A. Pendahuluan
Rabies merupakan encephalitis viral yang bersifat fatal, ditransmisikan dari hewan ke hewan atau dari hewan ke manusia (zoonosis) melalui gigitan hewan yang gila. Rabies dapat digolongkan sebagai penyakit strategis karena merugikan baik dari segi ekonomi maupun kesehatan masyarakat. Keberadaan rabies di Indonesia dilaporkan pertama kali oleh Schorl pada tahun 1884 di Bekasi pada seekor kuda, kemudian disusul laporan Esser tahun 1889 pada kerbau di Bekasi. Tahun 1890 Penning melaporkan kasus rabies pada anjing di Tangerang, sedangkan kasus rabies pada manusia dilaporkan oleh de Haan pada tahun 1894 di Cirebon (Hardjosworo, 1984).
Saat ini kasus rabies telah tersebar luas di seluruh tanah air, kecuali 4 propinsi yang masih dinyatakan bebas, yakni Bali, Nusa Tenggara Barat, Irian Jaya dan Maluku (Dharma dkk., 2000). Beberapa tahun kemudian Kepulauan Maluku tidak lagi bebas dari rabies. Pada akhir 1997, pulau Flores (Nusa Tenggara Timur) tertular rabies akibat masuknya anjing secara ilegal dari Buton, Sulawesi Tenggara. Hingga akhir Agustus 2000 sebanyak 2784 orang digigit anjing tersangka, dan sebanyak 85 orang di antaranya meninggal. Sementara dari kurun waktu 1996-1999, jumlah kasus gigitan anjing di Sulawesi mencapai 12.573, dan 16% dari jumlah tersebut dikonfirmasi sebagai rabies (Suwarno, 2005).
Pada tahun 2000-2004, beberapa propinsi di Indonesia masih dinyatakan tertular rabies, yaitu Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam (Balai Penelitian Penyakit Hewan Wilayah I 2000); Sumatera Barat, Riau dan Jambi (Balai Penelitian Penyakit Hewan Wilayah II 2000); Bengkulu, Lampung dan Sumatera Selatan (Marfiatiningsih dan Hassan 2000); Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur (Hadi et al 2003); serta Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (Faizal et al 2004). Menurut Supriyatna (1997), berdasarkan perhitungan tahun 1995 kerugian akibat rabies secara langsung mencapai Rp 7 miliar tiap tahun. Meskipun pengendalian penyakit rabies telah dilakukan oleh pemerintah, namun kejadian rabies di beberapa daerah masih tetap tinggi. Di Sumatera Barat, pada tahun 1994 tercatat 592 kasus dan tahun 1995 tercatat 540 kasus. Kasus rabies di wilayah tersebut menyebabkan 9 orang meninggal dunia pada tahun 1994 dan 15 orang pada tahun 1995 (Kurniadhi, P. 2005).
Rabies disebabkan oleh Rhabdovirus yang mencapai CNS melalui nervus perifer. Virus tersebut memiliki predileksi utama pada neuron, dengan negri bodies terlihat pada neuron yang besar sebagai sel yang berbentuk piramidal di dalam hipocampus. Partikel tersebut menyebabkan multifocal polioencephalomyelitis dengan infiltrasi mononuklear perivaskuler. Lokasi predileksi utama adalah brain stem dan chorda spinalis. Pada syaraf spinalis ditandai dengan peningkatan paresis ataupun paralisis spinal. Refleks spinal akan terdepress. Diagnosa perbandingan untuk paralisis adalah tick paralysis (paralisis yang disebabkan oleh kutu), botulisme, dan coonhound paralysis.
Di antara hewan ternak, sapi adalah yang paling sering terserang. Syaraf spinal ditandai dengan kelumpuhan persendian kaki belakang, goyangan pinggul ketika berjalan, penurunan sensasi rasa (terutama pada anggota gerak belakang), kelemahan ekor, paralisa anus, tenesmus, sering berbaring, dan kematian akan berlangsung tidak kurang dari 48 jam. Gejala serupa dapat juga terlihat pada domba. Kuda dan babi umumnya memperlihatkan gejala hiperaktif. Paralisis terminal dan kematian sering terjadi pada hewan ternak (Fraser, C.M., 1986).
Rabies selain berbahaya bagi hewan ternak (sapi, kambing, domba, babi, kuda dan ayam), hewan piaraan (anjing, kucing dan kera) atau hewan liar (tikus, serigala, ajax, musang dan bison) juga dapat menyerang manusia. Rabies ditularkan melalui gigitan hewan (anjing) yang gila dan virus dapat disebarkan oleh beberapa jenis kelelawar (Suwarno, 2005).
Beberapa negara yang bebas terhadap rabies untuk beberapa tahun antara lain UK, Irlandia, Swedia, Norwegia, Finlandia, Islandia, Jepang, Australia, New Zealand, Irian Jaya, Papua Nugini, Singapura (Anonim, 2005).
B. Etiologi
Rabies merupakan penyakit viral encephalomyelitis akut yang disebabkan oleh Rhabdovirus. Penyakit ini sering menyerang anjing, kucing, kelelawar, dan karnivora liar lainnya, dan sebenarnya semua hewan berdarah panas rentan terhadap penyakit ini. Penyakit rabies telah tersebar di seluruh dunia, bersifat endemik dan sewaktu-waktu dapat berubah menjadi epidemik karena disebarkan oleh kelelawar, anjing, rubah, dan rakun.
Sejak ditemukannya teknik antibodi monoklonal, virus rabies telah menjadi antigen yang relatif jarang didapat. Sekarang telah diketahui bahwa isolat yang terdapat dalam tubuh kelelawar ternyata berbeda dengan strain yang telah ada, sementara strain di dalam tubuh rakun dan hewan lain di Amerika Timur adalah sama, kecuali yang berasal dari virus rubah. Penemuan ini mempermudah pengkajian epidemiologi dari rabies, dan sangat penting untuk penyelenggaraan vaksinasi.
1. Klasifikasi
Virus rabies tergolong ordo Mononegavirales, dengan ciri-ciri :
· tidak bersegmen
· genom RNA untai negatif
· berbentuk peluru
Ordo Mononegavirales diklasifikasikan dalam famili Rhabdoviridae, dan termasuk di antaranya 3 genus virus yang menyerang hewan, yaitu Lyssavirus, Ephemerovirus, dan Vesiculovirus. Genus Lyssavirus mencakup virus rabies , Lagos bat virus, virus Mokola, virus Duvenhage, European bat virus 1 & 2 dan Australian bat virus (Anonim, 2003h).
2. Struktur
Virus rabies termasuk virus ss-RNA dari golongan Rhabdoviridae, memiliki ukuran 75 x 180 nm dengan panjang genom 12.000 bp. Genom rabies mengkode 5 protein, yakni nukleoprotein (N), phosphoprotein (P), protein matriks (M), glikoprotein (G) and polymerase (L); dua protein berada pada amplop (G dan M) dan tiga protein pada nukleokapsid (L, N, dan P). Berat molekul protein berturut-turut adalah 64-68 kD, 24-25 kD, 190 kD, 60 kD, dan 40-45 kD (Suwarno, 2005).
Semua Rhabdovirus memiliki 2 struktur utama: sebuah helical ribonucleoprotein core (RNP) dan sebuah envelope yang mengelilinginya. Dalam RNP, genom RNA secara kuat terbungkus oleh nukleoprotein.
Protein viral lainnya, yaitu phospoprotein dan protein besar (L-protein atau polymerase) yang berhubungan dengan RNP. Glikoprotein membentuk ± 400 spike trimerik yang menyusun permukaan virus. Protein M berhubungan dengan envelope dan RNP menjadi protein sentral.
Gb.6. Siklus Infeksi dan Replikasi Virus Rabies (Anonim. 2003h) )
Virus rabies dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas dan hampir semua kejadian infeksinya akan berakhir dengan kematian. Rabies sapi penting di Amerika Tengah dan Selatan, dimana lebih dari 1 juta sapi diperkirakan mati tiap tahunnya. Rabies anjing masih tetap penting di banyak bagian dunia, virus dalam air liur anjing yang terinfeksi menyebabkan sebagian besar dari perkiraan 75.000 kasus rabies pada manusia yang terjadi tiap tahun diseluruh dunia. Di banyak negara Eropa, di Amerika Serikat dan Kanada, rabies hewan liar makin lama makin penting artinya. Rabies terdapat di seluruh dunia, kecuali di Australia, Jepang, Inggris, dan banyak pulau kecil seperti Hawaii dan sebagian besar pulau di Kepulauan Karibia. (Fenner, F.J., 1993)
C. Isolasi dan Identifikasi
1. Isolasi virus
Sampel virus dibuat suspensi 10% dengan PBS yang mengandung 2% FBS. Sebagai pembanding digunakan virus rabies strain Pasteur (fixed virus) dan virus rabies strain CVS, yang telah dikarakterisasi sifat virusnya. Virus diisolasi pada sel ginjal anak hamster (BHK21) dan sel neuroblastoma (NA). Suspensi otak hewan penderita rabies diinokulasikan sebanyak 0,2 ml pada sel BHK21 maupun sel NA yang telah konfluen pertumbuhannya (jumlah sel = 1 x 10 8). Kultur kemudian diinkubasikan pada suhu 33°C selama 1 jam, selanjutnya ditambahkan medium penumbuh (DMEM yang mengandung FCS 0,5%, Hepes 24 mM, NaHCO3 25 mM, Penstrep 100 IU/ml) dan diinkubasi lagi. Empat hari setelah inokulasi, media dipanen dan disimpan pada –60 °C sampai dipergunakan.
2. Identifikasi Virus Rabies
Sampel virus dibuat suspensi 10% dengan PBS yang mengandung 2% FBS. Sebagai pembanding digunakan virus rabies strain Pasteur (fixed virus) dan virus rabies strain CVS, yang telah dikarakterisasi sifat virusnya. Virus diisolasi pada sel ginjal anak hamster (BHK21)
Isolat virus rabies dari daerah Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur yang ditumbuhkan pada sel BHK21 dan neuroblastoma, selanjutnya diuji dengan teknik indirect sandwich-ELISA dan direct-FAT.
a.Indirect sandwich-ELISA
Antibodi kelinci anti-virus rabies dilapiskan pada mikroplat dengan pengenceran 1/1000 menggunakan coating buffer, sebanyak 100 µl/sumuran. Mikroplat diinkubasi pada suhu 4 °C selama satu malam. Berikutnya, mikroplat dicuci dengan washing buffer sebanyak 6 kali dan di-blocking dengan creamer 4%, kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C selama 1 jam. Pasca inkubasi, mikroplat dicuci kembali dan ditambahkan supernatan dari kultur sel yang diinfeksi isolat virus rabies sebanyak 100 µl/sumuran. Inkubasi mikroplat pada suhu 37 °C selama 1 jam dan dicuci kembali. Selanjutnya ditambahkan antibodi kedua (antibodi mencit antivirus rabies) pada pengenceran 1/10.000 sebanyak 100 µl/sumuran dan diinkubasi pada suhu yang sama. Mikroplat dicuci kembali dan ditambahkan konjugat IgG rabbit antimice berlabel enzim alkalin fosfatase (1:10.000), sebanyak 100 µl/sumuran dan diinkubasi lagi. Setelah itu dicuci lagi dan ditambahkan substrat p-NPP (1mg/ml) sebanyak 100 µl/sumuran. Inkubasi dilakukan pada suhu kamar pada ruang gelap selama 1 jam dan pembacaan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 405 nm.
b. Direct-FAT
Sel neuroblastoma yang telah diinokulasi isolat virus rabies dipreparasi pada objek gelas dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 2 jam dalam inkubator. Sel kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali dan difiksasi dengan aseton selama 10 menit pada suhu kamar. Pasca inkubasi dilakukan pencucian dengan PBS dan ditambahkan konjugat IgG goat antinucleoprotein rabies yang berlabel FITC sebanyak 50 µl dan inkubasi 30 menit dalam inkubator 37 °C. Berikutnya slide dicuci dengan FA rinse buffer pH 9,0, direndam selama 10 menit dan dikeringkan. Sebelum slide kering, dilakukan mounting dengan penambahan FA mounting fluid (gliserol/FA rinse buffer, pH 9,0 (50/50) ) dan dibaca dengan mikroskop fluorescent pada perbesaran 100x, 200x, dan 400x (Suwarno, 2005).
D. Mode Transmisi
Virus ini dapat diperoleh dari CNS dan glandula salivarius, sama baik dengan yang diperoleh dari jaringan hewan yang terinfeksi. Di alam, virus ini ditransmisikan dari hewan ke hewan melalui liur yang dikeluarkan pada saat menggigit hewan lainnya. Kemungkinan yang jarang terjadi adalah transmisi dengan cara kontaminasi virus melalui udara ke tubuh yang mengalami luka. Rabies juga bisa ditransmisikan ke manusia melalui aerosol di laboratorium, misalnya dari kandang kelelawar. Pernah dilaporkan, 5 orang meninggal dunia setelah meliput berita dan melakukan dokumentasi terhadap rabies.
Beberapa anjing yang terkena rabies seringkali tidak dibunuh dan hanya dipindahkan ke daerah lain sehingga virus yang diinkubasi oleh anjing tersebut akan menyebar (Windiyaningsih, C., 2004). Virus ini dapat berada di air liur dan akan ditransmisikan oleh hewan yang telah terinfeksi beberapa hari setelah munculnya gejala klinis.
D. Masa Inkubasi
Masa inkubasinya bervariasi, tetapi umumnya berkisar antara 15-50 hari. Pada beberapa kasus, bahkan sampai beberapa bulan.
E. Patogenesis
Sebagian besar infeksi disebabkan oleh air liur yang menyerang otot ataupun membran mukosa. Dengan mengikuti periode replikasi, kemungkinan ketika separuh dari masa inkubasi, virus ini akan dialirkan secara sentripetal melalui nervus perifer dan syaraf spinal menuju ke otak. Waktu interval antara inokulasi virus pada suatu tempat akan digunakan oleh virus tersebut untuk menginfiltrasi serum hyperimmune pada tempat tersebut. Virus ini biasanya dibawa dengan arah sentrifugal dari CNS dan mencapai glandula salivarius melaui inervasi nervus ke daerah tersebut. Inilah yang menyebabkan virus ini sering ditemukan pada glandula salivarius, bukannya di otak. Distribusi lewat sirkulasi darah dapat terjadi namun jarang ditemukan. Walaupun penyakit ini dapat berakibat fatal, namun kesembuhan tetap dapat terjadi pada beberapa hewan dan manusia.
Virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui gigitan atau kadang-kadang cakaran hewan penderita rabies atau jika air liur yang mengandung virus dari hewan penderita rabies mengenai luka yang terbuka. Virus dapat masuk secara langsung ke dalam ujung saraf yang ada di tempat gigitan, atau pada otot. Setelah itu masuk ujung syaraf tepi. Genom virus selanjutnya berpindah secara sentripetal dalam sitoplasma dari akson sistem syaraf tepi sampai mencapai sistem syaraf pusat, biasanya di sumsum tulang belakang. Masuknya virus ke dalam sumsum tulang belakang dan kemudian otak (khususnya sistem pinggang) berkaitan dengan gejala klinis tidak berfungsinya syaraf (Fenner, F.J., 1993).
Biasanya, bersamaan dengan infeksi saraf pusat yang menyebabkan keberingasan, virion juga dilepaskan oleh bagian puncak dari sel penghasil lendir pada kelenjar ludah dan selanjutnya berada dalam konsentrasi tinggi pada air liur. Pada beberapa kasus, virus dikeluarkan ke dalam air liur beberapa hari (terkadang 14 hari) sebelum timbulnya gejala klinis pada kasus yang lain, atau virus mungkin tidak pernah ada dalam air liur, bahkan sampai akhir stadium penyakit.
Selama berlangsungnya rabies, respon imun spesifik dan keradangan inang tidak banyak dirangsang, barangkali karena infeksinya tidak merusak sel pada otot dan sistem syaraf, dan karena infeksinya sebagian besar terpusat pada lingkungan sistem syaraf yang terpisah secara imunologik. Setelah mati, kecuali untuk infiltrasi sedang dari sel radang mononuklear pada sistem syaraf, hanya akan terdapat sedikit bukti histologi adanya respon inang terhadap infeksi.
Selanjutnya pada hewan yang mengalami infeksi secara percobaan, antibodi penetralisasinya mencapai level yang bermakna hanya menjelang kematiannya, ketika sudah terlambat untuk menolongnya, dan dapat membantu dalam immunopatologi dari penyakit (Fenner, F.J., 1993).
F. Gejala Klinis
Hewan peka yang menunjukkan tanda spesifik dengan sedikit variasi abnormal, yaitu diantaranya karnivora, ruminansia, kelelawar, dan manusia. Gejala klinis, terutama pada anjing, dapat dibedakan dalam 3 fase :
· Prodormal phase
· Excitative phase
· Paralytic phase
Terminologi ‘furious form’ artinya hewan yang mengalami fase eksitasi pre-dominan, dan ‘dumb’ atau ‘paralytic rabies’ artinya anjing yang mengalami fase eksitasi pendek ataupun tidak sama sekali sehingga penyakit ini akan melanjut secara cepat menuju fase paralisis. Pada kebanyakan hewan, tanda pertama adalah perubahan tingkah laku, dimana kemungkinan hewan tidak dapat membedakan makanan yang akan dimakan, terluka, terdapat benda asing pada mulut, keracunan, ataupun infeksi penyakit awal. Perubahan temperatur tidak signifikan dengan ketidakmampuan menahan air liur. Hewan umumnya akan berhenti makan dan minum lalu menyendiri. Seringkali, ditemukan iritasi ataupun stimulasi pada traktus urogenital, yang ditandai dengan seringnya urinasi, ereksi pada hewan jantan, dan meningkatnya libido. Setelah periode prodormal selama 1-3 hari, hewan akan menampakkan gejala paralisis dan berubah menjadi buas. Karnivora, babi, dan kuda akan menggigit sesamanya. Sapi akan mendorong dan menendang benda-benda di sekitarnya. Penyakit ini akan melanjut sangat cepat setelah melewati fase paralisis.
Bentuk Paralisis : Ditandai dengan paralisis awal dari tenggorokan dan musculus masseter, biasanya diikuti dengan hipersalivasi dan ketidakmampuan untuk berjalan secara seimbang. Anjing pada kondisi ini akan sering meletakkan kepalanya di lantai. Seringkali pemilik akan memeriksa mulut anjing atau sapi miliknya dengan tangan kosong, untuk memeriksa apakah ada benda asing. Pada saat inilah hewan akan mulai menjadi buas dan menggigit. Paralisis akan menjalar secara cepat ke seluruh tubuh, hewan akan mengalami koma, kemudian kematian akan terjadi setelah beberapa jam kemudian.
Bentuk Buas : Rabies bentuk ini sudah klasik ditemukan dan dikenal sebagai ‘mad-dog syndrome’ dimana hewan menjadi irrasional, buas serta agresif. Ekspresi wajah menjadi tajam dan gelisah, dengan dilatasi pupil, dan penciuman yang tajam. Hewan akan kehilangan konsentrasi dan lupa pada musuh alaminya. Disini tidak ada paralisis selama fase eksitasi. Umumnya jarang ada anjing yang mampu melewati 10 hari setelah munculnya gejala ini. Anjing dengan penyakit rabies bentuk ini akan melarikan diri ke jalanan, dan menggigit hewan lain, manusia, dan benda-benda lainnya. Mereka akan sulit membedakan antara feses, buah, batang, dan bebatuan. Anjing rabies akan mengunyah kawat dan perisai kandang untuk mengasah gigi mereka, dan akan mengikuti gerakan tangan di depan kandang mereka mencoba untuk menggigit. Anjing kecil biasanya akan menjauhi kerumunan orang dan bermain sendiri, tetapi jika dibelai akan menggigit pada akhirnya, dan berubah menjadi buas beberapa jam kemudian. Selama penyakit ini berlanjut, hewan akan mengalami inkoordinasi otot dan konvulsi. Kematian adalah hasil terakhir dari lanjutan paralisis.
Kucing domestik dapat dengan tiba-tiba menyerang, menggigit, dan mencakar dengan buas. Rubah juga seringkali tiba-tiba menyerbu dengan jarak beberapa yard dari rumah, menyerang anjing dan manusia. Tingkah laku irrasional bagi rubah untuk menyerang landak. Penemuan bulu landak pada sekitar mulut rubah, pada beberapa kasus, dapat meneguhkan diagnosa penyakit rabies. Rubah yang terinfeksi rabies akan tertarik pada hewan ternak yang kebetulan lepas, dan kemudian akan menyerang mereka di luar areal peternakan.
Rabies pada sapi umumnya diikuti oleh gejala yang sama, namun bentuk kebuasannya akan lebih berbahaya, karena disamping menyerang mereka juga akan memburu dan mengejar manusia ataupun hewan lain yang berada di sekitarnya.
Kuda akan memperlihatkan pengaruh yang lebih ekstrim, yaitu dengan berguling-guling di tanah seperti kasus indigesti. Seperti spesies lainnya, mereka akan menggigit dan menginjak dengan ganas, karena ukuran tubuh dan kekuatannya, menjadi tidak terkontrol dalam beberapa jam. Seringkali mereka juga akan melukai dirinya sendiri.
Kelelawar vampir biasanya terbatas dan hanya ditemukan di sekitar Amerika Selatan, Trinidad, Amerika Tengah, dan Mexico. Hewan ini akan terbang dan dapat tiba-tiba menyerang hewan lain, kecuali untuk makan. Makanan asli mereka adalah darah segar. Walaupun yang lebih disukai adalah hewan ternak, bukan berarti mereka tidak menyerang hewan lain, termasuk manusia, dengan menggigit dan menghisap darah dari bekas luka gigitan tersebut.
Gejala klinis rabies mirip pada sebagian besar spesies, tetapi sangat bervariasi antara individu. Setelah terjadi gigitan hewan penderita rabies, masa inkubasinya biasanya antara 14 sampai 90 hari, tetapi dapat jauh lebih lama. Masa inkubasi 2 tahun telah dilaporkan pada kucing, dan empat kasus pada manusia telah diperkirakan di negara industri dengan masa inkubasi terbukti dari setidaknya 11 bulan sampai 6 tahun. Pada masing-masing kasus manusia itu, virusnya diketahui merupakan genotip anjing dari negara berkembang (Fenner, F.J., 1993).
Virus rabies menginfeksi CNS sehingga mampu menyebabkan encephalopathy dan kematian. Gejala klinis awalnya tidak spesifik, meliputi demam, sakit kepala, dan tidak enak badan. Dan proses selanjutnya pasien akan mengalami insomnia, kecemasan, kebingungan, paralisis ringan atau parsial, eksitasi, halusinasi, agitasi, hipersalivasi, kesulitan menelan, dan hydrophobia (takut air). Kematian biasanya terjadi beberapa hari setelah gejala klinis pertama terdeteksi (Anonim., 2003c).
Terdapat fase prodomal sebelum tampaknya penyakit klinis, yang seringkali tidak teramati pada hewan atau hanya dapat disimpulkan dari adanya perubahan tingkah laku. Dikenal dua bentuk klinis penyakit, yaitu: bentuk beringas (hewan menjadi gelisah) dan bentuk loyo atau paralisis. Pada bentuk beringas, hewan menjadi gelisah, gugup, agresif dan seringkali berbahaya karena mereka tidak lagi mempunyai rasa takut kepada manusia dan menggigit segala sesuatu yang menarik perhatiannya. Hewan ini seringkali tidak mampu menelan air, yang menyebabkan penyakit ini disebut juga sebagai “Hidrofobia” (takut air). Sering terjadi pengeluaran air liur secara berlebihan, respon berlebihan terhadap sinar dan suara, dan hiperestesia. Dengan terjadinya encephalitis, keganasan berubah menjadi kelumpuhan, dan hewan memperlihatkan gejala klinis yang sama dengan yang dijumpai pada penyakit bentuk loyo. Pada akhirnya, sering terjadi badan kejang-kejang, koma, dan terhentinya pernafasan, dengan kematian yang terjadi 2–7 hari setelah dimulainya gejala klinis. Anjing, kucing dan kuda lebih banyak menderita penyakit bentuk beringas daripada sapi atau ruminansia lainnya maupun spesies hewan laboratorium (Fenner, F.J., 1993).
G. Diagnosis
Dalam usaha penyidikan dan peneguhan diagnosis terhadap kasus rabies, Direktorat Kesehatan Hewan telah membuat pedoman pemeriksaan kasus rabies yakni meliputi: uji pewarnaan Seller’s (tahap I), fluorescent antibody technique (FAT, tahap II), dan uji biologis mouse inoculation test (MIT, tahap III). Tahapan secara serial ini harus dilakukan secara berurutan untuk menemukan hasil positif berupa virus rabies atau gejala dari infeksi rabies (Suwarno, 2005).
Diagnosa klinik dapat dimungkinkan namun sangat sulit, pada stadium Prodormal rabies dapat disalahkaprahkan dengan penyakit lain. Ketidakmampuan untuk menahan air liur pada semua spesies hewan diperkirakan karena adanya obstruksi di daerah kerongkongan, terdapat benda asing diantara gigi, ataupun terdapat substansi yang mengiritir lainnya. Banyak hewan yang tadinya normal yang kemudian berkelahi sampai terluka ketika memperebutkan daerah kekuasaan atau makanan bahkan betina untuk dikawini. Kucing, terutama kucing jantan, sewaktu-waktu dapat menyerang hewan lain dan manusia. Semua tingkah laku di atas dapat ditemukan pada rabies, tetapi dapat juga tidak.
Kombinasi teknik pengecatan histologi FA memiliki sensitifitas tinggi terhadap pemeriksaan biologis penyakit ini. Tes ini didasarkan pada observasi visual terhadap reaksi antara antigen dengan antibodi. Jika diterapkan dengan benar, tes ini dapat menghasilkan diagnosa spesifik dalam beberapa jam saja, dan tes ini menjadi diagnosa pilihan pada banyak laboratorium.
Gambaran histopatologis rabies encephalomyelitis (keradangan) di jaringan otak dan meninges ditandai dengan adanya :
- Infiltrasi mononuklear
- Perivascular cuffing dari limfosit atau sel-sel polimorfonuklear
- Lymphocytic foci
- Babes nodules terdiri dari glial cells
- Negri bodies
A.
Ribonukleoprotein. Perhatikan abundant strands dari coiled RNP (hampir semuanya adalah RNP) Pertunasan virus rabies dari sebuah inklusi (Negri body) ke dalam retikulum endoplasmik pada sel saraf. A. Negri body.
|
Histopatologi rabies, otak. Karakteristik Negri bodies tampak di dalam sel Purkinje dari cerebellum pada pasien yang mati karena rabies |
Diagnosis laboratorium tentang rabies pada hewan penting dilakukan di laboratorium tertentu oleh tenaga yang terampil dan berpengalaman, karena dalam banyak kasus ini melibatkan keputusan pengobatan pada manusia dan/atau pemberian ganti rugi hewan. Apabila terjadi pendedahan pada manusia atau kecurigaan penularan sesama hewan, atau pemeriksaan klinis menunjukan adanya rabies, hewan harus dibunuh dan jaringan otak diambil untuk diperiksa. Diagnosa pasca mati meliputi imunofluoresensi langsung sediaan sentuhan dari jaringan otak (medula, cerebellum, dan hipocampus) dari hewan yang diduga sebagai penderita. Bila diperlukan, diagnosis pasca mati juga dapat dilakukan dengan menggunakan PCR dengan primer yang dapat melipatgandakan urutan RNA genom dan mRNA virus dari jaringan sistem saraf dari kasus dugaan. Dari diagnosis antemortem, dapat digunakan uji fluoresensi atau PCR pada biopsi kulit, sediaan kornea, atau sediaan air liur (Fenner, F.J., 1993).
Hanya hasil positif yang bernilai diagnostik karena kurangnya sensitivitas prosedur ini sehingga tidak mengabaikan adanya infeksi. Algoritme komprehensi tersedia, dan ini dapat memandu petugas kesehatan masyarakat dan para dokter dalam menetapkan pelaksanaan pengobatan pasca operasi pada manusia.
H. Metode Kontrol/ Pengendalian
Program pengendalian penyakit rabies dapat tercapai dengan baik jika dilakukan dengan mengikuti aturan sebagai berikut:
1. Melakukan vaksinasi terhadap anjing dan kucing secara merata. Ini merupakan tindakan yang paling efektif.
2. Mengeliminasi anjing dan kucing yang terinfeksi.
Manajemen untuk anjing dan kucing yang tergigit oleh hewan rabies meliputi:
1. Kucing dan anjing yang belum divaksin dan tergigit oleh hewan rabies harus segera dibunuh.
2. Jika pemiliki tidak melakukannya, maka anjing atau kucing tersebut harus dikarantina secara ketat minimal selama 4 bulan.
Di pulau Flores, terdapat beberapa pilihan tindakan yang diambil dalam penanganan rabies:
1) Diawali dengan kampanye vaksinasi island-wide dog secara besar-besaran dan segera.
Ini merupakan hal yang mustahil dilakukan karena tidak adanya kecukupan vaksin dan tenaga vaksin (vaksinator) maupun fasilitas logistik (transport, alat pendingin, dll) untuk melaksanakan beberapa tindakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Lebih lanjut, banyak anjing yang mulai terinfeksi, berpindah ke daerah lain dan beberapa diantaranya siap untuk diinkubasi. Vaksinasi sendiri tidak dapat memunculkan penyebaran lebih lanjut.
2) Mengembangkan usaha membunuh anjing bagi keseluruhan kelompok dan memberantas kebanyakan anjing namun tidak semuanya.
Tindakan ini dilakukan oleh para pemilik anjing dan pekerja sewa. Diasumsikan bahwa kebanyakan anjing yang sehat akan dimusnahkan dan dimakan sejak daging anjing dikonsumsi di Flores. Hal ini merupakan pemikiran awal dimana kejadian ini sendiri dapat menghentikan persebaran penyakit.
3) Meminta pertolongan internasional untuk menghentikan persebaran penyakit dan mengendalikan rabies pada anjing dengan mengkombinasikan vaksinasi dengan “culling”.
Pilihan 2 banyak dipilih, dan culling pada anjing meluas ke daerah lain tapi dengan intensitas level yang berbeda. Pilihan 3 juga dipilih, dimana pada akhir tahun 2000 WHO (World Health Organization) mengirimkan utusannya; kantor kesehatan masyarakat veteriner dari Afrika Selatan dan peneliti rabies pada manusia dari Thailand ke Flores. Dimulai dengan adanya seminar mengenai pengawasan dan program vaksinasi terhadap karnivora, dan memperkenalkan standar PEP (post-exposure prophylaxis) pada manusia dari WHO dengan diberikannya sumbangan bilogis dari Itali. Human PEP merekomendasikan pelaksanaannya dan diperkirakan dapat menyelamatkan kehidupan. Tidak ada satupun kelompok yang melakukan kampanye vaksinasi anjing secara luas seperti yang direkomendasikan oleh dua konsultan WHO (2,3) tersebut (Windiyaningsih, C., 2004).
Manajemen rabies pada manusia
Pada tahun 1998, petugas kesehatan lokal membuat suatu pusat pengobatan terhadap post-exposure rabies di rumah sakit daerah dan di beberapa pusat kesehatan, dan diperoleh vaksin rabies dari kultur jaringan dalam jumlah kecil. Kebanyakan vaksin ada pada tahun 2000 yang merupakan sumbangan dari Itali. Immunoglobulin rabies pada anjing dan kuda juga didapatkan walaupun dalam jumlah yang terbatas, dan digunakan pada pasien dengan tingkat kesembuhan yang rendah. Telah dilaporkan sebanyak 47,3% penularan penyakit ini diakibatkan oleh gigitan hewan dan lebih dari separuhnya terjadi kematian akibat rabies pada anak-anak dibawah 15 tahun. Hanya 58,7% pasien akibat gigitan hewan yang mendapatkan PEP dan kebanyakan tanpa RIG. Walaupun tidak diketahui berapa banyak kasus yang diakibatkan oleh gigitan anjing gila. Tidak satupun dari cara pengobatan yang dapat membasmi rabies, walaupun ada kesan bahwa vaksin sendiri dapat mencegah pendedahan rabies. Thai Red Cross menggunakan post-exposure regimen secara intradermal (7,8) pada kebanyakan subjek yang mendapatkan PEP. Kebanyakan diantaranya terlambat divaksin dan tidak satupun mati karena rabies. Meskipun tidak diketahui berapa banyak subjek yang terkena gigitan anjing gila (Windiyaningsih, C., 2004)
Vaksinasi
Vaksin rabies pada hewan, dibuat pada biakan sel sebagai vaksin tidak aktif atau di beberapa negara sebagai vaksin virus hidup yang diatenuasi yang ampuh dan aman digunakan. Petunjuk dan larangan penggunaan dari tiap vaksin rabies dikeluarkan tiap tahun di Amerika Serikat (Fenner, F.J., 1993).
Vaksin pada manusia sangat penting dilakukan mengingat penyakit ini dapat bersifat zoonosis.
I. DAFTAR PUSTAKA
Andrewes, C. 1976. Viral and Bacterial Zoonoses. London : Balliere Tindall.
Anonim. 2003a . Bats and Rabies CDC Rabies on http://www.cdc.gov/ncidod/dvrd/rabies/the_virus/virus.htm.
Anonim. 2003b . Epidemiology CDC Rabies on http://www.cdc.gov/ncidod/dvrd/rabies/the_virus/virus.htm
Anonim. 2003c . Introduction CDC Rabies on http://www.cdc.gov/ncidod/dvrd/rabies/the_virus/virus.htm.
Anonim. 2003d . Natural History CDC Rabies on http://www.cdc.gov/ncidod/dvrd/rabies/the_virus/virus.htm.
Anonim. 2003e . Prevention and Control CDC Rabies on. http://www.cdc.gov/ncidod/dvrd/rabies/the_virus/virus.htm
Anonim. 2003f . Questions and Answers CDC Rabies on http://www.cdc.gov/ncidod/dvrd/rabies/the_virus/virus.htm.
Anonim. 2003g . Diagnosis on http://www.cdc.gov/ncidod/dvrd/rabies/the_virus/virus.htm.
Anonim. 2003h . The Rabies Virus on http://www.cdc.gov/ncidod/dvrd/rabies/the_virus/virus.htm.
Anonim. 2005. Rabies on http://www.cfsph@iastate.edu. Ames. IOWA.
Anonim. http://www.medekit.com/images/rabies jpg.
Anonim. http://www.microbiologybytes.com
Anonim. http://www.pathmicro.med.sc.edu/viral/rabies/htm
Anonim. http://www.pathmicro.med.sc.edu/viral/rabies.wad.gif
Anonim. http://www.rabies.net/_img/pict
Anonim. http://www.roanoke.com/news/images
Anonim. http://www.unbc.ca/nlui/wildlife_disease_bc
Conzelmann K.K. (1998). Nonsegmented negative-stranded RNA viruses: Genetics and manipulation of viral genomes. Ann. Rev. Genet.32:123-162.
Fenner, F.J. 1993. Virologi Veteriner, 2nd ed. London: Academic Press, INC.
Fraser, Clarence M. and friends. 1986. The Merck Veterinary Manual. America : Merck & Co., Inc
Jameson, R. 2006. Rabies on http://www.bio.davidson.edu/courses/immunology/Students/spring2006/Jameson/Rabies.html
Kim, J-H. 2005. Epidemiological Characteristics of Rabies in South Korea from 1993 to 2001. The Veterinary Records Vol.157 No.53-56
Kurniadhi, Pudji. 2005. Perbanyakan Virus Rabies Standar Galur Challenge Virus Standar sebagai Standar Diagnosis Rabies dengan Uji FAT. Buletin Teknik Pertanian Vol.10 No.2.
Sander, D. 2005. The Big Picture Book of Viruses: Rhabdoviridae on ://www.virology.net/Big_Virology/BVRNArhabdo.html.
Smith, J.S. (1995). Rabies Virus. In P.R. Murray, E.J. Baron, M.A. Pfaller, F.C. Tenover, & R.H Yolken (Eds.) Manual of Clinical Microbiology (997-1003), Washington, DC: American Society for Microbiology.
Suwarno. 2005. Identifikasi Virus Rabies yang Diadaptasi pada Kultur Sel Neuroblastoma dengan Indirect Sandwich-ELISA dan Direct FAT. Media Kedokteran Hewan Vol.21 No.1.
Windiyaningsih, Caecilia. 2004. The Rabies Epidemic on Flores Island, Indonesia (1998-2003). J Med Assoc Thai Vol.87 No.11.
Wunner W.H. (1991). The chemical composition and molecular structure of rabies viruses. In G. M. Baer (Ed.), The Natural History of Rabies. (pp. 31-67). Boca Raton, FL: CRC Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar