Selasa, 29 September 2009

HISTOPLASMOSIS

HISTOPLASMOSIS



Merupakan infeksi akibat inhalasi spora Histoplasma capsulatum, biasanya tidak menimbulkan gejala tetapi pada beberapa kasus dapat menimbulkan pneumonia akut, hiperplasia retikuloendothelial diseminata dengan hepatosplenomegali, dan anemia, atau penyakit seperti influenza dengan efusi sendi dan eritema nodosum. reaktivasi infeksi, seperti pada pasien dengan gangguan kekebalan imun, mengenai paru-paru, meninges, jantung, peritoneum, dan glandula adrenal. Beberapa kasus yang terjadi antara lain :
• African histoplasmosis, disebabakan oleh hitoplasma duboisii, penyakit yang berbeda dari bentuk klasik histoplasmosis berdasarakan bentuk ragi yang besar pada Histoplasma capsulatum var.duboisii dalam jaringan.
• Equine histoplasmosis, atau epizootic lymphangitis,merupkan penyakit menular kronik pada kuda yang menyerupai penyakit ingusan tetapi disebabkan oleh jamur H.farciminosus, ditandai oleh adanya nanah pada pembulug darah limfatiksubkutan dan kelenjat getah bening regional, yang membentuk ulkus subkutsn yang membutuhkan waktu kurang lebih serahun untuk sembuh. disebut juga pseudofarcy, pseudoglanders, African Glanders, Japanese farcy atau glanders, dan Neapolitan farcy.
• Ocular Histoplasmosis, koroiditis diseminata menyebabkan munculnya jaringan parut pada tepian fundus dekat dengan nervus opticus, dan ditandai dengan lesi makular diskiformis.
• Histoplasmosis diseminata progresif, dialami oleh bayi dan orang dewasa yang mengalami gangguan kekebalan imun, disebabkan oleh penyebaran jamur dari paru-paru ke bagian tubuh yang lain; dalam mulut, faring, dan traktus gastrointestinal dan dapat menyebabkan ulcerasi, pendarahan, atau obstruksi dan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan cerebritis fokal atau meningitis difus.
Synonim :
o Reticuloendothelial cytomycosis
o Missippi valley fever
o Cave disease
o Darling’s disease
o Ohio Valley disease
o Tingo Maria fever
o reticuloendotheliosis
o Cave fever
o Histo
o Epizootic Lymphangitis (equine histoplasmosis)
o Appalachian Mountain disease
o Central Missippi River Valley disease
o African histoplasmosis

Etiologi : Histoplasma kapsulatum
Klasifikasi histoplasma kapsulatum
Kingdom : fungi
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Ascomycotina
Class : Ascomycetes
Ordo : Onygenales
Family : Onygenaceae
Genus : Histoplasma / Ajellomyces
Spesies : Histoplasma Capsulatum

Macam-macam species dari genus histoplasma :
Histoplasma capsulaum (dimorphic) : H. duboisii sinonim obsolete dari species ini. H. farciminosum merupakan sinonim obsolete dari spesies ini.
Histoplasma capsulatum var. capsulatum (dimorphic) : capsulatus adalah telemorphdari species ini. Capsulatus juga merupakan sinonim obsolete dari species ini. H. pyriforme merupakan sinonim obsolete species ini, capsulata dan capsulatus merupakan sinonim obsolete dari H. pyriforme.
Histoplasma capsulatum var. duboisii (dimorphic) : capsulatus merupakan telemorph species ini dan H. duboisii merupakan sinonim obsolete species ini. Bentuk varian yang lebih besar daripada varian yang lain, merupakan penyebab histoplasmosis di Afrika
Histoplasma capsulatum var. farciminosum (dimorphic) : merupakan agen penyebab limpangitis epizootika, berbeda dari varian lain karena memiliki makroaleuriospora halus pada stadium saprofitik.
Histoplasma duboisii (obsolete) : spesies obsolete ini merupakan sinonim dari H. capsulatum dan H.capsulatum var.duboisii.

Gambar koloni dari Histoplasma duboisii
Histoplasma farciminosum (obsolete) : species obsolete ini merupakan sinonim dari H.capsulatum.
Histoplasma pyriforme (obsolete) : species obsolete merupakan sinonim dari H.capsulatum var.capsulatum.



Histoplasma capsulatum adalah jamur dimorfik yang tumbuh sebagai koloni filament. Histoplasma capsulatum var capsulatum adalah dimorphic fungus. Dia tumbuh di tanah sebagai spore-bearing mold dengan macroconidia tapi berubah menjadi fase yeast pada temperature tubuh.

Ada 2 bentuk,yaitu :
• Bentuk seperti ragi : parasit pada manusia dan hewan
• Bentuk benang dan miselium :saprofit tanah.

Bentuk di dalam jaringan hospes umumnya yeast.
Histoplasma capsulatum tumbuh pada plat agar darah,Brain Heart Infussion Agar,dan pada Saboroud Dextose Agar.
Pada plat agar darah ( 37oC), tumbuh sebagai fase budding yeast( bentuk yeast like ),berupa koloni berkeriput (wrinkled), seperti adonan (pasty).
Pada saboroud dextrose agar (25oC), tumbuh dengan koloni putih,seoerti kapas (cottony) yang dapat berubah kuning atau coklat sesuai penuaan.
Miseli umm di hasilkan dengan 2 macam spora :
1. macroconidia bulat,kecil,halus,muncul pada cabang lateral pendek, atau melekat langsung pada dasar.
2. macroconidia atau clamydosphore bulat, berdinding tebal dan tertutup oleh projeksi (tuberculate) menyerupai knop (knop like projection)


An H&E stain (left) shows macrophages filled with organisms giving the cytoplasm a slightly vacuolated appearance. A GMS stain (right) shows the clustered organisms in the cytoplasm.

Multiple, oval, budding, intracellular yeast, 3 µm in diameter, occupy a macrophage. The halo is a shrinkage artifact and not a capsule


Siklus Hidup


Penyakit ini disebabkan oleh jamur Histoplasma capsulatum. Jamur ini termasuk kedalam Ascomycota parasit yang dapat menghasilkan spora askus (spora hasil reproduksi seksual). Jamur ini berkembang biak secara seksual dengan hifa yang bercabang-cabang ada yang berkembang menjadi askogonium (alat reproduksi betina) dan anteridium (alat reproduksi jantan), dari askegonium akan tumbuh saluran untuk menghubungkan keduanya yang disebut saluran trikogin. Dari saluran inilah inti sel dari anteridium berpindah ke askogonium dan berpasangan. Kemudian masuk ke askogonium dan membelah secara mitosis sambil terus tumbuh cabang yang dibungkus oleh miselium dimana terdapat 2 inti pada ujung-ujung hifa. Dua inti itu akan membelah secara meiosis membentuk 8 spora dan disebut spora askus yang akan menyebar, jika jatuh di tempat yang sesuai maka akan tumbuh menjadi benang hifa yang baru, demikian seterusnya.
Histoplasmosis adalah infeksi oportunistik (IO) yang umum pada orang HIV-positif. Infeksi ini disebabkan oleh jamur Histoplasma capsulatum. Jamur ini berkembang dalam tanah yang tercemar dengan kotoran burung, kelelawar dan unggas, sehingga ditemukan dalam di kandang burung/unggas dan gua. Infeksi menyebar melalui spora (debu kering) jamur yang dihirup saat napas, dan tidak dapat menular dari orang yang terinfeksi. Jamur ini dapat tumbuh dalam aliran darah orang dengan sistem kekebalan tubuh yang rusak, biasanya dengan jumlah CD4 di bawah 150. Setelah berkembang, infeksi dapat menyebar pada paru, kulit, dan kadang kala pada bagian tubuh yang lain. Histoplasmosis adalah penyakit yang didefinisi AIDS.

Distribusi Histoplasmosis
Histoplasma ditemukan oleh Darling pada 1905 tetapi infeksinya baru menyebar dengan luas pada tahun 1930-an. Sebelum ditemukan, beberapa dari kasus histoplasmosis disalahartikan sebagai TBC, dan banyak dari penderitanya dikirim ke sanatorium dan akhirnya terinfeksi TBC di sana.
Jamur histoplasmosis dapat ditemukan diseluruh dunia. Jamur tumbuh alamiah di tanah di beberapa area di Amerika, kebanyakan di daerah negara bagian barat-tengah dan tenggara dan sepanjang Ohio dan lembah sungai Mississippi. Jamur ini tumbuh dengan subur di tanah yang kaya dengan kotoran kelelawar dan burung. Jika tanah yang mengandung jamur histoplasmosis terganggu, spora jamur akan terbang ke udara. Orang kemudian menghirup spora dan terkena histoplasmosis. Tetapi penyakit ini tidak menular dari satu orang ke orang lain
Histoplasma capsulatum terutama ditemukan di daerah “temperate”di seluruh dunia dan merupakan jamur yang paling umum di Amerika Serikat bagian tengah dan timur. Histoplasma capsulatum ini endemis di lembah sungai Ohio, Missouri, dan Mississippi. Ditemukan pula di Kanada Timur, Meksiko, Amerika Tengah dan Amerika Selatan.

fibrosingmediastinitis.org/Histoplasmosis.aspx




Pernah pula dilaporkan di Afrika, Australia, sebagian Asia Timur, dan daerah tertentu di India dan Malaysia.
Jamur ini telah ditemukan di dalam alas kandang unggas, gua kelelawar dan sarang burung. Pola pertumbuhannya dan mekanisme perubahan dari spora di dalam tanah ke bentuk hyphen dalam paru-paru dipengaruhi oleh peningkatan dari temperature ruang ke temperature tubuh.
Delapan puluh persen (80%) orang yang tinggal di daerah yang umum ditemukan Histoplasma capsulatum, Amerika Serikat Timur dan Tengah, dinyatakan positif terhadap tes kulit histoplasmin.
Semua orang dapat terinfeksi histoplasmosis, tetapi orang yang kontak dengan kotoran burung atau kelelawar lebih rentan terinfeksi penyakit ini. Profesi yang rentan penyakit ini seperti: petani, tukang kebun, pekerja konstruksi, pembersih cerobong, penyelidik gua.
Anak-anak dan orang lanjut usia dengan riwayat penyakit paru-paru atau perokok berat, gejala yang timbul lebih berkembang. Orang dengan system imun yang lemah, seperti pada penyakit AIDS dan leukemia atau karena terapi yang sedang dijalankan (kortikosteroid dan kemoterapi), perkembangan penyakit ini lebih mengarah ke bentuk kronis atau disseminated.
www.doctorfungus.org/mycoses/images/ajell007p...

Kejadian Penyakit
a. Pada Manusia
Pendahuluan
Akhir-akhir ini, penderita HIV positif dan AIDS semakin bertambah banyak di Indonesia. Tidak hanya dari hubungan seksual, tetapi juga dari penggunaan narkotik dan obat adiksi lainnya. Untuk itu, perlu dipikirkan anjuran pemeriksaan HIV pada penderita dengan panas menetap dan atau gangguan paru yang tidak membaik dengan pengobatan konvensional. Di samping itu, penderita AIDS potensial mendapat infeksi jamur diseminata. Oleh karena itu, perlu dipikirkan kemungkinan adanya infeksi jamur pada pasien AIDS. Jamur-jamur yang sering dijumpai pada penderita AIDS adalah Candida, Aspergilus, Histoplasma, dan Cryptococcus13. Penemuan hasil laboratorium yang tepat dapat menunjang terapi yang adekuat dan pada akhirnya akan membantu penderita dari kemungkinsn perjalanan penyakit yang fatal. Dalam makalah ini, akan dibahas salah satu jamur yang dijumpai pada penderita AIDS, yaitu Histoplasma capsulatum serta dilaporkan satu kasus penderita yang kami jumpai.
Kasus
Seorang laki-laki usia 31 tahun, datang dengan keluhan panas tiga minggu. Penderita belum menikah. Di kemudian hari penderita mengakui menggunakan narkotik dan obat adiksi lainnya.
Pada pemeriksaan jasmani, didapatkan seorang laki-laki dengan gizi sedang, kompos mentis, tampak sakit sedang. Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 104/m, dan suhu 37,6oC. Pemeriksaan paru tidak menunjukkan kelainan. Begitu pula dengan pemeriksaan abdomen. Tidak dijumpai hepatosplenomegali maupun pembesaran kelenjar. Foto toraks tidak menunjukkan kelainan. USG abdomen normal.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Hemoglobin 11,1 g/dl, leukosit 4700/ul, dan trombosit 82.000/ul. Laju endap darah 55 mm/jam. Pemeriksaan rutin lainnya normal kecuali fungsi hati sedikit terganggu. Kultur darah mendapatkan Enterobacter aerogenes, tetapi pemberian antibiotik yang sesuai tidak menunjukkan perbaikan. Pemeriksaan laboratorium dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium tambahan pada satu hari yang sama, yaitu pemeriksaan HIV, analisa aspirasi sumsum tulang, dan biakan mikroorganisme, sekaligus jamur sumsum tulang. Hasil yang diperoleh adalah HIV seropositif 4 kali dengan reagen berbeda (Screening dipstick Abbott, Organon, Elisa Abbott, dan Serodia).
Dari bahan sumsum tulang, dijumpai di dalam sel-sel retikulum terdapat kelompok-kelompok sel berbentuk ragi intraselular. Pada biakan dengan agar Sabouraud tidak ada pertumbuhan jamur selama dua minggu pertama. Setelah dua minggu, barulah tumbuh koloni filamen putih. Menurut kepustakaan, Histoplasma adalah jamur dengan tipe Slow Growing, dan baru tumbuh sampai 30 hari setelah penanaman. Pada pembenihan suhu kamar berbentuk filamen dan pada suhu 37oC berbentuk yeast. Beberapa hari kemudian, koloni berubah warna menjadi kecoklatan. Di bawah mikroskop, tampak hifa-hifa besar, bersekat dengan spora-spora kecil yang menyebar. Makrokonidia khas tampak jelas di antara hifa-hifa, berukuran besar, dan berdinding kasar.
Ketika hasil HIV diperoleh positif, penderita pindah ke rumah sakit rujukan. Serologik terhadap H. capsulatum belum sempat dilakukan. Hasil kultur Histoplosmosis capsulatum, karena baru tumbuh dua minggu kemudian, diinformasikan belakangan. Tetapi, sayangnya, penderita telah pulang paksa beberapa hari sebelumnya.
Pembahasan
Histoplasma capsulatum adalah jamur dimorfik yang tumbuh sebagai koloni filamen pada agar Sabouraud suhu kamar dan tumbuh sebagai yeast pada suhu 37oC. Bentuk di dalam jaringan hospes umumnya yeast. Infeksi H. capsulatum dijumpai di banyak tempat di dunia, tetapi lebih sering dijumpai di daerah tertentu yang memungkinkan kondisi sempurna untuk pertumbuhanjamur, yaitu pada permukaan tanah yang lembab dan banyak mengandung tinja burung, kelelawar, ataupun ayam1.
Infeksi terjadi dengan inhalasi spora, terutama mikrokonidia, spora yang cukup kecil untuk mencapai alveoli pada inhalasi, yang kemudian berlanjut dengan bentuk budding. Dengan berlanjutnya waktu, reaksi granuloma terjadi. Nekrosis perkijuan atau kalsifikasi dapat menyerupai tuberkulosis. Diseminasi transien dapat meninggalkan granuloma kalsifikasi pada limpa. Pada orang dewasa, massa bulat atau jaringan parut dengan atau tanpa kalsifikasi sentral dapat menetap pada paru, yang disebut histoplasmoma. Dapat pula terbentuk infiltrat paru dan pembesaran kelenjar hilus. Bila infeksi terjadi dengan jumlah spora yang besar maka terdapat gambaran yang mirip dengan tuberkulosis miliaris. Infeksi ini biasanya sembuh dengan atau tanpa meninggalkan perkapuran dalam paru. Pada beberapa keadaan, dapat berlangsung progresif hingga mengenai sebagian atau seluruh paru, deseminata, dengan atau tanpa riwayat histoplasmosis primer akut paru, potensial fatal hingga dapat menyebabkan kematian. Infeksi kedua kali dapat menimbulkan reaksi jaringan yang lebih kuat sehingga menimbulkan rongga atau kaverna dengan gejala batuk darah.
Gejala yang ditimbulkan tidak khas dan menyerupai gejala penyakit paru lain seperti demam, batuk, sesak napas, dan lain-lain. Penyakit yang menahun mirip dengan gejala tuberkulosis shingga sulit dibedakan dari penyakit tersebut. Di alat dalam lain, gejala yang ditimbulkan juga tidak khas dan menyerupai penyakit pada alat tersebut sehingga seringkali penyakit ini tidak dapat dikenal secara dini1.
Dari paru, jamur dapat menyebar secara hematogen ke alat lain, terutama sistem retikulo-endotel, sehingga menimbulkan pembengkakan hati, limpa, dan kelenjar getah bening. Walaupun demikian, pada Histoplasmosis diseminata, penderita tidak selalu menunjukkan gejala paru ataupun sangat minimal, seperti juga yang terjadi pada pasien ini. Suatu bentuk infeksi yang akut dan fatal serta cepat dijumpai pada anak-anak dan penderita imunosupresi, termasuk penderita AIDS. Demam, anemia, leukopesia, berat badan menurun, sering dijumpai pada penyebaran H. capsulatum diseminata. Jika tidak terdiagnosa, dapat menimbulkan kematian. Penyakit paru fulminan dapat menyerupai infeksi pneumonia oleh Pneumocystis carinii. Fungemia sering dijumpai dan kadang organisme intraselular ini dapat terlihat bersirkulasi pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi biasa di dalam monosit1,2,3.
Dari pemeriksaan laboratorium, diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan langsung, kultur, dan atau serologik sebagai berikut1,3:
a. Pemeriksaan langsung spesimen. Pada histoplasmosis paru, pemeriksaan sputum dilakukan secara langsung dengan pulasan Giemsa. Jamur terlihat sebagai kluster 2 sampai 5 um bentuk ragi intraselular, pada sel-sel RES seperti sel histiosit. Pada sumsum tulang atau darah, dijumpai pseudoencapsulated sel ragi, dengan diameter 2--5 um diameter, berkarakteristik bergerombol dalam sel-sel retikuloendotelial stem.
b. Pada biakan sputum di media agar Sabouraud, tumbuh koloni filamen pada suhu kamar (25oC) dan koloni ragi pada suhu 37oC. Koloni bersifat slow growing (10 sampai 30 bari). Pada awalnya, koloni filamen berwarna putih dan berubah abu-abu atau kecoklatan dengan bertambahnya waktu. Untuk mencegah pertumbuhan kuman, dapat diberikan antibiotik pada media yang digunakan. Kultur dapat dilakukan pada bahan darah, aspirasi, atau bilasan bronkhus, aspirasi sumsum tulaag. Gambaran mikroskopis hasil kultur: bentuk filamen memberikan gambaran hifa 1--2 um. Mikrokonidia dapat tumbuh lateral dan konidiofora pendek sepanjang hifa. Gambaran kunci yang merupakan diagnostik adalah adanya mikrokonidia yang berukuran besar dan berdinding kasar.
c. Pada pemeriksaan serologi, pemeriksaan berturut-turut dengan titer yang meningkat memperkuat diagnosis kemungkinan penyakit ini.
d. Pemeriksaan histologis dapat dilakukan pada jaringan mukosa, kulit, sumsum tulang, hati, limpa, atau kelenjar getah bening dengan menemukan organisme ini berupa gerombol/kluster sel-sel ragi 2--5 um H. capsulatum dalam sel-sel RES.
Obat pilihan untuk penyakit ini ialah amfoterisin-B yang diberikan secara intravena, dimulai dengan dosis rendah dan ditingkatkan tiap hari sampai mencapai dosis 50 mg/hari untuk orang dewasa dengan berat badan 50 kg atau lebih. Perhari 0,4--0,5 mg/kg berat badan dapat ditingkatkan dan dilanjutkan sampai sedikitnya 10 minggu. Dosis total diberikan sebanyak 2500 mg untuk orang dewasa. Obat lain untuk penyakit ini ialah derivat azol, yaitu ketokonazol dengan dosis 1--2 X 400 mg/hari atau itrakonazol dengan dosis 1--2 X 200 mg/hari selama tiga bulan atau lebih bila serologi dan/atau biakan masih positif1,2. Penderita AIDS dengan histoplasmosis diseminata mempunyai respons yang buruk terhadap ketokonazol sehingga sebaiknya mendapat amphotericin B. Setelah terapi awal, penderita tetap diberikan terapi lanjutan amphotericin B, 1 mg/kg satu minggu sekali, atau itraconazole 200 mg sekali sehari untuk mencegah relapse.
Pada umumnya, prognosis infeksi ini baik, kecuali bila keadaan sudah sangat lanjut karena diagnosis yang terlambat. Histoplasmosis diseminata pada penderita AIDS dapat berlangsung sangat cepat dan fatal2. Penderita adalah seorang laki-laki usia muda pengguna narkoba yang kemungkinan besar menjadi sumber penyebaran HIV. Keluhan utama yang menonjol saat itu adalah panas yang menetap, anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Dari hasil biakan sumsum tulang, dijumpai Histoplasma capsulatum. Penemuan ini dapat menerangkan sebagian besar gejala klinis yang diderita pasien dan jawaban tidak responsifnya pengobatan konvensional. Baik infeksi HIV maupun histoplasmosis dapat menyebabkan gejala seperti yang dialami penderita, yaitu panas yang menetap, anemia, leukopenia, maupun trombositopenia.
Pemeriksaan terhadap Histoplasma capsulatum sebenarnya dapat dilakukan secara sederhana dalam laboratorium, bahkan di perifer. Sediaan langsung dengan pewarnaan Giemsa saja seperti untuk pewarnaan pemeriksaan sediaan hapus darah tepi biasa, sudah sangat baik untuk menunjukkan adanya bentuk-bentuk yeast/sel-sel ragi H. capsulatum yang selalu berada di intraselular. Berbeda dengan sel-sel ragi Candida yang sering didapati berada ekstraseluler, H. capsulatum sering menyebar ke organ-organ yang memiliki banyak sel-sel sistem retikuloendotel (RES). Oleh sebab itu, perlu diperhatikan benda-benda inklusi dalam sel-sel RES dalam menemukan kemungkinan adanya H. capsulatum. Sementara menunggu hasil kultur yang lama (sekitar dua minggu), hasil sediaan langsung jamur dapat dilaporkan lebih dahulu agar klinisi dapat mengantisipasinya dengan pengobatan jamur yang adekuat. H. capsulatum dapat tumbuh pada agar Sabouraud dalam waktu 10 sampai 30 hari. Jadi, jangan cepat-cepat membuang media isolasi dan melaporkan steril bila belum tumbuh apa-apa. Setelah 30 hari media isolasi tetap steril, barulah media isolasi dapat disingkirkan dan hasil dilaporkan. Bila perlu, dapat dilakukan pelaporan dalam dua tahap sebagai berikut: Bila tidak dijumpai pertumbuban, 7 hari setelah penanaman dilaporkan bahwa tidak dijumpai pertumbuhan jamur tipe fast growing (misalnya Candida, Cryptococcus, Aspergillus, dll). Sekitar hari ke-30 dilaporkan kembali keadaan pertumbuhan jamur tipe slow growing (misalnya H. capsulatum).
Mengingat makin banyaknya penderita pengidap HIV positif dan AIDS di Indonesia, khususnya dari peningkatan penggunaan narkoba, hasil pemeriksaan laboratorium yang tepat dapat membantu penegakan diagnosa yang tepat pula, yang pada akhirnya dapat menjadi acuan penetapan terapi yang adekuat dan efisien. Pengobatan yang adekuat terhadap H. capsulatum dapat menolong penderita dari keadaan yang potensial fatal.
b. Pada Hewan
Pendahuluan
Histoplasmosis merupakan penyakit yang dapat diderita oleh berbagai macam mamalia, termasuk kucing dan anjing. Secara endemis terjadi pada beberapa macam temperatur dan di bagian negara subtropis. Histoplasmosis tidak menular dari hewan satu ke hewan yang lain. Miselium yang berkembang di tanah memungkinkan terjadinya infeksi. Pada beberapa kasus, histoplasmosis bersifat subklinis, jamur dapat melakukan replikasi dan menyebabkan keparahan penyakit dan menyebar ke organ yang lain di dalam tubuh. Histoplasmosis dapat dialami oleh semua hewan tanpa melihat umur ataupun jenis kelamin. Tetapi hewan muda lebih memungkinkan terinfeksi penyakit ini.
Kucing yang mengalami penyakit ini (histoplasmosis diseminata) tampak demam yang disebabkan tidak adanya respon tubuh dengan pemberian antibiotik. Tachypnea, dypsnea, abnormalitas pada paru-paru sering ditemukan pada gejala histoplasmosis kucing, tetapi adanya gejala batuk jarang ditemukan.
Gejala klinis lain yang timbul diantaranya penurunan berat badan, depresi, dan gejala umum lainnya disertai leleran mukus. Peripheral Lymphadenomegaly, splenomegaly, dan hepatomegaly juga merupakan gejala yang timbul disebabkan oleh histoplasma diseminata. Pada bagian ocular juga sering terkena oleh kucing dibandingkan anjing, dan dapat menyebabkan conjunctivitis, granulomatous blepharitis, chorioretinitis, pelepasan retina, optic neuritis. munculnya lesi nodular sampai ulserasi pada kulit jarang ditemukan.
Pada anjing, gejala klinis pada saluran pernfasan yang terkena histoplasmosis antara lain : dypsnea, batuk , dan suara abnormalitas pada pulmo. histoplasmosis diseminata ditandai dengan adanya demam disebabkan tidak adanya respon tubuh terhadap antibiotik, penurunan berat badan, depresi, hilangnya kepekaan. Infeksi jamur pada usus halus menyebabkan keluarnya sejumlah besar feces berair atau encer, yang dapat disertai dengan kehilangan sejumlahh besar protein enteropathy. Pada kolon disertai dengan tenesmus, mukus, dan feces yang disertai dengan darah segar. Membrana mukosa tampak pucat disebabkan banyaknya kehilangan darah, disebabkan penyebaran jamur pada saluran pencernaan dan menyebabkan gangguan pada sum-sum tulang dalam memproduksi darah (myelopthistic disease). Gejala klinis lain yang mungkin ditemukan antar lain splenomegali, hepatomegali, lymphadenomegali,icterus, dan ascites. Ocular dan lesi kutaneus, osteimyelitis, muntah, peripheral lymphadenomegaly, dan adanya gangguan saraf jarang ditemukan.
Histoplasmosis pada kuda disebabkan oleh H.farciminosus dan dikenal dengan Epizootic Lymphangitis, yang mana merupakan penyakit infeksi granulomatosa kronis pada kulit, pembuluh limfe, dan nodun limfatikus lengan dan leher kuda. Hospes alami diantaranya kuda, keledai dan terkadang ditemukan pada bagal (mules), kejadian pada manusia belum pernah dilaporkan. Penularan terjadi akibat adanya luka terbuka, atau dengan dengan adanya lalat kontaminasi yang mengenai luka terbuka. Masa inkubasi terjadi selama beberapa minggu. Gejala klinis yang timbul diantaranya pada kulit, nodus limfatikus, conjunctiva, membrana niktitans, terkadang pada saluran pernafasan, tanpa disertai adany perubahan suhu pada hewan tersebut. Lesi spesifik yang mungkin muncul yaitu nodul kutaneus berwarna pucat dengan diameter sekitar 2 cm, pada bagian intradermal. Lesi dapat ditemukan di kulit sekitar wajah, bahu, thorac, dan sekitar daerah leher. Selain conjunctivitis atau keratoconjunctivitis kemungkinan dapat ditemukan. Nasal serous atau purulenta keluar dan mengandung sejumlah besar organisme, juga dapat ditemukan.
Kejadian Histoplasmosis pada landak ditemukan kasusnya pada tanggal 1 januari 2008 dilaporkan oleh Oklahoma State University, dengan deskripsi terjadi pada landak (Atelerix albiventris) umur 2 tahun yang berada di dalam kandang, dengan dijumpai adanya gejala lemah, hilangnya kepekaan, letargi, dan penurunan berat badan dalam waktu 20 hari. Selain itu hejala klinis lainn yang ditemukan dengan adanya pemeriksaan patologi klinik ditemukan terjadinya trombositopenia, anemia, hipoproteinemia, dan hipoglikemia. 3 minggu setelah dilakukan evaluasi hasil pemeriksaan muncul adany splenomegali melalui palpasi dan USG. Pengobatan yang diberikan diantaranya antibiotik spektrum luas, Fenbendazole juga diberikan. 3 minggu setelah kejadian penyakit kondisi landak memburuk, dan diakhiri dengan kematian. Secara patologis dapat ditemukan adanya splenomegali yang parah, infiltrasi granulomatosa terjadi pada berbagai organ.
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh dr. Samuel T Darling dari Panama pada tahun 1905 (12) oleh karena itu juga dikenal sebagai Darling disease atau Reticuloendothelial cytomycosis. Penyakit ini dijumpai di banyak negara beriklim sedang dan tropis. Di beberapa negara bagian amerika ditemukan secara endemis, dimana 90% penduduknya pada umur 20 tahun menunjukkan uji kulit histoplasmin positif. Di Indonesia masih jarang dilaporkan, pertama kali dilaporkan oleh Dr.H. Muller dari Jawa Timur. Dan tahun1932 hingga tahun 1988 telah dilaporkan 17 kasus dengan pencirian 6 kasus sejak tahun 1932-1981 dan 11 kasus dari tahun1985 sampai 1988. Histoplasma capsulatum bersifat dimorfik, di lam bebas hidup di tanah yang terkontaminasi oleh kotoran burung, ayam,atau kelelawar. Susilo dan Kartanegare pada tahun 1973 telah berhasil mengisolasi histoplasma capsulatum dari kelelawar di Jawa Barat.
Cara Penularan
Histoplasma capsulatum disebut sebagai termal dimorphic karena memiliki 2 bentuk. Dalam keadaan alami di suhu ruangan sekitar 250 C, membentuk mycelia atau filamentus, kemudian membentuk macroconidia untuk keluar, sama seperti microconidia. Pada suhu tubuh 37o C, Histoplasma capsulatum berubah menjadi ragi. Dua bentuk ini menunjukkan bahwa jamur ini tumbuh di tabung tes dengan suhu yang berbeda. Dalam kultur suhu 35oC dan substrat alami tumbuh dengan mycelia jamur berwarna putih dan kecoklatan dengan karakteristik ekinulat macroconidia bentuk oval dan pyriforme (diameter 8-16 µm) dan microconidia (diameter 2-5 µm). Ketika dihirup masuk ke alveolar, microconidia yan mengalami germinasi dan kemudian bertransformasi dalam small budding ragi diameter 2-5 µm. Sel ragi ditemukan dalam system reticuloendothelial. Jamur juga tumbuh menjadi ragi dalam kultur di suhu 37oC.
Volk.thom@uwlax.edu
Histoplasma capsulatum ditemukan di seluruh dunia dan endemic di daerah tertentu di Amerika Serikat, terutama di daerah Ohio River valley dan daerah sungai Mississippi. (positif histoplasmin tes lebih dari 80 % orang-orang yang tinggal di Amerika Serikat bagian timur dan pusat).
www.wikipedia.com
Histoplasmosis adalah penyakit yang dapat menyerang berbagai mamalia meliputi anjing, kucing dan manusia. Penyakit ini disebabkan oleh jamur dimorpik Histoplasma capsulatum dimana endemic di berbagai region suhu dan subtropics di dunia. Organisme ini dapat diisolasi dari tanah di 31 daerah continental di Amerika Serikat, akan tetapi kasus paling klinis terjadi di Mississippi, Misouri dan daerah sungai Ohio. H.capsulatum hidup di tanah dan tetumbuhan yang lembab dan berhumus. H.capsulatum ada terutama pada konsentrasi tinggi dimana burung-burung dan kelelawar mengeluarkan nitrogen konsentrasi tinggi pada fesesnya.
Histoplasmosis ini tidak dapat menular dari hewan ke hewan dan juga dari manusia ke manusia. Permulaan pembentukan mycelia terjadi di tanah yang diperlukan untuk jamur menginfeksi. Tidak ada predileksi tertentu baik secara jenis kelamin maupun umur. Imunodefisiensi memiliki indikasi seperti factor predisposisi untuk infeksi berat sekalipun sejak imun sel T menyerang jamur ini. Factor predisposisi ini antara lain hewan muda dengan system imun immature dan jumlah jamur yang banyak.
http://www.vet.uga.edu/vpp/clerk/Edison/index.php
Saat spora dari jamur terinhalasi, maka akan tersangkut di dalam pulmo dan menyebabkan lesi. Yang dikenal sebagai Histoplasmosis Akut, dan tidak bersifat menular. Ketika spora masuk masuk kedalam pulmo masuk ke dalam spatium alveolaris dan ditangkap oleh sistem pertahanan tubuh yaitu sel makrofag. Sel imun mengirim spora melalui sistem limfatik menuju ke nodus limfatikus mediastinalis, dan disana spora akan bermultiplikasi bila tidak segera dilakukan eliminasi, dan jika hal tersebut terjadi maka akan masuk ke dalam sistem peredaran darah dan menyebar ke seluruh tubuh.


Gejala Klinis
Secara umum histoplasmosis Tanpa gejala dan hanya ditandai dengan gejala hypersensitive terhadap histoplasmin. Berupa tumor pernafasan akut yang jinak, dengan variasi mulai dari penyakit yang ringan pada saluran pernafasan sampai dengan tidak dapat melakukan aktivitas karena tidak enak badan, demam, kedinginan, sakit kepala, myalgia, nyeri dada dan batuk nonproduktif, kadang-kadang timbul erythema multiforme dan erythema nodosum. Ditemukan adanya pengapuran kecil-kecil tersebar pada paru-paru, pengapuran pada kelenjar limfe, hiler dan limpa merupakan gejala lanjut dari penyakit ini.
Infeksi terjadi dengan inhalasi spora, terutama mikrokonidia, spora yang cukup kecil untuk mencapai alveoli pada inhalasi, yang kemudian berlanjut dengan bentuk budding. Dengan berlanjutnya waktu, reaksi granuloma terjadi. Nekrosis perkijuan atau kalsifikasi dapat menyerupai tuberkulosis. Diseminasi transien dapat meninggalkan granuloma kalsifikasi pada limpa. Pada orang dewasa, massa bulat atau jaringan parut dengan atau tanpa kalsifikasi sentral dapat menetap pada paru, yang disebut histoplasmoma. Dapat pula terbentuk infiltrat paru dan pembesaran kelenjar hilus. Bila infeksi terjadi dengan jumlah spora yang besar maka terdapat gambaran yang mirip dengan tuberkulosis miliaris. Infeksi ini biasanya sembuh dengan atau tanpa meninggalkan perkapuran dalam paru. Pada beberapa keadaan, dapat berlangsung progresif hingga mengenai sebagian atau seluruh paru, deseminata, dengan atau tanpa riwayat histoplasmosis primer akut paru, potensial fatal hingga dapat menyebabkan kematian. Infeksi kedua kali dapat menimbulkan reaksi jaringan yang lebih kuat sehingga menimbulkan rongga atau kaverna dengan gejala batuk darah.
Kebanyakan orang yang terinfeksi tidak memiliki gejala-gejala. Saat gejalannya datang, sangat bermacam-macam gejalanya, tergantung kepada bentuk dari penyakitnya. Infeksi paru-paru dapat menjadi short-term (acute) dan relatif ringan, atau dapat juga menjadi long-term (kronis) dan serius. Gejala-gejala infeksi paru-paru akut adalah kelelahan, demam, dingin, sakit di dada, dan batuk kering. Infeksi paru-paru kronis dapat seperti tuberculosis dan terjadi di sebagian besar orang yang telah sakit paru-paru. Hal ini dapat berkembang berbulan-bulan atau bertahun-tahun dan melukai paru-paru. Gejala yang ditimbulkan tidak khas dan menyerupai gejala penyakit paru lain seperti demam, batuk, sesak napas, dan lain-lain. Penyakit yang menahun mirip dengan gejala tuberkulosis shingga sulit dibedakan dari penyakit tersebut. Di alat dalam lain, gejala yang ditimbulkan juga tidak khas dan menyerupai penyakit pada alat tersebut sehingga seringkali penyakit ini tidak dapat dikenal secara dini1.
Dari paru, jamur dapat menyebar secara hematogen ke alat lain, terutama sistem retikulo-endotel, sehingga menimbulkan pembengkakan hati, limpa, dan kelenjar getah bening. Walaupun demikian, pada Histoplasmosis diseminata, penderita tidak selalu menunjukkan gejala paru ataupun sangat minimal, seperti juga yang terjadi pada pasien ini. Suatu bentuk infeksi yang akut dan fatal serta cepat dijumpai pada anak-anak dan penderita imunosupresi, termasuk penderita AIDS. Demam, anemia, leukopesia, berat badan menurun, sering dijumpai pada penyebaran H. capsulatum diseminata. Jika tidak terdiagnosa, dapat menimbulkan kematian. Penyakit paru fulminan dapat menyerupai infeksi pneumonia oleh Pneumocystis carinii. Fungemia sering dijumpai dan kadang organisme intraselular ini dapat terlihat bersirkulasi pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi biasa di dalam monosit1,2,3.
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/052001/lak-2.htm
Gejala awal muncul serupa dengan penyakit flu yang ringan, dan berkembang dengan berbagai gejala, termasuk kelelahan, demam, sesak napas, batuk kering, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, sakit sendi dan otot, serta panasdingin. Penyakit parah dapat menyebabkan pembengkakan pada hati atau kelenjar getah bening. Histoplasmosis juga dapat mempengaruhi sumsum tulang, dengan akibat anemia (kurang darah merah), leukopenia (kurang beberapa jenis darah putih) dan trombositopenia (kurang trombosit, dengan akibat darah sulit beku). Kurang lebih separuh penderita mengalami masalah paru; rontgen dada dapat menunjukkan tanda yang khas pada paru. Penyakit paru akibat histoplasmosis serupa dengan TB dan dapat semakin parah selama bertahun- tahun. Histoplasmosis juga dapat mempengaruhi susunan saraf pusat (SSP), dengan sampai 20% pasien mengalami gejala kejiwaan.
http://aidsinfonet.org.
ORGAN INVOLVED CLINICAL MANIFESTATION
Lymph nodes • Lymphadenitis
Bone Marrow • Anemia
• Leukopenia
• Thrombocytopenia
Heart • Endocarditis
Adrenal glands • Enlargement without symptoms
• Addison’s disease
CNS • Chronic Meningitis
• Cerebritis
• Mass
GI tract • Oral ulcers
• Small bowel micro and macro ulcers
Eyes • Uveitis
• Choroiditis
Skin • Papular to nodular rash
Genitourinary tract • Hydronephrosis
• Bladder ulcers
• Penile ulcers
• Prostatitis



Menurut gejala-gejala di atas Histoplasmosis dibedakan menjadi 3 macam:
1. Histoplasmosis akut.
Pada bentuk yang akut, gejala biasanya timbul dalam waktu 3- 21 hari setelah penderita menghisap spora jamur. Penderita akan merasakan sakit disertai demam dan batuk. Gejala-gejala tersebut biasanya menghilang dalam waktu 2 minggu tanpa pengobatan dan kadang bisa menetap sampai selama 6 minggu. Bentuk ini jarang bersifat fatal.

.2. Histoplasmosis diseminata progresif
Dalam keadaan normal tidak akan terjadi pada orang dewasa yang sehat. Biasanya terjadi pada anak-anak dan penderita gangguan sistem kekebalan (penderita AIDS). Gejalanya sangat lambat ataupun sangat cepat, akan bertambah buruk. Hati,limpa dan kelenjar getah bening membesar. Kadang infeksi ini menyebabkan ulkus (luka terbuka) di mulut dan saluran pencernaan.
Dalam beberapa kasus, kelenjar adrenal mengalami gangguan sehingga timbul penyakit Addison. Tanpa pengobatan, bentuk ini 90% berakibat fatal. Bahkan meskipun diobati, pada penderita AIDS bisa terjadi kematian.
3. Histoplasmosis kavitasi kronis.
Bentuk ini merupakan infeksi paru-paru yang timbul secara bertahap dalam waktu beberapa minggu, menyebabkan batuk dan kesulitan bernafas.
Gejala-gejala lainnya adalah penurunan berat badan, malaise (merasa tidak enak badan) dan demam ringan. Kebanyakan penderita akan pulih tanpa pengobatan dalam waktu 2- 6 bulan. Tetapi gangguan pernafasan bisa bertambah buruk dan beberapa penderita mengalami batuk darah yang kadang-kadang jumlahnya banyak sekali. Kerusakan paru-paru atau masuknya bakteri ke paru-paru pada akhirnya bisa menyebabkan kematian.

Secara klinis penyakit ini sangat jarang terjadi, dan jarang menjadi berat. Prevalensi meningkat dari masa kanak-kanak sampai dengan umur 15 tahun, perbedaan gender biasanya tidak nampak kecuali bentuk paru-paru kronis lebih banyak terjadi pada pria. Wabah terjadi pada daerah endemis di lingkungan keluarga, pelajar, pekerja yang terpajan dengan burung, ayam atau terpajan dengan kotoran kelelawar yang mengontamisai tanah. Histoplasmosis juga terjadi pada anjing, kucing, kuda, tikus, sigung, opossum, rubah atau binatang lainnya, sering dengan gambaran klinis yang sama dengan penyakit pada manusia.

CATEGORIES NOTES
Asymptomatic • Occurs in 50-90% of infected individuals
Acute & symptomatic
1.- Self-limited (Flu-like syndrome) • It usually goes unrecognized
2.- Acute Pulmonary • Diffuse or localized pneumonitis.
• "Buckshot" appearance on chest radiograph with subsequent calcification in cases of heavy exposure.
• It may be severe enough to require ventilatory support
3.- Acute Pericarditis • Frequently associated with intrathoracic adenopathy
• Pericardial fluid is usually sterile
4.- Rheumatologic manifestations • Arthralgias, arthritis, erythema nodosum, and/or erythema multiforme
Chronic Pulmonary • Radiologic presentations include a Ghon complex suggestive of tuberculosis, histoplasmoma, and cavitary disease
Disseminated • See Disseminated Histoplasmosis table (below)
Fibrosing Mediastinitis • Rare form that produces an intense deposition of fibrotic tissue in the mediastinum encroaching vital structures such as the superior vena cava, esophagus and trachea.


Histoplasmosis akibat H. capsulatum var. duboisii, Histoplasmosis Afrika)
Penyakit ini biasanya muncul sebagai granuloma subakut pada kulit atau tulang. Infeksi biasanya setempat atau menyebar pada kulit, jaringan di bawah kulit, kelenjar limfe, tulang sendi, paru dan organ dalam rongga perut. Granuloma pada kulit bermanifestasi sebagai nodul atau ulcer atau lesi-lesi ekstrim. Bila penyakit telah menyebar dan semakin serius, dapat terbentuk giant cell granuloma pada kebanyakan organ-organ internal. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria dan menyerang semua umur, khususnya pada dekade kedua kehidupan. Sejauh ini penyakit tersebut hanya diketemukan di Afrika dan Madagaskar.
Kasus penyakit dilaporkan pernah terjadi pada anjing, sapi, primata, kucing, kuda, domba, babi, manusia, dan hewan-hewan liar.
Beberapa lesi yang ditemukan pada anjing dan kucing adalah ulserasi usus. Kemungkinan dapat terjadi pembengkakan dan peradangan pada hati, limpa, dan nodus limfatikus yang disebabkan oleh lesi yang seperti tubercle.
Hasil survey menunjukan bahwa infeksi sering terjadi pada sapi, domba dan kuda di daerah endemik. Anjing merupakan satu-satunya spesies hewan yang sering menunjukkan tanda-tanda klinis.
Anjing adalah spesies yang sangat sering menunjukan tanda-tanda klinis tetapi seperti halnya pada manusia, sebagian besar infeksi pada anjing adalah asimtomatik. Bentuk respiratori yang utama adalah adanya encapsulation dan pengapuran. Dalam kasus yang tidak jelas anjing biasanya kehilangan berat badan dan diare lama, ascites dan batuk kronik, hepatosplenomegaly dan lymphadenopathy.
Pada anjing penyakit umumnya sering terjadi pada jenis anjing pekerja dan anjing sporting.

Diagnosa
Dari paru-paru, jamur dapat menyebar secara hematogen ke alat lain, terutama sistem retikulo-endotel, sehingga menimbulkan pembengkakan hati, limpa, dan kelenjar getah bening. Walaupun demikian, pada Histoplasmosis diseminata, penderita tidak selalu menunjukkan gejala paru ataupun sangat minimal, seperti juga yang terjadi pada pasien ini. Suatu bentuk infeksi yang akut dan fatal serta cepat dijumpai pada anak-anak dan penderita imunosupresi, termasuk penderita AIDS. Demam, anemia, leukopesia, berat badan menurun, sering dijumpai pada penyebaran H. capsulatum diseminata. Jika tidak terdiagnosa, dapat menimbulkan kematian. Penyakit paru fulminan dapat menyerupai infeksi pneumonia oleh Pneumocystis carinii. Fungemia sering dijumpai dan kadang organisme intraselular ini dapat terlihat bersirkulasi pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi biasa di dalam monosit1,2,3.
Dari pemeriksaan laboratorium, diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan langsung, kultur, dan atau serologik sebagai berikut1,3:
a. Pemeriksaan langsung spesimen. Pada histoplasmosis paru, pemeriksaan sputum dilakukan secara langsung dengan pulasan Giemsa. Jamur terlihat sebagai kluster 2 sampai 5 um bentuk ragi intraselular, pada sel-sel RES seperti sel histiosit. Pada sumsum tulang atau darah, dijumpai pseudoencapsulated sel ragi, dengan diameter 2--5 um diameter, berkarakteristik bergerombol dalam sel-sel retikuloendotelial stem.

Histoplasma capsulatum yeasts in the cytoplasm of two of three neutrophils (dog, blood smear, Wright-Leishman stain).
b. Pada biakan sputum di media agar Sabouraud, tumbuh koloni filamen pada suhu kamar (25oC) dan koloni ragi pada suhu 37oC. Koloni bersifat slow growing (10 sampai 30 bari). Pada awalnya, koloni filamen berwarna putih dan berubah abu-abu atau kecoklatan dengan bertambahnya waktu. Untuk mencegah pertumbuhan kuman, dapat diberikan antibiotik pada media yang digunakan. Kultur dapat dilakukan pada bahan darah, aspirasi, atau bilasan bronkhus, aspirasi sumsum tulaag. Gambaran mikroskopis hasil kultur: bentuk filamen memberikan gambaran hifa 1--2 um. Mikrokonidia dapat tumbuh lateral dan konidiofora pendek sepanjang hifa. Gambaran kunci yang merupakan diagnostik adalah adanya mikrokonidia yang berukuran besar dan berdinding kasar.
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/052001/lak-2.htm
Culture of Histoplasma capsulatum
http://www.mycology.adelaide.edu.au/Mycoses/Dimorphic_systemic/histoplasmosis/
c. Paemeriksaan histologis dapat dilakukan pada jaringan mukosa, kulit, sumsum tulang, hati, limpa, atau kelenjar getah bening dengan menemukan organisme ini berupa gerombol/kluster sel-sel ragi 2--5 um H. capsulatum dalam sel-sel RES.
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/052001/lak-2.htm


Histoplasma capsulatum yeasts are present in the cytoplasm of a macrophage and in the background of a cytologic smear (dog, lymph node, fine-needle aspirate, Wright-Leishman stain).
d. Pada pemeriksaan serologi, pemeriksaan berturut-turut dengan titer yang meningkat memperkuat diagnosis kemungkinan penyakit ini. Tes ini memeriksa serum darah untuk antigen dan antibody. Tes ini mencocokkan antigen dan antibody dengan cara yang cepat dan hampir akurat, untuk mendeteksi penyebaran histoplasmosis baik kronis maupun ringan.
e. Skin Test. Dalam tes ini sedikit antigen diinjeksikan di kulit lengan bawah, dan tes ini dilihat hasilnya setelah 48 jam kemudian
http://www.mayoclinic.com/health/histoplasmosis/DS0051/DSECTION=6
Jamur tumbuh di air daging dan penyaring. Hasil yang diinokulasi bawah kulit terdapat area merah paling sedikit 5 mm setelah 48 jam yang menandakan tes positif.
volk.thom@uwlax.edu
f. Chest X-ray. Meskipun tidak biasanya digunakan untuk mendiagnosa histoplasmosis, biasanya Chest X-ray dapat menunjukkan inflamasi dan kerusakan dari paru-paru.
g. Computerized tomography (CT). Teknik Xray ini menghasilkan gambar lebih detail daripada dengan Xray standart. Conventional X-ray menggunakan sinar yang luas dari radiasi untuk melihat area yang luas dari tubuh. CT menggunakan sinar X yang terbatas sehingga mengurangi perpencaran cahaya dan terlihat kurus, gambar cross-sectional itu memperhitungkan radiologis untuk membuat lebih baik perbedaan dalam bermacam-macam jaringan dan organ. CT dapat membantu terutama untuk mendeteksi komplikasi dari histoplasmosis.
http://www.mayoclinic.com/health/histoplasmosis/DS0051/DSECTION=6

Figure 1. Lateral survey radiograph of the thorax of a dog demonstrating interstital pattern densities in the lung field.


Figure 2. Ventrodorsal survey radiograph of the thorax of a dog demonstrating interstital pattern densities in the lung field.
http://www.vet.uga.edu/vpp/clerk/Edison/index.php




TABLE 2
Diagnosis of Histoplasmosis
________________________________________
Sensitivity (%)
________________________________________
Test Disseminated histoplasmosis Chronic pulmonary histoplasmosis Self-limited manifestations* Advantages Disadvantages
Antigen 92 21 39 Rapid
Sensitive in disseminated disease Poor sensitivity in chronic and self-limited disease
Useful in monitoring therapy
Culture 85 85 15 Gold standard 2- to 4-week incubation
Definitive diagnosis Low sensitivity in self-limited disease
Fungal stain 43 17 9 Rapid Low sensitivity
Identification errorsRapid
Serology 71 100 98 Sensitive in chronic and self-limited disease False-negative and false-positive responses
________________________________________
*--Self-limited manifestations included acute pulmonary histoplasmosis, rheumatologic manifestations, and pericarditis.
Adapted with permission from Wheat J. Histoplasmosis. Experience during outbreaks in Indianapolis and review of the literature. Medicine 1997;76:344.


Tes kultur merupakan gold standar diagnose histoplasmosis tapi dibatasi dengan 2-4 minggu periode inkubasi dan menurunkan sensitivitas perkembangbiakan penyakit. Metode diagnose ini tidak praktis dalam hal penyakit berat dimana pengobatan terlambat yang menyebabkan fatal.
Fungal staining dari jaringan dan darah adalah cepat tetapi memiliki signifikan sensitivitas yang lebih rendah daripada kultur atau deteksi antigen.
Deteksi antigen adalah diagnose yang paling cepat terhadap pasien dengan penyebaran penyakit. Sensitivitasnya terbesar dalam urine (92 % ) daripada dalam cairan lain, bagaimanapun juga hasil optimal diagnose adalah hasil dari tes urine dan serum. Reaksi silang adalah hal yang jarang terjadi dalam kasus ini dibandingkan dengan uji serologi. Karena penurunan level antigen dengan pengobatan yang efektif dan peningkatan dengan sakit lagi, cara ini merupakan alat yang bermanfaat dalam terapi
http://www.aafp.org/afp/20021215/2247.html

h. Biopsi dan nekropsi dilakukan dengan pengambilan sampel dengan scraping rectal, histology jaringan yang mengalami perubahan secara patologi misalnya paru-paru, hepar, spleen, dan bone marrow.
“veterinary bacteriology and mycology at UW Madison”

Histoplasmosis. Needle aspiration biopsy specimen from lung showing yeasts of Histoplasma capsulatum (methenamine silver stain).

www.vetmed.wsu.edu fungal in spleen volk.thom@uwlax.edu


Figure 1: Preoperative finding of a frontal mass with a punctum

Figure 2: Intraoperative finding of a full thickness defect of the skull with intact dura mater

Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan
a. Pada Manusia
Bila histoplasmosis terjadi secara akut, sesungguhnya tindakan pengobatan sudah tidak diperlukan. Pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang baik dan mengalami histoplasmosis kronis dapat diobati dengan pemberian ketoconazole (Nizoral) atau Amphotericin B (Fungizone). Sedangkan pasien yang mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh dapat diobati dengan Amphotericin B yang diberikan secara intravena. Pasien biasanya diberikan obat tambahan untuk meminimalisasi terjadinya efek samping akibat penggunaan Amphotericin B. Pasien yang mengalami AIDS disertai dengan histoplasmosis dilakukan pengobatan dengan pemberian Itraconazole (Sporonox) secara peroral dengan tujuan menghindari kambuhnya penyakit. Bila tubuh pasien tidak dapat menerima Itraconazole maka dapat digantukan dengan obat yang lain yaitu dengan pemberian obat Fluconazole (Diflucan).
1. Acute Pulmonary Histoplasmosis
1. Severe disease
1. First 2 weeks
1. Amphotericin B 0.7 mg/kg/day
2. Prednisone 20 mg qd
2. Next 12 weeks
1. Itraconazole dosed as in mild to moderate disease
2. Mild to moderate disease
1. Itraconazole 200 mg qd to bid for 12 weeks
2. Chronic Pulmonary Fibrosis
1. Severe disease
1. Start: Amphotericin B 0.7 mg/kg/day
2. Next: Itraconazole as below for 12-24 months
2. Moderate disease
1. Itraconazole 200 mg PO qd to bid for 12-24 months
3. Disseminated Histoplasmosis
1. Severe disease
1. Start: Amphotericin B 0.7 to 1.0 mg/kg/day
2. Next: Itraconazole as below for 6-18 months
1. Stop when urine and serum antigen <4 units
2. Moderate disease
1. Itraconazole 200 mg PO qd to bid for 6-18 months
2. Continue Itraconazole for life if HIV positive
CATEGORIES ANTIFUNGAL TREATMENT REGIMEN
Asymptomatic Not indicated
Acute & symptomatic
1.- Self-limited (Flu-like syndrome) Not indicated
2.- Acute Pulmonary Treatment indicated ONLY IF presents with hypoxemia or lasts for >1 month Amphotericin B +/- corticosteroids1, follow by Itraconazole for a total of 6-12 weeks of therapy
3.- Acute Pericarditis Not indicated Nonsteroidal anti-inflammatory agents for 2-12 weeks. Some may want to use corticosteroids for severe cases, in which case antifungal therapy is recommended
4.- Rheumatologic manifestations Not indicated Nonsteroidal anti-inflammatory agents
Chronic Pulmonary Treatment indicated Amphotericin B followed by Itraconazole for a total of 12-24 months
Disseminated in non-AIDS Treatment indicated Amphotericin B followed by Itraconazole2 for a total of 12 weeks
Disseminated in AIDS Treatment for life Amphotericin B followed by Itraconazole2,3 for life
Fibrosis Mediastinitis Controversial. To be considered in cases with elevated ESR or complement fixation titers >1:32 Itraconazole for 3 months
www.doctorfungus.com
Treatment Recommendations for Patients with Histoplasmosis
________________________________________
Type of histoplasmosis Treatment of severe manifestations Treatment of moderate or mild manifestations
Acute pulmonary Amphotericin B (Fungizone IV), 0.7 mg per kg per day* with corticosteroids (prednisone [Deltasone], 60 mg daily for 2 weeks), then itraconazole (Sporanox), 200 mg once or twice daily* for 12 weeks Symptoms less than four weeks: none
Symptoms more than four weeks: itraconazole, 200 mg once or twice daily for six to 12 weeks
Chronic pulmonary Amphotericin B, then itraconazole for 12 to 24 months Itraconazole for 12 to 24 months
Disseminated (in patients without AIDS) Amphotericin B, 0.7 to 1.0 mg per kg per day, then itraconazole for six to 18 months Itraconazole for six to 18 months
Disseminated (in patients with AIDS) Induction: amphotericin B, then itraconazole, 200 mg twice daily, to complete a 12-week course
Maintenance: itraconazole for life Induction: itraconazole, 200 mg three times daily for three days, then twice daily to complete a 12-week course
Maintenance: itraconazole for life
Granulomatous mediastinitis Amphotericin B, then itraconazole for six to 12 months; also consider corticosteroids and/or surgical resection Itraconazole for six to 12 months
Pericarditis Corticosteroids and/or pericardial drainage NSAIDs for two to 12 weeks
Rheumatologic NSAIDs for two to 12 weeks NSAIDs for two to 12 weeks
________________________________________

b. Pada Hewan
Pada kasus terjadinya Epizootic Lymphangitis pada kuda, pengobatn yang dapat dilakuakan yaitu dengan pemberian Iodide Sodium secara intravena, atau dengan pemberian Potassium Iodide secara peoral, namun terjadinya penyakit terulang kembali atau kambuh pada beberapa bulan kemudian dapat terjadi. Secara invitro sensitifitas organisme terhadap Amphotericin B, Nystatin, dan Clotrimazole telah dilaporkan. Pada kebanyakan kasusu hewan yang terinfeksi oleh penyakit ini tidak diijinkan untuk dilakukan pengobatan, dan hewan yang terinfeksi segera dimusnahkan dengan eutanasia.





Pencegahan
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya Histoplasmosis antara lain :
• Hindari tempat yang berkembangnya jamur, terutama daerah yang dipenuhi dari ekskresi burung dan kelelawar
• Mengeluarkan atau membersihkan koloni kelelawar atau kandang burung dari gedung ataupun perumahan.
• Melakukan desinfeksi pada daerah yang mengalami kontaminasi.
• Meminimalisir terbangnya debu yang kemungkinan terkontaminasi dengan spora jamur dengan cara menyemprotkan dengan air daerah yang berpotensi sebagai sumber penularan penyakit, seperti kandang ayam sebelum dibersihkan dilakukan penyemprotan dengan air untuk menghindari terbangnya debu yang mengandung spora jamur.
• Saat bekerja di tempat yang beresiko sebagai tempat penyebaran penyakit, pekrja hendaknya menggunakan pakaian khusus dan menggunakan masker wajah yang berfungsi untuk menyaring debu yang masuk saat bernafas, sebaiknya gunakan masker dengan diameter kurang lebih 1 milimicron.













Berbagai macam masker yang dapat digunakan untuk menghindari spora








DAFTAR PUSTAKA

www.doctorfungus.org/mycoses/images/ajell007p...
fibrosingmediastinitis.org/Histoplasmosis.aspx
Volk.thom@uwlax.edu
www.wikipedia.com
http://www.aafp.org/afp/20021215/2247.html
www.vetmed.wsu.edu
http://www.aafp.org/afp/20021215/2247.html
“veterinary bacteriology and mycology at UW Madison”
http://www.vet.uga.edu/vpp/clerk/Edison/index.php
http://www.mayoclinic.com/health/histoplasmosis/DS0051/DSECTION=6
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/052001/lak-2.htm
http://www.mycology.adelaide.edu.au/Mycoses/Dimorphic_systemic/histoplasmosis/
http://aidsinfonet.org.
http://www.ispub.com/ostia/index.php?xmlFilePath=journals/ijid/vol5n2/hiv.xml
http://jac.oxfordjournals.org/cgi/content/full/43/3/321
http://www.cdc.gov/ncidod/EID/13/1/127.htm
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=87503
http://www.ispub.com/ostia/index.php?xmlFilePath=journals/ijra/vol2n1/histo.xml
http://www.lowvision.org/histoplasmosis_maculopathy.htm
http://www.merck.com/mmhe/sec17/ch197/ch197g.html
http://botit.botany.wisc.edu/toms_fungi/jan2000.html
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez
http://www.cdc.gov/niosh/docs/2005-109/2005-109b.html#c
http://www.cdc.gov/niosh/docs/2005-109/2005-109c.html#b
http://www.cdc.gov/eid/content/13/11/1647.htm
http://cvi.asm.org/cgi/content/full/14/12/1587
http://library.usu.ac.id/download/fk/paru-sukamto.pdf
http://72.14.235.104/search?q=cache:30F9drOmKkJ:library.usu.ac.id/modules.php%3Fop%3Dmodload%26name%3DDownloads%26file%3Dindex%26req%3Dgetit%26lid%3D1010+histoplasmosis&hl=id&ct=clnk&cd=24&gl=id
http://www.fk.unair.ac.id/download/files/Mikologi-1.pdf
http://www.pathfndr.com/histoplasmosis.html
http://www.users.zetnet.co.uk/jil/ums/umj071/071(2)147.pdf
http://www.pnas.org/cgi/content/full/104/4/1366
http://www.vetmed.wsu.edu/MedSci520/images/i/I17Histoplasmosis.JPG

TAENIASIS DAN CYSTICERCOSIS

TAENIASIS DAN CYSTICERCOSIS


Sinonim
Pork Taperworm (T.solium)
Ampas Nangka (Bali)
Banasan (Toraja)

Taeniasis adalah infestasi cacing pita Taenia sp. Berasal dari sapi atau babi pada manusia. Mausia merupakan induk semang definitive atau induk semang akhir(final host) cacing pita pada sapi. Sedangkan cacing pita pada babi, manusia bertindak sebagai induk semang antara (intermediate host) dan juga induk semang definitive. Apabila infestasi disebabkan oleh larva dari Taenia sp, penyakitnya disebut Cysticercosis.
Infestasi cacaing pita asal sapi umumnya bersifat sporadic beberapa Negara mempunyai prevalensi cacing pita asal sapi cukup tinggi, sehinga turis atau mereka yang pernah tinggal didaerah Mediteranian, Afrika atau Amerika Selatan perlu waspada terhadap Taeniasis asal sapi.
Kira-kira 50 juta manusia diseluruh dunia terinfeksi oleh Taenia sp. Pemerintah di Amerika memberikan penyeluhan dan pemeriksaan pangan hewan domestik untuk menghapus permasalahan cysticercosis.
Penyebaran cacing ini diseluruh dunia, di Indonesia, banyak dilaporkan di Papua dan NTB. Di dunia banyak kasus terdapat di Amerika Utara, Eropa Tengah, Afrika dan Asia terutama China dan India dan Asia Tenggara.

Kejadian Dan Penyakit Pada Hewan
Babi cacing dewasa ada dibagian proximal jejenum, sedangkan cysticercosis sellulosae bertempat di otot lidah, M.Masseter mucosa, diafragma, jantung, hati, ginjal, pulmo, otak, mata.
Sapi, infestasi cacing Taenia bersifat sporadik. Cysticercosis bovis berada terutama di m. Maseter (Schunrrenberger, 1991).

Kejadian Dan Penyakit Di Indonesia
Ditemukan pertama kali oleh LE COUELTRE, ada babi Bali tahun 1920, dari hasil penelitian tersebut babi yang terinfeksi oleh cystcerkus 1,8-3,2 %. Pada tahun 1977 dilaporkan oleh Dinas Peternakan provinsi Bali ditemukan kasus 0,16 %.

Penyebab
Penyakit taeniasis, sering disebut juga infeksi cacing pita pada babi. Taenia solium. Cacing pitadaging babi,adalah cacing yang daapat diperoleh manusia karena makan daging babi yang tidak masak. Angka insidensi pada manusia bervariasi tergantung daerahnya mulai kurang dari 1 % sampai kira-kira 8%, dengan angka diseluruh dunia 2-3%. Angka tersebut kemungkinan tidak tepat karena spesies ini dapat terkecoh dengan spesies cacing pita daging sapi, yaitu Taeniarhynchus saginatus dahulu disebut Taenia saginata (Schunrrenberger, 1991).
Epidemiologi frekuensi infeksi T.solium pada manusia berbeda didunia. Di Amerika serikat, parasit dewasa jarang sekali ditemukan padamanusia karena babi tidak diijinkan masuk ke tempat tinja manusia. Kebiasaan menghidangkan makanan dan adat keagamaan yang berhubungan dengan daging babi mempengaruhi ada tidaknya parasit in. Frekuensi parasit pada babi, yang dibeberapa negeri mencapai 25%, adalah paling tinggi dimana sanitasi tidak ada dan dimana pembuangan tinja dilakukan menurut cara-cara yang salah.
Cacing pita pada sapi Taenia saginata (Taeniarynchus saginatus) dan cacing pita pada babi Taenia solium merupakan penyebab Taeniasis. Cacing ini mempunyai kepala (scolex) yang dilengkapi 4 buah sucker berbentuk elips, sehingga dapat menempel dengan kuat pada dinding usus, penemepelan pada dinding usus dapat berlangsung dalam waktu sangat lama (sampai 25 tahun). Scolex dari T.saginata tidak mempunyai kait (rostellum), Sedangkan pada T.solium ditemukan 2 baris kait.
T.saginata dewasa umumnya mempunyai panjang 4-8 m, namun ada yang mencapai 25 m, sedangkan T.solium dewasa panjang 3-5 m, kadang mencapai 8 m. Dibelakang dari scolex terdapat segmen-segmen yang disebut proglotid. T.saginata bersifat motil, sehingga dapat bergerak sendiri apabila dilepaskan dari scolex, sedangkan progloti T.solium tidak motil sehingga tetap tinggal pada tinja. Panjang proglotid T.solium sekitar 10-12 mm dan lebar 5-6 mm. Dalam sehari, dari usus manusia dapat dikeluarkan 9 proglotid T.saginata yang masing-masing berisi lebih dari 80.000 telur cacing. Sedangkan dalam hal T.solium proglotid dikeluarkan dalam bentuk rantai panjnag, masing-masing mengandung sekitar 40.000 telur.
Tempat hidup cacing ini adalah bagian proksimal jejenum. Cacing ini mempunyai jangka waktu hidup yang lama, sampai 25 athun. Makanannya didapat dari usus . proglotid gravid pada ujung strobila dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 5-6 segmen. Proglotid gravid mengeluarkan kira-kira 30.000 sampai 50.000 telur bila pecah sebelum atau setelah meninggalkan hospes.
Babi dan beruang adalah hospes perarantara yang biasanya mengandung kistanya. Kambing, rusa, anjing dan kucing lebih jarang mendapat infeksi. Telurnya yang dieluarkan oleh hospes definitif, dimakan dengan makanan atau air oleh hospes perantara yang sesuai. Embrio hexacanth keluar dari kulit telur, menembus dinding usus dan masuk ke pembuluh limfe atau darah dan dibawa keberbagai alat badan. Cysticercus matang dikenal sebagai Cysticercus sellulosae. Adalah kista bujur yang jernih, 10 kali 5 mm dengan scolex keruh yang menonjol kedalam, dilengkapi dengan batil isap dan kait. Otot-otot lidah, masseter, mukosa, difraghma dan jantung adalah yang terutama dihinggapi kista ini, tetapi hati, ginjal, paru-paru, otak dan mata juga dapat dihinggapi, bila daging babi yang mengandung parasit dimakan oleh manusia, kista dilarutkan oleh saluran pencernaan dan scolex yang menonjol keluar, memperlihatkan diri pada mukosa jejenum dan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam waktu beberapa bulan.

Simtomologi
Parasit dewasa biasanya hanya berjumlah satu, hanya menyebabkan peradangan mukosa usus setempat yan ringan karena iritasi mekanik oleh srobila. Dan perlekatan skolek. Kebanyakan orang yang menderita infeksi tidak menunjukan gejala yang berarti. Mungkin terdapat gangguan pencernaan yang ringan dan menahun seperti nafsu makan tidak tetap, sakit kepala dan sakit perut, diare dan konstipasi bergantian, dan gizi buruk. Pada anak dan orang lemah, gejala-gejala seperti itu mungkin lebih nyata dan dapat disertai kelelahan, kelemahan, anemia dan gangguan syaraf. Mungkin ada eosinofil yang tidak tetap yang dapat mencapai 28% dan lekopeni.
Siklus Hidup
Daur hidup T.solium mulai dari telur yang bulat berdinding tebal, dengan diameter rata-rata 38 m. Telur ini berisi embrio yang khas dengan tiga pasang kait, biasanya telur tetap berada didalam proglotida yang terlepas dari strobila dan keluar dari tubuh hospes. Babi, manusia, anjing dan hewan lain menelan telur ini bersama makanan yang tercemar. Onkosfera dibebaskan dalam usus kecil. Membuatjalan pada dinding usus menuju ke pembuluh darah dan terbawa ke seluruh bagian tubuh. Didalam berbagai organ terutama oto. Larva tersebut meninggalkan pembuluh darah dan berkembang menjadi sisticercus atau cacing gelembung. Gejala sistiserkus pada manusia mungkin tidak tampak sampai beberapa tahun sesudah infeksi, bahkan tidak tampak sama sekali. Organ-organ yang menderita berturut-turut dengan frekuensi semakin menurun adalah otak besar, selaput otak, otak kecil, otot skelet dan jantung. Infeksi sistem syaraf pusat menunjukkan gejala-gejala yang sangat bervariasi dan dapat mencakup gangguan-gangguan penglihatan dan psikis, epileptiform. Perubahan watak serta paralsis syaraf motor dan sensoris. Sista akhirnya dapat mengalami disintegrasi, tetapi biasanya, terutama pada otot akan mengalami kalsifikasi. Penelitian tentang sistiserkus pada babi dan sapi menujukkan bahwa lokasi parasit berada didalam kapiler-kapiler limfa otot. Otot babi babi kadang-kadang penuh dengan parasit ini sehingga daging tersebut dinamakan ”measyl pork”. Cairan didalam sistiserkus sebagian terdiri atas plasma darah hospes. Manusia memperoleh cacing dewasa setelah makan daging babi mentah atau setengah matang yang terinfeksi. Setelah masuk kedalam usus kecil, cacing-cacing gelembung mengalami evaginasi, kemudian kait-kait dan batil isap memungkinkan mereka melekat pada dinding usus dan akhirnya cacing menjadi dewasa. Manusia dapat terinfeksi secara langsung karena menelan telur pada makanan dan minuman yang tercemar tinja. Autoinfeksi dapat pula terjadi dengan menjilat jari tercemar tinja yang mengandung telur cacing.
Sumber Penularan
Manusia tertular lewat makanan berupa daging sapi atau daging babi kurang matang yang berisi larva cacing pita hidup. Larva cacing pita ini terdapat pada otot, terutama pada otot rahang (maseter), lidah, jantung, diafragma dan bahu. Dalam hal cacing pita babi lewat makanan atau tangan tercemar.
Penularan
Penularan pada manusia terjadi per os dari daging mengandung Cysticercosis bovis yang tidak mati apabila proses pemasakan kurang sempurna. Penularan pada sapi terjadi per os akibat memakan rumput atau minum air yang tercemar telur atau proglotid yang berisi telur cacing. Telur cacing pita sapi dapat tahan 71 hari dalam tinja, 33 hari dalam air sungai dan 159 hari pada rumput. Sampai di usus halus, telur menetas menjadi oncosphore. Oncosphore bermigrasi kejaringan otot yang disukai (predileksi) melalui aliran darah. Dalam waktu sekitar 3 bulan akan terbentuk kista (Cysticercosis bovis) dalam otot. Kista ini dapat hidup 9 bulan atau lebih.
Cara penulara T.solium mirip dengan T. Saginata. Manusia sebagai induk semang definitif tertular lewat makan daging babi mengandun Cysticercosis cellulosae, tettapi sebagai induk semang antara tertular oleh telur cacing per os lewat makanan atau tangan tercemar telur cacing. Babi tertular telur T.solium per os lewat makanan tercemar, minuman tercemar atau tinja orang tertular.

Gejala Klinik
Infestasi T.saginata umumnya bersifat asimptomatik. Masa inkubasi berlangsung selama 8-10 minggu. Segmen cacing yang disebut proglotid dapat keluar dari anus secara sendiri atau bersama tinja. Pada beberapa kasus dapat ditemukan gejala sakit perut, kolik, nausea, kelelahan dan penurunan berat badan. Nafsu makan dapat turun, tetapi ada juga yang meningkat. Perut menggembung dan merasa kurang nyaman akibat akumulasi gas dalam saluran pencernaan.
Gejala klinik yang ditimbulkan oleh infestasi T.solium mirip dengan T.saginata. gejala klinik yang cukup parah dapat terjadi apabila manusia bertindak sebagai induk semang antara. Cysticercus umumnya terbentuk pada jaringan dibawah kulit, namun dapat pula terbentuk di otak dan mata. Apabila terbentuk diota, gejala klinik yang timbul berupa kelumpuhan, epilepsi, bahakan dapat bersifat fatal. Gejala epilepsi akibat cysticercus terbentuk diotak pernah dilaporkan di Papua.



Diagnosa
Untuk diagnosis infeksi usus, didasarkan atas penemuan proglotid atau telur dalam tinja dan diteguhkan dengan penemuan skoleks. Apabila skoleks tidak ditemukan, maka diperlukan waktu 4-6 bulan untuk meyakinkan bahwa seluruh cacing sudah tidak ada lagi. Pengobatan sistiserkosis selain dengan pembedahan tidak banyak manfaatnya, untuk pencegahan perlu dilakukan pemasakan daging babi dengan sempurna sebelum dimakan. Pembuangan kotoran dengan cara yang benar.
Cacing gelembung dapat menyebabkan sakit yang lebih berat bagi hospes daripada yang disebabkan oleh cacing dewasa. Stadium larva cacing pita Taenia solium merupakan salah satu dari beberapa tipe cacing gelembung pada babi. Larva-larva itu juga pernah dilaporkan terdapat pada mamalia piaraan lainnya. Parasit tersebut biasanya berukuran kira-kira 5x10 mm bila sudah masak dan infektif untuk manusia. Kadang-kadang jumlah sistiserkus sedemikian banyak sehingga menempati lebih dari separo volume sepotong daging. Cacing gelembung ini umumnya berada di dalam jaringan ikat otot serat lintang tetapi kadang-kadang terdapat disemua organ atau jaringan tubuh.
1. Diagnosa Taeniasis
Untuk membuat diagnosa penyakit Taeniasis dapat dilakukan dengan 2 cara :
a. Menanyakan riwayat penyakit (anamnesa)
Didalam anamnesa perlu ditanyakan apakah penderita pernah mengeluarkan proglotid (segmen) dari cacing pita pada waktu defekasi.
b. Pemeriksaan tinja secara mikroskopis
Pemeriksaan tinja dilakukan dengan metode natif, bilamana ditemukan telur cacing Taenia sp. Maka pemeriksaan feses menunjukkan hasil positif. Dari satu spesimen feses dapat digunakan menjadi 4 sediaan untuk pemeriksaan mikroskopik. Pada pemeriksaan tinja juga ditemukan proglotid jika keluar.
2. Diagnosa Cysticercosis
Diagnosa dilakukan dengan pemeriksaan klinis terhadap adanya benjolan dibawah kulit, biopsy, CT scan untuk neurocysticercosis. Sedangkan secara serologis dapat dilakukan dengan ELISA.
Prognosis : Taeniasis usus baik, tetapi infeksi ini harus diakhiri untuk mengurangi bahaya cystiserkosis.
Diagnosis : proglotid atau telur sering ditemukan didalam tinja atau daerah perianal. Diagnosis spesies dibuat dengan identifikasi proglotid. Karena telurnya tidak dapat dibedakan dengan telur saginata. Proglotid gravidnya dibedakan dari proglotid gravid taenia saginata karena jumlah pasangan cabang lateral uterus lebih kecil yaitu 7-12 (Brown, 1979).


Pencegahan dan Pengobatan
Tindakan pencegahan meliputi pengobatan terhadap orang tertular, pendidikan masyrakat, kesehatan dan kebersihan lingkungan, dan pemeriksaan daging secara seksama di rumah potong hewan. Daging yang tertular cysticercosis harus disingkirkan atau mengalami pembekuan dengan suhu dibawah -100 C atau dimasak dengan suhu diatas 600 C. Perlu dicermati bahwa pemerikasaan karkas di RPH tidak 100 % mendeteksi Taeniasis, meskipun dapat menyingkirkan sebagian besar jaringan tertular.
Pengobatan pada hakekatnya sama untuk semua cacing pita manusia. Untuk mencapai penyembuhan sempurna. Scolexnya harus dikeluarkan. Maka untuk memeriksa hasil pengobatan, pencarian teliti daripada scolex dalam tinja harus dilakukan. Bila scolex tidak ditemukan, perlu ditunggu 3 bulan untuk memastikan apakah penderita sudah tidak mengeluarkan proglotid atau telur lagi (Brotowidjoyo, 1987).
Obat terbaik terhadap cacing pita adalah kuinakrin hidroklorida (Atabrin).Oleorespin aspidium hasilnya sama baik, tetapi mungkin lebih toksik. Kedua obat ini mempunyai efek samping, menyebabkan muntah jika diberikan pada anak-anak. Penderita harus disiapkn dulu sebelum diberi obat cacing. Sehari sebelum diberi pengobatan, penderita harus diberikan makanan cair dan makan malam tidak diberikan kecuali kopi hitam, teh atau air. Enema air sabun harus diberikan malam harinya untuk mengurangi jumlah tinja yang kan diperiksa setelah pengobatan. Dua jam setelah pemberian dosis obat cacing yang terakhir, diberi pencahar garam untuk mengeluarkan cacing yang sudah rusak atau mati. Bila cacing tidak dikelauarkan oleh pencahar atau bila kepalanya tidak ditemukan, maka harus diberikan enema air sabun. Karena cacingnya atau scoleknya mungkin ketinggalan di usus besar. Kertas toilet yang dipakai oleh penderita jangan dimasukkan ke pot tinja karena sangat menyukarkan pencarian scolex cacing. Cacing pita yang besar sering dikeluarkan (berwarna kuning) dengan sekali pengobatan.
Dosis kuinarkin hidroklorida untuk orang dewasa adalah 0,8 g untuk menghindari muntah-muntah, dosis seluruhnya dapat dibagi dalam dua bagian dan diberikan dengan antara setengah jam. Anak-anak diberi dosis total sebagai berikut : anak dengan berat badan 40-75 pound sebanyak 0,4 g. 76-100 pound sebanyak 0,6 g, 100 pound dan lebih 0,8 g.
Bila pengobatan per os tidak berhasil, suspensi dari 0,8 g kuinakrin dalam 40 ml air suling dimasukkan melalui pipa duodenum, dibagi dalam dua dosis. Emursi yang sangat baik, mengandung 5 g eleoresin aspidium, 8 g acacia dan ditambah air sampai 60 ml, setengah dosis tersebut diberikan pada pagi hari, disusul dengan bagian kedua setelah satu jam. Dosis selurhnya untuk anak adalah 4 ml dari emulsi tersebut per 10 pound berat badan. Penyelidikan baru dengan 4-aminokuinalin (camoquin), diklorofen, dan niklosamid (yomesan) menunjukkan bahwa obat-obat ini cukup berkhasiat pada pengobatan infeksi cestoda (Brotowidjoyo, 1987).
Pada Manusia
Praziquantel, dosis 100 mg/kg, dosis tunggal. Cara pemberian obat praziquantel adalah sebagai berikut:
- satu hari sebelum pemberian obat cacing, penderita dianjurkan untuk makan makanan yang lunak tanpa minyak dan serat.
- Malam harinya setelah makan malam penderita menjalani puasa.
- Kesekan harinya dalam keadaan perut kosong penderita diberi obat cacing. Dua sampai dua setengah jam kemudian diberikan garam inggris, 30 g untuk dewasa dan 15 g atau 1,5 g untuk anak-anak. Sesuai dengan umur yang dilarutkan dalam sirop. Penderita tidak boleh makan sampai buang besar yang pertama. Setelah buang air besar penderita diberi makan bubur.
- Sebagian kecil tinja dari buang air besar pertama dikumpulkan dalam botol yang berisi formalin 5-10 % untuk pemeriksaan telur Taenia sp. Tinja dari buang air besar pertama dan berikutnya selama 24 jam ditampung dalam baskom plastik dan disiram dengan air panas/mendidih supaya cacingnya relaks. Kemudian diayak dan disaring untuk mendapatkan proglotid dan skoleks Taenia sp.
- Proglotid dan skoleks dikumpulkan dan disimpan dalam botol yang berisi alkohol 70 % untuk pemeriksaan morfologi yang sangat penting dalam identifikasi spesies cacing pita tersebut.
- Pengobatan taeniasis dinyatakan berhasil bila skoleks taenia sp. Dapat ditemukan utuh bersama proglotid.
Pada Hewan
- praziquantel, dosis 100 mg/kg 3-5 hari
- librax (7-chloro-2-methylamin-5phenyl-311-1,4-benzodiazepepine-4-oxide).
- Atrabin
- Niclosamid atau praziquantel
- Fenbendazole selama 7 hari
- Mebendazole selama 5 hari.
Praziquantel dilaporkan sering digunakan untuk pengobatan taeniasis asal sapi, tetapi obat ini tidak terdaftar di Australia untuk manusia, meskipun disana banyak digunakan untuk pengobatan cacing pita pada anjing yang disebabkan oleh Dypilidium caninum atau Dypilobothrium latum.
Niclosamid dapat memberikan kesembuhan baik, tetapi penggunaanyan memrlukan identifikasi cacing sebelum obat diberikan. Sebab, apabila proglotid berasal dari T.solium, maka penderita perlu dimonitor terhadap neural atau visceral cysticercosis.
Pencegahan dan Pengendalian
Pemberantasan infeksi T.solium terdiri pengobatan orang yang mengandung parasit, sanitasi,pemeriksaan daging babi dan memasak dan mengolah daging babi sebaik-baiknya.pengobatan segera orang-orang yang menderita infeksi ini tidak hanya mengurangi sumber infeksi. Tetapi juga menghilangkan bahaya autoinfeksi cysticercus. Didaerah endemik tinja manusia tidak boleh dibuang ketempat-tempat yang dapat dimasuki babi. Pemeriksaan daging babi oleh pemerintah dapat mengurangi frekuensi infeksi pada manusia di negara dimana daging babi dimakan mentah atau setengah matang. Memasak daging babi sebaik-baiknya adalah 45-500C . daging babi harus dimasak paling sedikit 30 menit untuk tiap pound atau sampai berwarna kelabu. Cysticercosis dimatikan pada suhu dibawah -20C dalam waktu hampir dua bulan, pada suhu kamar selama 26 hari pada suhu -100C selama 4 hari. Pengasinan daging kurang berhasil dalam mematikan cysticercosis. Kontrol Taenia sp, perbaikan infrastruktur bersih, pemeriksaan daging perkakas, mencegah kontaminasi perdagangan daging babi, penyuluhan tentang kebiasaan hidup sehat dan mencuci tangan, menghindari pangan terkontaminasi.


Aspek Veteriner
Sapi merupakan induk semang antara T.saginata. sapi dapat tertular per os lewat rumput atau air minum tercemar tinja manusia. Telur T. Saginata terdiri atas 2 lapisan yang berisi embrio atau oncospher (mempunyai 6 kait). Apabila tertelan oleh sapi, oncospher dilepaskan dalam lumen usus melalui proses enzimatik. Oncospher menembus dinding usus, kemudian lewat sirkulasi mencapai predileksinya, yakni urat daging(otot), jantung, rahang lidah dan diafragma. Dalam otot ini terbentuk larva yang disebut cysticercosis bovis.
Babi merupakan induk semang antara T.solium. babi tertular per os lewat makanan atau minum yang tercemar tinja manusia. Di daerah tempat ternak babi dibiarkan berkeliaran dan belum tersedia jamban, babi sering tertular langsung dari tinja manusia. Bentuk larva cacing pita pada otot babi disebut Cysticercus cellulosae. Larva ini berukuran 20x10 mm berwarna putih seperti beras, sehingga di Bali dikenal sebagai penyakit Beberasan. Bentuk larva akan menjadi infektif dalam waktu 9-10 minggu. Mausia tertular lewat makan daging kurang matang yang mengandung larva infekif ini.



DAFTAR PUSTAKA

Levine. Norman D., 1994. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press :
Yogyakrta.
Robertson R.S. 1976. Handbook on Animal Disease In The Tropics. Edisi ke-3. Burgess
& Son Ltd : Abingdon
Soeharsono. 2002. Zoonosis. Kanisius : Yogyakarta.

CHLAMYDIOSIS


CHLAMYDIOSIS

Sinonim
Louisiana pneumonitis, ornithosis, psittacosis, parrot disease, parrot fever, Chlamydophila psittaci infection, Chlamydia psittaci infection, Papageienkrankheit, psittacose, Chlamydophilosis.

Etiologi
Chlamydiosis adalah penyakit unggas yang akut, sangat menular, disebabkan oleh chlamydia psittaci. Taksonomi dari chlamydia psittaci, yaitu
Kingdom : Bacteria
Phylum : Chlamydiae
Order : Chlamydiales
Family : Chlamydiaceae
Genus : Chlamydophila
Species : C. psittaci
Chlamydia merupakan bakteri gram negatif, berbentuk spherical, diameter 0,4-0,6 mikron dan merupakan parasit obligat intraselluler, non motil, hanya dapat berkembang biak di dalam sel eukariot hidup dengan membentuk semacam koloni atau mikrokoloni yang disebut Badan Inklusi (BI). Berdasarkan virulensinya diketahui adanya beberapa macam galur. Galur yang berasal dari burung merpati bervirulensi rendah, yang berasal dari Psittacideae bervirulensi tinggi sedangkan yang berasal dari kalkun ada yang bervirulensi tinggi dan ada pula yang rendah.
Chlamydia hanya dapat memperbanyak diri di dalam sel. Chlamydia membelah secara binari fision dalam badan intrasitoplasma.


Elementari body dari Chlamydia psittaci di sitoplasma sel hepatosit
Berdasarkan taxonomi saat ini family Chlamydiaceae terbagi menjadi 2 genus yaitu :

1. Chlamydia yang terbagi menjadi 4 spesies yaitu ;
C. trachomatis: manusia
C. suis: babi
C. muridarum: tikus, hamster

2. Chlamydophila
C. pneumoniae: manusia,
C. pecorum: ruminan, babi, koala, ewes, kambing
C. psitaci: dulunya Chlamydia psittaci unggas, mamalia, manusia jarang
C. caviae: marmut
C. felis: strain C. psittaci yang menginfeksi kucing
C. abortus: serotype 1 strain Chlamydia psittaci (Everett and Andersen, 1997; Everett et al., 1999; Meijer et al., 1997; Pudjiatmoko et al., 1997; Hartley et al., 2001)

Tabel 1. Pembagian famili dari Chlamydiaceae
Species Hospes Jalur Penularan
Chlamydia
C. muridarum Mouse, hamster Pharyngeal, genital
C. suis Babi Pharyngeal
C. trachomatis Manusia Pharyngeal, ocular, genital, rectal
Chlamydophila
C. abortus Mamalia Oral, genital
C. caviae Marmut Pharyngeal, ocular, genital, urethral
C. felis Kucing Pharyngeal, ocular, genital
C. pecorum Mamalia Oral
C. pneumonia Manusia, katak, koala, horse Pharyngeal, ocular
C. psittaci Burung Pharyngeal, ocular, genital
(Everet,2000)

Antigen pada permukaan chlamydia dapat diklasifikasikan sebagai lipopolisakarida (LPS) dan Major Outer Membrane Protein (MOMP) yang merupakan antigen spesifik Chlamydia.
Heat Shock Protein (HSP) yang terkode secara genetik berhubungan dengan respon imunopatologik. Namun sampai sekarang belum jelas apakah respon antibodi terhadap CHSP 60 memang terlibat dalam imunopatologik chlamydia atau semata-mata sebagai pertanda infeksi chlamydia yang persinten.

Gambar 1. Siklus perkembangan dari Chlamydia
Distribusi
Dari penelitian ditemukan pertama kali di Swiss, kemudian di Prancis dan Jerman, psittacosis pada manusia menjadi sebuah penyakit yang menarik perhatian dunia pada tahun 1929-1930 ketika terjadi di 12 negara dan menyerang 750 sampai 800 orang (Meyer, 1942). Pemeriksaan hati-hati dilakukan Roubkine (1930) dan Barros (1940) mengindikasikan bahwa burung beo America Selatan adalah sumber dari infeksi ini. Penemuan tersembunyi pada psittacosis lokal pada betet, merpati, angsa, ayam bebek, camar dan burung lainnya oleh Meyer dan Eddie (1933, 1947, 1951) menyebabkan ketidakstabilan dari impor burung-burung eksotis. Levinthal ( 1930) secara simultan menemukan waktu badan menyebar di dalam sel retikulo-endotelial, dan Bedson dan Bland ( 1932) dengan meyakinkan membuktikan hubungan yang etiologik dari elementary bodies ke infeksi/peradangan. Pengujian agen virus di dahak penderita psittacosis ( Rivers dan Berry, 1935) membantu prosedur diagnostik. Suatu test netralisasi memungkinkan Hillman ( 1945) untuk membedakan hubungan yang antigenik dari beberapa mamalia dan burung tertentu. Pengamatan terbaru pada wawancara pribadi ke pribadi yang tinggi dari agen psitacosis like memberi kepercayaan kepada hipotesis yang bukan avian, dan mungkin galur manusia, berperanan dalam ekologi psittacosis ( Eaton et Al., 1941; Meiklejohn et Al., 1944; Olson dan Treuting, 1944; Zichis dan Shaughnessy, 1945; Yeatman Dan McEwin, 1945; de Gara Dan Furth, 1948).
Survey pada tahun 1982, C.psittaci diisolasi dari 20-50 % burung peliharaan yang dinekropsi di California dan Florida. (http:/www.cfsph.iastate.edu,2003). Pada tahun 1982 dan 1991 terjadi 1344 kasus Chlamydiosis pada manusia yang dilaporkan oleh Center for Disease Control. Pada tahun 1993 terjadi ekspose Chlamydiosis pada burung peliharan dalam sangkar. (Duncan,1995)
Dua isolasi klinis pertama C. pneumoniae diidentifikasi dari strain TW-183 yang diisolasi dari konjungtiva anak Taiwan tahun 1965 dan strain AR-39 yang diisolasi dari anak sekolah dengan faringitis tahun 1986. (Melintira dkk,2003)
Gabungan dua strain isolasi ini secara resmi dikenal dengan nama C. pneumoniae strain taiwan acute respiratory tract (TWAR) tahun 1989 merupakan penyebab penting pneumonia. (Melintira dkk,2003)


Gambar 2. Peta persebaran C.trachomatis di dunia

CARA PENULARAN
Biasanya sumber penularan bagi manusia adalah burung beo dan burung -burung lainnya, termasuk bebek, kalkun dan merpati. Strain domba dapat menginfeksi wanita hamil. Infeksi terjadi melalui penghirupan aerosol atau debu yang terinfeksi oleh kontaminasi dari kotoran burung, sekret hidung atau produk domba selama kehamilan atau abortus. C. psittaci dapat bertahan hidup dalam debu selama beberapa bulan. Penularan dari orang ke orang dari burung atau strain domba adalah jarang. Wabah terjadi diantara kandang burung, pekerja di pusat karantina, pekerja pengolahan unggas dan dokter hewan.
Pembawa tendon utama adalah burung yang mengeluarkan C. psittaci dalam fesesnya dan sampai derajat tertentu dalam cairan hidung.keluarnya bibit penyakit secara sporadik namun biasanya dirangsang oleh stres. Status sebgai pembawa dapat bertahan sampai bertahun-tahun. Bakteri tahan terhadap pengeringan, mempermudah penularan oleh aerososl. Penularan lewat mulut dari induk ke anak pada beberapa spesies burung. Terjadi juga penularan antar manusia biasanya lewat saliva pasien. Suatu kejadian pada manusia berkaitan dengan kucing yang menderita pneumonitis.
Penularan biasanya terjadi karena kontak, baik langsung maupun tidak langsung. Kontak langsung terjadi antara unggas dengan unggas ataupun antara unggas dengan orang, sedang kontak tidak langsung terjadi karena pencemaran berbagai macam alat dan perlengkapan, baik oleh tinja maupun berbagai ekskret yang berasal dari penderita. Penyakit initidak ditularkan melalui telur. Penularan melalui udara masih menjadi tanda tanya. Diduga unggas yang bermigrasi dan biasa memenuhi permukaan air dipantai bertindak sebagai penyebar penyakit didunia. Unggas yang telah sembuh tetap bertindak sebagai pembawa penyakit untuk selama 42 hari setelah gejala hilang.

Kejadian dan Penyakit Pada Manusia
Tabel 3. Penyakit pada manusia yang disebabkan oleh Chlamydia

Chlamydiosis pada manusia (psittacosis) dilaporkan oleh Centers for Disease Control and Prevention , Atlanta , USA (CDC) dari tahun 1988 sampai 1998 dilaporkan terdapat 813 kasus. Di Jerman psittacosis dilaporkan 790 kasus dari tahun 1995 sampai 2000, di Denmark chlamydiosis pada manusia dilaporkan 57 kasus dari tanggal 1 September 1995 sampai 31 Desember 1998 dan 30 kasus pada tahun 1999. Di Italia dilaporkan 76 kasus psittacosis pada manusia di 12 rumah sakit antara Oktober 1981 sampai Februari 1985, di Swedia dilaporkan dari tahun 1973 sampai 1977 terdapat 336 kasus, di United Kingdom dilaporkan 587 kasus dari tahun 1977 sampai 1979 (Sanco,2002)
Ada tiga spesies dari genus Chlamydia yang menimbulkan penyakit pada manusia, yaitu Chlamydia trachomatis, Chlamydia pneumoniae dan Chlamydia psittaci.
1. Chlamydia trachomatis
Chlamydia trachomatis merupakan agen penyebab penyakit trachoma, penyakit oculogenital, infant pneumonia dan lymphogranuloma venereum (LGV). Chlamydia trachomatis dibagi menjadi 3 biological variants (biovars), yaitu trachoma, LGV dan mouse pneumonitis.

Table 1
Serovar Disease Distribution
A B Ba C Trachoma Asia and Africa
D - K Disease of eye and genitals:
Conjunctivitis
Urethritis
Cervicitis
Respirtaory System:
Infant pneumonia World wide
LGV1 LGV2 LGV3 Lymphogranuloma venerium (LGV) Worldwide


 Patogenesis
Chlamydia trachomatis menginfeksi sel-sel kolumner yan tidak bersilia. Bakteri ini merangsang infiltrasi sel-sel polimorfonuklear dan limfosit yang akan merubah formasi folikel limfoid dan pergantian jaringan fibrotic.
 Epidemiologi
1. Infeksi Ocular
C.trahomatis (biovar:trachoma) ditemukan di seluruh dunia terutama di daerah padat dan banyak orang miskin. Bakteri ini diperkirakan menyerang 500 juta orang di seluruh dunia dan 7-9 juta orang menjadi buta akibat bakteri ini. C.trachoma biovar: trachoma adalah endemic di Afrika, Asia Tengah, India dan Asia Tenggara. Di United States dan penduduk asli Amerika yang paling sering terinfeksi. Infeksi sering terjadi pada anak-anak. Bakteri ini dapat ditularkan melalui pakaian dan tangan yang terkontaminasi, dan melalui saluran kelahiran yang terinfeksi.
2. Infeksi Saluran Genital
a. C.trachomatis (biovar: trachoma) merupakan penyakit bacterial yang ditularkan secara seksual di United States (4 juta kasus setiap tahun) dan 50 juta kasus baru terjadi di seluruh dunia. Di United States, infeksi terbesar terjadi pada penduduk asli Amerika dan orang Afrika yang tinggal di Amerika dengan insidensi tertinggi pada umur belasan tahun / dibawah 20 tahun.


b. C.trachomatis (biovar:trachoma) merupakan penyakit yang ditularkan secara seksual dan terjadi secara sporadic di United States tetapi lebih prevalensi di Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Manusia adalah hospes alami untuk penyakit ini. Insidensi dari penyakit ini adalah 300-500 kasus pertahun di United States.
 Clinical Syndrome
1. Trachoma
Penyakit ini bersifat kronis disebabkan C.trachomatis (biovar:trachoma) yang menyebabkan keradangan pada conjunctiva. Trachoma berasal dari kata ‘trakhus’ yang berarti kasar dan merupakan karakteristik yang terlihat pada conjunctiva. Keradangan di jaringan juga mengganggu aliran air mata yang memiliki peranan sebagai mekanisme pertahanan terhadap bakteri. Infeksi sekender juga serinmg terjadi pada penyakit ini.

Gambar : Keratoconjunctivitis

Gambar: Terlihat garis berwarna putih di tarsal conjunctiva
2. Inclusion conjunctivitis
Inclusion conjunctivitis disebabkan oleh C.trachomatis (biovar:trachoma) bersama dengan infeksi genital (serovars: D-K). Karakteristik dari infeksi ini adalah mukopurulent discharge, infiltrat kornea dan terkadang vaskularisasi kornea. Kasus kronis sering terjadi. Pada neonatal, infeksi terjadi melalui salularan kel;ahiran yang terinfeksi dan akan terlihat setelah 5-12 hari. Infeksi pada telinga dan rhinitis bisa menyertai penyakit pada daerah ocular.
3. Infant pneumonia
Infant pneumonia merupakan pneumonia yang menyerang bayi. Infant pneumonia disebabkan oleh C.trachomatis (biovar:trachoma;serovars:D-K). Gejala klinis yang muncul pada anak-anak adalah batuk tetapi tidak demam. Penyakit ini sering didahului oleh neonatal conjunctivitis.
4. Ocular lymphogranuloma venereum
Ocular lymphogranuloma venereum disebabkan oleh infeksi LGV serova C.trachomatis (biovar:LGV) yang dapat menyebabkan oculoglandular conjunctivitis dan lymphadenopathy.
5. Infeksi Urogenital
Pada wanita infeksi biasanya tidak terlihat / asimptomatik (80%) tetapi gejala yang dapat terlihat termasuk cerviitis, urethritis, dan salpingitis. Demam setelah melahirkan akan dialami oleh seorang ibu. Sesudah 3 minggu periode inkubasi, penderita akan mengalami urethral discharge, dysuria dan pyuria. Kira-kira 35-50 % urethritis non-gonocoal disebabkan C.trachomatis (biovar:trachoma). Post-gonooccal urethritis dapat terjadi pada pria yang terinfeksi oleh Neisseria gonorrhoeae dan C.trachomatis. Gejala dari chlamydial akan muncul sesudah dilakukan pengobatan terhadao gonorrhoeae karena masa inkubasinya lebih panjang. Hampir 40 % wanita yang tidak dilakukan pengobatan akan menyebabkan keradangan pada pelvis dan sekitar 20 % wanita akan infertil dan sekitar 18% kasus pada wanita yang tidak dilakukan pengobatan akan menyebabkan penyakit kronis pada daerah pelvis.

Histopatologi pada lesi plasenta. Tanda panah → vilitis acuta

Imunohistokimia dari chlamydial antigen ( tanda panah ) (www.smw.ch)
6. Reiter’s syndrome
Gejala-gejala yang muncul dari Reiter’s syndrome adalah conjunctivitis, polyarthritis dan radang pada alat genital. Kira-kira 50-65 % dari penderita akan menimbulkan infeksi yang bersifat akut yang ditandai dengan adanya athritis.
7. Lymphogranuloma venereum (C.trachomatis biovar:LGV)
Lesi yang paling menciri dari LGV adalah tidak ada rasa sakit dan adanya lesi vesicular inconspicuous yang terlihat di tempat infeksi, sering di penis atau vagina. Penderita juga akan mengalami demam, sakit kepala dan myalgia. Tahap kedua dari infeksi ini adalah adanya keradangan pada saluran limfonodus. Nodus menjadi lebih luas dan terasa sakit. Keradangan pada limfonodud dapat disertai dengan adanya demam, sakit kepala, dan myalgia.
 Diagnosis
Diagnosis yang dilakukan untuk mendeteksi penyakit ini yaitu dengan melakukan diagnosis laboratorium. Diagnosis laboratorium meliputi :
1. Cytology
Dengan mendeteksi adanya inklusi bodi, tetapi metode ini kurang sensitif dibandingkan dengan metode yang lain.
2. Culture
Culture adalah metode paling spesifik untuk melakukan diagnosis terhadap infeksi C.trachomatis.
3. Antigen detection
Menggunakan Direct immunofluorescence dan ELISA kit yang digunakan untuk mendeteksi adanya LPS atau protein membran lapisan luar.
4. Serology
Metode ini dilakukan untuk mengetahui dan menghitrung titer antibodi IgM dalam tubuh, titer yang tinggi menunjukkan terinfeksi. Deteksi antibodi IgM baik dilakukan pada neonatal.
 Pengobatan dan Pencegahan
Tetracycline, erythromycin dan sulfonamide. Menjaga sanitasi lingkungan yang baik merupakan salah satu upaya yang baik dalam mencegah penyebaran penyakit ini. Lakukan hubungan sexual secara aman untuk mengindari penyebaran penyakit ini lewat genital
2. Chlamydia psittaci
Chlamydia psittaci adalah agen penyebab psittacosis (parrot fever). Penyakit ini pertama kali ditularkan melalui burung beo, tetapi reservoir alami dari C.psittaci adalah bermacam-macam burung. Penyakit ini bisa juga disebut dengan ornithosis dari bahasa Yunani yang berarti ’burung’.

 Patogenesis
Saluran respirasi merupakan pintu gerbang masuknya C.psittaci. Infeksi ini terjadi melalui inhalasi organisme dari burung yang terinfeksi atau melalui kotorannya. Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi. Dari paru-paru, bakteri akan masuk ke dalam aliran darah kemudian akan di bawa menuju hati dan limpa. Bakteri kemudian akan melakukan replikasi dan menyebabkan nekrosis focal dan menyebar secara hematogenous di paru-paru dan organ-organ lainnya. Terdapat juga respon keradangan lymphocytic di alveoli dan ruang interstitialis yang akan menimbulkan edema, infiltrasi macrofag, nekrosis dan terkadang hemoragi dan juga adanya sumbatan mukus di alveoli yang dapat menyebabkan cyanosis dan anoxia.



 Epidemiologi
Kira-kira ditemukan 50-100 kasus psittacosis yang terjadi setiap tahun di United States dan yang paling terbanyak terinfeksi adalah orang dewasa. Bakteri ini dapat ditemukan pada jaringan, feses, dan bulu burung.Dokter hewan, pekerja di toko hewan kesayangan (pets shop) merupakan orang yang beresiko tinggi yang dapat terinfeksi.

 Gejala Klinis
Keadaan sakit akan muncul sesudah masa inkubasi yaitu 7-15 hari. Gejala-gejala yang muncul yaitu demam, kedinginan, sakit kepala, batuk dan pneumonitis ringan. Kasus ringan pada penyakit ini terjadi setelah 5-6 minggu sesudah terjadinya infeksi. Infeksi yang bersifat asimptomatis sering terjadi. Pada kasus yang berat, dapat menyebabkan konvulsi, koma dan kematian (5%) dapat terjadi. Pada penyakit ini dapat menyebabkan komplikasi antara lain carditis, hepatomegali dan splenomegaly.

 Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan menggunakan tes serologi

 Pengobatan dan Pencegahan
Obat-obat yang dapat digunakan yiatu tetracycline secara per oral (100 mg doxycycline 2 kali sehari atau 500 mg tetracycline hydrochloride yang diberikan 4 kali sehari). Selain itu, dapat pula diberikan doxycycline hyclate secara intra vena dengan dosis 4,4 mg/kg berat badan diberikan dua kali (masing-masing 100 mg per dosis).

3. Chlamydia pneumoniae
Chlamydia pneumoniae merupakan agen penyebab dari pneumonia atypical. Bakteri ini dapat menyebabkan pharyngitis, bronchitis, sinusitis dan atheroslerosis. Bakteri ini berasal dari strain TWAR yang berasal dari dua isolat –Taiwan (TW-183) dan isolat dari respirasi akut AR-39.
 Patogenesis
Bakteri ini dapat ditularkan dari manusia ke manusia melalui droplet respirasi dan menyebabkan bronchitis, sinusitis dan pneumonia.
 Epidemiologi
Infeksi dilaporkan 200.000 – 300.000 kasus baru setiap tahun, terutama menyerang orang dewasa. Sebuah laporan (Juni 1996) di Journal Of American College Of Cardiology melaporkan tingkat insidensi yang tinggi pada penderita atherosclerosis (79% dibandingkan dengan 4% kelompok kontrol).
 Gejala Klinis
Gejala-gejala yang tampak antara lain pharyngitis, bronchitis, batuk persisten. Infeksi yang lbih berat dapat mengakibatkan pneumonia, biasanya pada satu lobus.
 Diagnosis
Metode culture sulit dilakukan sehingga tes serologi yang paling sering dilakukan untuk mendeteksi organisme penyebab penyakitnya.
 Pengobatan dan Pencegahan
Tetracycline dan Erithromycin (Murray et al,2007)



Kejadian pada hewan
Tabel 5. Chlamydia yang menginfeksi dan menyebabkan penyakit

(Andersen ,1996)

Avian Chlamydiosis

Etiologi: Chlamydophila psittaci
Transmisi Chlamydia psittaci ke manusia dapat terjadi tapi tingkat kejadian sangat kecil. Transmisi atau penularan C. pecorum ke manusia belum pernah terjadi karena belum dapat dibuktikan secara nyata. (Porpisil, L dan Canderle, C.2004.)
Chlamydiosis burung pada manusia jarang yang bersifat fatal. Infeksi Chlamydiosis domba yang mengenai wanita hamil dapat mengancam jiwa, mengakibatkan abortus lambat atau kematian neonates dan koagulasi intravaskuler yang luas pada ibu.
Penyakit bervariasi mulai dari penyakit seperti influenza dengan demam, sakit kepala, nyeri otot, dan persendian yang berlangsung selama beberapa hari sampai ke pneumonia yang tidak khas dan dapat terjadi endokarditis dan hepatis yang berlangsung beberapa minggu.

Kejadian
Seluruh dunia menyerang lebih dari 100 spesies burung. Masalah utama yang dijumpai di Amerika Serikat adalah sebangsa nuri, kalkun, merpati, bebek di Eropa. Beberapa jenis burung misalnya finches, pipit sangat rentan, ayam tahan. Peranan chlamydia bagi penyakit mamalia tidak jelas. Laju infeksi rendah pada burung liar, meningkat dengan bertambahnya populasi dan stress lain. Yang muda lebih rentan kecuali manusia. Pada burung, pembawanya banyak, sanitasi jelek, ventilasi yang tidak cukup dapat mempermudah penyebaran.

Distibusi
Avian chlamydiosis ditemukan tersebar luas di seluruh dunia. Chlamydophila psittaci ditemukan pada burung-burung di daerah tropis dan sub tropis. Infeksi Chlamydophila psittaci juga ditemukan pada burung beo dan parkit di daerah tropis dan Australia. Avian chlamydiosis ditemukan pada burung merpati, burung camar di daerah Great Britain, pada unggas air, dan pada burung-burung di sekitar daerah pantai di laut Caspian, dan ditemukan pada unggas air, burung bangau, burung camar, burung dara di United States. Survey pada tahun 1982, C.psittaci diisolasi dari 20-50 % burung peliharaan yang dinekropsi di California dan Florida.(http:/www.cfsph.iastate.edu,2005).

Transmisi
Transmisi C. psittaci paling banyak secara inhalasi, yaitu menghirup debu yang infeksius da secara ingesti. Persebaran chlamydiosis juda dapat lewat gigitan serangga, tapi sedikit sekali, dan dapat ditularkan lewat caplak, mungkin ini merupakan transmisi mekanik yang penting. Burung dapat sebagai pembawa asymptomatic. Satu bentuk dari C. psittaci , yaitu elementary body dapat bertahan hidup didalam feses selama beberapa bulan.
Periode Inkubasi
Masa inkubasi 1-15 hari

Gejala Klinis
Nuri
Sering akut, kematian pada 50-90% infeksi yang fatal.
Parkit
lesu, sayap menggantung, menggigil, lemah, diarea encer kehijauan sedikit berdarah, anoreksia,
Kalkun
Hampir sama dengan parkit, juga kurangnya produksi telur, terkadang angka kematian tinggi. Kebanyakan infeksi subklinis 5-80 % infeksi terjadi dalam kandang burung, 2-5% galur memiliki virulensi rendah terhadap manusia.
Pada kalkun, terlihat gejala depresi, hilang nafsu makan, tinja berwarna seperti belerang atau hijau. Kalkun penderita tergolek dengan posisi tulang dada menyentuh tanah, disebabkan karena rasa yang amat nyeri di daerah perut. Dalam waktu 2-8 minggu, sebagian besar kalkun yang berada dalam 1 kelompok memperlihatkan gejala penyakit ini. Angka kesakitan pada kalkun dapat mencapai 80% sedang angka kematian berkisar antara 10-30%. Pada burung betet dan sebangsanya, gejala yang istimewa ialah diare, sedang di dalam otaknya terdapat pendarahan.
Perubahan Histopatologi

Nekrosis sel-sel hepatosit dan infiltrasi sel radang (heterofil) pada hepar



Sumber Infeksi
Cara Penularan
Biasanya sumber penularan bagi manusia adalah burung beo dan burung -burung lainnya, termasuk bebek, kalkun dan merpati. Infeksi terjadi melalui penghirupan aerosol atau debu yang terinfeksi oleh kontaminasi dari kotoran burung, sekret hidung atau produk domba selama kehamilan atau abortus. C. psittaci dapat bertahan hidup dalam debu selama beberapa bulan. Penularan dari orang ke orang dari burung atau strain domba adalah jarang. Wabah terjadi diantara kandang burung, pekerja di pusat karantina, pekerja pengolahan unggas dan dokter hewan.
Pembawa tendon utama adalah burung yang mengeluarkan C. psittaci dalam fesesnya dan sampai derajat tertentu dalam cairan hidung.keluarnya bibit penyakit secara sporadik namun biasanya dirangsang oleh stres. Status sebgai pembawa dapat bertahan sampai bertahun-tahun. Bakteri tahan terhadap pengeringan, mempermudah penularan oleh aerosol. Penularan lewat mulut dari induk ke anak pada beberapa spesies burung. Terjadi juga penularan antar manusia biasanya lewat saliva pasien. Suatu kejadian pada manusia berkaitan dengan kucing yang menderita pneumonitis.
Penularan biasanya terjadi karena kontak, baik langsung maupun tidak langsung. Kontak langsung terjadi antara unggas dengan unggas ataupun antara unggas dengan orang, sedang kontak tidak langsung terjadi karena pencemaran berbagai macam alat dan perlengkapan, baik oleh tinja maupun berbagai ekskret yang berasal dari penderita. Penyakit initidak ditularkan melalui telur. Penularan melalui udara masih menjadi tanda tanya. Diduga unggas yang bermigrasi dan biasa memenuhi permukaan air dipantai bertindak sebagai penyebar penyakit didunia. Unggas yang telah sembuh tetap bertindak sebagai pembawa penyakit untuk selama 42 hari setelah gejala hilang.

Lesi post mortem
Lesi post mortem pada burung meliputi pneumonia, airsacculitis, hepatitis, myocarditis, epicarditis, nephritis, peritonitis dan sphlenitis. Di Turkey, lien menjadi besar dan mengalami kongesti serta ditemukan beberapa lesi. Terjadi kongesti vaskuler, fibrinous airsacculitis, fibrinous pericarditis, pneumonia fibrousa dengan adanya kongesti dalam pulmo perihepatitis fibrinous. Pada burung merpati, ditemukan lesi yang disertai dengan hepatomegali, airsacculitis, enteritis dan conjunctivitis. Lien juga mengalami ruptur. Pada burung yang dipelihara dalam kandang, hati mengalami pembesaran dan berwarna kuning yang disertai dengan fokal nekrosis. Lien menjadi besar dengan foci berwarna putih. Airsacculitis, pericarditis, dan kongesti pada saluran pencernaan dapat ditemukan pada spesies burung yang dipelihara dalam kandang. (http:/www.cfsph.iastate.edu,2005)

Gambar. Lien yang membesar (atas) dan hati (bawah) karena Chlamydiosis
(Franson and Pearson,1995)

Gambar. Pericarditis karena Chlamydiosis
(Franson and Pearson,1995)

Diagnosis
Klinis
Hewan tampak lesu dan tidak menimbulkan tanda-tanda yang spesifik bahwa tersebut menderita chlamydiosis.
Diagnosa differensial
Di Turkey, diagnosa differensial meliputi influenza, aspergillosis, fowl cholera, dan Mycoplasma gallisepticum. Pada burung yang hidup di sangkar (kandang), infeksi Chlamydia psittaci disertai dengan infeksi herpesvirus, paramyxovirus, influenza dan Enterobacteriaceae. Sampel dari burung semestinya dikultur, untuk mengetahui penyebab penyakit, seperti Salmonella, Pasteurella, Mycoplasma dan bakteri atau virus.. (http:/www.cfsph.iastate.edu,2005).

Test Laboratorium
Chlamydiosis dapat didiagnosisdengan cara mengisolasi Chlamydia psittaci dari burung yang terinfeksi. Chlamydia psittaci dapat dikultur pada telur berembrio, hewan percobaan atau pada sel kultur seperti buffalo green monkey (BGM), African green monkey (Vero), McCoy atau sel L. Organisme dapat diidentifikasi secara langsung dengan menggunakan immunofluorescence atau teknik yang lainnya.
Hewan percobaan yang digunakan untuk isolasi adalah embrio ayam, mencit, serta marmot. Dalam biakan jaringan embrio ayam, Chlamydia psittaci sangat mudah tumbuh dan dalam konsentrasi yang cukup. Diagnosa harus dilakukan banding dengan penyakit kolera unggas.
Chlamydiosis juga dapat didiagnosa dengan menemukan Chlamydia psittaci pada jaringan, feses atau eksudat secara histochemical atai immunohistochemical. ELISA juga bisa dapt digunakan untuk diagnosa, tetapi kurang sensitif atau dapat bereaksi silang dengan bakteri gram negatif lainnya. Teknik diagnosa lainnya, yaitu dengan menggunakan PCR dan PCR-RFLP.
Uji serologi juga dapat membantu untuk meneguhkan diagnosa. Paling sedikit membutuhkan 4 sampel. Komplemen fiksasi adalah tes standar. Uji yang lain meliputi ELISA, latex agglutination (LA), elementary body agglutination (EBA), micro-immunofluorescence (MIFT) dan agar gel tes immunodiffusi. Tes EBA hanya untuk mendeteksi adanya IgM.(http:/www.cfsph.iastate.edu,2005).

Pencegahan dan Pengendalian
Manusia
Karantina burung-burung yang terinfeksi. Menyediakan ventilasi yang baik bagi proses pertumbuhan unggas. Pemanasan bulu-bulu. Pendidikan para pekerja yang terpapar. Pembuangan yang aman dari burung-burung yang terinfeksi. Wanita hamil sebaiknya menghidari kontak dengan kawanan domba yang sedang beranak di daerah yang enzootic. Menerapkan prosedur laboratorium yang aman selama menangani sekelompok spesies burung.
Hewan
Pencegahan pada unggas adalah sulit karena terjadi infeksi ulang dari burung-burung liar yang terinfeksi. Memberikan pengobatan tetrasiklin jangka lama pada burung-burung import yang dikarantina dalam makanannya untuk memusnahkan kariernya. Pada domaba, dipelihara dalam kelompok tertutup dan divaksinasi tiap tahunnya. Mengisolasi biri-biri betina yang abortus sampai pengeluaran cairannya terhenti.
Burung yang sembuh rentan. Praktek sanitasi, ventilasi dan pengelolaan yang baik mengurangi stress dan menghambat penyebaran. Obati semua hewan dengan antibiotika, beri pengobatan tambahan secra profilaktik, control aliran udara dalam lab.
Burung untuk ekspor walau tidak memperlihatkan tanda penyakit harus diberi pengobatan selama 2 minggu di karantina denga chlortetrasiclin dengan kadar 0,5 mg/gram, juwawut berchlortetracyclin atau dicampur makanan dengan dosis 0,5g/kg makanan.
Vaksinasi belum dapat dilakukan, karena belum ada vaksin yang efektif. Satu-satunya cara adalah, menerapkan prinsip sanitasi yang baik dalam peternakan. Orang dan juga unggas liar diusahakan agar tidak memasuki daerah peternakan. Usahakan agar unggas yang berbeda umur tidak dicampur dalam satu flok. Unggas yang sakit harus dimusnahkan.

Pengobatan
Kalkun yang satu kelompok dengan yang diduga sakit, dapat diobati dengan chlortetracyclin (CTC) dengan dosis 200-400 g/ton makanan selama 3 minggu.
Pemakaian biji kecil : biji jewawut yang sudah dikupas dengan 0,05% klortetrasiklin (CTC) selama 45 hari. Pemakaian biji besar : mimis kering terdiri atsa 50% nasi dan 50% pakan lain dengan 0,05% CTC selama 45 hari. Merpati : 96 bagian pakan 4 bagian 22% CTC, basahi secukupnya agar berlekatan, 30 hari. Kalkun : 400gram CTC/ton, 3 minggu(mengurangi kematian pada merpati namun tidak membersihkan jaringan). (William,1991)

Feline Chlamydiosis
Feline Chlamydiosis, dikenal juga dengan sebutan feline pneumonitis (radang paru-paru pada kucing), biasanya menyebabkan gangguan saluran pernafasan bagian atas yang relatif ringan tetapi kronis (lama). Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Chlamydia psitacii. Tanda-tanda utama penyakit ini biasanya radang/sakit pada mata, disertai cairan kotoran mata berlebihan. Infeksi ini menyebabkan juga pilek, bersin dan kesulitan bernafas yang disebabkan radang paru-paru. Bila tidak diobati, infeksi bisa menjadi kronis, berlangsung selama beberapa minggu hingga beberapa bulan. Selain chlamydia, virus feline rhinotracheitis dan feline calicivirus termasuk organisme yang menyebabkan penyakit gangguan pernafasan bagian atas pada kucing. Chlamydia menyebabkan sekitar 10-15 % dari total kasus gangguan pernafasan pada kucing. (Anonim,2001)
Tanda-tanda penyakit ini baru muncul bila bakteri menyerang mata dan saluran pernafasan.
Gejala klinis :
• Kurang/hilangnya nafsu makan
• Batuk
• Sesak nafas atau kesulitan bernafas
• Demam
• Radang paru-paru ( pada kitten umur 2-4 bulan dapat menyebabkan kematian)
• Hidung berwarna merah disertai pilek
• Bersin-bersin
• Mata merah, bengkak dan berair
(Anonim,2001)

Bakteri Chlamydia terdapat di seluruh dunia dan menyebabkan penyakit pada sekitar 5 – 10 % dari seluruh populasi kucing. Penyakit ini sering menyerang kucing muda (kitten umur 2 – 6 bulan), tempat penampungan hewan atau tempat dengan populasi kucing lebih dari satu. Wabah sering terjadi pada pemeliharaan kucing yang terlalu padat, nutrisi yang kurang baik dan tempat/kandang dengan ventilasi yang kurang. Bakteri yang menyebabkan Chlamydiosis menular ke kucing lain melalui cairan pilek atau kotoran mata, penularan biasanya melalui beberapa cara sebagai berikut :
• Kontak dengan objek yang terkontaminasi bakteri seperti kandang, makanan, tempat makan/minum, pakaian pemilik dan tangan pemilik.
• Kontak dengan mulut, hidung atau kotoran mata kucing yang terinfeksi.
• Bersin dan batuk yang bisa menyebarkan virus dalam radius 3.5 meter
(Anonim,2001)
Chlamydiosis pada kambing

Etiologi
Chlamydiosis pada kambing disebabkan Chlamydia psittaci.

Gejala Klinis
Gejala klinis yang paling terlihat pada kambing yaitu aborsi selama kehamilan terakhir, stillbirth atau kelahiran premature. Pada infeksi percobaan ditemukan leleran pada vagina sehari sebelum terjadinya keguguran. Setelah terjadi aborsi, akan terlihat adanya leleran berwarna coklat keluar dari vagina. Frekuensi terjadinya aborsi dan penurunan produksi air susu dapat mencapai 30 % bahkan dapat mencapai 90 %. Pada fetus tidak terlihat lesi makroskopik spesifik.Perubahan pascamati pada kambing yaitu adanya cairan berwarna merah darah di cavum abdominal dan cavum pleura dan hemoragi petechiae pada lidah. Chlamydia psittaci menyebabkan abortus pada kehamilam trisemester terakhir.

Cara Penularan
Penularan chlamydiosis pada kambing melalui placenta dan cairan fetus pada saat terjadinya aborsi. Penyebaran Chlamydia pada kambing dapat melalui cairan vagina yang keluar dua minggu sebelum aborsi atau dua minggu sesudah aborsi. Kambing yang umur kehamilan kurang dari 100 hari akan lebih rentan terserang Chlamydia. Kambing yang dilahirkan yang berasal dari induk yang terinfeksi akan menjadi carrier yang dapat menularkan ke kambung yang lain.

Diagnosis
Sebelum dilakukan diagnosis laboratorium, dilakukan pengambilan specimen yang dapat diambil dari placenta atau leleran vagina. Diagnosis Chlamydia pada kambing dilakukan dengan menggunakan metode immunofluorescence. Selain itu, dapat juga menggunakan metode ELISA dan PCR.


Pengobatan
Tetracycline dapat mempengaruhi replikasi dari Chlamydia dan efektif dalam mencegah keguguran. Selain itu, dapat juga menggunakan oxytetracycline 20 mg/kg yang diberikan secara intramuscular pada hari ke 105 dan 120 kebuntingan dapat mencegah terjadinya aborsi tetapi tidak dapat mencegah penyebaran Chlamydia pada fetus.
(www.ivis.org)

Kejadian di Indonesia
Di Indonesia, penyakit ini belum pernah didiagnosa. Mengingat terdapat banyaknya berbagai macam jenis burung Psittacidae, maka dapat diperkirakan penyakit ini kemungkinan besar juga terjadi di Indonesia.
Prevalensi Chlamydia di kalangan PSW lokalisasi yaitu 20%, sedangkan pada PSW jalanan 12%, penelitian sebelumnya di Jember dan Tulung Agung (Jawa Timur) prevalensi rata-rata Chlamydia 16.1%. Jadi hasil di lokalisasi lebih tinggi dibanding sebelumnya, tetapi pada PSW di jalanan lebih rendah. (Rahardjo,2004)


DIAGNOSIS
Chlamydia psittaci
Hewan percobaan yang digunakan untuk isolasi adalah embrio ayam, mencit, serta marmot. Dalam biakan jaringan embrio ayam, Chlamydia psittaci sangat mudah tumbuh dan dalam konsentrasi yang cukup. Diagnosa harus dilakukan banding dengan penyakit kolera unggas.

Chlamydia trachomatis
Untuk menunjukkan adanya infeksi genital oleh C. trachomatis bahan pemeriksaan harus diambil uretra atau serviks dengan menggunakan swab kapas dengan tangkai metal. Pada wanita C. trachomatis lebih sering dapat diisolasi di serviks dari pada uretra.

Sampai tahun 1980-an diagnosis infeksi C. trachomatis terutama berdasarkan pada isolasi organisme dalam biakan sel jaringan. Ini merupakan metode tradisional untuk diagnosis laboratorium dan tetap sebagai metode pilihan untuk spesimen medikolegal dimana sensitifitas diperkirakan 80-90 % dan spesitasnya 100 %. Yang dapat digunakan adalah sel-sel Mc. Coy yaitu sel-sel yaitu sel-sel fibroblas tikus (L-cells).
Biakan sel dapat juga digunakan mencari bahan inklusi Chlamydia dengan bantuan grup spesifik fluorescein - labelled antibodi monoklonal terhadap C.trachomatis. Prosedur ini membutuhkan mikroskop fluorescens.

o Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan dalam gelas objek diwarnai dengan pewarnaan giemsa atau larutan jodium dan diperiksa dengan mikroskop cahaya biasa. Pada pewarnaan Giemsa, Badan Inklusi (BI) terdapat intra sitoplasma sel epitel akan nampak warna ungu tua,sedangkan dengan pewarnaan yodium akan terlihat berwarna coklat. Jika dibanding dengan cara kultur, pemeriksaan mikrosopik langsung ini sensitifitasnya rendah dan tidak dianjurkan pada infeksi asimtomatik.

Gambar hasil pewarnaan jaringan yang ditemukan chlamydia
http://niah.naro.affrc.go.jp/disease/EM/atlas/myco-chlam/chlamydia/chlamydia.jpg



Deteksi Antigen Langsung
Dikenal 2 cara pemeriksaan antigen yaitu :
1. Direct Fluorescent Antibody (DFA)
Cara ini merupakan test non-kultur pertama dimana C. trachomatis dapat ditemukan secara langsung dengan metode monoklonal antibodi yang dilabel dengan fluorescein. Dengan teknik ini chlamydia bebas ekstraseluler yang disebut badan elementer (BE) dapat ditemukan. Kadang-kadang juga dapat ditemukan badan inklusi intrasitoplasmik. Cara ini tidak dapat membedakan antara organisme mati atau hidup, tetapi keuntungannya tidak membutuhkan biakan sel jaringan dan hasilnya dapat diketahui dalam 30 menit.
2. Enzym Immuno Assay (EIA)
Banyak tes-tes yang tersedia saat ini menggunakan teknik ini. Tidak seperti DFA, EIA bersifat semiautomatik dan sesuai digunakan untuk memproses spesimen dalam jumlah besar.
Serologik
Tes serologik tidak digunakan secara rutin dan luas untuk diagnosi infeksi traktus genitalis chlamydial kecuali untuk LGV, oleh karena dijumpai prevalensi antibodi pada populasi seksual aktif yang mempunyai resiko tinggi terhadap infeksi C. trachomatis, yaitu berkisar 45 - 60 % dari individu yang diperiksa. Walaupun tidak selalu dijumpai pada setiap kasus infeksi genital tanpa komplikasi, antibodi terhadap C. trachomatis biasanya timbul setelah infeksi dan dapat menetap selama bertahun-tahun. Respon Ig M dapat dilihat pada infeksi episode pertama.
Berbagai teknik serologik diaplikasikan untuk mempelajari infeksi clamydial antara lain :
1. Complement Fixation (CFT)
CFT menggunakan antigen “group” chlamydia untuk mendeteksi serum antibodi terhadap semua anggota genus ini. Konsekuensinya, deteksi antibodi terhadap antigen lipopolysacharida chlamydial tidak dapat membedakan antara infeksi C. trachomatis dengan C. psittaci dan juga tidak cukup sensitif untuk deteksi antibodi terhadap C. pneumonia.
2. Microimmunofluorescence (MIF)
MIF menggunakan antigen chlamydial purifikasi tertentu yang ditempatkan diatas slide kaca bereaksi dengan serum penderita. Test ini sensitif dan spesifik, dimana pada sebagian besar kasus dapat memberikan informasi mengenai serotype infeksi C. trachomatis.

Selain di serum, antibodi dapat juga ditemukan pada sekresi lokal tubuh lainnya seperti air mata dan sekresi genital. Antibodi C. trachomatis dapat diklasifikasikan menurut Ig (Ig M, Ig G dan Ig A) dengan teknik ini. Respon Ig M merupakan ciri infeksi akut dan terutama digunakan dalam diagnosis infant chlamydial pneumonia. Hasil serologik chlamydial biasanya diinterprestasikan sebagai berikut :
Infeksi akut ; titer Ig M > l ; 8 dan/atau peningkatan 4 kali lipat atau lebih, atau penurunan titer Ig G. Infeksi kronik ; titer Ig G tetap tinggi > l : 256.

Test DNA Chlamydia
1. DNA Hibridisasi (DNA Probe)
Test ini sensitifitasnya kurang dibandingkan metode kultur yaitu 75-80% dan spesifitas lebih dari 99 %.

2. Nucleic Acid Amplification.
Teknik amplifikasi nukleat yang terbanyak dipakai yaitu : Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Ligase Chain Reaction (LCR). Test ini memiliki sensitifitas dan spesifisitas tinggi, dan dapat menggunakan non-invasif spesimen seperti urine untuk menskrining infeksi asimtomatik pada wanita maupun pria.
(Karmila,2001)

Chlamydia pneumonia
Pada pemeriksaan fisis paru didapatkan ronki dan mengi. Pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan laju endap darah (LED), hitung leukosit, walaupun pada banyak kasus didapatkan normal. Gambaran klasik foto toraks pada infeksi bakteri atipik yaitu infiltrat unilateral, subsegmental dan interstisial tanpa konsolidasi merupakan gambaran foto toraks yang tidak banyak membantu secara diagnostik. (Melintira dkk,2003)
Guckle dkk.menemukan infiltrat interstisial, konsolidasi yang unilateral atau bilateral. Chlamydia pneumoniae biasanya didiagnosis secara serologis sedangkan isolasi sangat sulit. (Melintira dkk,2003)
Pemeriksaan microimmunofluorescence (MIF) terbukti merupakan pemeriksaan serologis terbaik untuk mendeteksi infeksi akut Chlamydia. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi imunoglobulin M (IgM), IgG, IgA terhadap antigen Chlamydia. (Melintira dkk,2003)
Kriteria diagnosis serologis infeksi Chlamydia yaitu pada infeksi akut didapatkan peningkatan empat kali titer IgG antara serum sampel yang diperoleh pada masa akut dan sembuh (convalescence) atau dari spesimen tunggal, titer IgM 1/16 atau titer IgG 1/512, dengan titer IgG sebelum dan setelah infeksi 1/16 dan <1/512. Infeksi kronik didefinisikan dengan titer IgM <1/16, IgG 1/16 sampai 1/256. Uji serologis antibodi IgA terhadap C. pneumoniae berguna juga untuk mendeteksi infeksi persisten pada asma karena waktu paruh (half life) IgA serum kurang dari satu minggu. Infeksi ulang (reinfeksi) C. pneumoniae berkaitan dengan IgA spesifik C.pneumoniae. (Melintira dkk,2003)
Cunningham dkk. melaporkan IgA sekretori spesifik terhadap C. pneumoniae yang diperoleh dari aspirat nasal anak dengan minimal empat kali eksaserbasi asma lebih tinggi dibandingkan dengan satu kali eksaserbasi. Titer IgA positif didefinisikan sebagai titer 1/16. (Melintira dkk,2003)
Chlamydia dapat juga diisolasi dari apusan tenggorok, nasofaring, sputum dan cairan pleura pasien pneumonia, bronkitis dan asma.
Chlamydia dapat tumbuh lebih mudah dalam biakan pada sel yang berasal dari jaringan respirasi khususnya sel Hep-2 dan HL. Biakan dapat tumbuh dalam 4-7 hari. Chlamydia juga dapat diisolasi dalam biakan sel HeLa atau McCoy.
Beberapa studi menggunakan pemeriksaan PCR untuk mendeteksi C. pneumoniae. Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan dengan biakan. (Melintira dkk,2003)


PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
• Manusia
Karantina burung-burung yang terinfeksi. Menyediakan ventilasi yang baik bagi proses pertumbuhan unggas. Pemanasan bulu-bulu. Pendidikan para pekerja yang terpapar. Pembuangan yang aman dari burung-burung yang terinfeksi. Wanita hamil sebaiknya menghidari kontak dengan kawanan domba yang sedang beranak di daerah yang enzootic. Menerapkan prosedur laboratorium yang aman selama menangani sekelompok spesies burung.

• Hewan
Pencegahan pada unggas adalah sulit karena terjadi infeksi ulang dari burung-burung liar yang terinfeksi. Memberikan pengobatan tetrasiklin jangka lama pada burung-burung import yang dikarantina dalam makanannya untuk memusnahkan kariernya. Pada domaba, dipelihara dalam kelompok tertutup dan divaksinasi tiap tahunnya. Mengisolasi biri-biri betina yang abortus sampai pengeluaran cairannya terhenti.
Burung yang sembuh rentan. Praktek sanitasi, ventilasi dan pengelolaan yang baik mengurangi stress dan menghambat penyebaran. Obati semua hewan dengan antibiotika, beri pengobatan tambahan secra profilaktik, control aliran udara dalam lab.
Burung untuk ekspor walau tidak memperlihatkan tanda penyakit harus diberi pengobatan selama 2 minggu di karantina denga chlortetrasiclin dengan kadar 0,5 mg/gram, juwawut berchlortetracyclin atau dicampur makanan dengan dosis 0,5g/Kg makanan.
Vaksinasi belum dapat dilakukan, karena belum ada vaksin yang efektif. Satu-satunya cara adalah, menerapkan prinsip sanitasi yang baik dalam peternakan. Orang dan juga unggas liar diusahakan agar tidak memasuki daerah peternakan. Usahakan agar unggas yang berbeda umur tidak dicampur dalam satu flok. Unggas yang sakit harus dimusnahkan.



• Tindakan administrasi
Bila ditemukan kejadian Chlamydiosis, diharuskan melapor kepada dinas peternakan daerah tingkat I, yang selanjutnya diteruskan kepada direktorat jenderal peternakan. Hewan yang menderita Chlamydiosis harus dimusnahkan. Peneguhan diagnosa dilakukan oleh Lembaga/Laboratorium yang berwenang. Bila ada penularan pada manusia, diharuskan melapor kepada dinas kesehatan setempat.

Pengobatan
Kalkun yang satu kelompok dengan yang diduga sakit, dapat diobati dengan chlortetracyclin (CTC) dengan dosis 200-400 g/ton makanan selama 3 minggu.
Pemakaian biji kecil : biji jewawut yang sudah dikupas dengan 0,05% klortetrasiklin (CTC) selama 45 hari. Pemakaian biji besar : mimis kering terdiri atsa 50% nasi dan 50% pakan lain dengan 0,05% CTC selama 45 hari. Merpati : 96 bagian pakan 4 bagian 22% CTC, basahi secukupnya agar berlekatan, 30 hari. Kalkun : 400gram CTC/ton, 3 minggu(mengurangi kematian pada merpati namun tidak membersihkan jaringan). Manusia : 1-2 gram CTC setiap hari selama 21 hari. Tanggapan terhadap terapi biasanya baik, selama pengobatan kandungan kalsium makanan harus rendah. (William,1991)

Pengobatan untuk C. trachomatis:
Doxycycline 100 mg/hari selama 7 hari (kontraindikasi pada kebuntingan)
Azithromycin 1 gram peroral dalam dosis tunggal
Regimen alternatif : digunakan jika obat diatas kontraindikasi.
Erytromicin 500 mg/2 kali sehari selama 10-14 hari
Ofloxacin 200 mg/2 kali sehari atau 400 mg/hari selama 7 hari
(Karmila,2001)




DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2001.Feline Chlamydiosis.www.animalhealthchannel.com

Anonim.2002.Avian Chlamydiosis As a Zoonotic Disease and Risk Reduction Strategies.

Andersen, Arthur R.1996.Are chlamydiae swine pathogens?. Swine Health and Production – Volume 4, Number 6

Becker,Yechiel.1978.Chlamydia.Medmicro Chapter 39

Duncan, April.1995.Chlamydiosis.www.addl.purdue.edu

Franson,J.Christian.1995.Chlamydiosis. Field Manual of Wildlife Diseases: Birds
http://www.ivis.org/advances/disease_tempesta/rodolakis_chlamydiosis/ivis.pdf.
Karmila,Nelva.2001.Infeksi Chlamydia Trachomatis.http:/library.usu.ac.id

Melintira,Ira,dkk.2003.Peranan Infeksi Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae terhadap Eksaserbasi Asma . Cermin Dunia Kedokteran No. 141
Murray,2006,Medical Microbiology 3rd edition,chapter 44

Pospisil L,J.Canderle.2004.Chlamydia (Chlamydophila) pneumoniae in animals:a review. Vet.Med-Czech, 49, 4004 (4):129-134

Rahardjo,Eko.2004. Diagnosis Laboratorium Infeksi Saluran Reproduksi dari Para Pekerja Seksual Wanita di Banyuwangi Juni 2003. Cermin Dunia Kedokteran No. 145, 2004
Sanco,2002,Avian Chlamydiosis As Zoonotic Disease and Risk Reducation Strategies Eropean Commision Healthand Customer Protection Directorate General.

Schnurrenberger, Paul R dan Hubbert, William T. 1991. Ikhtisar zoonosis.Bandung: ITB

file://localhost/F:/Bahan%20Chlamydiosis/feline%20chlamydiosis.htm

http://www.med.sc.edu:85/mayer/chlamyd.htm

Gambar
http://niah.naro.affrc.go.jp/disease/EM/atlas/mycochlam/chlamydia/chlamydia.jpg