Jumat, 21 Mei 2010

Efisiensi Reproduksi

Permintaan daging sapi di Indonesia cenderung terus meningkat, sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Laju pemotongan ternak sapi pun melebihi laju pertumbuhan populasi (Frimawaty dan Menalu, 1999).

Mendapat pedet lebih dari satu dalam satu kelahiran, merupakan impian bagi setiap peternak sapi. Terlebih jika pedet yang lahir memiliki kondisi yang sehat dan penampilan yang bagus. Program twinning (beranak lebih dari satu dalam satu kelahiran) alias kembarisasi mencuat tahun 2008 seiring obsesi Departemen Pertanian menuju swasembada daging yang ingin dicapai tahun 2010. Kembarisasi ini diharapkan mampu mendongkrak jumlah populasi sapi tanah air, utamanya populasi bibit. Defisit bibit menjadi persoalan besar untuk sampai terwujudnya swasembada daging. Kecukupan bibit merupakan variabel kunci utama menuai keberhasilan swasembada (Anonim, 2009a).

Twinning cattle atau sapi lahir kembar merupakan salah satu program unggulan dalam upaya mengatasi kekurangan pasokan daging dan memperbaiki kondisi ketahanan pangan nasional sehingga pada waktunya nanti swasembada daging dapat terwujud. Secara alamiah peristiwa kelahiran kembar sangat jarang terjadi sehingga memunculkan berbagai komentar yang cenderung skeptis terhadap peluang pemanfaatan teknologi kelahiran kembar sebagai upaya terobosan untuk meningkatkan produksi sapi dan daging nasional (Panjaitan, 2008).

Aplikasi teknologi transfer embrio untuk program twinning bisa mendukung tercapainya swasembada daging nasional. Sebagai kelanjutan tahun lalu, tahun 2009 pemerintah melanjutkan program twinning dengan memperluas area pelaksanaan. Hal ini dilakukan karena adanya respon positif dari masyarakat terhadap program ini dan agar target P2SDS (Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi) tercapai. Agar tercukupinya bibit maupun meningkatnya populasi sapi maka jumlah sapi donor dan sapi resipien harus segera ditingkatkan (Anonim, 2009a).

Melalui pemberdayaan bioteknologi reproduksi, seekor sapi betina dapat diatur agar mampu bunting dan melahirkan pedet kembar untuk mempercepat peningkatan populasi. Menurut Echterkamp (1992), kapasitas uterus dapat ditingkatkan mengandung tiga fetus per kornu uterus, bahkan lebih. Kebuntingan kembar selama ini adalah kembar dua yang di posisikan di masing-masing kornu uterus kanan dan kiri (Basyir, 2009).

Kelahiran sapi kembar ini tentunya sangat bermanfaat terhadap peningkatan populasi sapi di Indonesia. Sapi kembar ini berpeluang meningkatkan ketersedian daging dan produksi sapi di Indonesia. Jadi, teknologi kelahiran sapi kembar dapat dijadikan upaya terobosan untuk pencapaian program populasi satu juta ekor sapi tahun 2013 dan peningkatan produksi daging bukanlah hal yang mustahil (Anonim, 2009b).

Makalah ini akan menguraikan secara singkat fenomena kelahiran kembar dan peluang peningkatan frekuensi kelahiran kembar pada sapi betina sehingga teknologi kelahiran kembar dapat dipertimbangkan menjadi salah satu opsi untuk meningkatkan produksi daging nasional.

Efisiensi Reproduksi

Menurut Niazi (2003), efisiensi reproduksi adalah ukuran kemampuan seekor sapi untuk bunting dan menghasilkan keturunan yang layak. Sedangkan menurut Hafez (1993) efisiensi reproduksi adalah penggunaan secara maksimum kapasitas reproduksi. Salah satu tujuan pemberdayaan dan penerapan bioteknologi reproduksi antara lain adalah memperoleh efisiensi dan efektifitas siklus reproduksi yaitu menghasilkan keturunan. Sebagai indikator keberhasilan budidaya peternakan adalah perkembangbiakan yang identik dengan produktivitas, terutama pada budidaya ternak yang memang bertujuan untuk breeding. Lebih rinci lagi tepatnya adalah terpenuhinya calving interval yang ideal atau rata-rata setiap tahun dapat menghasilkan anak keturunan. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi terutama melalui penerapan bioteknologi atau mengembangkan teknologi praktis dan praktek-praktek manajemen yang dapat meningkatkan efisiensi reproduksi. (Basyir, 2009).

Manajemen perkawinan ternak yang baik juga merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan efisiensi reproduksi termasuk perbaikan keturunan. Salah satu cara untuk memperbaiki manajemen ternak adalah dengan inseminasi buatan (IB) yang kini efisiensinya sudah puluhan tahun dinikmati. Dengan teknik IB dapat ditingkatkan perbaikan mutu genetik secara cepat, untuk pencegahan kemajiran ternak, pencegahan penyebaran penyakit. Teknik lainnya untuk meningkatkan efisiensi reproduksi adalah dengan embrio transfer (TE). Teknik ini biasanya dilakukan secara bersamaan dengan superovulasi. Dengan teknik superovulasi, betina yang berkualitas baik yang dipakai sebagai donor embrio dipacu agar dapat mengovulasikan banyak sel telur, setelah sel-sel telur itu dibuahi dan berkembang menjadi zigot-zigot. Zigot-zigot tersebut ditransfer pada beberapa resipien. Dengan hal ini berarti meningkatkan efisiensi reproduksi pada hewan donor tersebut. Pada periode dekade ini telah berkembang beberapa kemajuan bioteknologi untuk meningkatkan efisiensi reproduksi, meningkatkan mutu genetik turunan dan memperpendek jarak regenerasi, yaitu antara lain dengan pembuatan chimera dan kloning. Chimera memungkinkan embrio dari seekor hewan dititipkan pada hewan lain yang berlainan spesiesnya. Dengan teknik chimera, maka embrio yang akan dititipkan tersebut telah dimanipulasi sel-selnya sehingga tidak dikenal sebagai embrio asing dan akhirnya akan dapat berkembang sampai lahir tanpa adanya penolakan dari induk yang dititipi. Teknik ini sangat bermanfaat bagi usaha meningkatkan populasi hewan-hewan yang hampir punah. Seperti dalam pembuatan chimera, pada pembuatan kloning juga dilakukan manipulasi embrio. Dengan teknik kloning memungkinkan diproduksi hewan dengan karakteristik genetik dan performan yang dikehendaki secara besar-besaran. Akan tetapi teknik chimera dan kloning membutuhkan keahlian yang khusus serta biaya yang tidak sedikit, sehingga masih dalam tahap penelitian di laboratorium dan belum bisa diaplikasikan di dunia peternakan secara luas (Wijaya, 2008).

Kebuntingan

Kebuntingan merupakan suatu peristiwa semenjak terjadinya pembuahan sampai masa kelahiran atau selama perkembangan janin sampai menjadi fetus di dalam uterus. Berdasarkan ukuran individu dan perkembangan jaringan serta organ, periode kebuntingan dibedakan atas tiga bagian. Pertama adalah periode ovum/blastula, dimulai dari fertilisaasi sampai terjadi implantasi. Segera setelah terjadi fertilisasi, ovum yang dibuahi akan mengalami pembelahan di ampullary–isthnic junction menjadi morula. Pada sapi, masuknya morula ke dalam uterus terjadi pada hari ke 3-4 setelah fertilisasi. Setelah hari ke 8, blastosit mengalami pembesaran secara pesat, misalnya embrio domba pada hari ke 12 panjangnya 1 cm, 3 cm pada hari ke 13, dan 10 cm pada hari ke 14. Lama periode ini pada sapi sampai 12 hari. Pada periode ini, embrio yang defektif akan mati dan diserap oleh uterus. Peride kedua adalah periode embrio/organogenesis, dimulai dari implantasi sampai saat dimulainya pembentukan organ tubuh bagian dalam. Pada sapi berkisar pada hari ke 12-45 setelah fertilisasi. Selama periode ini terjadi pembentukan lamina germinativa, selaput ekstraembrionik, dan organ-organ tubuh. Periode ketiga adalah periode fetus/perkembangan fetus, dimulai dari terbentuknya alat-alat tubuh bagian dalam, terbentuknya ekstremitas, sampai lahir. Selama periode ini terjadi perubahan dan diferensiasi organ, jaringan dan sistem tubuh (Hafez, 1993).

Kelahiran Kembar

Pada kelahiran kembar terdapat lebih dari satu anak sekelahiran. Kelahiran kembar kadang-kadang banyak terjadi pada hewan unipara/monotoksa (ovarium melepaskan satu ovum sewaktu ovulasi). Kejadian ini lebih sering pada domba dari pada sapi. Kelahiran kembar pada domba/kambing 60-70%, sebagian besar disebabkan karena status nutrisi pada saat ovulasi selain karena keturunan. Sedangkan kejadian pada sapi sekitar 0,5-4% (Sasongko, 2008).

Dilihat dari asal usul zigot, dikenal dua jenis kelahiran kembar: fraternal (dizigotik) dan identik (monozigotik). Kembar dizigotik adalah hal yang umum terjadi pada vertebrata, sementara kembar monozigotik merupakan hal yang jarang dijumpai, manusia memiliki kemampuan ini. Kembar dizigotik dikenal sebagai kembar non-identik, terjadi karena zigot-zigot yang terbentuk berasal dari sel telur yang berbeda. Terdapat lebih dari satu sel telur yang melekat pada dinding rahim yang terbuahi oleh sel-sel sperma pada saat yang bersamaan. Kembar dizigotik secara genetik tidak berbeda dari saudara biasa dan berkembang dalam amnion dan plasenta yang terpisah. Mereka dapat memiliki jenis kelamin yang berbeda atau sama. Kembar monozigotik terjadi ketika sel telur tunggal terbuahi dan membentuk satu zigot (monozigotik). Dalam perkembangannya, zigot tersebut membelah menjadi embrio yang berbeda. Kedua embrio berkembang menjadi janin yang berbagi rahim yang sama. Tergantung dari tahapan pemisahan zigot, kembar identik dapat berbagi amnion yang sama (dikenal sebagai monoamniotik) atau berbeda amnion. Lebih jauh lagi, kembar identik bukan monoamniotik dapat berbagi plasenta yang sama (dikenal dengan monokorionik, monochorionic) atau tidak. Berbagi amnion yang sama (atau amnion dan plasenta yang sama) dapat menyebabkan komplikasi dalam kehamilan. Contohnya, tali pusar dari kembar monoamniotik dapat terbelit sehingga mengurangi atau mengganggu penyaluran darah ke janin yang berkembang. Kembar ini selalu berkelamin sama dan secara genetik adalah sama (klon) kecuali bila terjadi mutasi pada perkembangan salah satu individu. Tingkat kemiripan kembar ini sangat tinggi (Cyranosky, 2009).

Belum terdapat kesepakatan penyebab utama kelahiran kembar monozigotik. Gleeson et al. (1994) meyakini bahwa kembar monozigotik disebabkan oleh adanya sifat genetik (twinning allele) pada gen yang menyebabkan terjadinya pembelahan embrio atau zigot menjadi dua individu segera setelah sel telur dibuahi oleh spermatozoa. Alternatifnya, dengan jumlah penganut yang lebih besar menyatakan bahwa pembelahan zigot yang terjadi segera setelah pembuahan oleh spermatozoa disebabkan oleh adanya gangguan pada saluran reproduksi yang merangsang terjadinya pembelahan zigot. Terlepas dari kedua argumentasi tentang terjadinya kembar monozigotik, Gleeson et al. (1994) melaporkan bahwa frekuensi kejadian kembar identik berkisar antara 5–12% dari kelahiran kembar dengan jenis kelamin yang sama. Sedangkan menurut Echternkamp dan Gregory (2002), secara umum sekitar 10% kelahiran kembar pada sapi adalah kembar identik. Sedangkan menurut Hafez (1993), kejadian kembar identik pada sapi adalah 4-6%, dan fraternal 93-95%.

Peristiwa kelahiran kembar sudah diamati oleh akademisi dan saintis lebih dari lima dekade yang lalu. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Asdell pada tahun 1946 yang disitasi oleh Anderson (1956) bahwa dari 14.111 kelahiran pada sapi Brown Swiss terdapat 2.2% kelahiran kembar, sedangkan pada sapi potong frekuensi kelahiran kembar sebesar 0.44%. Selanjutnya Arthur et al. (1996) mengumpulkan data frekuensi kelahiran kembar dari berbagai ras sapi, baik ras sapi potong maupun ras sapi perah yang berkisar antara 0.5-9% (Tabel.1)

Tabel 1. Frekuensi kelahiran kembar pada berbagai ras sapi.

No.

Jenis Sapi

Kelahiran kembar (%)

1.

Sapi perah

1,0

2.

Sapi potong

0,5

3.

Brown swiss

2,7-8.9

4.

Holstein

3,1-3,3

5.

Ayrshire

2,8

6.

Guernsey

1,0

(Arthur et al., 1996)

Kelahiran kembar dapat terjadi karena superfetasi, superovulasi dan pembelahan zigot menjadi dua individu baru segera setelah pembuahan. Kelahiran kembar superfetasi secara ilmiah tidak dikategorikan kedalam peristiwa kembar. Kembar superfetasi terjadi karena sapi betina yang sudah kawin dan bunting kemudian pada umur ke 7-14 hari kebuntingannya kembali menunjukkan tanda-tanda birahi. Sapi betina bunting muda dan birahi kembali ini dikawinkan dan mengalami kebuntingan susulan inilah yang disebut kembar superfetasi. Dengan demikian umur kedua embrio yang ada di dalam rahim tidak sama sehingga waktu kelahiran pedet juga cenderung mempunyai rentang waktu seperti dengan waktu kawin. Secara umum diperkirakan frekuensi birahi kembali pada bunting muda dapat mencapai 1-2% dari total kebuntingan. Kembar superovulasi terjadi karena terdapat dua atau lebih sel telur yang matang dan dibuahi dalam satu siklus birahi. Peristiwa superovulasi dapat berasal dari satu ovarium baik ovarium kanan atau kiri yang menghasilkan dua telur yang matang dalam satu siklus birahi atau kedua ovarium masing-masing menghasilkan satu telur yang matang dalam satu siklus birahi yang terakhir lazim disebut dengan superovulasi bilateral. Kelahiran kembar dari peristiwa superovulasi disebut juga kembar fraternal. Pada peristiwa kembar superfetasi dan superovulasi, pembuahan sel telur terjadi oleh spermatozoa yang berbeda sehingga jenis kelamin pedet yang dilahirkan dapat saja sama yaitu keduanya jantan (xy) atau keduanya betina (xx) atau satu jantan (xy) dan satu betina (xx). Jika pedet kembar superovulasi dengan jenis kelamin yang berbeda, maka pedet betina pada waktu dewasa cenderung menjadi mandul. Peristiwa ini disebut freemartin disebakan terjadinya pencampuran hormon kelamin jantan dan betina pada awal pertumbuhan embrio yang menggangu pertumbuhan organ kelamin dari embrio yang betina. Sedangkan kejadian mandul dari kelahiran kembar superfetasi sejauh ini belum pernah dilaporkan (Panjaitan, 2008).

DISKUSI

Selama ini secara alami sebagian besar sapi melahirkan hanya satu ekor pedet. Kejadian kelahiran kembar alami masih sangat rendah. Hal inilah yang perlu mendapat perhatian oleh para peneliti dan praktisi. Pada sapi mempunyai uterus yang dikenal dengan tipe bikornu. Pada kornu uterus inilah terjadinya proses kebuntingan. Karena sapi lebih sering dikenal dengan sebutan beranak tunggal, maka hanya satu kornu uterus saja yang selama ini melayani kebuntingan. Pada kebuntingan kembar alami umumnya juga terjadi di dalam salah satu kornu uterus. Sehingga kornu uterus yang sebelah menganggur selama masa kebuntingan. Kornu uterus inilah perlu diberdayakan juga untuk menampung kebuntingan, sehingga diperoleh kebuntingan kembar, bahkan kembar lebih dari dua ekor (Basyir, 2009).

Dalam kebuntingan kembar dua secara alami atau tidak diprogram umumnya terjadi dalam salah satu kornu uteri yang ipsilateral dengan keberadaan corpus luteum (CL). Namun dalam membuat kebuntingan kembar dua terprogram dengan transfer embrio dilakukan dengan cara penempatan bikornu atau masing-masing kontra lateral dan ipsilateral terhadap CL. Selain menghindari kemungkinan terjadinya kembar freemartin, program kembar dua cara ini lebih efektif keberhasilannya. Secara teoritis kebuntingan ipsilateral maupun kontra lateral terhadap CL tidak berpengaruh secara nyata, asal fungsional CL gravidarum prima dalam menghasilkan hormon progesteron untuk memelihara kebuntingan. Kebuntingan kembar membutuhkan CL gravidarum fungsional sekurang-kurangnya sejumlah fetus kembar itu untuk menjaga stabilitas uterus dalam memelihara kehidupan intra uterin (Hafez, 1993). Dalam setiap program kebuntingan kembar dipersiapkan dengan pembentukan CL lebih dari satu melalui cara superovulasi dosis ringan dengan hormon gonadotropin (Basyir, 2009).

Dua fetus per kornu uterus merupakan suatu angka yang fantastis, apalagi tiga fetus. Seekor sapi betina dapat diprogram bunting kembar antara 2-6 fetus selama masa kebuntingan. Namun, kapasitas dan kemampuan salah satu kornu uterus dalam menampung kebuntingan kembar sangat terbatas. Fungsi cavum uterus atau tepatnya bagian endometrium yang dikenal selama ini adalah menghasilkan hormon prostaglandin (PGF2α) sebagai faktor luteolitik terhadap fungsional CL periodicum dalam rangkaian siklus birahi. Fungsi lain cavum uterus hanya sebagai jalan melintasnya sel spermatozoa dari vagina (proses kawin alam) atau dari servik uterus (proses IB) menuju ke tuba falopii untuk bertemu dengan sel telur dalam proses fertilisasi. Selain itu juga cavum uterus hanya sebagai jalan lintasan keluarnya fetus pada proses kelahiran. Karena tidak memungkinkan seberapapun elastisitas kornu uterus dalam menampung perkembangan kebuntingan kembar, apalagi sampai tiga fetus per kornu uterus. Maka cavum uterus yang relatif lebih luas daripada lumen kornu uterus dapat diduga atau merupakan suatu hipotesa sebagai penampung perkembangan fetus dan perluasan selaput fetus (plasenta) dalam kebuntingan kembar. Mengingat luasnya cavum uterus dan daya elastisnya, bukan tidak mungkin seekor sapi induk betina dapat diprogram untuk bunting kembar 4-6 atau 2-3 fetus per kornua uteri (Basyir, 2009).

Cara yang dapat ditempuh untuk menciptakan kebuntingan kembar antara lain melalui cara IB. Dalam hal ini harus ada lebih dari satu sel telur setiap ovulasi, sehingga perlu ditempuh dengan induksi superovulasi dosis ringan agar tidak terlau banyak sel telur yang terbuang selain efisiensi nilai ekonomis harga hormon gonadotropin. Cara lain untuk membentuk kebuntingan kembar adalah dengan transfer embrio (TE), yaitu dengan menempatkan embrio dalam masing-masing kornu uterus. Atau kombinasi antara IB dan TE, yaitu pada waktu birahi dilakukan IB sebagaimana prosedur selama ini dikenal dan seminggu (6-8) hari kemudian dilakukan TE dengan posisi kontra lateral dengan keberadaan CL. Posisi ipsilateral dengan CL sudah ditempati oleh fetus hasil dari IB (Basyir, 2009).

Kembarisasi melalui TE meski terlihat cukup rumit sebenarnya mudah diaplikasikan di masyarakat. Selain unggul dalam soal kuantitas (beranak dua atau lebih), TE juga memungkinkan memperoleh bibit unggul (kualitas). Kualitas anakan dapat dipastikan identik dengan sapi donor (induk penghasil embrio), yang biasanya adalah sapi-sapi impor berkualitas tinggi. Embrio unggul asal sapi donor ini selanjutnya ditanam atau dititipkan pada induk resipien sampai waktunya dilahirkan. Teknologi TE menjamin perolehan bibit dengan materi genetik setara tetuanya, sehingga tidak perlu melakukan pemuliaan melalui persilangan yang memakan waktu lama. Suatu ketika, Indonesia tidak perlu lagi mengimpor bibit (Basyir, 2009).

Terlepas dari nilai efisiensi, kejadian kembar pada hewan unipara tidak dikehendaki. Hal ini dikarenakan angka abortus yang tinggi pada sapi 30-40%. Menurut Echternkamp (1992), pada kelahiran kembar, adanya fusi pembuluh darah korion menyebabkan tingkat mortalitas fetus serta kejadian freemartin meningkat. Jika teknologi kelahiran kembar diterapkan, secara teoritis hampir separuh betina lahir sebagai freemartin. Pada kejadian freemartin, organ seks primer dan sekunder pada jantan lebih berkembang dibanding betina. Gregory et al. (1996) melaporkan bahwa lebih dari 95% dari betina yang lahir kembar sepasang adalah freemartin dan steril. Kirkpatrick (2002) mengatakan bahwa bagaimanapun pada kejadian freemartin juga dihasilkan betina yang fertil, namun angka kejadian ini lebih sedikit atau jarang dibandingkan pada kelahiran tunggal. Fusi plasenta juga dapat meningkatkan angka kematian fetus sebab jika salah satu fetus di dalam plasenta mati, fetus lain juga mati (Echternkamp, 1992).

Pada kelahiran kembar sering berakhir dengan prematur, anak-anaknya lebih kecil dan lemah. Dari hasil penelitian kelahiran kembar dilaporkan bahwa periode kebuntingan lebih pendek dan berat kelahiran lebih ringan dibandingkan kelahiran tunggal. Lama kebuntingan kembar pada sapi berkisar 5-7 hari lebih pendek dibanding sapi yang melahirkan tunggal (Turman et al., 1971; Anderson et al., 1982; Echternkamp dan Gregory., 1999a).

Selain itu, menurut Hafez (1993), kejadian kembar sering menyebabkan involusi tertunda, metritis septika, kemajiran sementara, retensi plasenta, dan distokia. Timbulnya retensi plasenta meningkat setelah kelahiran kembar menurut Turman et al. (1971); Embusan et al. (1974) dan juga meningkat pada kelahiran kembar yang disertai distokia (Echternkamp dan Gregory, 2002). Echternkamp et al. (1987) mengatakan bahwa kelahiran premature pada sapi juga akan meningkatkan timbulnya retensi plasenta pada kelahiran tunggal.

Distokia merupakan masalah umum yang ditemukan pada kelahiran kembar. Kirkpatrick (2002) mengindikasikan bahwa distokia pada kejadian ini bisa disebabkan karena ukuran anak sapi yang besar, namun yang paling tinggi disebabkan karena malpresentasi. Jika terjadi malpresentation dystocia pada kelahiran kembar, maka pedet diposisikan kembali sebelum dikeluarkan.

Jarak beranak yang panjang pada induk yang melahirkan kembar telah dilaporkan oleh Turman et al. (1971); Cady dan Van, Vleck (1978); Guerra-Martinez et al. (1990); Kirkpatrick (2002). Echternkamp dan Gregory (1999b) melaporkan bahwa interval dari proses kelahiran sampai konsepsi berikutnya untuk sapi melahirkan pedet kembar 12 hari lebih lama dibanding sapi yang melahirkan tunggal.

Kelahiran kembar juga berefek baik pada produktivitas sapi. Turman et al. ( 1971) melaporkan bahwa pedet dari kelahiran kembar pada masa sapih mengalami penambahan berat badan 171 kg dari pada kelahiran tunggal. Walaupun kelahiran kembar mengurangi kelangsungan hidup fetus, induk yang melahirkan pedet kembar pada masa sapih 70.8% lebih berat dibanding induk dengan kelahiran tunggal, meningkat 48.1% (335.7 v 226.6 kg) pada masa sapih (Echternkamp dan Gregory, 2002).

Echternkamp dan Gregory (2002) membandingkan ciri karkas pedet kembar dengan yang tunggal. Walaupun kembar mempunyai lebih sedikit karkas, tulang rusuk lebih kecil, keduanya mempunyai persentase ginjal, jantung dan lemak yang hampir sama. Echternkamp dan Gregory (2002) berpendapat bahwa peningkatan karkas pada pedet kembar dapat dilakukan dengan pemberian diet energi selama 3 minggu.

Gregory et al. (1996) membandingkan ciri karkas dan pertumbuhan antara betina yang melahiran tunggal dan kembar dengan normal dengan betina freemartin. Betina freemartin dan normal serupa dalam ciri pertumbuhan, namun freemartin mempunyai nilai karkas lebih tinggi dan percentages of retail product yang rendah.

Secara umum, teknologi kelahiran kembar bisa diterapkan tanpa perbandingan tingkat pertumbuhan atau karkas. Meat Animal Research Center (MARC) mempunyai acuan yang sama untuk ciri-ciri karkas dan pertumbuhan yang dapat digunakan sebagai referensi untuk meningkatkan penampilan pada ternak (Gregory et al.,1996).

Kirkpatrick (2002) mengatakan bahwa sebagian dari permasalahan ini bisa diperbaiki dengan perubahan-perubahan di dalam manajemen, meliputi pemeriksaan status kehamilan untuk menentukan apakah kembar atau tidak, gizi yang cukup untuk kebuntingan kembar, fasilitas melahirkan yang cukup, dan masa sapih yang tepat untuk melahirkan kembali. Hasil diagnosa sebelum kelahiran dari kebuntingan kembar akan memudahkan manajemen untuk membantu kelahiran dan meningkatkan kelangsungan hidup fetus (Echternkamp dan Gregory, 1999)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Teknologi kelahiran kembar merupakan salah satu opsi untuk meningkatkan produksi daging nasional, hal ini bisa dilakukan dengan inseminasi buatan atau pun transfer embrio. Kelahiran kembar dapat terjadi karena superfetasi, superovulasi dan pembelahan zigot menjadi dua individu baru segera setelah pembuahan. Walaupun memproduksi pedet kembar merupakan satu paradigma baru yang potensial untuk manajemen dan produksi sapi serta meningkatkan efisiensi produksi dan ekonomi, namun ada kerugian yang ditimbulkan dari kelahiran kembar. Kerugian-kerugian tersebut antara lain menyangkut kelangsungan hidup fetus, timbulnya distokia, retensi plasenta, dan interval yang lebih panjang di antara kebuntingan. Kelahiran kembar potensial meningkatkan efisiensi produksi sapi.

Saran

Perlunya tenaga ahli operator di masyarakat serta peralatan khusus untuk keperluan transfer embrio atau inseminasi buatan, perbaikan kualitas pakan selama kebuntingan serta pemeliharaan. Manajemen yang baik diperlukan untuk meningkatkan kelahiran kembar dan produktivitas pada sapi.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson. 1956. Quintuplet Births In An Angus Cow. Can Vet J. 1960 April; 1(4): 175–176.

Anderson, G. B., R. H. BonDurant, and P. T. Cupps. 1982. Induction of twins in differentbreeds of cattle. J. Anim. Sci. 54:485-490.

Anonim. 2009a. Menakar Keberhasilan Kembarisasi Sapi. http://www.trobos.com/show_article.php?rid=7

Anonim. 2009b. Sapi Kembar Tingkatkan Produksi Daging Sulsel. http://www.tribun-timur.com

Top of Form

Bottom of Form

Anonim. 2009c. Ternak agar Sapi Po Beranak Kembar

http://www.sinartani.com

Arthur, G. H., Noakes, D. E., and Pearson, H. 1996. Veterinary Reproduction and Obstetric. 6th Ed. The English Language Book Society and Baillere Tinda London. p:86

Basyir, Arifin. 2009. Meningkatkan Efisiensi Reproduksi Melalui Kelahiran Pedet Kembar. http://www.vet-indo.com

Cady, R. A., and L. D. Van Vleck. 1978. Factors affecting twinning and effects of twinning in Holstein dairy cattle. J. Anim. Sci. 46:950-956.

Cyranosky, D. 2009. Two by two. Nature. Vol. 458:826-829

Echternkamp, S. E., G. W. Hays, and W. G. Kvasnicka. 1987. Synchronization of parturition in beef cattle with prostaglandin and dexamethasone. Theriogenology 28:337-347.

Echternkamp, S. E. 1992. Fetal development in cattle with multiple ovulations. J. Anim.Sci. 70:2309-2321.

Echternkamp, S. E., and K. E. Gregory. 1999a. Effects of twinning on gestation length, retained placenta, and dystocia. J. Anim. Sci. 77:39-47.

Echternkamp, S. E., and K. E. Gregory. 1999b. Effects of twinning on postpartum reproductive performance in cattle selected for twin births. J. Anim. Sci. 77:48-60.

Echternkamp, S. E., and K. E. Gregory. 2002. Reproductive, growth, feedlot, and carcass traits of twin vs single births in cattle. J. Anim. Sci. 80(E. Suppl. 2):E64-E73.

Echternkamp, S. E., Cushman, R. A., Allan, M. F., Thallman, R. M., and Gregory, K. E. 2007. Effects Of Ovulation Rate And Fetal Number On Fertility In Twin-Producing Cattle. J. Anim Sci. 2007. 85:3228-3238. doi:10.2527/jas.2007-0209

Frimawaty, E. dan Manalu. 1999. Susu Hasil dan Aktivitas Sintetase Laktosa dalam Kelenjar Susu dari Superovulated Ekor Kambing. Small Ruminant Res 33: 271-278.

Gleeson, Scott K., Clark, Anne Barrett., and Dugatkin, Lee Alan. 1994. Monozygotic Twinning: An Evolutionary Hypothesis. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, Vol. 91, No. 24 (Nov. 22, 1994), pp. 11363-11367 http://www.jstor.org/stable/2366130

Gregory, K. E., S. E. Echternkamp, and L. V. Cundiff. 1996. Effects of twinning on dystocia, calf survival, calf growth, carcass traits and cow productivity. J. Anim. Sci. 74:1223-1233.

Guerra-Martinez, P., G. E. Dickerson, G. B. Anderson, and R. D. Green. 1990. Embryo-transfer twinning and performance efficiency in beef cattle. J. Anim. Sci. 68:4039-4050.

Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Ed. Philadelphia: Lea & Febiger. part 4: reproductive failure

Kirpatrick. 2000. Rounding Up The Genes for Twinning In Cattle. University Of Wisconsin Agricultural College and Life Sciences. Madison http://www.cals.wisc.edu

Kirkpatrick. 2002. Management of twinning cow herds. J. Anim. Sci. 80(E. Suppl.2):E14-E18.

Nephawe, K.A. 2009. Twinning in Beef Cattle: An Opportunity to Improve Reproductive and Economic Efficiency of Beef Production?. A218 Animal Sciences, University of Nebraska, Lincoln, NE 68583

Niazi, Amir Ahmed Khan. 2003. Comparative Studies on the Reproductive Efficiency of Imported and Local Born Friesian Cows in Pakistan. Journal of Biological Sciences, 3.

Panjaitan, Tanda. 2008. Fenomena ”Kelahiran Sapi Kembar” dan Peluang Pengembangannya di Bumi Sejuta Sapi. http://ntb.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_frontpage&itemid=1

Sasongko, Wr. 2009. Sapi Bali Beranak Kembar Di Nusa Tenggara Barat. http://ntb.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_frontpage&itemid=1

Turman, E. J., D. B. Laster, R. E. Renbarger, and D. F. Stephens. 1971. Multiple birthsin beef cows treated with equine gonadotropin (PMS) and chorionic gonadotropin (HCG). J. Anim. Sci. 32:962-967.

Wijaya, Ibnu. 2008. Ilmu Reproduksi Ternak Mata Kuliah Peternakan. Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana
2008
. http://one.indoskripsi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar