Pendahuluan
Mastitis adalah suatu peradangan pada ambing yang bersifat akut, subakut atau menahun dan terjadi pada semua jenis mamalia. Pada sapi penyakit ini sering dijumpai pada sapi perah dan disebabkan oleh berbagai jenis kuman atau mikoplasma.(Akoso,1996)
Mastitis didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan internal kelenjar ambing. Penyakit ini umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia (Duval 1997). Peradangan dapat terjadi pada satu kelenjar atau lebih dan mudah dikenali apabila pada kelenjar susu menampakkan gejala peradangan yang jelas. Kelenjar ambing membengkak, edematus berisi cairan eksudat disertai tanda-tanda peradangan lainnya, seperti ; suhu meningkat, kemerahan, rasa sakit dan penurunan fungsi. Akan tetapi seringkali sulit untuk mengetahui kapan terjadinya suatu peradangan, sehingga diagnosis terhadap mastitis sering dilakukan melalui pengujian pada produksi susunya, misalnya dengan melakukan penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley 1991). (Paryati, 2002)
Mastitis atau peradangan pada jaringan internal ambing umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia (Duval 1997). Secara ekonomi, mastitis banyak menimbulkan kerugian karena adanya penurunan produksi susu yang mencapai 70% dari seluruh kerugian akibat mastitis. Kerugian lain timbul akibat adanya residu antibiotika pada susu, biaya pengobatan dan tenaga kerja, pengafkiran, meningkatnya biaya penggantian sapi perah, susu terbuang, dan kematian pada sapi serta adanya penurunan kualitas susu (Kirk et al. 1994; Hurley dan Morin 2000). Tingkat keparahan dan intensitas mastitis sangat dipengaruhi oleh organisme penyebabnya (Duval 1997). (Paryati, 2002)
Sudarwanto (1995) dan Wibawan et al. (1999) menyatakan bahwa prevalensi kejadian mastitis subklinis di
Aktifitas menjelang dan setelah partus tidak saja berpengaruh pada satu sistem, tetapi juga berbagai sistem fisiologis akan terganggu yang akibatkan terjadi gangguan yang bersifat kompleks seperti penggunaan lemak secara berlebihan memungkinkan terjadi perlemakan hati dan meningkatkan pembentukan badan keton.
Pada awal laktasi sebaiknya kondisi kesehatan induk sudah dipersiapkan, karena penggunaan enersi menjelang partus sangat tinggi. Salah satu cara menanggulangi problema kesehatan ternak yang bersifat infeksi ringan dianjurkan dengan Homeopathy. Diharapkan dengan menggunakan homeopatika dalam bentuk kombinasi, akan dapat diperoleh kerja obat bersifat luas serta efektif. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh kombinasi homeopatika yang paling efektif dan pengaruhnya dalam produksi serta kualitas susu, disamping ingin diketahui gambaran profil darah akibat pemberian homeopatika ini . (Sanjaya, 2004)
Etiologi
Berbagai jenis bakteri telah diketahui sebagai agen penyebab penyakit antara lain adalah : streptococcus agalactiae, str. Disgalactiae, str. Uberis, str. Zooepidemicus, staphylococcus aureus, escherchia coli, enterobacter aerogenes dan pseudomonas aeruginosa. Dalam keadaan tertentu dijumpai pula penyebab Mycoplasma sp dan nocardia asteroides.(Akoso,1996)
S. aureus tersebar luas di dunia dan banyak menyebabkan kelainan-kelainan pada kulit dan membran mukosa hewan maupun manusia. Bakteri ini bersifat gram positif, fakultatif anaerob, katalase positif, koagulase positif dan menghasilkan asam laktat. Pada biakan agar padat membentuk koloni kuning keemasan (Todar 1998). S. aureus tidak membentuk spora, tidak ada flagela, tumbuh baik pada suhu 37° C dan mati apabila dipanaskan pada suhu 80° C selama setengah jam.
Berbagai komponen S. aureus yang berperan dalam mekanisme infeksi adalah : (1) Polisakarida dan protein yang merupakan substansi penting di dalam dinding sel, seperti protein adhesin hemaglutinin (Wahyuni 1998) dan glikoprotein fibronectin (Nelson et al. 1991). Protein permukaan ini berperan dalam proses kolonisasi bakteri pada jaringan inang; (2). Invasin yang berperan dalam penyebaran bakteri di dalam jaringan, misalnya leukocidin, kinase, hyaluronidase; (3). Kapsul dan protein A yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear ; (4). Substansi biokimia, seperti : carotenoid dan produk katalase, dapat membuat bakteri bertahan hidup dalam fagosit ; (5). Protein A, coagulase dan clumping factor untuk menghindarkan diri dari respon imun inang. S. aureus dengan coagulase negatif terbukti kurang virulen dibandingkan dengan yang mempunyai faktor coagulase (Haraldsson dan Jonsson 1984) ; dan (6). Toksin yang dapat melisis membran sel dan jaringan inang (Todar 1998). (Paryati, 2002)
Disamping faktor-faktor mikroorgnisme yang meliputi jenis dan virulensinya, faktor hewan dan lingkungan juga menentukan mudah tidaknya terjadi radang amnbing dalam suatu peternakan. Faktor predisposisi dari hewan meliputi bentuk ambing. Ambing yang sangat menggantung, ataupun ambing yang lubang putingnya terlalau besar. Juga faktor umum hewan menentukan mudah tidaknya seekor sapi menderita radang ambing. Makin tua umur sapi, apalagi yang produksi air susunya tinggi, maka kendor pula spincter putinggnya. Karena spincter berfungsi menahan kuman, maka kemungkian sapi terrsebut terinfeksi semakin besar. Makin tinggi pula produksi air susu betina, maka makin lama waktu yang dibutuhkan oleh spincter untuk menutup secara sempurna (Subronto, 2003).
Faktor lingkungan dan pengeloalaan peternakan yang banyak mempengaruhi radang ambing meliputi pakan, perkandanagan, banyaknya sapi dalam sutu kandang, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pakan yang mengandung estrogen, misalnya bangsa clover dan jagung maupun konsentrat yang berjamur telah terbukti memudahkan terjadinya radang. Kandang yang berukuran sempit menyebabkan sapi-sapinya bedesakan. Apabila ada salah satu yang terinfeksi maka penularan akan lebih mudah. Lantai kandang yang licin akan menyebabkan hewan malas bangun, ataupun lantai yang kemiringannya kurang, hingga menyebabakan air mudah tertahan di lantai, mendorong mempermudah kemungkinan kontak antara kuman yang berada disitu dengan ambing sehat. Juga kandang yang lembab serta kotor akan menudahkan terjadianya radang ambing (Subronto, 2003).
Secara umum kenaikan jumlah sapi juga menaikan probabilitas hewan yang menderita radang ambing. Pemasuakn sapi baru yang tidak diketahui asal usulnya dapat menyebabkan suatu kandang terinfeksi mastitis. Kebiasaan menerima sapi yng kurang terawat yng sudah bosan dapat langsung mengancam keselamatan seluiruh sapi yang sehat yang dipelihara oleh penerima sapi tersebut. Selanjutnya, peran pemerah dengan peralatanyan juga menentukan terjadinya radang ambing di suatu kandang. Dalam perternakan yang pemerahan air susunya dilakuakan dengan mesin, diketahui bahwa kejadian mastitis lebih tinggi bila dibandingkan dengan pemerahan secara manual. Oleh karenan pengertian yang masih rendah, banyak pemerah yang tidak memperhatiakan waktu pemerahan. Penggunaan kain-kain bekas yang tidak bersih dan digunakan uintuk semnua sapi waktu pemerahan merupakan hal yang masih banyak ditemukan di desa-desa. Juga sering ditemukan bahwa kebersihan tangan si pemerah sendiri kurang di perhatikan, sehingga proses perluasan infeksi sulit dihentikan (Subronto, 2003).
Patogenesis Mastitis
Kuman penyebab mastitis banyak terdapat di alam. Factor predisposisi adalah higine pemerahan dan keberhasilan lingkungan yang jelek, kesalahan mesin perah bagi pemerahan menggunakan mesin, kesalahan manajemen pemerahan atau adanya lika pada putting.(Akoso,1996)
Duval (1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana sejumlah mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter), kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka (Gambar 1). Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya leukosit-leukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel ambing. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam. (Paryati, 2002)
Kuman streptococcus agalactiae merupakan kuaman yang hidupnya memerlukan susu. Oleh kerjaan kukman akan terjadi perubahan air susu yang di dalamnya jadi rusak. Selanjutnya rusak air susu akan menimbulkan reaksi jaringan dalam bentuk peningkatan di dalam air susu. Oleh jonjot fibrin yang terbentuk akhirnya saluran menjadi tersumbat dan kelenjar akhirnya mengalami kerusakan jaringan. Secara teori semua proses radang akan ditandai dengan terjadinya peningkatan suhu, jumlah darah yang mengalir, adannya perasaan sakit atau nyeri, kebengkakan dan ganguaan fungsi. Pada radang ambing, mastits, hal ini tidak selalu dijumpai. Perubahan secara organik dari ambing baru akan ditemuakn apabila berlangsung secara akaut atau per akut (Subronto, 2003).
Gejala Klinis
Sapi yang menderita mastitis dapatc diketahui dengan adanya pembengkakan pada ambing dan puting yang terjadi pada suatu kuartir atau lebih. Rasa sakit timbul sewaktu diperah dan diikuti oleh penurunan produksi yang bervariasi mulai dari ringan sampai berat. Serangan penyakit berat menyebabkan air susu dapat berubah warnanya menjadi merah karena adanya darah atau bercampur dengan nanah. Banyak kejadian mastitis subklinis yang mengakibatkan penurunan produksi susu. (Akoso,1996)
Secara klinis proses radang ambing dapat berlangsung akut, sub akut dan kronis. Radang dikatakan terjadi secara subklinis apabila gejala-gejala klinis radang tidak ditemukan pada waktu pemeriksaan ambing. Adanya kuman di dalam ambing tanpa diikuti perubahan-perubahan fisis ambing dan air susu dikatakan sebagai infeksi laten. Pada umumnya pemeriksasan radang didasrkan kelainan pada air susu, kelainan organik ambing, suhu ambing dan tanda-tanda adanya reaksi umum dari radang (Subronto, 2003).
Pada proses berlangsungnya secara akut tanda-tanda adanya radang yang berupa kebengkakan, panas dalam rabaan, rasa sakit, warna yang kemerahan dan tergangunya fungsi , jelas dapat ditemukan saat pemeriksaasn. Air susus jadi ”pecah”, bercampur dengan endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel atau gumpalan protein. Konsistemsi air susu jadi lebih encer dan warnanya jadi lebih kebiruan atau putih yang pucat. Kadang proses akut berlangsung dengan cepat dan hebat. Hal yang demikian dikatakan sebagai proses yang berlangsung secara perakut. Tanda-tanda lain yang ditermukan pada keadaan akut adalah anoreksia, kelesuan, hewan mengalami toksemia dan sering disertai dengan kenaikan suhu tubuh. Keadaan akut yang terjadi setelah kelahiran mirip dengan gejala milk fever. Karena rasa sakit yang diderita, hewan akan terlihat seperti pincng saat berjalan (Subronto, 2003).
Proses yang berlangsusng secar sub akut ditandai dengan gejala diats dengan derajat yang lebih ringan. Hewan masih mau makan dan suhu tubuh masih dalam keadaan normal. Perubahan-perubahan dari ambing kadang tampak samar, akan tetapi susunya mengalami perubahan (Subronto, 2003).
Pada inspeksi dari samping dan belakang kelaian-kelainan seperti asimetri ambing, kebengkaan atau lesi pada puting mungkin saja ditemukan. Radang hebat maupun yang gangrenous akan menampakan warna merah atau biru lembam. Setelah dikosongkan , apabila kapur dipalpasi dapat ditemukan perubahan berupa jaringan yang mengeras, dengan permukaan yang bervariasi. Pada radang yang sudh melanjud jaringan ikat terdapat pada suatu perempatan secar keseluruhan, sehingga praktis perempatan yang bersngkutan tidak dapat berproduksi lagi. Perempatan tersebut digunakan oleh kuman-kuman untuk berkoloni untuk suatu saat akas digunakan untuk menyerang perempatan yang lain (Subronto, 2003).
Proses yang berlangsung secara sub akut atau kronik dapat mnejadi akut dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses berlangsung kronik apabila infeksi dalam suatu ambing berlangsung lama, dari suatu periode laktasi ke periode laktasi berikutnya. Kebanyakan proses kronik berakhir dengan atrofi kelenjar. Oleh sifat kuman dan toksinnya mungkin akn terjadi gangren pada kondisi kelenjar yang jelek. Ambing yang gangren akan memperlihatkan gejala sebagai berikut. Pada rabaan ambing terasa dingin, air susu menjadi encer , kadang bercampur darah, dan warna kulit menjadi biru lebam. Gejala umum adanya radang akut akan jelas terlihat. Karena lemahnyan penderita tidak ammpu berdiri dan ambruk sehingga akan mati dalam beberapa hari (Subronto, 2003).
Diagnosis
Secara klinis dapat diamati adanya peradangan ambing dan puting susunya serta adanya perubahan warna dari air susu yang dihasilkannya. Uji lapang dapat dilakukan dengan menggunakan California Mastitis Test (CMT) yaitu suatu reagen khusus untuk pengujian adanya mastitis, sebelum dilanjutkan di laboratorium untuk isolasi dan identifikasi kumn penyebabnya,. Spesimen yang diperlukan ialah air susu yang diperah dari kuartir yang dicurigai atau keempatnya dengan memberikan kode dari setiap kuartir. Air susu dimasukan kedalam tabung steril dan dikirim dalam keadaan segar dingin.(Akoso,1996)
Alat dan reagen untuk CMT Ambing sapi penderita mastitis
Mikroskopik
Secara histopatologi, pada mastitis subklinis dapat ditemukan adanya peradangan dan degenerasi pada parenkim (epitel) saluran-saluran air susu. Selain itu juga ditemukan adanya reruntuhan sel-sel somatik yang meningkat (Ressang 1984; Duval 1997), deskuamasi dan regresi epitel. Sel-sel radang (leukosit-leukosit berinti polimorf) banyak ditemukan di dalam lumen saluran air susu (Ressang 1984).
Penelitian pada mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae menunjukkan bahwa patogenesis penyakit dimulai dengan menempelnya bakteri pada permukaan sel epitel, kemudian masuk ke dalam sel epitel alveol kelenjar susu menyebabkan degenerasi dan nekrosa. Nekrosa berlanjut dan menyebabkan atrofi alveol kelenjar susu disertai respon peradangan yang menyebabkan terjadi involusi kelenjar susu. Selanjutnya terjadi proses persembuhan berupa pembentukan jaringan ikat. Pada hari keempat setelah diinfeksi, sebagian jaringan ikat digantikan oleh jaringan lemak dan bakteri terperangkap di dalam kelenjar ambing (Estuningsih 2001).
Pengendalian Dan Pengobatan
Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan mencegah terjadinya infeksi terutama yang ditimbulkan oleh kesalahan manajemen dan higine pemerahan yang tidak standard. Dalam periode tertentu secara rutin perlu dilakukan pemeriksaan kemungkinan adanya mastitis sub-klinis dengan melakukan uji CMT. Pengobatan dapat dilakukan dengan antibiotiik sesuai dengan kuman yang menginfeksi, dan disarankan agar dilakukan pula uji sensitivitas terhadap kuman. (Akoso,1996)
Kebersihan kandang, sapi dan managemen peternakan yang baik merupakan upaya pencegahan yang efektif untuk mencegah mastitis. Tingkat kemiringan kandang juga merupakan hal yang perlu di perhatikan. Tingkt kemiringan 2% menghindari genangan air terutama urin yang banyak membawa bibit penyakit. Kebiasan dipping dan memberikan pakan setelah sapi selesai diperah juga dapt menngurangi insidensi tejadinya mastitis (Subronto, 2003).
Memperpendek jarak antara sapi. Hal ini dikarenakan semakin pendek jarak antara sapi maka penularan akan semakin besar. Pedet yang menyusui langsung dari puting induk juga merupakan faktor penular mastits yang harus diperhatikan. Pedet ini dapat menularkan penyakit mastitis dari induk yang terinfeksi ke induk yang sehat. Juga pedet yang mulutnya kotor juga dapat menyebabkan infeksi pada puting sapi sehingga dapat menyebabkan mastitis (Subronto, 2003).
Kebersihan pemerah juga harus diperhatikan. Baik peralatan maupun pemerah sendiri. Setelah selasai pemerahan juga harus diingat bahwa sapi harus segera didipping (antibiotik pada puting) dan diberikan makanan (konsentrat). Hal ini dimaksudkan agar sapi tidak langsung berbaring sehingga lubang putingnya yang sedang terbuka lebar setelah pemerahan tidak dimasuki oleh kuman-kuman. Dipping bisa dilakukan dengan menggunakan alkohol 70 % selama beberapa menit (Subronto, 2003).
Daftar Pustaka
Akoso, Tri Budi, 1996, Kesehatan Sapi, Kanisius. Yokyakarta
Estuningsih S. 2001. Patogenesis mastitis subklinis pada sapi perah : Pendekatan histopatologis mastitis subklinis akibat infeksi Streptococcus agalactiae hemaglutinin positif pada mencit. Disertasi Doktor Pascasarjana. IPB.
Paryati, Sri putu, 2002 Patogenesitas Mastitis SubklinisPadaSapi Perah Yang disebabkan Oleh Staphylococcus aureus, Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor.
Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. NV. Percetakan Bali. pp. 153-163
Sanjaya,A,W,dkk, 2004. Penggunaan Homeopathy pada Fase Peripartal untuk Pencegahan Mastitis Subklinik pada Sapi Perah
Subronto, 2003, Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I,
classes.ansci.illinois.edu/.../
rch.org.au/rwhcpg/
weeee Yudhie
BalasHapusiyo ............
BalasHapusskripsi drh ya...?
BalasHapusdari ugm..?
yu hu...........
BalasHapusassalamualaikum mas
BalasHapusijin ngopi
aq affan adi
peternakan UGM 2006
doakan pnlitianku berhasil
tetang upaya pencegahan mastitis subklinis pada sapi perah di koperasi daerah jawa timur
wssslm....
BalasHapusyup.....ok semoga berhaasil