Penggunaan glycerol sebagai cryoprotectant merupakan prosedur teknik pelaksanaan kriopreservasi yang telah ditemukan sejak tahun 1950. Hingga kini, pemakaian cryoprotectant tersebut masih digunakan, bahkan tetap dinyatakan sebagai agen cryoprotectant terbaik untuk pembekuan sel. Aplikasi pembekuan sel untuk dunia veteriner, utamanya penggunaan dalam pembekuan semen sudah banyak di pakai banyak negara. Di banyak negara, juga Indonesia alih teknologi ini berperan dalam meningkatkan kapasitas produksi ternak (dairy product). Ternak yang menjadi konsentrasi utama dalam aplikasi teknologi ini adalah sapi. Hewan dari spesies yang berbeda pun dapat menggunakan aplikasi ini, tetapi ada berbagai macam kendala yang membatasi penggunaan teknologi ini. Kendalanya, yaitu perbedaan fisiologis dan biokimia spermatozoa di tiap-tiap spesies, dan adanya variasi mekanisme transport sperma dalam saluran reproduksi betina (Holt, 2000).
Prinsip biofisika yang diaplikasikan untuk pembekuan sel dan jaringan hidup, secara linear dapat juga diaplikasikan pada sperma. Sperma dapat mengalami kerusakan selama kriopreservasi dan/atau thawing, ketika kristal es intraselullar terbentuk dalam jumlah yang banyak atau oleh peningkatan konsentrasi larutan intraselullar dan perubahan lain terkait dengan dehidrasi sel (efek larutan). Pembekuan spontan merupakan langkah untuk mengurangi efek larutan, tetapi proses ini dapat meningkatkan pembentukan kristal es. Pembentukan kristal es yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan mekanis yang berat. Pembekuan bertahap dapat mengurangi pembentukkan kristal es, tetapi juga dapat memacu kerusakan yang disebabkan efek larutan (Hafez, 2000).
Selama kriopreservasi terjadi perubahan temperatur dan osmolalitas yang ekstrem. Aksi tersebut berefek pada struktur organisasi dan komposisi lipid membran plasma di tiap bagian penting sperma (Arthur et al., 1996; Moće dan Graham, 2008). Kerusakan fungsional sperma merupakan konsekuensi perubahan struktur organisasi dan komposisi lipid di membran plasma. Kerusakan fungsional sperma berefek pada penurunan motilitas, pergerakan abnormal (circullar movement), dan kematian dini sperma (Loomis dan Graham, 2008).
Tujuan dari makalah ini adalah memberikan informasi terbaru mengenai efek kriopreservasi terhadap survival sel sperma, sehingga data yang diperoleh mampu melengkapi langkah teknis kriopreservasi secara benar.
Preservasi Semen Sapi
Semen dengan kualitas rendah umumnya mempunyai ketahanan yang rendah terhadap proses pembekuan dan thawing. Evaluasi terhadap konsentrasi, motilitas dan morfologi sperma merupakan kualitas kontrol dari semen yang siap di kriopreservasi (Curry, 1995).
Penggunaan diluent dalam kriopreservasi harus memenuhi beberapa syarat, antara lain mampu menjaga stabilitas osmotik, pH dan derajat ionisasi. Selain itu, diluent semen juga harus menggandung substrat energi, cryoprotectant dan agen antimicrobial. Utamanya, diluent yang bersifat hiperosmotic sering digunakan dalam aplikasi kriopreservasi. Tujuan penggunaan hiperosmotic diluent adalah mengurangi tingkat dehidrasi sel selama kriopreservasi (Curry, 1995; Hafez, 2000).
Kisaran normal pH semen untuk mammalia adalah 6,9-7,1 (Curry, 1995; Arthur et al., 1996). Buffer merupakan substansi tambahan yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas pH dan tonicity. TES-TRIS (N-Tris[hydroxymethyl]ethyl-2-aminoethane-sulfonic acid (TES), Tris [Hydroxymethyl] amino-methane (TRIS) 11.0 gr/L) dan TES-TRIS-egg yolk-glycerol (TEST-EY-G) merupakan buffer yang diperlukan selama pembekuan sperma selama kriopreservasi. Tiap larutan buffer mempunyai tekanan osmotik 350 mOsm. Citrate merupakan substansi lain yang perlu ditambahkan dalam buffer (Curry, 1995). Fungsi citrate adalah mempertahankan pH sperma agar tetap netral. Kandungan protein yang terdapat di produk skim milk mampu menyediakan kapasitas buffering dalam diluent (Curry, 1995; Arthur et al., 1996).
Secara teknis, diluent merupakan larutan yang mampu menjaga stabilitas ionik membran plasma untuk tetap normal. Kondisi non-ionik terbukti dapat memelihara stabilitas membran plasma sel sperma selama kriopreservasi. Maka, komposisi utama diluent haruslah dari constituent non-ionic (Curry, 1995).
Metabolisme sperma diperantarai oleh molekul sederhana, utamanya adalah fruktosa, glukosa, manosa, dan pyruvate. Komponen gula dan derivatnya tersebut berfungsi sebagai substansi dasar penyedia energi dan pemelihara gradien ionik antar membran (Curry, 1995; Arthur et al., 1996).
Saat ini dikenal 2 agen cryoprotectant, yaitu penetrating cryoprotectant dan non penetrating cryoprotectant. Penetrating cryoprotectant, seperti glycerol atau dimethyl sulfooxide (DMSO) bekerja dengan aksi mengurangi tingkat dehidrasi sel, sehingga secara teknis dapat mengurangi efek kerusakan larutan. Selain itu, penetrating cryoprotectant bekerja dengan mengikat air, sehingga komponen intracellular tidak dapat diubah menjadi ice crystal. Non penetrating cryoprotectant, seperti disaccharides atau protein bekerja dengan aksi mempersingkat kejadian dehidrasi sel selama proses pendinginan cepat (Arthur et al., 1996).
Dalam kriopreservasi sperma, glycerol merupakan cryoprotectant utama untuk spermatozoa mammalia. Penggunaan glycerol di tiap spesies mempunyai konsentrasi yang berbeda. Pada sapi, konsentrasi optimal glycerol dalam diluent adalah 6-9% (v/v) (Curry, 1995).
Kuning telur mempunyai efek cryoprotective pada sperma. Aktivitas cryoprotective kuning telur diperantarai oleh fraksi lipoprotein densitas rendah. Fraksi lipoprotein densitas rendah berfungsi sebagai agen lipid tambahan di membran plasma sel sperma. Seperti glycerol, konsentrasi optimal kuning telur berbeda di tiap spesies (Curry, 1995).
Sifat biologis semen adalah steril terhadap mikroba. Hadirnya mikroba dalam semen biasa terjadi selama koleksi semen. Cemaran mikroba dalam semen berefek pada penurunan fertilitas sperma. Penicillin (500-1000 IU/ml) dan streptomycin (0,5-1,0 mg/ml) merupakan antibiotik spektrum luas yang biasa dipakai dalam diluent. Dengan range dosis tersebut, penicillin dan streptomycin terbukti aman untuk sperma. Beberapa antibiotik mempunyai efek toxic pada sperma, contohnya sulfanamide, oxytetracyline dan gentamycin (Arthur et al., 1996; Curry, 1995).
Fungsi penambahan diluent pada semen adalah mengurangi efek toxic potensial dari cairan seminalis, mensuspensikan sperma dalam TEST-EY-G freezing diluent, dan meningkatkan volume semen. Pada sapi, standar densitas spermatozoa pasca penggunaan diluent adalah 2 x 107/ml (Curry, 1995).
Paillettes atau straw merupakan tempat penyimpanan semen–extender mixture selama pembekuan. Pailletes atau straw tersedia dalam beberapa ukuran standar, yaitu 0,25 dan 0,5 ml. Supplier utama straw adalah Instrumen de medicine veternaire (IMV: P’Aigle, France) dan minitub (Tiefeubach bei Laudshut, Germany). Perbedaan warna pada straw dan seals mempunyai nilai identifikasi spesies (Curry, 1995).
Pendinginan bertahap dengan suhu mula 5oC dapat mengurangi efek cold shock pada sperma (Curry, 1995). Sensitivitas sperma terhadap cold shock berbeda di tiap spesies. Beberapa spesies, seperti manusia dan ayam mempunyai sperma yang relatif resisten terhadap efek cold shock. Spesies lainnya, seperti sapi, kuda, domba dan kambing mempunyai sperma yang sensitif terhadap efek cold shock (Darin et al., 1977; Loomis dan Graham, 2008).
Syarat mencapai tingkat kriosurvival saat pembekuan, sperma harus sudah melewati periode adaptasi suhu lingkungan atau telah mendapatkan perlakuan pendinginan dengan suhu mula 5oC. Tujuan adaptasi pada suhu tersebut (15oC-5oC) adalah memberikan kesempatan glycerol untuk melakukan penetrasi di membran plasma sel sperma. Selain itu, tujuan lainnya adalah memberikan batas waktu membran plasma untuk mencapai periode keseimbangan/stabilisasi membran (Curry, 1995).
Aplikasi Kriopreservasi Sperma
Penyimpanan semen dalam jangka waktu yang lama membutuhkan aplikasi teknologi, berupa kriopreservasi. Namun demikian, aplikasi dari teknologi ini sering bermasalah dalam mempertahankan kemampuan hidup sperma terhadap cold shock. Syarat minimum substansi yang dapat melindungi sperma dari proses freezing adalah dapat melindungi sperma dari efek cold shock dan deleterious. Cryoprotectant merupakan substansi tambahan yang digunakan untuk melindungi sperma dari efek deleterious, sebagai konsekuensi proses freezing (Arthur et al., 1996).
Saat semen-extender mixture mencapai titik beku, ice crystal dari air murni mulai terbentuk. Bagian yang tidak membeku merupakan konsentrasi dari makromolekul dan molekul non-soluable lipid yang terkandung dalam larutan. Perbedaan gradien osmotik extra- dan intracelullar berfungsi memelihara stabilitas membran selama pembekuan. Secara teknis, sel masih dapat melakukan transport aktif dan pasif selama pembekuan (Arthur et al.,1996).
Gambar 2. Sel mengalami penyusutan selama proses freezing. Extracellular freezing akan berpengaruh pada tekanan osmotik, sehingga sel mengalami dehidrasi untuk proses freezing yang bertahap. Freezing yang terlalu cepat akan mengakibatkan terbentuknya intracellular ice crystal. Konsekuensi dari terbentuknya intracellular ice crystal. adalah kematian sperma saat perlakuan thawing (Arthur et al., 1996).
Menurut Curry (1995), pada suhu -15oC hingga -20oC sperma masih dapat melakukan aktivitas metabolisme. Konfirmasi metabolisme diperoleh berdasarkan aksi menghasilkan panas (latent heat) di kisaran suhu tersebut. Batas temperatur latent heat yang diproduksi spermatozoa adalah 7-8oC (Gambar 3). Saat supercooling terjadi, sel akan mengalami dehidrasi berat (Curry, 1995; Arthur et al., 1996). Hal ini karena sejumlah besar air berpindah menuju unfrozen part medium extracellular (Arthur et al., 1996).
Prinsip biofisika yang diaplikasikan untuk pembekuan sel dan jaringan hidup, secara linear dapat juga diaplikasikan pada sperma. Sperma dapat mengalami kerusakan selama kriopreservasi dan/atau thawing, ketika intracellular ice crystal terbentuk dalam jumlah yang banyak atau oleh peningkatan konsentrasi larutan intracellular dan perubahan lain terkait dengan dehidrasi sel (efek larutan). Pembekuan spontan merupakan langkah untuk mengurangi efek larutan, tetapi proses ini dapat meningkatkan pembentukan ice crystal. Pembentukan ice crystal yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan mekanis yang berat. Pembekuan bertahap dapat mengurangi pembentukkan ice crystal, tetapi juga dapat memacu kerusakan yang disebabkan efek larutan (Hafez, 2000).
Prinsip kerja dari agen cryoprotectant adalah meningkatkan kemampuan mempertahankan air dalam larutan, secara teknis agen tersebut bekerja dengan merubah avaibilitas air untuk menanggulangi dehidrasi sel atau bekerja dengan menghambat pembentukkan ice crystal. Saat ini dikenal 2 agen cryoprotectant, yaitu penetrating cryoprotectant dan non penetrating cryoprotectant. Penetrating cryoprotectant, seperti glycerol atau dimethyl sulfooxide (DMSO) bekerja dengan aksi mengurangi tingkat dehidrasi sel, sehingga secara teknis dapat mengurangi efek kerusakan larutan. Selain itu, penetrating cryoprotectant bekerja dengan mengikat air, sehingga komponen intracellular tidak dapat diubah menjadi ice crystal. Non penetrating cryoprotectant, seperti disaccharides atau protein bekerja dengan mempersingkat kejadian dehidrasi sel selama pembekuan spontan. Secara teknis, aksi kedua agen tersebut mempunyai satu tujuan, yaitu menghambat pembentukkan intracellular ice crystal. Meskipun demikian, hingga saat ini deskripsi mengenai aplikasi kriopreservasi sel masih dalam batas penjelasan empiris (Arthur et al., 1996).
Glycerol merupakan cryoprotectant utama yang digunakan untuk proses freezing semen mammalia. Konsentrasi optimum dari glycerol tergantung dari spesies hewan dan komponen lain yang terlarut. Sebagai contoh, penggunaan substansi tambahan lainnya, seperti dissacharides dapat menurunkan konsentrasi glycerol yang digunakan hingga 3-4%. Untuk penggunaan tunggal glycerol, konsentrasi glycerol dalam semen yang diperlukan adalah 7%. Sekarang ini, efek buruk dari glycerol pada suhu tinggi menjadi perdebatan (Arthur et al., 1996). Menurut Polge (1953), pemakaian glycerol untuk semen sapi lebih banyak mempunyai efek buruk di suhu 28oC dibandingkan di suhu 4oC. Lain halnya dengan pendapat Salisbury et al. (1978), yaitu efek buruk glycerol pada semen sapi ditiap suhu yang berbeda masih bersifat bias.
Awal mula diperkenalkan, aplikasi kriopreservasi semen memakai fasilitas glass ampoules yang dibekukan dalam campuran alcohol dan carbon dioxide padat. Suhu akhir yang diperoleh dalam medium tersebut adalah -79oC (Salisbury et al., 1978). Penyimpanan dalam jangka waktu yang lama pada suhu -79oC memberikan efek negatif pada sperma (Pickett et al., 1961; Stewart, 1964). Ini dikarenakan, pada kisaran suhu tersebut masa hidup sperma berlangsung pendek, tetapi dalam penggunaannya carbon dioxide dapat memberikan efek positif mempertahankan metabolisme dan motilitas sperma. Konfirmasi tersebut mengandung arti bahwa penggunaan carbon dioxide dapat memperpanjang masa hidup sperma (Vandemark et al., 1965; Foote, 1967).
Nitrogen cair merupakan medium standar penyimpanan sperma dalam jangka waktu yang lama, tanpa menimbulkan efek buruk di sperma. Sampai sekarang, teknis kriopreservasi semen dengan nitrogen cair mempunyai 2 metode aplikasi. Metode tersebut, antara lain pembekuan bertahap dan pembekuan spontan (Arthur et al., 1996; Hafez et al., 2000). Analisis data dilaboratorium menunjukkan bahwa pembekuan sperma secara bertahap lebih baik dibandingkan pembekuan sperma secara spontan (Holt, 2000). Teknis kriopreservasi diawali dengan pemakaian straw atau paillettes untuk sperma yang sudah diencerkan, kemudian dengan skala suhu yang bertahap sperma dibekukan (Hafez et al., 2000). Menurut Arthur (1996), detail pendinginan bertahap secara benar adalah straw atau paillettes dibekukan terlebih dahulu dengan uap nitrogen cair selama 10 menit, setelah itu straw atau paillettes siap untuk dibekukan dalam nitrogen cair. Kisaran suhu untuk uap nitrogen cair adalah -120oC, sedangkan untuk perendaman dalam nitrogen cair adalah -196oC (Arthur et al., 1996; Holt, 2000; Hafez, 2000).
Thawing semen haruslah melewati proses yang cepat, proses yang lambat akan berpengaruh pada kerusakan membran (Salisbury et al., 1978). Sesuai prinsip biofisika, proses thawing yang cepat secara langsung dapat mengembalikan kondisi normal komposisi ionik intracellular sel. Thawing yang lambat mempengaruhi stabilitas membran sel, sehingga segmen intracellular dapat berubah dengan cepat menjadi ice crystal (Arthur et al., 1996).
PEMBAHASAN
Efektivitas Semen Setelah Penambahan Diluent dan Cryoprotectant
Kisaran normal pH semen untuk mammalia adalah 6,9-7,1 (Curry, 1995; Arthur et al., 1996). Motilitas partial spermatozoa dapat dipertahankan pada pH dengan kisaran 5-10 (Holt, 2000). Spermatozoa sapi menghasilkan asam laktat dalam jumlah yang tinggi dari metabolisme fruktosa plasma seminalis, sehingga penambahan buffer seperti garam fosfat, citrate dan bikarbonat diperlukan untuk penyimpanan sperma dalam jangka waktu yang lama/kriopreservasi (Curry, 1995).
Sperma tetap motil dalam waktu yang lama di dalam media isotonik. Umumnya sperma lebih mudah dipengaruhi oleh keadaan hipertonik daripada keadaan hipotonik (Toelihere, 1981, Arthur et al., 1996).
Penyesuaian Temperatur Pasca Freezing Semen
Aktivitas metabolisme dan motilitas sperma berbeda di tiap tingkatan suhu. Peningkatan temperatur hingga mencapai 10oC diatas suhu lingkungan akan berefek pada tingginya aktivitas metabolisme spermatozoa (2 kali lipat aktivitas), ini berakibat pada daya tahan hidup sperma yang di persingkat. Diatas suhu 50oC, sperma akan kehilangan daya geraknya dalam waktu 5 menit. Perbedaan motilitas pada suhu badan (37oC) dan suhu kamar (20oC) sangat jelas. Karena itu, pemeriksaan dan penilaian spermatozoa baiknya dilakukan pada suhu 37oC. Penyimpanan secara in vitro pada temperatur 37oC, spermatozoa hanya mampu bertahan hidup beberapa jam, karena aktivitas penimbunan asam laktat, penuaan dan pertumbuahan bakteri (Curry, 1995).
Pendinginan akan mengurangi aktivitas sperma dan memperpanjang masa hidupnya. Sperma akan rusak apabila di dinginkan di bawah 0oC, kecuali kalau di tambahkan cryoprotectant ke dalam medium. Apabila sperma yang di ejakulasikan di dinginkan dengan segera hingga mencapai suhu pembekuan, maka sperma akan kehilangan daya hidup yang tidak dapat di pulihkan kembali. Hal ini di namakan cold shock. Suatu tanda cold shock kriopreservasi adalah saat thawing, sperma tidak bergerak sama sekali. Kerusakan yang disebabkan oleh cold shock diakibatkan karena daya kontraksi membran lipoprotein lebih besar daripada kontraksi isi sel (intracelullar yang vital). Sperma pada ejakulat kedua lebih resisten terhadap cold shock daripada ejakulat pertama. Ini membuktikan resitensi terhadap cold shock adalah karakteristik spesifik sel bukan sifat plasma semen (Toelihere, 1981; Curry, 1995, Arthur et al., 1996).
Cold shock dapat dihindarkan atau dicegah, untuk semen sapi pendinginan bertahap dari suhu kritis 15oC sampai 0oC terbukti meningkatkan kriosurvival sperma pasca thawing. Cold shock dapat pula di hambat dengan penambahan non-penetrating cryoprotectant, seperti dissacharides dan protein. Fosfolipid dan lecithin merupakan komponen pelindung sperma yang terdapat pada egg yolk dan skimed milk (Curry, 1995).
KESIMPULAN
1. Umumnya sperma lebih mudah dipengaruhi oleh keadaan hipertonik daripada keadaan hipotonik
2. Cold shock dapat dihindarkan atau dicegah, untuk semen sapi pendinginan bertahap dari suhu kritis 15oC sampai 0oC terbukti meningkatkan kriosurvival sperma pasca thawing.
3. Sesuai prinsip biofisika, proses thawing yang cepat secara langsung dapat mengembalikan kondisi normal komposisi ionik intracellular sel. Thawing yang lambat mempengaruhi stabilitas membran sel, sehingga segmen intracellular dapat berubah dengan cepat menjadi ice crystal
DAFTAR PUSTAKA
Arthur, G.H., Noakes, D.E., Harold, P., Parkinson, T.J. 1996. Veterinary Reproduction and Obstetrics. Seventh Edition. W.B. Saunders Company Ltd. London, England.
Curry, M.R., 1995. Kriopreservasi of Semen from Domestic Livestocks. In: Cryopreservasi and Freeze-Drying Protocol. Humana Press Inc., Totowa, NJ.
Darin-Bennet, A., White I.G. 1977. Influence of Cholesterol Content of Mammalian Spermatozoa on Susceptbility to Cold-Shock. Cryobiology 14, 466-470.
Foote RH, 1980. Artificial Insemination. In Reproduction in Farm Animal 4thEdition. Hafez, E.S.E. (Ed.). Lea and Febiger. Philadelpia.
Guthrie, H.D., Liu, J., Critser, J.K. 2002. Osmotic Tolerance Limits and Effect of Cryoprotectant on Motility of Bovine Spermatozoa. Biology of Reproduction 67, 1811-1816.
Hafez, E.S.E. 2000. Chapter 30: Preservation and Cryopreservation of Gametes and Embryos. In: Reproduction in Farm Animals. 7th Edition (Ed: B. Hafez and E.S.E. Hafez), Lippincott William and Wilkins Ltd (Baltimore), pp 431-442.
Holt, W.V. 2000. Basic Aspect of Frozen Storage of Semen. Anim. Reprod. Sci. 62, 3-22.
Loomis, P.R., Graham, J.K. 2008. Commercial Semen Freezing: Individual Male Variation in Cryosurvival and The Response of Stalion Sperm to Customized Freezing Protocol. Anim. Reprod. Sci. 105, 119-128.
Moce, E., Graham, J.K. 2008. In Vitro Evaluation of Sperm Quality. Anim. Reprod. Sci. 105. 104-118.
Ownby, C.L. 2004. Lab. Guide: Veterinary Histology. Oklahoma State University Press. Ohio, US.
Parks, J.E.m Kynch, D.V. 1992. Lipid Composition and Thermotropic Phase Behaviour of Boar, Bull, Stallion, and Rooster Sperm Membranes. Cryobiology 29, 255-266.
Salisbury, G.W., VanDemark, N.L., Lodge, J.R. 1978. Physiology of Reproduction and Artificial Insemination of Cattle. Second Edition. San Francisco: Freeman.
Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Edisi Pertama. Penerbit Angkasa, Bandung-Indonesia.
Watson, P.F. 1981. The Effect of Cold Shock on Sperm Cell Membranes. In: Morris, G.J., Clarke, A. (Eds.), Effect of Low Temperature on Biological Membranes. Academic Press, New York, NY, pp. 189-218.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar