PENDAHULUAN
Saluran reproduksi sebagaimana sistem organ lain seperti saluran pernafasan dan saluran pencernaan, juga mempunyai resiko terinfeksi oleh mikroorganisme. Pada saat perkawinan misalnya, kontaminasi mikroba dapat terjadi karena penis dan seminal plasma mengandung mikroorganisme. Juga pada saat partus, cervix yang berdilatasi dan jaringan plasentanya dapat sebagai sarana bagi mikroorganisme bergerak menuju uterus. Faktor lingkungan dan mekanisme yang lain juga dapat membawa mikroorganisme ke dalam saluran reproduksi. Pada kejadian invasi mikroba ini, mikroorganisme dapat cepat pergi dari saluran reproduksi, sehingga saluran reproduksi tetap terbebas dari infeksi.
Lokasi mukosa yang dihuni oleh flora komensal perlu untuk mampu membedakan antara organisme komensal dan patogenik yang akan dihadapi untuk menghasilkan respon imun yang bersifat melindungi. Saluran reproduksi betina bagian bawah merupakan tempatnya, sedangkan yang bagian atas normalnya steril. Perbedaan terlihat saat invasi mikroba disepanjang saluran reproduksi diperkirakan bahwa mekanisme pertahanan bawaan yang diperlukan untuk merespon dan bereaksi terhadap mikroorganisme berbeda dari vagina sampai uterus. Sistem imunitas bawaan mempunyai tiga fungsi penting: pertama, mencegah infeksi/peradangan pada jaringan fisik ; yang kedua, saat terjadi infeksi dapat menghasilkan komponen antimikroba yang berfungsi untuk mengurangi multiplikasi patogen sampai respon adaptif mempunyai waktu untuk berkembang ; yang ke tiga, menghasilkan molekul immunomodulator yang mengarahkan fenotip pada respon imun adaptif. Kombinasi dari mekanisme pertahanan ini penting untuk melindungi diri sendiri dari agen infeksi yang cepat menyebar semakin luas.
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Reproduksi Betina
Anatomi saluran reproduksi.
Saluran reproduksi sapi betina terdiri dari vestibula berlanjut ke vagina, cervix, uterus bicornuat, oviduk dan ovarium. Urethra menyatu dengan saluran reproduksi di dasar vagina dan sebagai tanda batas dengan vestibuli. Perbedaan anatomis yang mencolok antara saluran reproduksi bagian atas dan bawah terlihat pada perbedaan membran mukosa yang melapisinya. Vagina mempunyai lapisan sel epitel squamus sedangkan glandula mukosa yang melapisi uterus atau endometrium adalah epitel kolumner komplek. Endometrium sapi mempunyai 70-100 karunkula. Karunkula merupakan struktur yang menonjol seperti mangkuk yang merupakan tempat perlekatan kotiledon fetus dengan plasenta saat kebuntingan. Uterus merupakan suatu glandular, dengan glandula uterin tersebar di sekitar endometrium, kecuali di karunkula (Frandson, 1992).
Tipe plasenta sapi adalah epitheliochorialis. Pertukaran nutrisi dan produk buangan antara janin dan induk terjadi dalam placentomes (Frandson, 1992).
Hormon reproduksi
Reproduksi adalah suatu proses yang membutuhkan energi terutama pada betina. Sangat penting bagi mamalia betina untuk menentukan umur partus dengan daya tahan hidup yang terbaik. Tahapan reproduksi diatur oleh beberapa hormon, dan periode ketika betina mau menerima kawin secara seksual dikenal sebagai estrus. Tingkatan berbagai hormon di dalam plasma bervariasi sepanjang siklus. Estrus didahului oleh peningkatan hormon follicle-stimulating (FSH), yang mengurangi tingkatan hormon estrogen, juga peningkatan hormon LH yang menyebabkan ovulasi. Level progesteron sangat rendah saat ovulasi terjadi. Jika ovum yang dilepaskan dibuahi, embrio mulai berkembang di dalam uterus. Pada tahapan ini penting untuk ovum yang disudah dibuahi untuk berkembang dan juga bagi induk untuk berhenti memproduksi ova. Pada akhirnya, embrio mengeluarkan produk yang menghambat uterus mengeluarkan prostaglandin F2α (PGF2α) yang merupakan suatu produk uterus non-pregnant yang menyebabkan leutolysis dan regresi korpus luteum. Korpus luteum adalah suatu struktur dalam ovarium memproduksi progesteron dengan level yang tinggi. Progesterone menghambat terjadinya estrus dan menyebabkan implantasi dan perkembangan embrio, sehingga kebuntingan berkembang pesat. Proses ini dikenal sebagai maternal recognition of pregnancy (pengenalan kebuntingan induk). Pada beberapa spesies korpus luteum adalah sumber progesteron selama kebuntingan. Level progesterone dalam plasma meningkat dengan jelas pada kebuntingan 90-125 hari, kemudian turun drastis pada saat partus. Estrogen meningkat sekitar hari ke 120 dan menunjukkan peningkatan yang drastis saat 24 jam menjelang partus. Level prostaglandin E2 (PGE2) juga meningkat di akhir tahap kebuntingan dan sepanjang proses partus. Sebagian dari hormon ini diketahui mempunyai pengaruh langsung terhadap fungsi immun khususnya estrogen, progesterone dan PGE2. Fluktuasi pada level hormon sepanjang siklus reproduksi dan kebuntingan perlu dipahami untuk mengetahui kontrol imunitas induk pada infeksi penyakit dalam saluran reproduksi (Frandson, 1992).
Sistem Imunologi
Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk mempertahankan keutuhan tubuh, sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Fungsinya sebagai pertahanan, homeostatis dan pengawasan. Adanya mikroorganisme dalam tubuh maka akan menimbulkan respon imun. Respon imun ada 2 yaitu respon imun Spesifik ( deskriminasi self dan non self, memori, spesifisitas) dan respon imun non Spesifik (efektif untuk semua mikroorganisme) (Austyn and Wood, 1993).
Fagositosis merupakan salah satu sistem pertahanan tubuh terhadap serangan benda asing seperti bakteri yang meliputi berbagai tahap yaitu pengenalan terhadap adanya benda asing, pergerakan terhadap benda asing, penyerangan, ingesti dan digesti intraselluler oleh mekanisme antimikrobial. Tahap – tahap ini penting untuk mengetahui aktivitas leukosit (Bellanti,1993).
Fungsi utama fagosit adalah migrasi, kemotaksis, memakan, dan mematikan mikroorganisme. Mikroorganisme dan benda – benda lain yang memasuki saluran getah bening, paru – paru, sumsum tulang, atau pembuluh darah akan ditelan oleh salah satu dari berbagai fagosit. Diantaranya adalah leukosit polimorfonuklear (berinti polimorf), monosit makrofag, dan makrofag tertentu pada sistem retikuloendotelial. Sel fagositik dalam pengaturan tubuh adalah lokalisasi dan pemusnahan benda-benda asing, misalnya mikroorganisme. Proses fagositosis dibagi menjadi dua fase yaitu fase perlekatan dan fase ingesti (Jawetz et al., 1996).
Sel-sel yang berperan dalam sistem imun / respon imun yaitu sel B, sel T, makrofag, sel dentritik dan langerhans, sel NK mereka sebagai mediator sitokin. Limfosit B terdapat pada darah perifer (10 – 20%), sumsum tulang, jaringan limfoid perifer, lien, tonsil. Adanya rangsangan menyebabkan sel B, berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma, yang mampu membentuk Ig : G, M, A, D, E. Limfosit T terdapat pada darah perifer (60 – 70 %), parakortek kel limfe, periarterioler lien. Punya reseptor : T cell receptor (TCR), untuk mengikat Ag spesifik dan mengekspresikan mol CD4 ( Cluste Differentiation type 4 ) dan CD8 . Sel natural killer merupakan sell null (non B non T) ok TCR (-), dan tak menghasilkan AB, 0 – 20 % limfosit perifer, mampu membuat lisis sel tumor, mengekspresikan CD16, dan CD56 pada permukaan. Bentuk lebih besar dibanding sel B dan T, mempunyai granula azurofilik dalam sitoplasma (large granula limphocyt). Sel dentritik terdapat pada jaringan limfoid dan langerhans terdapat pada epidermis dan termasuk sel APC (antigen presenting cell) / sel penyaji. Sitokin merupakan messenger molecule dalam sistem imun dan regulasi RI perlu interaksi antara limfosit, monosit, sel radang, sel endotel → perlu mediator agar terjadi kontak antar sel (Austyn and Wood, 1993).
Kategori sitokin yaitu mediator imunitas humoral, yang berfungsi sebagai pelindung terhadap infeksi virus (interveron), memicu RI non spesifik terhadap radang, Berhubungan dengan regulasi pertumbuhan, aktivasi dan deferensiasi limfosit, mengaktifkan sel radang (faktor penghambat migrasi) dan merangsang hemopoisis (Austyn and Wood, 1993).
Sistem Imun Saluran Reproduksi Betina
Anatomi
Vagina adalah bagian saluran reproduksi yang mempunyai kontak dengan udara luar dan merupakan gerbang bagi mikroorganisme memasuki tubuh. Sementara vulva dan otot sphincter vulva memperkecil kemungkinan masuknya mikroorganisme ke dalam vagina, demikian pula otot sphincter vestibula memperkecil pergerakan mikroba menuju arah anterior vagina (Staples et al., 1982).
Cervix adalah barier fisik bagi pergerakan mikroorganisme lebih jauh ke dalam saluran reproduksi. Cervix merupakan pertahanan yang baik karena terdiri dari suatu otot yang meligkar seperti cincin dan kenyal. Fungsi cervix difasilitasi oleh sekresi organ ini yang kental dan dapat menutupi lumen cervix selama terjadi kebuntingan. Sekresi cervix ini juga mengandung molekul yang disebut lactoferrin yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Selain fungsi cervix yang sebagai barier fisik tersebut, saluran reproduksi mengandung macrophages, lymfosit T, lymfosit B, neutrofil dan sel-sel lain yang berperan dalam menjaga saluran reproduksi tetap steril. Selain itu, saluran reproduksi juga difasilitasi oleh aliran sistem lympha. Pembuluh-pembuluh lympha mengaliri uterus bersama-sama dengan pembluh-pembuluh dari ovarium sehingga konsentrasi progesterone pada saluran lympha utero-ovari pada sisi ipsilateral dimana ovarium dengan corpus luteum yang berfungsi, mencapai 10-1000 lebih tinggi dari pada konsentrasi progesterone yang berada di pembuluh darah jugularis ( Staples et al., 1982). Sebagian besar aliran kelenjar lympha di saluran reproduksi berasal kelenjar lympha iliaca media dan lumbo-aortica. Saluran lympha ini juga merupakan kumpulan kelenjar lympha dari jaringan organ lain di ruang abdominal dan pelvis (Staples et al., 1982).
Barier-barier fisik merupakan bentuk lapisan pertahanan pertama pada permukaan mukosa induk. Sebagai contoh, batas tipis sel epithelial dan sekresi mucosa merupakan faktor penting dalam pencegahan masuknya mikroba ke jaringan. Flora normal di vagina seperti Lactobacillus spp menghasilkan asam laktat dan hidrogen peroksida untuk menciptakan lingkungan pH yang rendah
(<>(Bischof et al., 1994)
Sel epithelial di saluran reproduksi tidak hanya mempunyai kemampuan untuk mengenali pathogen, tetapi juga mampu merespon infeksi dengan menghasilkan komponen antimikroba, chemokine dan cytokine. Diantara komponen antimikrobial itu adalah defensins. Defensins adalah suatu highly-conserved dari kelompok cationik peptida yang menunjukkan aktifitas spektrum luas untuk melawan terhadap bakteri, virus dan jamur. Dua sub-familia utama defensins adalah α dan β- defensins. α-defensins sebagian besar dihasilkan oleh neutrophils dan sel paneth sedangkan β-defensins dihasilkan oleh sel epithelial dan keratinocytes. Sebagai tambahan untuk peran antimicrobial, β-defensins juga mempunyai immunomodulator dan bertindak sebagai suatu chemoattractant untuk sel dendritik yang belum dewasa dan memori T-sel, sedangkan murine β - defensin-2 mengikat bagian sel dendrit dan dapat memulai respon kekebalan sendiri terhadap radang (Bischof, et al, 1994)
Sel-sel di dalam saluran reproduksi sapi menghasilkan molekul anti-protease, elafin dan secretory leukocyte protease inhibitor (SLPI). Elafin dan SLPI dapat menetralkan elastase yang dihasilkan oleh infiltrasi neutrofil selama infeksi dan mempunyai peran penting dalam pengaturan rusaknya jaringan sebagai hasil dari proses peradangan. Sebagai tambahan, kedua molekul memperlihatkan kaya akan antimikrobial sehingga dapat sebagai pertahanan bawaan sendiri (Bischofet al., 1994)
Sistem Imun Innate
Saat antigen berada di saluran reproduksi, reaksi penolakan/pengluaran pertama dilakukan oleh sel-sel phagosit dari sistem imun innate. Makrophag dan sel-sel dendritelike berada di saluran reproduksi. Biasanya sangat sedikit neutrofil yang hadir pada saluran reproduksi saat tidak terjadinya infeksi, walaupun pada babi, sel-sel ini dapat terlihat pada basal epitel endometrium uterus, terutama pada saat mendekati estrus (Bischof, et al, 1994). Infeksi mikroba, deposit semen atau keradangan lain menyebabkan dirilisnya molekul chemotatic yang merangsang pergerakan neutrofil keluar dari darah dan masuk ke dalam lumen uterus. Contohnya, jumlah neutrofil yang ditemukan dari lumen uterus pada sapi yang diberi oyster glycogen secara intra uterin yang merupakan rangsangan neutrofil, jumlahnya menjadi bervariasi dari 108 – 109 sel apabila dibandingkan dengan sapi yang tidak mendapatkan oyster glycogen yaitu hanya 105 sel (Aander Chacin et al., 1990).
Neutrofil dan sel makrophag memangsa dan memfagosit mikroorganisme di dalam saluran reproduksi sapi betina jika ada infeksi. Fagositosis Neutrofil di tingkatkan oleh opsonisasi mikroorganisme dan material partikulate lainnya. Opsonins (dari bahasa Yunani opsonein, yang berarti “menyediakan makanan”) adalah molekul-molekul yang mengikat antigen tertentu dan meningkatkan afinitas phagositosis untuk antigen tersebut. Sebagai contoh, serum yang mengandung komplemen C3b dapat menyebabkan opsonization dengan mengikat mikroorganisme; dimana neutrofil dan macrophage mempunyai reseptor untuk C3b pada permukaan selnya. Memang hal ini terlihat kecil perannya sebagai komplemen di cairan uterus, namun paling tidak, dapat terlihat pada kuda. Imunoglobulin yang juga terdapat dalam cairan uterus, dapat berperan sebagai opsonins. IgG adalah sebagian besar opsonins dalam cairan uterus kuda (Hansen and Asbury, 1987).
Infeksi mikroba pada saluran reproduksi sapi betina ditandai dengan terjadinya keradangan, akan dibarengi dengan terjadinya vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vascular, pergerakan protein serum menuju lumen uterus dan produksi cairan uterus ( uterus discharge). Efek ini adalah karena aktivasi mast cell, basofil dan eosinofil yang melepaskan molekul vasoactive. Selama terjadinya infeksi pada uterus ini, physical clearance dari mikroorganisme akibat gerakan cairan keradangan dari cervix dan vulva merupakan mekanisme yang penting guna menurunkan kejadian infeksinya. Saluran reproduksi sapi betina juga mensekresi protein yang berperan dalam penekanan pertumbuhan bakteri. Hal ini meliputi lysozyme yang teridentifikasi pada uterus babi dan lactoferrin, yang ditemukan dalam cairan uterus pada sapi. (LeBlanc et al.,1989).
Respon imun terhadap sperma
Sperma bersifat antigenik ketika diinjeksikan secara subkutan kepada individu sapi betina. Sehubungan dengan hal itu, harus dipelajari mekanisme pergerakan sperma dalam saluran reproduksi sapi betina setelah perkawinan, sehingga tidak menyebabkan berkembangnya imunitas humoral atau seluler terhadap sperma itu. Takdir utama bagi sperma yang berada dalam saluran reproduksi sapi betina adalah difagositosis oleh neutrofil; hadirnya sperma dapat menyebabkan masuknya sel-sel phagosit (neutrofil, makrofag dan dendrite-like cells) ke dalam saluran reproduksi. Pada kuda jantan, komponen seminal plasma menyelubungi sperma dan bertindak sebagai opsonins untuk menghadapi proses phagositosis sperma lebih lanjut (Hansen et al., 1987). Seminal plasma juga mengandung berbagai molekul yang dapat menghambat aktifasi limfosit. Terjadi penurunan limfosit T dalam endometrium babi setelah proses perkawinan dengan pejantan yang divasektomi, hal ini mengindikasikan bahwa komponen seminal plasma dapat menurunkan jumlah limfosit di uterus ( Bischof et al., 1994). Selain mekanisme untuk menghindari respon imun terhadap sperma di atas, pada individu betina dapat mengembangkan imunitas anti-sperma, dan antibodi terhadap sperma ini dapat ditemukan dalam saluran reproduksi. Kejadian antibodi anti-sperma pada hewan domestik betina belum diketahui secara tepat, namun demikian diyakini bahwa sapi betina yang memiliki antibodi anti-sperma itu adalah infertil. Beberapa percobaan pada babi menunjukkan bahwa beberapa aspek stimulasi imun oleh semen mungkin bermanfaat bagi kebuntingan berikutnya. Pada beberapa studi (walaupun tidak semua), deposisi killed semen pada uterus sebelum perkawinan dapat meningkatkan litter size. Deposisi cairan seminal dalam uterus meningkatkan proliferasi epithel lumen endometrium. Jadi, hadirnya growth factors sebagai respon dari deposisi semen berpengaruh pada pertumbuhan endometrial (Bischof et al., 1994)
Implikasi imunologi dan Perubahan jumlah limfosit selama kebuntingan
Kebuntingan disini diasosiasikan dengan perubahan pada jumlah limfosit dalam uterus. Ketika beberapa sel jumlahnya menurun, yang lain justru terlihat menjadi aktif. Pada sapi, juga terjadi penurunan limfosit intraepithelial pada awal kebuntingan, dimana jumlah limfositnya ini adalah separuh dari jumlah pada saat siklus tidak terjadi kebuntingan (Vander Wielen and King,1984). Penurunan ini mungkin disebabkan adanya interferon-ë, yang dikeluarkan oleh sel-sel tropoblast (sekresi maksimal terjadi pada hari ke 17) yang dapat menghambat proliferasi limfosit. Pada babi, pada kebuntingan awal diasosiasikan dengan penurunan jumlah limfosit T pada epithel endometrium dan pada dasar stroma pada hari ke 2-4 post estrus (Bischof et al., 1995). Pada babi juga terlihat hadirnya sel-sel NK pada hari ke 10 – 20 kebuntingan, dimana pada ternak yang tidak bunting sel NK ini tidak ditemui. Pembentukan plasenta diasosiasikan dengan pola regional dari distribusi limfosit dalam uterus, sehingga hanya sedikit limfosit berada dalam placentom ( Low et al., 1990). Pola kehadiran limfosit yang serupa juga dapat dilihat pada endometrium domba selama kebuntingan, dimana limfosit terkonsentrasi pada daerah intercaruncula (Lee et al., 1992).
Gambar 2. Aliran sel lymphoid dalam uterus (Timmons et al.,2009)
Pada sapi konseptus mempunyai resiko untuk ditolak secara imunologikal oleh ibunya karena gen warisan dari ayahnyalah yang membuat konseptus itu sebagai benda asing. Peletakan jaringan asing lain seperti cangkokan kulit (skin graft) ke dalam uterus mengakibatkan penolakan terhadap jaringan asing itu, tetapi konseptus biasanya dapat tumbuh dengan subur pada lingkungan yang sama ini, tanpa mengalami serangan penolakan imunologi dari ibunya. Jadi, evolusi dari proses kelahiran hidup telah dibarengi dengan pengembangan mekanisme untuk mencegah perusakan fetus secara imunologikal. Mekanisme ini meliputi pengubahan sifat antigenik dari plasenta itu sendiri, sebagaimana proses regulator yang difasilitasi oleh plasenta bersama-sama molekul maternal yang ditujukan langsung kepada lymfosit maternal supaya jauh dari respon cytotoxic anti-fetal (Lee et al., 1992).
Keguguran dapat terjadi apabila sang sapi betina mempunyai respon imun anti-fetal. Secara in-vitro, sel-sel tropoblast babi dapat lisis oleh sel-sel NK dari endometrium. Beberapa bukti pada rodensia menunjukkan, tipe tertentu dari sel imun ibunya yang dapat mengenali konseptus, akan bermanfaat bagi perkembangan konseptus itu. Hal ini mungkin karena adanya sekresi cytokine yang dapat meningkatkan fungsi plasenta atau “pengenalan” itu dapat mengubah fungsi imun yang dapat memperkecil efek imunitas anti-fetal (Lee et al., 1992).
Pengenalan patogenitas dan imunitas saluran reproduksi
Telah lama diketahui bahwa respon bawaan tidak spesifik, sedangkan kespesifikan dari imunitas induk diperoleh dari respon adaptif, dengan limfosit, dan khususnya CD4+ T sel, yang megarahkan bagaimana induk merespon. Tetapi pada akhir-akhir ini paradigma itu berubah dengan penemuan pattern recognition receptors (PRR). PRR (ex. Toll Like Receptor; TLR) bereaksi terhadap pathogen-associated molecular patterns (PAMP) seperti lipopolysaccharide ( LPS), flagellin, unmetil oligodeoxynucleotides (ODN), rantai ganda RNA dan heat shock proteins (HSP). Ikatan PRR dengan PAMP menyebabkan profil sitokin lebih nyata sebagai respon sel yang memberikan level spesifik yang tak dikenali sebelumnya pada respon bawaan. Jalur pengenalan ini penting sebagai pencegahan penyakit karena dapat dimanfaatkan untuk merancangan respon adaptif yang aman sebagai calon antigen vaksin yang sesuai (Sheldon et al.,2002).
TLR adalah protein transmembrane yang memperlihatkan kespesifikan untuk PAMP yang berbeda. Intracellular memberi sinyal ke daerah mirip TLR yang peka interleukin-1. Selubung spesifik PAMP untuk menginisiasi TLR menyebarkan dimulainya pengaktifan dan translokasi faktor transkripsi nuklear yang mengakibatkan pola ekspresi gen-gen immune-related berbeda (Herath et al.,2009).
Mekanisme efektor immunitas adaptif humoral dan sellular beroperasi di dalam saluran reproduksi sapi betina. Immunoglobulin A ( IgA) dan IgG ditemukan dalam sekresi uterus dan vagina. Pada saluran reproduksi sapi betina normalnya terdapat sedikit sel T. sebagai elemen kunci kontrol dari respon immun adaptif yang menekan auto-reactive sel T dan mencegah kerusakan jaringan karena radang. Sel Treg mempunyai peran dalam immunologi reproduksi dan toleransi semi-allogeneic fetus. Pertambahan populasi sel Treg telah ditemukan pada uterus dan maternal selama kebuntingan sapi (Herath et al.,2009).
Pertahanan awal dari endometrium sapi dalam melawan mikroorganisme tergantung pada sistem kekebalan bawaan, termasuk sel yang peka rangsangan seperti toll-like receptors (TLRs), antimicrobial peptides (AMPs), and acute-phase proteins. Bakteri dideteksi berdasarkan kecocokan reseptor sel dengan mikroba, sering disebut pathogenassociated molecular patterns (PAMPs) (O’Neill, 2008). TLR1, TLR2 dan TLR6 mengenali lipid hasil bakteri seperti cuka lipoteichoic. TLR3, TLR7, TLR8 dan TLR 9 mengenal asam nukleat,virus dan bakteri gram positif seperti E coli yang terikat pada LPS dan dikenal dengan TLR4 yang bergabung dengan CD14 dan LY96. TLR5 mengikat flagela dan TLR9 juga mengenali DNA hasil bakteri. Aktivasi dari TLRs memberi sinyal untuk memproduksi sitokin proinflammatory dan chemokines untuk mengaktifkan sel kebal terhadap mikroba, pada kasus penyakit saluran reproduksi sapi di tandai dengan adanya jumlah PMNs yang banyak di dalam uterus (Sheldon et al., 2002).
Sel endometrial merespon adanya LPS dari bakteri yang di tandai oleh di tingkatkannya sintesis oksida nitrat, sintesis prostaglandin-endoperoxide synthase 2 (PTGS2), dan pengeluaran prostaglandin-prostaglandin F2a (-PGF) dan PGE. Sel stromal dan sel epithelial juga mengeluarkan PGE akibat adanya LPS. PGE mempunyai satu peran yang penting di dalam imunitas pada sapi menyusui, bertindak melalui prostaglandin untuk mengendalikan radang (Sheldon et al.,2002).
PEMBAHASAN
Lingkungan yang steril dalam saluran reproduksi dijaga oleh adanya sistem pertahanan antimikroba yang efektif yang meliputi barrier fisik, phagocytes yang menelan dan membunuh mikroorganisme, Limfosit B yang memproduksi antibodi melawan invasi mikroba dan limfosit T yang dapat membunuh virus dan bakteri yang menginfeksi sel-sel tubuh. Secara imunologi, saluran reproduksi bekerja bersama-sama dengan sistem imun yang umum yang terdapat pada mukosa jaringan yang berhubungan dengan saluran pernafasan dan pencernaan. Fungsi imun dalam saluran reproduksi diatur oleh hormone yang bekerja memaksimalkan fungsi antimikroba selama estrus, dimana terjadi ancaman invasi mikrobanya tinggi, dan menurunkan fungsi imun selama periode peningkatan sekresi progesterone, ketika deposisi mikroba terjadi sebagai bagian pada proses perkawinan dan ketika konseptus hadir di uterus. Suasana asing bagi konseptus yang disebabkan oleh gen warisan dari bapaknya yang seolah merupakan protein asing bagi ibunya, merupakan masalah yang unik untuk spesies-spesies viviparous karena sistem imun dari induk ini dapat secara potensial memusnahkan konseptus. Hal ini tidak selalu terjadi akibat dari adanya modifikasi sel-sel imun maternal sebagaimana kerjasama yang unik dari plasenta fetus yang melimitkan/memperkecil sifat keasingannya bagi induknya itu (Hafez and Hafez, 2000)
Hal ini dapat terlihat pada perkawinan campuran antara keledai jantan dan kuda betina serta Bos gaurus dan Bos taurus yang berhasil melahirkan keturunan. Juga pada teknologi manipulasi embrio yang dapat menciptakan anak lahir hidup dari fetus chimera yang berasal dari dua macam spesies yang berbeda. Terkadang, mekanisme pertahanan imunologik dalam saluran reproduksi tidak cukup untuk mencegah terjadinya kolonisasi mikroba, dan akibat infeksinya dapat menyebabkan infertilitas atau sterilitas yang bersifat sementara atau permanen, bahkan dapat membahayakan kehidupan ternak betina itu sendiri (Hafez and Hafez, 2000)
Fungsi sistem imun seluler
Sistem imunitas bawaan mempunyai fungsi penting yaitu mencegah infeksi/peradangan pada jaringan fisik, saat terjadi infeksi dapat menghasilkan komponen anti-microbial yang berfungsi untuk mengurangi multiplikasi patogen sampai respos adaptif mempunyai waktu untuk berkembang dan menghasilkan molekul immunomodulator yang mengarahkan fenotip pada respon imun adaptif. (Hafez and Hafez, 2000)
Pada Sapi, perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses reproduksi status pertahanan imunnya juga berbeda-beda. Selama estrus dan proses perkawinan misalnya, dimana cervix dalam keadaan terbuka untuk memungkinkan sperma masuk, maka dapat terjadi introduksi mikroorganisme ke dalam saluran reproduksi. Dalam hal ini adalah penting untuk mengeliminir mikroorganisme yang masuk ke saluran reproduksi secara efisien. Keberhasilan perkawinan diikuti dengan adanya pertumbuhan konseptus dalam uterus dimana konseptus itu sendiri adalah benda asing bagi induk sapi betina. Perubahan-perubahan fungsi imun maternal dan antigenik plasenta adalah sangat diperlukan untuk melindungi konseptus dari penolakan secara imunogenik dari induk sapi betina. Jaringan kerja imun dalam saluran reproduksi bersama-sama dengan kelenjar lympha mampu mengatur perubahan-perubahan yang terjadi karena sel-sel lymphoid dalam saluran reproduksi tersebut diatur oleh hormon steroid dari ovarium, molekul regulator dari seminal plasma dan factor-faktor produksi lokal saluran reproduksi dan konseptus (Hafez and Hafez, 2000).
Fungsi hormon Steroid
Sebagian besar hormon yang mengatur sistem imun dalam saluran reproduksi sapi betina adalah estradiol-17â dan progesterone. Pada sapi betina yang diovariektomi, dimana konsentrasi hormon steroidnya rendah, dapat membersihkan bakteri yang secara eksperimental diletakkan di uterus (Washburn et al., 1982). Estradiol-17â dapat memfasilitasi pembersihan mikroorganisme, sementara treatment dengan progesterone sering menyebabkan adanya infeksi uterus. Estrogen dapat meningkatkan migrasi sel-sel penyebab inflamasi pada saluran reproduksi. Produksi antibodi lokal juga diatur oleh ovarian steroid pada beberapa spesies. Sebagai contoh, jumlah sel plasma pada saluran reproduksi babi betina meningkat saat estrus. Pada kuda betina, konsentrasi IgA dalam cairan uterus dilaporkan lebih tinggi saat estrus dari pada saat fase luteal (LeBlanc et al.,1988). Hormon steroid dapat mengatur fungsi neutrofil dalam uterus. Pada sapi, sebagai contoh, jumlah leukosit yang menginvasi uterus setelah injeksi Esterichia coli intrauterus, tinggi saat estrus, tetapi tidak berbeda migrasi neutrofilnya. Pada kuda betina yang resisten terhadap endometritis, neutrofil yang terdapat pada saat estrus, lebih aktif dibandingkan dengan neutrofil yang dikoleksi pada saat fase luteal ( Asbury and Hansen, 1987). Pada mekanisme anti bakteri, progesterone terlihat memiliki peran yang besar selama masa kebuntingan dalam menghambat respon imun uterus. Hal ini dapat dilihat pada domba, dimana progesterone terlihat menghambat fungsi lymphosit dengan cara menginduksi sekresi protein dari endometrium uterus yang disebut ovine uterin serpin atau uterin milk protein yang bersifat immunosuppresif ( Staples et al., 1983).
Mekanisme patogenisitas bakteri dan imunitas saluran reproduksi
Mekanisme infertilitas akibat infeksi penyakit saluran reproduksi dimulai adanya keradangan akibat infeksi dari bakteri maupun toksin bakteri yang umum terjadi setelah kelahiran. Bakteri yang sering menyerang adalah E.coli dan A. Pyogenes (Sheldon et al., 2002). Sistem imunitas bawaan di siapkan oleh sel endometrial yang berupa TLRs, CD14 dan LY96 yang sangat peka terhadap adanya DNA bakteri, lipid bakteri, LPS bakteri dan LPS bakteri yang terikat pada LBP ( lipopolisakarida Binding Protein). Sel endometrial sapi mengeluarkan sitokin dan kemokin sebagai respon imunitas, meningkatkan ekspresi AMPs, sekresi PGE dan sedikit sekresi PGF. Adanya infeksi dari bakteri maupun toksin bakteri menyebabkan endometrial rusak dan mengurangi kesempatan konsepsi Sitokin dan kemokin merupakan respon imunitas. Chemokine menarik neutrofil (PMNs) dan makrofag (Mos) untuk memfagosit bakteri dan membunuh bakteri. Adanya jumlah neutrofil yang banyak merupakan karakter utama dari endometritis subklinis. Infeksi jaringan lebih lanjut ditandai dengan adanya virus (BoHV-4 (Bovine herpesvirus-4)) dan LPS bakteri yang secara terus menerus menginfeksi dan akan menyebar di dalam sel stromal dan sel epitelial (Sheldon et al.,2002).
Gambar 3. Mekanisme patogenisitas bakteri dan imunitas
saluran reproduksi (Sheldon et al.,2002).
Follicle-stimulating hormon (FSH) dari pituitari anterior mulai ada setelah minggu pertama setelah proses kelahiran dan merangsang pembentukan folikel. Adanya LPS bakteri dapat menghambat pelepasan dan pembebasan GnRH dari hipotalamus dan LH dari pituitari anterior sehingga menyebabkan tidak terjadinya ovulasi oleh folikel yang dominan. Pada saat terjadi endometritis cairan folikel berisi LPS maka diperlukan kombiasi yang komplek antara TLR4, CD14 dan LY96 untuk mendeteksi LPS dan LPS mengaggu pengeluaran estradiol dari sel granulosa. Sapi pada saat endometritis mengalami ovulasi maka akan mensekresikan progesteron korpus luteum dan siklus pembentukan folikel kembali dari awal lagi dengan kadar progesteron lebih rendah daripada sapi yang tidak mengalami endometritis. Luteolisis akan terganggu dan tahap-tahap luteal akan diperpanjang karena perpindahan bakteri dan pengeluaran prostaglandin dari setiap tahap kejadian (Herath et al.,2009).
KESIMPULAN
- Lingkungan yang steril dalam saluran reproduksi dijaga oleh adanya sistem pertahanan antimikroba yang efektif yang meliputi barrier fisik, phagocytes yang menelan dan membunuh mikroorganisme, Lymfosit B yang memproduksi antibody melawan invasi mikroba dan lymfosit T yang dapat membunuh virus dan bakteri yang menginfeksi sel-sel host.
- Cervik merupakan pertahanan yang baik karena terdiri dari suatu otot yang meligkar seperti cincin dan kenyal. Sekresi cervix mengandung molekul yang disebut lactoferrin yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
- Sebagian besar hormone yang mengatur sistem imun dalam saluran reproduksi sapi betina adalah estradiol-17â dan progesterone.
- Pada sapi, terjadi penurunan lymfosit intraepithelial pada awal kebuntingan, dimana jumlah lymfositnya ini adalah separuh dari jumlah pada saat siklus tidak terjadi kebuntingan.
- Sitokin dan chemokine merupakan respon imunitas. Chemokine menarik neutrofil (PMNs) dan makrofag (Mos) untuk memfagosit bakteri dan membunuh bakteri.
- Sistem imunitas bawaan mempunyai fungsi penting yaitu mencegah infeksi/peradangan pada jaringan fisik, saat terjadi infeksi dapat menghasilkan komponen anti-microbial yang berfungsi untuk mengurangi multiplikasi patogen sampai respos adaptif mempunyai waktu untuk berkembang dan menghasilkan molekul immunomodulator yang mengarahkan fenotip pada respon imun adaptif.
DAFTAR PUSTAKA
Ander Chacin,M.F.; Hansen,P.J. and Drost,M. 1990. Effects of stage of the estrous cycle and steroid treatment on uterine immunoglobulin content and polymorphonuclear leucocyte in cattle. Theriogenology, 1990; 34: 1169 – 1184.
Asbury, A.C. and Hansen, P.J. Effects of susceptibility of mares to endometritis and stage of cycle on phagocytic activity of uterine-derived neutrophils. J. Reprod.Fertil. Suppl. 1987; 35 : 311 – 316.
Austyn, J.M. and Wood, K.J.1993. Principles of Cellular and Molecular Immunology.
Bellanti, J, A., 1993. Imunologi III, (Judul asli : Immunology, Veterinary Clinical Immunology Laboratory, Vol. 2, Wahab, S. A., (Penerjemah), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hal. 7-9, 18-30, 293-302, 173-179.
Bischof,R.J.;
Bischof,R.J.;
Bischof,R.J.;Lee,C.S.;
Frandson, R. N. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi keempat.
Hafez, E.S.E and Hafez, B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7ed.. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia.
Hansen, P.J and Asbury, A.C. 1987. Opsonins of Streptococcus in uterin flushing of mares susceptible and resistant to endometritis : control of secretion and partial characterization. Am.J.Vet.res.1987;48 : 646 – 650.
Hansen,P.J.;Hoggard M.P. and Rathwell,A.C.1987. Effects of stallion seminal plasma on hydrogen peroxide release by leucocytes exposed to spreatozoa and bacteria. J.Reprod. Immunol. 1987;10:157 – 166.
Herath S, Lilly ST, Fischer DP, Williams EJ, Dobson H, Bryant CE, Sheldon IM. Bacterial lipopolysaccharide induces an endocrine switch from prostaglandin F2a to prostaglandin E2 in bovine endometrium. Endocrinology 2009; 150:1912–1920.
Jawetz, E., Melnick, J.L. And Adelberg, E.A., 1996. Edisi 20. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit Salemba Medika. Pp 119 – 121, 211 – 215
LeBlanc,M.M.; Hansen,P.J.and Buhi,W.C. 1988. Uterin protein secretion in postpartum and cyclic mares. Theriogenology 1988; 29 : 1303 – 1316.
LeBlanc,M.M.; Asbury, A.C. and Lyle, S.K. 1989. Uterine clearance mechanism during the early postovulatory period in mares. Am.J.Vet.Res.1989; 50 : 864 - 867.
Lee,C.S.;Meeusen,E.; Gogolin-Ewens,K.J. and
Low, B.G.; Hansen, P.J.; Drost, M. and Gogolin-Ewens, K.J. 1990. Expression of major histocompatibility complex antigens on the bovine placenta. J.Reprod. Fertil. 1990 ; 90 : 235 – 243.
O’Neill LA. The interleukin-1 receptor/Toll-like receptor superfamily: 10 years of progress. Immunol Rev 2008; 226:10–18.
Sheldon IM,
Staples, L.D; Fleet, I.R. and Heap, R.B. 1982. Anatomy of utero-ovarian lymphatic network and the composition of efferent lymph in relation to the establishment of pregnancy in the sheep and goat. J.Reprod.Fertil.1082; 64: 409 – 420.
Staples, L.D; Heap, R.B.; Wooding F.B.P. and King, G.J. 1983. Migration of leucocytes into the uterus after acute removal of ovarian progesterone during early pregnancy. Placenta.1983; 4: 339 – 350.
Timmons B. C., Anna–Marie Fairhurst, and Mala S Mahendroo. 2009. Temporal Changes in Myeloid Cells in the Cervix during Pregnancy and Parturition. J Immunol. 182(5): 2700–2707.
Vander Wielen,A.L. and King,G.J. 1984. Intraepithelial lymphocytes in the bovine uterus during the oestrous cycle and early gestation. J. Reprod. Ferti.1984 ; 70 : 457 - 462.
Washburn, S.M.; Klesius,P.H.; Ganjam, V.K. and Brown, B.G. 1982. Effect of estrogen and progesterone on the phagocytic response of ovariectomized mares injected in utero with â-hemolytic streptococci. Am.J.Vet.Res 1982; 43 : 1367 – 1370.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar