempermudah toksin atau metabolit lain yang dihasilkan oleh bakteri melekat pada reseptornya pada permukaan sel hospes. Proses adesi merupakan tahap awal infeksi bakteri yang berperan dalam kolonisasi pada permukaan sel hospes (Wibawan, 2005). Ada 2 bentuk proses adesi bakteri yaitu adesi yang bersifat non-spesifik dan adesi yang bersifat spesifik. Pada adesi yang bersifat non-spesifik, perlekatannya tidak melibatkan peran reseptor permukaan tetapi disebabkan karena adanya sifat hidrofobisitas agen dan perbedaan muatan listrik permukaan bakteri dengan permukaan sel hospes inang sehingga perlekatan umumnya tidak kuat dan bersifat ireversibel. Sedangkan adesi spesifik, perlekatan diperantarai oleh reseptor permukaan sel inang yang mampu berikatan dengan antigen permukaan bakteri (Wibawan dan Lämmler, 1991)
Adhesin juga berupa tonjolan-tonjolan filamen yang disebut pili dan fimbrae. Adhesin ini mengikat reseptor spesifik pada membran permukaan sel epitel (Bellanti, 1993). Pada semua ujung pili adhesin adalah protein adherence yang menentukan sel hospes yang akan didekati mikrobia (bacterial tropism) (Vegad, 1996).
Mekanisme organisme patogen dalam menimbulkan penyakit pada hospes meliputi perlekatan organisme pada sel epitel, penembusan dan invasi jaringan, produksi toksin dan kemampuan mengadakan perubahan genetis (Bellanti, 1993). Adesi bakteri pada sel-sel hospes merupakan langkah yang sangat penting untuk mengetahui patogenesis pada proses infeksi. Streptococcus membentuk substansi-substansi intra dan ekstra sel, yang diduga memegang peranan dalam sifat patogenisasi terhadap hospes yang diinfeksi. Substansi-substansi tersebut antara lain adalah protein-protein spesifik, hemaglutinin maupun fimbria yang ada di permukaan bakteri (Ofek dan Sharon, 1988; Kurl et al., 1989). Hemaglutinin dan fimbria mempunyai arti sebagai adesin untuk perlekatan bakteri baik Gram negatif maupun positif pada sel epitel hospes (Chanter et al., 1993). Fimbria pada permukaan sel bakteri sering disebut sebagai hidrofobin yang bertanggung jawab terhadap interaksi bakteri dengan eritrosit (Salasia dan Lammler, 1994; Gottschalk et al., 1990)..
Fagositosis
Sel sel fagositik adalah sekelompok sel khusus yang melaksanakan fungsi atau terlibat dalam proses penelanan dan memakan partikel–partikel atau cairan dari lingkungan eksternal. Digesti lebih lanjut dari partikel–patrikel ini berakhir dengan pelenyapan substansi tersebut. Proses fagositosis merupakan bagian dari respon imun nonspesifik dan memainkan peran pada pertemuan pertama hospes dengan benda-benda asing. Endositosis adalah istilah yang lebih umum, meliputi baik fagositosis (ingesti partikel-partikel) dan pinositosis (memakan zat-zat non-partikel, misalnya tetes cairan). Keduanya memainkan peran proses penelanan dan makan partikel-partikel atau cairan dari lingkungannya, dan kelompok-kelompok sel khusus yang melaksanakan fungsi-fungsi tersebut biasanya dinamakan sebagai sel-sel fagositik (Bellanti, 1993).
Fagositosis merupakan salah satu sistem pertahanan tubuh terhadap serangan benda asing seperti bakteri yang meliputi berbagai tahap yaitu pengenalan terhadap adanya benda asing, pergerakan terhadap benda asing, penyerangan, ingesti dan digesti intraselluler oleh mekanisme antimikrobial. Tahap – tahap ini penting untuk mengetahui aktivitas leukosit (Bellanti,1993).
Fungsi utama fagosit adalah migrasi, kemotaksis, memakan, dan mematikan mikroorganisme. Mikroorganisme dan benda – benda lain yang memasuki saluran getah bening, paru – paru, sumsum tulang, atau pembuluh darah akan ditelan oleh salah satu dari berbagai fagosit. Diantaranya adalah leukosit polimorfonuklear (berinti polimorf), monosit makrofag, dan makrofag tertentu pada sistem retikuloendotelial (Jawetz et al., 1996).
Sel fagositik dalam pengaturan tubuh adalah lokalisasi dan pemusnahan benda-benda asing, misalnya mikroorganisme. Beberapa fungsi terpadu mungkin diperlukan untuk mencapai tujuan ini. Pertama, sel harus sampai ada tempat benda asing tersebut (kemotaksis), kemudian memakan benda asing itu (fagositosis), akhirnya sesudah beberapa tahap metabolik, benda asing akan dihancurkan atau replikasi mikroorganisme dihambat. Ada tiga fenomena yang terlibat dalam gerakan-gerakan sel: motilitas, lokomosi dan kemotaksis. Motilitas berkaitan dengan sel-sel yang bergerak, lokomosi, merupakan gerakan dari satu tempat ke tempat lainnya, dan kemotaksis adalah gerakan suatu arah ke arah daya tarik kemoatraktan yang bertambah (Bellanti, 1993)
Proses fagositosis juga dibagi menjadi dua fase yaitu fase perlekatan dan fase ingesti. Selama fase perlekatan, terjadi sentuhan kuat dengan partikel. Sentuhan ini dapat terjadi secara langsung antara partikel dan fagosit melalui proses tanpa dorongan, Sangat tergantung pada sifat-sifat permukaan partikel yang akan difagositosis, misal hidrofobisitas dan tegangan permukaan. Pada keadaan lain, perlekatan melibatkan peran serta dua jenis reseptor membran plasma fagosit: (1) reseptor untuk fragmen Fc dari molekul immunoglobulin, dan (2) reseptor untuk C3b, suatu komponen dari komplemen. Beberapa bakteri yang tidak berkapsul secara cepat dimakan oleh fagosit dan dihancurkan. Namun demikian strain yang berkapsul, misal pneumokokus sukar dimakan dan karena itu tidak dapat dihancurkan. Resistensi terhadap penelanan ini berkaitan dengan kapsul protektif bakteri yang menjamin kehidupannya di dalam hospes. Bila terdapat protein serum tertentu, misalnya komplemen atau antibodi (opsonin), perlekatan fagosit pada bakteri yang berkapsul dipermudah oleh reseptor permukaan dan daya makan sel fagositik ini diperbesar (Bellanti, 1993).
Pada mamalia, sel fagositik termasuk didalam dua sistem komplementer. Sistem yang pertama disebut sistem mieloid terdiri dari sel yang bekerja secara cepat tetapi mempunyai umur pendek atau tidak mampu bertahan lama. Sistem kedua disebut sistem fagositik mononuklear, terdiri dari sel yang bekerja lebih lambat tapi mampu melakukan aktivitas fagositosis secara berulang (Tizard, 1982). Proses ingesti merupakan langkah fagositosis selanjutnya dan memainkan peran penelanan partikel. Fagosit menginvaginasi membran plasmanya dan kemudian partikel dimasukkan ke dalam sitoplasma dan ditutup dalam vakuola (fagosoma), dengan dindingnya dibentuk dari membran plasma yang terinvaginasi (Bellanti, 1993).
Faktor yang mempengaruhi fagositosis adalah adanya antibodi (opsonin) yang membungkus permukaan bakteri dan membantu fagosit memakan bakteri. Opsonisasi dapat terjadi melalui tiga mekanisme yaitu pertama antibodi sendiri dapat berlaku sebagai opsonin, kedua antibodi ditambah antigen dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik untuk menghasilkan opsonin, dan yang ketiga opsonin dapat dihasilkan oleh suatu sistem yang tidak tahan panas dimana immunoglobulin atau faktor lain mengaktifkan C3 melalui jalur alternatif (Jawetz et al.,1996). Pada selaput makrofag terdapat reseptor untuk bagian Fc dari antibodi dan reseptor untuk komponen C3 dari komplemen. Ini membantu fagositosis terhadap partikel – partikel yang terbungkus antibodi (Jawetz et al.,1996).
Opsonin adalah antibodi yang mempermudah ditelannya mikroba oleh fagosit. Sel-sel fagosit mempunyai aktivitas khusus terhadap mikroorganisme yang terbungkus antibodi. Bila pada permukaan mikroba juga terdapat komplemen, maka terdapat reseptor-reseptor komplemen pada sel fagositik yang menyediakan tenaga perlekatan tambahan (Pelczar dan Chan, 1988)
Fagositosis sel-sel polimorfonuklear (PMN)
Neutrofil merupakan sel terminal dari diferensiasi myeloid dan tidak membelah. Granulosit polimorfonuklear merupakan sel utama dalam sistem mieloid yaitu sel neutrofil. Sel ini bila tersuspensikan di dalam darah berbentuk bundar dengan diameter lebih kurang 12 µm, memiliki sitoplasma yang bergranula halus dan memiliki nukleus yang bersegmen (Tizard,1982).
Fungsi utama sel neutrofil adalah penghancuran benda asing melalui proses fagosit. Tingkatan dari proses fagosit adalah kemotaksis, perlekatan, penelanan, dan pencernakan. Permulaan proses fagosit diawali dengan pergerakan sel neutrofil yang terarah di bawah pengaruh rangsangan kimiawi eksternal. Pergerakan ini dinamakan kemotaksis. Sel neutrofil akan tertarik oleh berbagai macam produk bakteri, berbagai faktor yang dilepas oleh sel yang rusak, dan berbagai produk reaksi kebal (Tizard,1982).
Neutrofil diproduksi dalam sunsum tulang dari sel induk (stem cell), sesudah proses pembelahan akan mengalami pendewasaan melalui berbagai fase yaitu: mieloblas menjadi promielosit kemudian menjadi metamielosit, selanjutnya akan menjadi sel batang dan terakhir menjadi PMN dewasa. Sel polimorfonuklear yang terdapat dalam sunsum tulang belakang dapat dikeluarkan sewaktu - waktu kalau diperlukan untuk mengisi sel-sel dalam sirkulasi atau sesuai kebutuhan jaringan (Bellanti,1993).
Dengan pendewasaan sel neutrofil terdapat dua macam granula di dalam sitoplasma sel neutrofil, yaitu granula primer yang merupakan suatu struktur padat elektron, berdiameter sekitar 0,4 µm yang tampak pada awal dan mempunyai ciri-ciri serupa dengan lisosom jaringan. Granula-granula primer ini mengandung mieloperoksidase, protein dasar kaya arginin (cationic protein), sulfat mukopolisakarida, fosfatase asam dan beberapa hidrolase asam lain. Granula kedua adalah granula sekunder atau granula spesifik. Granula sekunder bukanlah lisosom sebenarnya, ukurannya lebih kecil daripada granula primer yaitu sekitar 0,3 µm dan tidak sepadat granula primer. Walaupun demikian granula ini kaya akan fosfatase alkali, lisozim, dan amino peptidase. Pada stadium pertengahan pendewasaan neutrofil, terlihat kedua macam granula. Setelah pendewasaan berlangsung, granula sekunder bertambah jumlahnya dan lebih mencolok. Kedua jenis granula ini mempunyai peran penting dalam penghancuran benda-benda yang ditelan dan dalam pembunuhan mikroorganisme (Bellanti,1993).
Neutrofil pada waktu memasuki jaringan merupakan sel terminal dari diferensial mieloid dan tidak mengalami pembelahan lagi, sehingga dapat segera memulai fagositosis. Sewaktu mendekati suatu partikel untuk difagosit, mula-mula neutrofil melekatkan diri pada partikel kemudian menonjolkan pseudopodia ke semua jurusan di sekeliling partikel. Pseudopodia saling bertemu satu sama lain pada sisi yang berlawanan dan bergabung. Hal ini menciptakan ruangan tertutup yang berisi partikel yang sudah difagositosis. Kemudian ruangan ini berinvaginasi ke dalam rongga sitoplasma dan melepaskan diri dari bagian luar membran sel untuk membentuk fagosom (Guyton dan Hall, 1996).
Saat neutrofil bertemu dengan suatu partikel yang akan ditelannya, maka partikel tersebut akan diikatnya kuat-kuat. Perlekatan ini tidak terjadi secara spontan, karena baik sel neutrofil maupun partikel asing yang tersuspensikan dalam cairan tubuh memiliki muatan negatif (potensial zeta) dan karenanya saling tolak menolak satu sama lain. Oleh karena itu perlu menetralkan muatan tersebut dengan melapisi partikel dengan protein bermuatan positif. Protein tersebut adalah molekul antibodi dan suatu protein yang disebut C3 (komponen ke-3 komplemen). Sebuah partikel yang terlapisi oleh antibodi atau C3 akan memiliki potensial zeta yang lebih rendah, sehingga memungkinkan untuk adanya kontak dekat dengan sel neutrofil yang bermuatan negatif. Sel neutrofil mempunyai reseptor khusus baik bagi antibodi maupun C3, yang juga meningkatkan perlekatan (Tizard, 1982).
Mekanisme lain yang membantu meningkatkan kontak antara partikel dan sel fagositik adalah penjeratan. Bila menghadapi sel neutrofil di dalam suspensi biasanya partikel bebas akan menjauhi sel neutrofil tersebut. Tetapi di dalam jaringan, partikel dapat terjerat di antara sel neutrofil dan permukaan lain kemudian ditelan. Proses ini dikenal sebagai fagositosis permukaan. Sekali partikel terpasang kuat pada membran neutrofil, partikel yang melekat akan merangsang membran sel lokal dan aktivitas mikrotubul, yang sebaliknya menyebabkan sitoplasma mengalir di atas dan di sekitar partikel, kemudian akan menelan semuanya. Proses penelanan ini tergantung pada sifat permukaan partikel. Pada umumnya, partikel itu perlu bersifat lebih hidrofobik dari sel fagositik. Bakteri yang sangat hidrofobik akan ditelan spontan ke dalam sel, contohnya adalah Mycobacterium bovis. Sebaliknya Streptococcus pneumoniae, yang memiliki kapsul karbohidrat yang hidrofilik sulit difagositosis. Bahan-bahan yang meningkatkan perlekatan dan penelanan partikel dengan cara ini disebut opsonin (opson bahasa yunani berarti persiapan makanan) (Tizard,1982).
Sebuah partikel yang terjerat di dalam sitoplasma neutrofil, akan menempatkan dirinya di dalam ruang yang disebut fagosom. Penghancuran partikel terjadi bila enzim hidrofilik, yang biasanya tersimpan di dalam lisosom dikosongkan ke dalam fagosom. Hal ini terjadi sebagai akibat granula bermigrasi melalui sitoplasma dan bersatu dengan fagosom membentuk vakuol yang disebut fagolisosom. Enzim lisosom neutrofil termasuk lisozim, yang dapat mencerna beberapa dinding sel bakteri, enzim proteolitik, mieloperoksidase, ribonuklease, dan fosfolipase. Secara bersamaan, enzim ini letal bagi sebagian besar mikroorganisme, tetapi ada variasi dalam kerentanan. Bakteri Gram-positif rentan terhadap lisozim, sehingga mudah dihancurkan. Bakteri Gram-negatif seperti Eschericia coli tahan hidup agak lama, karena dinding luarnya relatif tahan terhadap pencernaan. Bakteri seperti Brucella abortus dan Listeria monocytogenes sangat tahan terhadap efek letal enzim lisosom sehingga kedua bakteri tersebut akan memperbanyak diri dalam sel fagositik (Tizard, 1982).
Sel basofil adalah sel myeloid yang jumlahnya paling sedikit di dalam darah hewan piara, berjumlah 0,5% dari jumlah sel leukosit darah. Granula sitoplasmanya berwarna kuat dengan zat warna yang bersifat basofil seperti hematoksilin. Basofil memiliki fungsi serupa seperti yang dimiliki sel mast, yaitu untuk membangkitkan perdarahan akut pada tempat deposisi antigen (Tizard, 1982).
Sel utama kedua dalam sistem mieloid adalah eosinofil. Eosinofil memiliki granula sitoplasma bewarna kuat dengan zat warna eosin (Tizard, 1982). Eosinofil mempunyai kemampuan fagositosis aneka macam partikel, termasuk mikroorganisme dan komplek antigen-antibodi yang larut, tetapi prosesnya tampak kurang efisien bila dibandingkan dengan sel neutrofil (Bellanti, 1993). Disamping itu sel neutrofil mempunyai dua fungsi istimewa, yaitu berperan menyerang dan menghancurkan larva yang menyusup ke dalam tubuh hospes, enzim sel eosinofil juga mampu menetralkan faktor radang yang dilepaskan oleh sel mast dan sel basofil (Tizard, 1982).



Daftar Pustaka

Abrar, M. 2001. Isolasi, Karakterisasi dan Aktivitas Biologi Hemaglutinin Staphylococcus aureus dalam Proses Adhesi pada Permukaan Sel Epitel Ambing Sapi Perah. Disertasi Pascasarjana, FKH-IPB, Bogor
Akineden, ö.,Annemüller, C., Hasan, A., Lämmler, C., Wolter, W. and Zschök, M., 2001. Toxin genes and other characteristics of Staphylococcus aureus isolates from milk of cow with mastitis. Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology. American Society for Microbiology. 8(5): 959-964.
Anon. 1997. Bacterial Toxins: Staphylococcal Enterotoxins; Toxic Shock Syndrome Toxin and Streptococcal Pyrogenic Exotoxins http://www.urmc.rochester.edu/SMD/mbi.bactox/ sthent.hmt
Bario, B., Vangroenweghe, F., Dosogne, H., and Burvenich, C., 2000. Decreased Neutrophil Bactericidal Activity During Phagocytosis of slime producing Staphylococcus aureus strain. J. Vet. Res. Vol. 31: 603-609.
Baselga, R., I. Albizu, M.D.L. Cruz, E.D. Cacho, M. Barberan, and B. Amorena. 1993. Phase variaton of slime production in Staphylococcus aureus: Implication in colonization and virulence. Infect. Imun. 61(11) : 4857-4862.
Bellanti, J, A., 1993. Imunologi III, (Judul asli : Immunology, Veterinary Clinical Immunology Laboratory, Vol. 2, Wahab, S. A., (Penerjemah), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hal. 7-9, 18-30, 293-302, 173-179.
Brückler, J., Schwarz, S. and Untermann, F.1994. Staphylokokken-Infektionen und Enterotoxine, Band. II/1, In Blobel, H. und Schließer (Herausber), Handbuch der bakteriellen Infektionen bei Tieren, 2 Auflage. Gustav Fischer Verlag Jena, Stuttgart
Calnek, B. W., Barnes, H. S., Bread, C. W., Saif, Y. M., Mc Douglad, L. R. 1997. Disease of Poultry. 10th edition. Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA
Carlton, L.G. and O.T. Charles., 1993. Pathogenesis of Bacterial Infections in Animals. 2ndEd. Iowa State University Press. Pp 21 – 28.
Carter, G.R. and Wise, D.J., 2004. Essentials of Bacteryology and Mycology. 6th. Ed, Iowa State Press. Pp 193 – 195
Chanter, N.P.W. Jones and T.J.L. Alexander. 1993. Meningitis Pig Caused By Streptococcus suis-a speculative review. Vet. Microbiol. 36, 39-55.
Clements, J. D. 1997. Medical Microbiology Lecture Notes-Food Poisoning Tulane University Medical School.
Cunningham, R., Cockayre, A., and Humprey, H. 1996. Clinical and Molecular Aspect of the Pathogenesis of Staphylococcus aureus Bone and Joint Infention. J. Med. Microbiol. 44: 157-164.
Dossett, J.H., G. Kronvall, R.C. Williams and P.G. Quie. 1969. Antiphagocytic Effect of Staphylococcal Protein-A. J. Immun. 103(6):1405-1410.
Dwidjoseputro, D. 1994. Dasarf-Dasar Mikrobiologi. Cetakan ke-12. Penerbit Djambatan, Jakarta. Hal 117-134.
Emmerson, M., 1994. Nosocomial Staphylococcus outbreaks. Scan. J. Infect. Dis.93 (Suppl.), 47-54.
Ena, J., Boelaert, J.R., Boyken, L., van Landuit, H.W., Godart,H.W., and Herwaldt, L.A., 1994. Epidemiology of Staphylococcus aureus infections in patients on hemodialysis. Infect. Immun. 66, 573-580.
Foster, T. J., 2004. Staphylococcus. Medmicro, Chapter 12
Gottschalk, Higgins M.R. and Beaudoin, M. 1990. Hemaglutination properties of Streptococcus suis. J. Clm. Microbiol, 28: 2156-2158.
Guyton, A.C. and Hall, J.E. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Judul asli : Textbook of Medical Physiology), Edisi ke-9.Setiawan, I., Tengadi, K.A., Santoso, A. EGC Penerbit buku Kedokteran, Jakarta.
Jarraud, S., Peyrat, M.A., Lim, A., Tristan, A., Bes, M., Mougel, C., Etienne, J., Vandenesch, F., bonneville, M. and Lina, G. 2001. egc, A Highly Prevalent Operon of Enterotoxins Gene, Forms A Putative Nursery Of Superantigens in Staphylococcus aureus. J. Immunol. 166: 669-677.
Jawetz, E., Melnick, J. L. and Adelberg, E. A. 1982. Microbiology for Medicine. 14th ed. Lange Medical Publications. Los Altos. California. 258.
Jawetz, E., Melnick, J.L. And Adelberg, E.A., 1992. Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan (Judul Asli : Review of Medical Physiology), Edisi ke-9.Setiawan, I., Tengadi, K.A., Santoso, A. EGC Penerbit Buku kedokteran, Jakarta.
Jawetz, E., Melnick, J.L. And Adelberg, E.A., 1996. Edisi 20. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit Salemba Medika. Pp 119 – 121, 211 – 215
Jawetz, E., Melnick, J. L. and Adelberg, E. A, 2001. Microbiologi Kedokteran. Edisi Pertama. Penerbit Salemba Medika. pp. 317-326
Joklik, W. K., Willett, H. P., Amos, D., B and Wilfert, C. M. 1992. Zinsser microbiology. 20th. Appleton and Lange. California. pp. 401-413.
Kurl, D.N., S. Haataja and J. Finne. 1989. Hemaglutinin activies of Group B, C, D, and G Streptococciz; Demontration of Novel Sugar-Specific cell binding activities in Streptococcus suis. Infect. Immun. 57, 384-389.
Larsen, H.D., Aarestrup, F.M. and Jensen, N.E. 2002. Geographical variation in the presence of genes encoding superantigens exotoxins and β-hemolysin among Staphylococcus aureus isolated from bovine mastitis in Europe and USA. Vet. Microbiol. 85: 61-67.
Letertre,C., Perelle, S., Dilasser, F. and Fach, P. 2003. Identification of a new putative enterotoxin SEU encoded by egc cluster Staphylococcus aureus. J. Appl. Microbiol. 95: 38-43.
Madigan, M.T., Martinko, J.M. and Parker, J. 2000. 9th Ed. Biology of Microorganisms. Southern Illiois University Carbondale. Pp 69-70
Mahon, C. R., and Manuselis, G. 1995. Staphylococcus aureus in Text Book of Diagnostic Microbiology. Printed in USA, Pp. 325-331.
Marrack, P. and J. Kappler, 1990. The staphylococcal enterotoxin and their relatives. Science. 248: 705-711
Merchant, I. A. And Parker, R.A., 1961. Veterinary Bacteriology and Virology. The Iowa State University Press, Ames, Iowa, United States of America. Pp 306-308.
Mohamed, N., M.A. Teeters, J.M. Patti, M. Hook and J.M. Ross. 1999. Inhibition of Staphylococcus aureus Adherence to Collagen Under Dynamic Conditions. Infect. And Immun. 67(2):589-594.
Morse, S. I. 1980. Staphylococcy in Microbiology, Including Immunology and Moleculer Genetic. 3rdedition. Davis, B.D., M.D. (editor). Harper International Edition. Philadelphia. Pp: 624-632.
Nilsson, I.M., Lee, J.C., Bremell, T., Ryden, C., and Tarkowski, A. 1997. The role of staphylococcus polysaccharide microcapsule expression in septicaemia and septic arthritis. Infect. Immun. 65:4216-4221
Ofek, I. And N. Sharon (1988). Minireview: Lectinophagocytosis: a molecular mechanism of recognition between cell surface sugars and lectins in the phagocytosis of bacteria. Infect. Immun. 56, 539-5476.
Omoe, K., Hu, D.L., Takahashi-Omoe, H., Nakane, A. and Shinagawa, K. 2003. Identification and characterization of a new staphylococcal enterotoxin-related putative toxin encoded by two kinds of palsmids. Infect. Immun. 71: 6088-6094.
Orwin, P.M., Leung, D.Y.M., Tripp, T.J., Bohach, G.A., Earhart, C.A., Ohlendorf, D.H. and Schlievert, P.M. 2002. Characterization of staphylococcal enterotoxin-like superantigen, a member of the group V subfamily of pyrogenic toxins. Biochemistry. 41: 14033-14040.
Paryati, S.P.Y., 2002. Pathogenesis Mastitis Subklinis pada Sapi Perah yang Disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Institute Pertanian Bogor.
Pascu, C., S. Hirmo, A. Ljungh and T. Wadstrom. 1996. A Particle Agglutination Assay for rapid Identification of Heparin Binding to Coagulase-negative Staphylococci. J. Med. Microbio. 45:263-269.
Pelczar, M.J. dan Chan, E.C.S., 1988. Dasar – dasar Mikrobiologi 2, (Judul asli : Elements of Microbiology). Cetakan I, Hadioetomo, R.S., Imas, T., Trijitrosomo, S.S dan Angka, S.L. (penerjemah), Indonesia University Press, Jakarta. Pp 596 – 600, 561 – 562.
Prescott, H. K. and Langsing, M. P., 1999. Microbiology. 4th ed. WBC, MC The Graw – Hill Companies, Inc. p. 771.
Roth, J.A., 1988. Virulence Mechanisms of Bacterial Pathogens. American Society for Microbiology. Washington, D.C. Pp 99
Salasia, S.I.O. and Lämmler, 1995. Haemaglutinin and Adharenzmechanismen von Streptococcus suis. Bul. FKH UGM vol. XIV No. 2: 37-52.
Salasia, S.I.O. 2001: Production and characterization of monoclonal antibodies for detection of virulent factors of Streptococcus suis. I. J. Biotech. June (2001), 464-469
Salasia, S. I. O., Khusnan, Artanto, S., 2004. Distribution of cap5 and cap8 genes of Staphylococcus aureus isolated from subclinical mastitis cows in Central Java, Indonesia. I J Biotech. 681-720, Pp. 701-705.
Salasia, S.I.O. 2005. Karakterisasi Fenotipe Isolat Staphylococcus aureus dari Sampel Susu Sapi Perah mastitis Subklinis. J Sain Vet. FKH UGM Vol. 23 No.34 : 72-78
Salasia, Khusnan. 2006. Respon Neutrofil, Adesi pada Sel Epitelm Aglutinasi Eritrosit Terhadap Staphylococcus aureus : Kajian Hidrofobisitas In Vitro. J Sain Vet. FKH UGM Vol.24 No.1 : 0126-0421
Shutter, J., V.B. Hatcher and F.D. Lowy. 1996. Staphylococcus aureus binding to human nasal mucin. Infect Immun. 64(1): 310-318.
Smith, T. D., Conout, F. N., Beard, W. J., Willet, P. H. Overman, R. J., Larsh, E. J., Brown, W. L., Sharp, G. O. And Poston, A. M. 1960. Microbiology. 12th edition. Appleton Centuri Cronfts Inc., ew York
Songer, G. 2004. Lecture Notes Pathogenic Bacteriology: Staphylococcus sp. Veterinary Science and Microbiology. The University of Arizona.. [12-6-2004].
Suarsana, 2002. Protein -A: Peranannya dalam Mekanisme Infeksi. Jurnal Veteriner (Veterinary Journal) - Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Hal. 320-325.
Suleiman, A. J. M., Elbually, M. S., Jaffer, Y., Mehta., F. R. and Al Awaidy., S., 1996. Food borne outbreaks. Community Health and Disease Surveillance. Sultanate of Oman Ministry of Health. V(3): 5-6.
Takeuchi, S., K. Matuda and K. Sasano. 1995. Protein-A in Staphylococcus aureus Isolates from Pigs. J. Vet, Med. Sci. 57(3):581-582.
Thakker, M. J., J. S. Park, V. Carey and J. C. Lee. 1998. Staphylococcus aureus serotype 5 capsular polysaccharide is antiphagocytic and enhances bacterial virulence in a murine bacteremia model. Infect. Immun. 66, 5183-5189.
Tizard, I., 1982. Pengantar Imunologi Veteriner (Judul asli : An Introduction to Veterinary Immunology). Edisi kedua, Hardjosworo, S.(penerjemah), Airlangga University Press. Hal 19-26
Tizard, I. 1992. Veterinary Immunology. An Introduction. W. B. Saunders Company.
Todar, K., 2002. Staphylococcus, J. Bacteriology, University of Wisconsinmadison Departement of Bacteriology. Pp 330.
Todar, K. 2005. Staphylococcus. J. Bacteriology, University of Wisconsinmadison Departement of Bacteriology, Pp. 330.
Tollersrud, T., K. Kenny, A. J. Reitz, and J. C. Lee. 2000. Genetic and serologic evaluation of capsule production by bovine mammary isolates of Staphylococcus aureus and other Staphylococcus spp. From Europe and the United States. J. Clin. Microbiol. 38, 2998-3003
Tseng, C. W., Zhang, S. and Stewart, G. C. 2004. Accesory gene regulator control of Staphylococcal enterotoxin D gene expression. Journal of Bacteriology. 186(60021-9193/04): 1793-1801.
Utama, I. H. 1998. Ekspresi Fenotip dan Aktivitas Biologi Streptococcus Group C Isolat Asal babi dan Kera. Proram Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Vegad, J.L., A textbook of Veterinary General Pathology, 2nd ed. Vikas Publishing House PVT LTD, New Delhi, pp.285, 403.
Wahyuni, A.E.T.H. 1998. Peran hemaglutinin dalam Proses Adhesi Streptococcus agalactiae pada sel Epitel ambing Sapi perah. Program Pascasarjana. Institut Pertanian bogor.
Waranurastuti, 2009. Resistensi Staphylococcus aureus Asal Susu Sapi Perah, Susu Kemasan dan Asal Manusia Terhadap Berbagai Antibiotik. Fakultas Kedokteran Hewan. UGM
Warsa, U.C., 1994. Buku Ajar Mikrobioligi Kedokteran. Edisi Revisi. Binarupa Aksara. Jakarta. Hal 103
Wibawan, I W. T. and Ch. Lämmler. 1991. Influence of capsular neuraminic acid on properties of streptococci of serological group B. J. Gen. Microbiol. 137: 2721-2725.
Wibawan, I.W.T. dan F.H. Pasaribu. 1993. Peluang Pengembangan Tes Koagulasi untuk Deteksi Serotipe Streptococcus agalactiae. Agrotek. 1(2):43-47.
Wibawan, I.W.T., Harlina, E., Chandramaya ,Siska Damayanti dan Zarkazie, K. 2005. Preparasi Antiserum Terhadap Hemaglutinin Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus serta Perannya sebagai Anti Adesin dan OpsoninWiseman, G. M., 1975. The hemolysin of Staphylococcal aureus. Bacteriol. Rev. 39: 317-344
Williams, R. J., Ward, J. M., Henderson, B., Poole, S., O’hara, B. P., Wilsom, M., and Nair, S. P., 2000. Identification of a novel gene cluster encoding staphylococcal exotoxin-like proteins : Characterization of the prototypic gene and its product, SET1. Infect. Immun. 68: 4407-4415
Yarwood, J.M., McCprmick, J.K., Paustian, M.L., Orwin, P.M., Kapur, V. and Schlievert, P.M. 2002. Characterisation and expression analysis of Staphylococcus aureus pathogenicity island 3. J. Biol Chem, 277: 13188-13147.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar