Diagnosa Kebuntingan
Diagnosa kebuntingan mempunyai arti yang penting dalam menentukan bunting tidaknya hewan, menanggulangi masalah infertilitas seawal mungkin dan meningkatkan efisiensi manajemen. Metode diagnosa kebuntingan meliputi deteksi fetus per-rektal (PKB) atau dengan ultrasonografi, menentukan perubahan fisik tubuh dan menentukan perubahan endokrin.
Secara garis besar indikasi dalam menentukan kebuntingan meliputi indikasi kebuntingan secara eksternal dan indikasi kebuntingan secara internal. Indikasi kebuntingan secara eksternal yaitu melalui catatan atau recording, adanya anestrus, pembesaran abdomen, meningkatnya berat badan, adanya gerakan fetus, membesarnya kelenjar susu, gerakan sapi yang lambat dan terlihatnya rambut yang mengkilat. Indikasi kebuntingan secara internal dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara per-rektal. Pemeriksaan secara per-rektal pada kuda dapat dilakukan setelah 40-50 hari setelah dikawinkan (Jainudeen dan Hafez, 2000; Prihatno, 2006).
Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat digunakan untuk mempelajari bentuk, ukuran anatomis, gerakan dan hubungan dengan jaringan sekitarnya. Ultrasonografi tidak dapat digunakan dalam mendiagnosa suatu jaringan berdasarkan hispatologi. Ultrasonografi dapat membedakan berdasarkan ketebalan suatu jaringan yang dilaluinya sehingga dapat menetukan lesi suatu jaringan dan dapat digunakan sebagai diferensial diagnosa (Lavin, 2007).
Kelebihan dalam mendiagnosa kebuntingan dengan menggunakan ultrasonografi yaitu dapat mendiagnosa kebuntingan lebih awal (pada kuda 15 hari setelah dikawinkan) dan dapat mengetahui jumlah anak yang dikandung hingga mengetahui jenis kelamin fetus (pada kuda 55-90 hari setelah dikawinkan). Dalam menentukan jumlah fetus dalam uterus sering kurang akurat sebab hanya satu sektor dari abdomen yang dapat dilihat dalam satu waktu sehingga fetus dapat terlihat dua kali atau tidak sama sekali (Jainudeen dan Hafez, 2000; Holder, 2007; Pycock, 2007).
Kerugian dari penggunaan ultrasonografi untuk mendiagnosa kebuntingan adalah harga dari alat yang masih sangat mahal, diperlukan operator yang terlatih untuk dapat menginterpretasikan tampilan yang muncul pada monitor dan ada resiko kehilangan embrio pada saat pemeriksaan akibat traumatik saat memasukkan transduser (Jainudeen dan Hafez, 2000).
Ultrasonografi merupakan alat yang secara umum terdiri dari kontrol unit, layar monitor dan transduser (probe). Ultrasonografi bekerja dengan merekam transmisi gelombang suara yang berasal dari organ target yang dilihat pada satu waktu. Gelombang suara yang dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan dengan ultrasonografi adalah antara 1-10 MHz. Gelombang tersebut berasal dari kristal-kristal yang terdapat pada transduser. Transduser bekerja sebagai pemancar sekaligus penerima gelombang suara. Pulsasi listrik yang dihasilkan sumber listrik akan diubah menjadi energi akustik dan dipancarkan ke organ target dengan arah tertentu. Energi akustik yang dipancarkan sebagian akan dipantulkan dan sebagian akan merambat terus menembus jaringan yang ada sehingga akan menimbulkan echo yang bermacam-macam sesuai kepadatan jaringan yang dilaluinya. Pantulan tersebut diubah oleh transduser menjadi arus listrik yang akan tampak pada layar monitor (Jainudeen dan Hafez, 2000; Lavin, 2007).
Frekuensi gelombang suara yang paling optimal untuk ultrasonografi adalah antara 5,0-7,5 MHz, pemilihan frekuensi ini berdasarkan tingkat penetrasi yang diharapkan untuk menembus jaringan target dan resolusi dari tampilan di layar monitor yang dibutuhkan. Pada frekuensi rendah akan didapatkan tampilan detail yang kurang baik tetapi penetrasi jaringan yang lebih baik, sedangkan pada frekuensi yang tinggi akan didapatkan tampilan detail yang baik tetapi kedalaman penetrasi jaringan yang kurang baik (Lavin, 2007). Transduser dengan frekuensi 3,5 MHz baik digunakan untuk ultrasonografi secara trans-abdominal pada kambing, domba dan babi. Transduser dengan frekuensi 5,0-7,5 MHz baik digunakan untuk ultrasonografi secara trans-rektal pada kuda, sapi dan domba (Jainudeen dan Hafez, 2000).
Gambaran echo seperti bayangan hitam keputihan (abu-abu) dan gambaran ini ditentukan oleh ketebalan jaringan. Struktur jaringan dapat dibedakan menjadi ekhogenik yaitu jaringan yang memantulkan sebagian besar dari gelombang suara dan non ekhogenik yaitu jaringan yang memantulkan sebagian kecil dari gelombang suara atau tidaksama sekali. Semakin tebal (padat) suatu jaringan maka semakin banyak gelombang yang dipantulkan sehingga semakin terang (putih) tampilan dalam layar monitor. Sebagai contoh, tulang akan berwarna putih sedangkan air (cairan) akan berwarna gelap (Jainudeen dan Hafez, 2000; Lavin, 2007).
Berdasarkan tampilan yang dihasilkan, transduser dibagi menjadi dua jenis yaitu linear transduser yang akan menghasilkan tampilan rectangular (persegi panjang) dan sector transduser yang menghasilkan tampilan seperti kipas. Untuk scaning uterus, transduser diletakkan di ventrolateral abdominal (transabdominal) atau dimasukkan ke dalam rektum (trans-rektal) dari hewan yang akan diuji. Antara kulit atau rektum dengan transduser dioleskan lubrikan jeli secukupnya untuk meyakinkan transmisi gelombang suara yang tepat (Jainudeen dan Hafez, 2000).
Ultrasonografi pada Kuda
Scaning pada kuda dengan ultrasonografi dilakukan secara trans-rektal dan dilakukan sekitar 15 hari setelah dikawinkan yang bertujuan sebagai diagnosa kebuntingan awal dan untuk mengetahui ada tidaknya kebuntingan kembar. Scaning kedua pada kuda dilakukan 26-30 hari setelah dikawinkan yang bertujuan untuk memeriksa adanya perkembangan kebuntingan yang normal, ada tidaknya kematian embrio dini dan untuk memastikan tidak adanya kebuntingan kembar. Dari segi ekonomis, diagnosa kebuntingan awal pada kuda dengan ultrasonografi dapat dilakukan pada usia kebuntingan 26-30 hari. Pada usia kebuntingan 26 hari, embrio memiliki panjang kira-kira 8mm dan denyut jantung embrio telah terlihat jelas (Pycock, 2007; Robinson dan Sprayberri, 2009).
Transduser yang digunakan untuk mendiagnosa kebuntingan pada kuda adalah linear transduser dengan frekuensi 5,0 MHz dan 7,5 MHz. Pemilihan frekuensi ini berdasarkan tingkat penetrasi yang diharapkan untuk menembus jaringan target dan resolusi dari tampilan di layar monitor yang dibutuhkan. Pada frekuensi tinggi akan didapatkan tampilan detail yang baik tetapi kedalaman penetrasi jaringan yang kurang baik dan sebaliknya pada frekuensi rendah (Pycock, 2007; Robinson dan Sprayberri, 2009).
Persiapan
Alat ultrasonografi dengan linear transduser untuk per-rektal dengan frekuensi 5,0 MHz dan 7,5 MHz disiapkan kemudian di atur tampilannya. Transduser (probe) yang digunakan di lapisi dengan plastik agar probe tetap higienis dan tidak lembab. Di antara probe dan plastik dioleskan lubrikan jeli secukupnya untuk meyakinkan transmisi gelombang suara yang tepat. Kuda betina yang akan dilakukan pemeriksaan kebuntingan dengan ultrasonografi direstrain dan ekor kuda dibungkus agar tidak mengganggu saat dilakukannya pemeriksaan. Tangan operator yang akan digunakan untuk palpasi per-rektal diberi rubrikan (Rose dan Hodgson, 2000; Khan, 2004; Pycock, 2007).
Feces yang berada di dalam rektum dikeluarkan kemudian dilakukan palpasi per-rektal untuk menentukan letak organ genital dan posisi probe yang tepat agar diperoleh diagnosa yang tepat. Feces dan gelembung gas dalam feces dapat menghambat gelombang suara ultrasonik, sehingga gelombang suara yang terekam dari probe yang berada di dinding rektum akan menghasilkan tampilan garis-garis hitam pada layar. Probe kemudian dimasukkan ke dalam rektum dengan jendela probe berada di bagian ventral dari dinding rektum dan bagian dorsal probe ditutup oleh tangan pemeriksa dan dimanipulasi dengan jari (Kahn, 2004). Scaning dilakukan dengan menggerakkan probe dari corpus uteri ke cornu uteri bagian kiri kemudian periksa kembali cornu uteri bagian kiri dan corpus uteri kemudian ke cornu uteri bagian kanan selanjutnya kembali ke corpus uteri dan kemudian ke serviks (Rose dan Hodgson, 2000).
Probe yang telah berada di dalam rektum akan memancarkan sekaligus menerima gelombang suara organ target. Pulsasi listrik yang dihasilkan sumber listrik akan diubah menjadi energi akustik dan dipancarkan ke organ target dengan arah tertentu. Energi akustik yang dipancarkan sebagian akan dipantulkan dan sebagian akan merambat terus menembus jaringan yang ada sehingga akan menimbulkan echo yang bermacam-macam sesuai kepadatan jaringan yang dilaluinya. Pantulan tersebut diubah oleh transduser menjadi arus listrik yang akan tampak pada layar monitor. Pada layar monitor, vesica urinaria, vesikel embrio dan cairan fetus akan tampak berwarna hitam, tulang fetus akan tampak berwarna putih dan akan tampak berwarna abu-abu pada membran fetus dan jaringan maternal (Jainudeen dan Hafez, 2000).
Gambar Hasil Ultrasonografi
Diagnosa kebuntingan awal dengan ultrasonografi pada kuda dapat dilakukan pada usia kebuntingan 15 hari. Gambar 4 merupakan hasil ultrasonografi pada corpus uteri kuda usia kebuntingan 14 hari. Pada periode ini, vesikel embrio masih mengalami pergerakan dan selanjutnya akan berada di salah satu cornu uteri. Pada kuda dengan usia kebuntingan 14 hari, vesikel embrio memiliki diameter 14-18mm. Vesikel embrio antara hari ke 12 dan 16 kebuntingan rata-rata berkembang 3,5 mm/hari dan mengalami pergerakan, sehingga perlu dilakukan scaning pada semua bagian uterus (Pycock, 2007). Salah satu ciri dari hasil ultrasonografi pada kuda dengan usia kebuntingan 14 hari (Gambar 4) dan usia kebuntingan 16 hari (Gambar 5) adalah vesikel tampak bulat berwarna hitam (non ekhogenik) dan di sekitar vesikel akan tampak berwarna
putih (ekhogenik) (Anonim, 2009a).
Diagnosa kebuntingan kembar pada kuda dapat dilakukan pada usia kebuntingan 14-15 hari. Gambar 6 merupakan kebuntingan kembar dengan vesikel embrio berada pada cornu uteri yang sama. Normalnya, pada kuda dengan usia kebuntingan 17 hari vesikel berada di salah satu cornu uteri (cornu uteri kanan atau kiri). Bentuk vesikel embrio masih tetap tetapi lebih ovoid dan kira-kira berukuran 25mm (Pycock, 2007).
Hasil ultrasonografi pada kuda dengan usia kebuntingan 30 hari tampak adanya allantois yang telah terbentuk, regresi yolk sac dan pertautan embrio (Gambar 7). Pada kuda dengan usia kebuntingan 30 hari akan tampak garis vertikal (mendekati horizontal) yang ekhogenik pada dinding yolk sac dan allantois (Pycock, 2007).
Pada kuda dengan usia kebuntingan 45 hari, fetus turun kira-kira dua-pertiga dari kantong allantoin dan umbilicus cord telah tampak dengan jelas (Gambar 8). Pada kuda dengan usia kebuntingan 45 hari plasenta korioallantois dan umbilicus cord telah terbentuk. Hasil ultrasonografi pada kuda dengan usia kebuntingan 60 hari telah tampak pertumbuhan fetus seperti terlihat adanya tulang belakang, kepala, thorak dan abdomen (Gambar 9). Pada pemeriksaan dengan ultrasonografi pada usia kebuntingan 60 hari fetus telah melebihi lebar probe.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Veterinary Ultrasounds. http://www.medical-equipment.com.au/veterinary-ultrasound.htm
Anonim. 2009a. Horse Reproduction. http://www.horserepro.com/index.php
Anonim. 2009b. Large Animal Reproduction (Theriogenology). http://uwveterinarycare.wisc.edu/theriogenology/la.htm
Holder, R.D. 2007. Fetal Sex Determination. In Samper, J.C., Pycock, J.F. and Mckinnon, A.O. Current Therapy in Equine Reproduction. Saunders, Elsevier.
Jainudeen, M.R. and Hafez, E.S.E. 2000. Pregnancy Diagnosis. In Hafez, B. and Hafez, E.S.E. Reproduction in Farm Animal 7th ed. Lippincoltt Williams and Wilkins.
Kahn,W. 2004. Veterinary Reproductive Ultrasonography Horse, Cattle, Sheep, Goat, Pig, Dog, Cat. Schlutersche Verlagsgesellschaft mbH and Co. German
Lavin, L.M. 2007. Radiography in Veterinary Technology 4th ed. Saunders, Elsevier.
Pycock, J.F. 2007. The Pregnant Mare: Diagnosis and Management. In Samper, J.C., Pycock, J.F. and Mckinnon, A.O. Current Therapy in Equine Reproduction. Saunders, Elsevier.
Pycock, J.F. 2009. Early Embryonic Death (EED). http://www.equine-reproduction.com/articles/index.shtml
Robinson, N.E. and Sprayberry, K.A. 2009. Current Therapy in Eqiune Medicine 6th ed. Saunders, Elsevier.
Rose, R.F. and Hodgson, D.R. 2000. Manual of Equine Practice 2nd ed. Saunders, Elsevier.
Troedsson, M.HT. 2007. High Risk Pregnant Mare. BioMed Central Ltd. http://www.actavetscand.com/49/S1/S9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar