untuk mengetahui terjadinya proses timbulnya infalmasi dan gejala yang diamati serta mengetahui jenis obat yang memiliki efek farmakologi sebagai antiinflamasi serta mampu membandingkan daya antiinflamasi indometasin dan diklofenak berdasarkan hasil pengolahan dan interpretasi data secara statistik.
Inflamasi merupakan respon jaringan hidup sebagai reaksi lokal atas keberadaan benda asing, organisme hidup atau adanya luka pada dirinya. Reaksi ini meliputi berbagai proses yang kompleks terdiri dari deretan aktivasi enzim, pelepasan mediator, pengeluaran cairan, migrasi sel, pembongkaran dan perbaikan jaringan. Proses tersebut mengakibatkan perubahan fisiologis antara lain eritema, udema, asma, dan demam (Vane dan Botting, 1996). Aktivasi berbagai enzim menyebabkan terjadinya biosintesis mediator dan release mediator inflamasi.
Proses inflamasi ini juga dipengaruhi dengan adanya mediator-mediator yang berperan, di antaranya adalah sebagai berikut:
• amina vasoaktif: histamin & 5-hidroksi tritophan (5-HT/serotonin). Keduanya terjadi melalui inaktivasi epinefrin dan norepinefrin secara bersama-sama
• plasma protease: kinin, sistem komplemen & sistem koagulasi fibrinolitik, plasmin, lisosomalesterase, kinin, dan fraksi komplemen
• metabolik asam arakidonat: prostaglandin, leukotrien (LTB4 LTC4, LTD4, LTE4 , 5-HETE (asam 5-hidroksi-eikosatetraenoat)
• produk leukosit – enzim lisosomal dan limfokin
• activating factor dan radikal bebas
Inflamasi akan di ikuti oleh gejala khas yang muncul pada proses inflamasi yaitu rubor (kemerahan), tumor (bengkak), calor (panas), dan dolor (nyeri) serta functio laesa (hilangnya fungsi).
Obat-obat antiinflamasi digunakan pada umumnya untuk mengurangi gejala-gejala atau perubahan fisiologis yang dirasakan berlebih pada kondisi inflamasi, misalnya nyeri yang tak tertahankan, rasa gatal yang berlebih, kemerahan dan bengkak yang mengganggu, walaupun inflamasi bisa merupakan fenomena menguntungkan karena merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang hasilnya adalah netralisasi dan pembuangan agen penyerang, serta penghancuran jaringan nekrosis. Fungsi inflamasi dengan memobilisasi pertahanan tubuh dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) fagositosis pada tempat tersebut. Leukosit, makrofag dan limfosit di bawah pengaruh kemotaktik memasuki area inflamasi (fase infiltrasi). Beberapa dari sel-sel tersebut mengandung enzim lisosom yang mampu menelan dan mencerna partikel asing.
2) terbentuknya berbagai macam antibodi pada daerah tersebut. Limfosit dan makrofag mengalami transformasi menjadi lapisan pembatas sel yang mampu mensintesis antibodi (fase proliferasi).
3) menetralisir atau mencairkan iritan (dengan edema). Fase primer pada inflamasi adalah perubahan struktural pada dinding vaskuler. Perubahan ini mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang membiarkan protein kaya cairan menembus dinding vaskuler (fase eksudasi) (Verboom, 1979).
4) membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibri, fibrosis dan terbentuknya dinding granulasi.
5) diikuti proses perbaikan jaringan atau penyembuhan.
Pada percobaan kali ini digunakan obat indometasin serta diklofenak. Kedua obat ini termasuk di dalam obat antiinflamasi non steroid (AINS). AINS yang tidak secara selektif menghambat COX mampu menurunkan produksi prostlagadin di jaringan yang mengalami inflamasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya AINS yang dapat menghambat secara selektif pada COX2 yang mampu mencegah hiperalgesia, inflamasi serta demam. Farmakokinetik AINS di cairan serebrospinal memberikan arti klinik tersendiri dalam hal efek terapi dan efek sampingnya. Untuk AINS yang larut di dalam lemak seperti, indometasin, oxyphenbutazon, dan ketoprofen, pada kadar yang sesuai akan berhubungan langsung dengan kadarnya di cairan serebrospinal. Tidak demikian dengan AINS yang larut dalam air, seperti: asetosal. Umumnya obat gilongan AINS merupakan senyawa yang larut di dalam lemak sehingga mampu menembus susunan syaraf pusat lebih efektif dan memberikan efek sentral yang lebih besar. Sebagian obat AINS mempunyai pKa antara 3 hingga 5. Proporsinya yang tak terionisasi pada pH tertentu menjadi sangat penting karena terkait dengan distribusi obat dalam jaringan.
Mekanisme kerja utama AINS adalah menghambat aktivitas enzim siklooksigenase dalam sintesis prostagladin, yang berperan dalam patogenesis inflamasi dan demam. Karena efek ini bergantung pada obat yang mencapai enzim siklooksogenase maka distribusi farmakokinetiknya akan menentukan aktivitasnya.Urutan potensi AINS sebagai inhibitor sintesis prostlagadin cenderung menimbulkan potensi antiinflamainya. Sedangkan model inhibisi siklooksigenase kompleks dan bervariasi antar AINS.
Sejumlah AINS tertentu juga dapat menghambat enzim siklooksigenase yang juga penting perannanya dalam proses inflamasi, mengganggu berbagai proses yang berhubungan dengan membran sel termasuk aktivitas oksidase NADPH dalam neutrofil dan fosfolipase C dalam makrofag.
Semua AINS adalah analgetik, antiinflamsi dan antipiretik, tetapi ada hal penting dalam aktivitasnya, misalnya pada asettaminofen merupakan analgetik-antipiretik tetapi hanya merupakan antiinflamasi lemah. Perbedaan aktivitas ini mungkin disebabkan karena perbedaan kepekaan enzim-enzim dalam jaringan sasaran. Sebagai analgetik biasanya hanya efektif untuk nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang, tetapi obat ini mempunyai efek samping yang tidak diharapkan dan opinoid pada saraf pusat termasuk depresi pernafasan dan timbulnya ketergantungan fisik. Sedangkan sebagai antipiretik, AINS dapat menurunkan suhu tubuh pada status febril dan secara klinis biasanya digunakan dalam otot rangka seperti atritis rematoid, osteoatritis, dan ankylosing apondylitis untuk mengatasi gejala nyeri dan inflamasi.
Secara garis besar, mekanisme obat AINS dapat digolongkan menjadi 3 kelompok besr, yaitu:
1. Tipe I:sederhana, kompetitif, inhibitor reversible yang berkompetisi dengan asam arakhidonat dalam pengikatan pada sisi aktif COX. Cntoh obat: ibuprofen, piroxicam, sulindac sulfide, flufenamat, asam metafenamat, dan naproxen.
2. Tipe II: kompetitif, time dependent, inhibitor reversibleyang terikat pada sisi aktif COX pada fase pertama, untuk membentuk kompleks inhibitor enzim yang sifatnya reversible, yang jika tetahan dalam jangka waktu tertentu akan menimbulkan perubahan konformasi non kovalen pada protein, menghasilkan ikatan yang lebih kuat. Contoh obat: indometasin, flurbiprofen, asam meklofenamat dan diklofenak.
3. Tipe III: kompetitif, time dependent, inhibitor ireversible yang membentuk kompleks enzim inhibitor setelah perubahan konformasi kovalen pada protein. Contoh obat: asetosal. Asetilasi pada COX1 oleh asetosal bersifat ireversible yang akan menghambat aktivitas COX tetapi tidak menghambat aktivitas peroksidase.
Secara kimiawi obat AINS dibagi dalam 6 kelompok, yaitu:
1. salisilat: asetosal, benorilat (benotran) dan diflunisal. Dosis antiinflamisanya 2-3 kali lebih tinggi daripada dosis analgetiknya.
2. pirozolon: fenilbutazon, oksifenilbutazon dan azapropazon. Kedua obat pertama sangat kuat efek antiinflamasinya tetapi menimbulkan toksisitas pada darah.
3. indolilasetat: indometasin dan sulindak. Termasuk pula tolmestin yang turunannya zomepirak (zomax) dihentikan peredarannya karena adanya reaksi alergi dan anafilaksis.
4. fenilasetat: aklofenak dan diklofenak. Sifat pada golongan ini dapat disamakan dengan kelompok propionat.
5. Propionat: ibuprofen, ketoprofen, flurbiprofen, naproksen, dan asam tiaprofenat juga fenoprofen, indoprofen, carprofen, dan fenbufen. Yang terakhir sebenarnya bukan merupakan propionat tetapi butirat. Daya antiinflamsi obat-obat ini sangat baik dengan efek samping relatif ringan.
6. serba-serbi: piroxicam, asam metiazinat dan turunan antranilat, yaitu: nifluminat, asam mefenaminat dan meklofenaminat. Benzidamin agak kurang kuat daya antiinflamsinya, tetapi kurang efektif pada gangguan rematik.
Meskipun ada perbedaan sifat farmakokinetik antar AINS, secara umum AINS diabsorpsi hampir sempurna, memiliki clearance hati dan metabolisme first pass rendah, ikatan dengan albumin tinggi, dan volume distribusi kecil. Pada AINS tertentu terdapat hubungan linier kerja antiinflamasi dengan dosis atau kadar plasma obat, akan tetapi hubungan ini tidak dapat menerangkan semua variasi respon terhadap obat.
Peran prostagladin dalam menimbulkan inflamasi adalah vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pada vaskuler. Vasodilatasi yang diakibatkan oleh prostagladin terjadi di pembuluh kutan dan masa aktifnya akan lebih pendek jika berada pada jenis pembulih lain. Prostagladin kurang efektif dalam meningkatkan permeabilitas vaskuler dibandingkan efektifitasnya dalam menimbulkan vasodilatasi. Perbandingan antara PGE1 dan histamin pada kulit marmot (guinea pig) yang sama-sama menimbulkan vasodilatasi menunjukkan bahwa histamin lebih menginduksi udem daripada PGE1.
Sintesis prostagladin diinduksi oleh kinin. Mekanismenya apabila terjadi suatu trauma pada suatu jaringan, maka senyawa endogen prekalikrein akan diubah menjadi kalikrein. Kalikrein ini lalu menstimulasi kininogen menjadi bradikinin dan lisilbradikinin (kalidin). Bradikinin dan kalidin adalah suatu peptida yang akan mengaktifkan fosfolipase A inaktif menjadi fosfolipase A aktif. Fosfolipase A aktif ini akan menyebabakan zat pemula yang berupa asam arakhidonat yaitru asam lemak tak jenuh dari penyimpanannya. Prostagladin akan membuat sensitif reseptor-reseptor rasa sakit di ujung saraf terhadap efek stimulasi mekanik dan efek rasa sakit dari zat kimiawi. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sintesis prostagladin tergantung dari kinin (bradikinin dan kolidin) yang di buat. Akan tetapi, efektivitas kerja dari kinin sendiri tergantung pada konsentrasi prostagladin pada daerah lokal. Oleh karenanya, baik prostagladin maupun kinin, keduanya bekerja sinergik dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Pada percobaan ini digunakan 2 obat yang merupakan golongan AINS yaitu:
1. Indometasin
Indometasin merupakan derivat indolilasetat. Khasiatnya kuat dan dapat disamakan dengan diklofenak. Tetapi lebih sering menimbulkan efek samping khususnya efek ulcerogen dan pendarahan occult (Tan Hoan Tjay, 2002).
Indometasin memiliki efek antiinflamasi dan analgesik-antipiretik yang kira-kira sebanding dengan aspirin. Telah terbukti bahwa indometasin memiliki efek analgetik perifer maupun sentral. Secara in vitro, indometasin menghambat enzim siklooksigenase. Seperti kolkisin, indometasin menghambat motilitas leukosit polimorfonuklear.
Indometasin merupakan penghambat prostagladin yang terkuat, ia di absorpsi dengan baik setelah pemberian per oral dan sebgian besar terikat oleh protein plasma. Metabolisme yang terjadi di hati, dalam bentuk yang tak berubah dan metabolit tak aktif. Obat ini di eksresikan ke dalam empedu dan urin.
Indometasin menghambat prostagladin dengan cara membentuk ikatan dengan enzim siklooksigenase sehingga asam arachidonat tidak dapat berikatan dengan enzim dan prostagladin tidak dapat terbentuk. Kompleks enzim-indometasin ini sifatnya reversible, artinya, indometasin dapat lepas dari enzim. Bersifat time dependent karenaketika kompleks enzim-indometzsin bertaha dalam selang waktu tertentu, dapat terjadi konformasi pada enzim yang akan menghasilkan ikatan yang lebih kuat dengan indometasin. Adapun struktur kimia dari indometasin adalah sebagai berikut:
2. Diklofenak
Diklofenak merupakan turunan asam fenilasetat sederhana yang menyerupai flurbiprofen maupun meklofenamat. Obat ini adalah penghambat siklooksigenase yang kuat dengan efek antiinflamasi, analgetik dan antipiretik. Obat ini cepat diabsorpsi setelah pemberian oral dan mempunyai waktu paruh pendek. Obat ini berkumpul di cairan sinovial. Efek samping dari obat ini kurang keras dibandingkan dengan obat kuat yang lain seperti indometasin dan piroxycam. Obat ini sering digunakan untuk segala macam nyeri, migrain dan encok. Secara parenteral cocok untuk menanggulangi nyeri kolik hebat (kandung kemih dan kandung empedu).
Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap, tetapi BA rata-ratanya 55% akibat PFE. Efek analgetik dimulai 1 jam setelah pemberian, secara rektal ataupun intra muscular lebih cepat, masing-masing setelah 30 menit dan 15 menit. Penyerapan garam K lebih pesat daripada garam Na. ekskresinya melalui kemih berlangsung 60% sebagai metabolit dan 20% dengan empedu dan tinja (Tan Hoan Tjay, 2002). Adapun struktur kimia dari diklofenak adalah sebagai berikut:
Sedangkan inducer enzim yang digunakan adalah karagenin. Karagenin merupakan seyawa iritan yang dipilih, meskipun senyawa iritan lain seperti formalin, mustard, kaolin, racun ular, polivinilpirolidin, yeast, ovalbumin, dan mediator kimia inflamasi seperti histamin, serotonin, atau bradikinin serta enzim hidrolitik seperti kolagenase, tripsin, lipase, fosofolipase, A2, elastase, dan hyaluronidase juga dapat menimbulakan udema ketika disuntikkan secara subplantar pada telapak kaki tikus, namun karagenin merupakan seyawa yang paling banyak digunakan untuk memprediksi efek terapeutik obat antinflamasi steroid maupun nonsteroid (Gryglewski, 1997).
Di samping itu karagenin tidak meimbulkan kerusakan jaringan, tidak menimbulkan bekas, serta menimbulkan respon yang paling peka terhadap obat antiflamasi dibandingkan senyawa iritan lainnya. Pada proses pembentukan udema, karagenin akan menginduksi cedera sel denagan dilepaskannya mediator yang mengawali proses inflamasi. Udema yang disebabkan induksi karagenin dapat bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur berkurang dalam waktu 24 jam (Sumarny dan Rahayu, cit Mukhlisoh, 1998).
Karagenin merupakan senyawa yang dapat menginduksi cedera sel dengan melepaskan mediator yang mengawali proses inflamasi. Udema yang terjadi akibat terlepasnya mediator inflamasi seperti: histamin, serotin, bradikinin, dan prostagladin. Udem yang disebabkan oleh injeksi karagenin diperkuat oleh mediator inflamasi terutama PGE1 dan PGE2 dengan cara menurunkan permeabilitas vaskuler. Apabila permeabilitas vaskuler turun maka protein-protein plasma dapat menuju ke jaringan yang luka sehingga terjadi udema.
Hewan yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah tikus (Ratus novergicus) karena tikus memiliki anatoni dan fisiologi yang mirip dengan manusia sehingga mekanisme kerja secara farmakokinetik dan farmakodinamik obat dianggap sama. Sedangkan parameter yang digunakan utuk mengukur daya antiinflamasi dari obat antiinflamsi adalah udem. Udem ini akan terjadi dengan cara penginjeksian karagenin sebagai inducer enzim secara subplantar pada kaki belakang tikus setelah itu dilakukan pengukuran menggunakan pletismograph. Setelah itu, akan terjadi udem. Peristiwa udem ini reaksinya bergantung pada sistem komplemen. Kekurangan dari beberapa komplemen tersebut akan menyebabkan tekanan yang menyolok pada reaksi pembengkakan. Udem dihasilkan oleh rentetan pembebasan dari zat mediator di mana zat-zat tersebut berperan pula sebagai vasodilasator yang dapat menimbulkan inflamasi. Penting untuk dilakukan ketika menggunakan tikus sebagai model untuk memperkirakan efek dari senyawa antiinflamasi, pengukuran dilakukan pada waktu yang tepat selama pembengkakan, yaitu pada selang waktu tertentu. Karena idealnya kaki tikus tersebut harus di ukur volume udemnya lebih dari satu kali khususnya pada 3-4 jam (dilakukan pengukuran berulang-ilang). Hal ini memberi kesempatan pada semua mediaor nyeri yang bersangkutan untuk dapat membuat pembengkakan secara maksimal.
Percobaan ini dilakukan dengan cara mengukur volume udem yang ditimbulkan setelah pemberian karagenin secara subplantar dengan penambahan indometasin dan diklofenak. Kemudian akan diperoleh data dari volume udem dari menit ke-0 hingga menit ke-90 dengan selang waktu 15menit.
Dosis obat yang digunakan yaitu untuk indometasin sebesar 5 mg/kg BB dan untuk diklofenak sebesar 10 mg/kg BB. Sedangkan banyaknya karagenin 1 % yang digunakan sebanyak 0,1 mL. sedsangkan untuk volume pemberian obat diperoleh melalui perhitungan berdasarkan berat badan masing-masing tikus. Sehingga sebelum perlakuan, tikus harus ditimbang terlebih dahulu. Volume pemberian adalah salah satu faktor yang harus di perhatikan karena akan menentukan berapa banyak dosis obat yang akan diberikan agar tidak melebihi dosis maksimal. Volume maksimal merupakan volume terbanyak yang masih dapat diterima oleh hewan uji dan besarnya volume bergantung dari cara pemberian. Untuk praktikum ini, obat dilakukan dengan pemberian secara per oral sehingga volume maksimalnya adalah 1,0 mL.
Pertama-tama dilakukan pembagian 9 ekor tikus menjadi 3 kelompok. Tiap kelompok mendapat 3 tikus yang akan diberi perlakuan yang berbeda. Tikus 1 sebagai kontrol, tikus 2 sebagai perlakuan indometasin dan tikus 3 sebagai perlakuan diklofenak.
a. Tikus 1
Tikus 1 merupakan kontrol negatif. Fungsinya yaitu untuk mengetahui apakah pelarut obat memiliki efek. Pelarut obat adalah CMC Na (Carboxyl Methyl Cellulose). CMC Na ini diberikan secara per oral dengan volume pemberian sebesar 2,5 mL. lalu dihitung volume kaki tikus pada pletismograph. Setelah selang waktu kurang lebih 1 jam, diberikan karagenin secara subplantar sebanyak 0,1 ml. berat tikus yang digunakan adalah sebesar 148,5 gram. Dari hasil pengamatan volume udem pada kaki tikus diperoleh data volume udem selama 0-90 menit dengan selang waktu pengamatan 15 menit. Data ini digunakan sebagai pembanding untuk pemberian obat pada tikus setelah perlakuan. Volume udem yang di dapat yaitu pada kelompok 1 pada menit ke-0,15,30,45,60,75,90 secara berturut-turut adalah 0,00 ml; 0,08 ml;0,12 ml; 0,16 ml; 0,12 ml; 0,14 ml; 0,20 ml. Volume udem di ukur setelah pengurangan dari volume kaki awal tikus yaitu 0,52 ml.Volume udem yang di dapat yaitu pada kelompok 2 pada menit ke-0,15,30,45,60,75,90 secara berturut-turut adalah 0,00 ml; 0,02 ml;0,04 ml; 0,02 ml; -0,06 ml; 0,00 ml; 0,08 ml. Volume udem di ukur setelah pengurangan dari volume kaki awal tikus yaitu 0,5 ml. Volume udem yang di dapat yaitu pada kelompok 3 pada menit ke-0,15,30,45,60,75,90 secara berturut-turut adalah 0,00 ml; 0,04 ml;0,10 ml; 0,08 ml; 0,04 ml; 0,10 ml; 0,10 ml. Volume udem di ukur setelah pengurangan dari volume kaki awal tikus yaitu 0,36 ml.
b. Tikus 2
Tikus 2 merupakan perlakuan dengan pemberian indometasin secra per oral. Fungsinya yaitu untuk mengetahui daya antiinflamasi yang dimilki oleh senyawa ini. Indometasin ini diberikan secara per oral dengan volume pemberian sebesar 2,63 mL. dengan stock sebesar 0,25mg/ml dan dosis 5 mg/kg BB. Lalu dihitung volume kaki tikus pada pletismograph. Setelah selang waktu kurang lebih 1 jam, diberikan karagenin secara subplantar sebanyak 0,1 ml. Berat tikus yang digunakan adalah sebesar 131,5 gram. Dari hasil pengamatan volume udem pada kaki tikus diperoleh data volume udem selama 0-90 menit dengan selang waktu pengamatan 15 menit. Data ini digunakan sebagai membandingkan efek antiinflamasi pemberian indometasin dan diklofenak pada kaki tikus. Volume udem yang di dapat yaitu pada kelompok 1 pada menit ke-0,15,30,45,60,75,90 secara berturut-turut adalah 0,00 ml; 0,06 ml;0,22 ml; 0,08 ml; 0,06 ml; 0,08 ml; 0,09 ml. Volume udem di ukur setelah pengurangan dari volume kaki awal tikus yaitu 0,46 ml.Volume udem yang di dapat pada kelompok 2 pada menit ke-40,15,30,45,60,75,90 secara berturut-turut adalah 0,02 ml; 0,14 ml;0,08 ml; -0,02 ml; -0,02 ml; 0,10 ml; 0,02 ml. volume udem di ukur setelah pengurangan dari volume kaki awal tikus yaitu 0,46 ml. Volume udem yang di dapat yaitu pada kelompok 3 pada menit ke-0,15,30,45,60,75,90 secara berturut-turut adalah 0,00 ml; 0,00 ml;0,08 ml; 0,02 ml; 0,02 ml; 0,02 ml; 0,02 ml. Volume udem di ukur setelah pengurangan dari volume kaki awal tikus yaitu 0,48 ml.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pada kelompok 1 udem pada tikus mengalami penurunan volume karena pemberian indometasin. Tetapi ada satu data yang tidak sesuai yaitu pada menit ke-30 yang menunjukkan volume udem yang terjadi jauh lebih besar daripada volume udem pada kontrol.
Sedangkan dari kelompok 2, udem pada tikus beberapa tidak mengalami penurunan volume karena pemberian indometasin. Tetapi ada 2 data yang mengalami penurunan yaitu pada menit ke-45 dan 90 yang menunjukkan volume udem yang terjadi jauh lebih kecil daripada volume udem pada kontrol. Pada menit ke-30 dan ke-45 terlihat bahwa volume udem yang terjadi negatif. Hal ini mungkin di karenakan adanya kesalahan praktikan ketrika mengukur volume udem pada pletismograph.
Lalu pada kelompok 3 diketahui bahwa udem pada tikus mengalami penurunan volume udem karena pemberian indometasin. Akan tetapi, pada menit ke-45 hingga menit ke-90 volume udem pada kaki tikus konstan. Hal ini mungkin di karenakan adanya kesalahan praktikan saat pengukuran volume udem dengan pletismograph.
c. Tikus 3
Tikus 3 merupakan perlakuan dengan pemberian diklofenak secra per oral. Fungsinya yaitu untuk mengetahui daya antiinflamasi yang dimilki oleh senyawa ini. Indometasin ini diberikan secara per oral dengan volume pemberian sebesar 2,74 mL. Dengan stock sebesar 0,5mg/ml dan dosis 10 mg/kg BB. Lalu dihitung volume kaki tikus pada pletismograph. Setelah selang waktu kurang lebih 1 jam, diberikan karagenin secara subplantar sebanyak 0,1 ml. Berat tikus yang digunakan adalah sebesar 137 gram. Dari hasil pengamatan volume udem pada kaki tikus diperoleh data volume udem selama 0-90 menit dengan selang waktu pengamatan 15 menit. Data ini digunakan sebagai membandingkan efek antiinflamasi pemberian indometasin dan diklofenak pada kaki tikus. Volume udem yang di dapat pada kelompok 1 pada menit ke-0,15,30,45,60,75,90 secara berturut-turut adalah 0,00 ml; 0,06 ml;0,12 ml; 0,08 ml; 0,06 ml; 0,04 ml; 0,04 ml. Volume udem di ukur setelah pengurangan dari volume kaki awal tikus yaitu 0,42 ml.Volume udem yang di dapat pada kelompok 2 yaitu pada menit ke-0,15,30,45,60,75,90 secara berturut-turut adalah 0,00 ml; 0,02 ml;-0,08 ml; -0,10 ml; -0,04 ml; 0,00 ml; -0,02 ml. Volume udem di ukur setelah pengurangan dari volume kaki awal tikus yaitu 0,54 ml. Volume udem yang di dapat pada kelom,pok 3 pada menit ke-0,15,30,45,60,75,90 secara berturut-turut adalah 0,00 ml; 0,10 ml;0,12 ml; 0,14 ml; 0,12 ml; 0,12 ml; 0,12 ml. Volume udem di ukur setelah pengurangan dari volume kaki awal tikus yaitu 0,38 ml.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pada kelompok 1 udem pada tikus mengalami penurunan volume karena pemberian diklofenak. Penurunan ini dimulai dari menit ke-15.Tetapi ada satu data yang tidak sesuai yaitu pada menit ke-30 yang menunjukkan volume udem yang terjadi lebih besar daripada volume udem pada kontrol.
Sedangkan dari kelompok 2, udem pada tikus mengalami penurunan volume karena pemberian diklofenak. Penurunan volume ini tidak terjadi. Karena pada kelompok ini diketahui bahwa volume udem yang terjadi banyak yang negatif. Sehingga tidak dapat ditunjukkan sebagai perbandingan.Tetapi ada 2 data yang tetap sama dengan kontrol yaitu pada menit ke-15 dan 75 yang menunjukkan volume udem yang terjadi sama dengan volume udem pada kontrol. Adanya banyak nilai negatif mungkin di karenakan adanya kesalahan praktikan ketrika mengukur volume udem pada pletismograph.
Lalu pada kelompok 3 diketahui bahwa udem pada tikus tidak mengalami penurunan volume udem karena pemberian diklofenak. Hal ini mungkin di karenakan adanya kesalahan praktikan saat pengukuran volume udem dengan pletismograph. Dan juga di mungkinkan saat pemberian obat, obat tidak terinjeksisemua ke dalam kaki tikus.
Setelah mengetahui volume udem yang terjadi, dilakukan pembuatan kurva hubungan antara waktu vs volume udem. Dari kurva tersebut akan dihitung luas area di bawah kurva (AUC). Nilai AUC dapat menunjukkan perbedaan antara kontrol dan perlakuan. Dengan adanya nilai AUC dapat dihitung daya antiinflamasi dari masing-masing obat. Daya antiinflamasi (DAI) yang dimaksud adalah kemampuan bahan uji untuk mengurangi pembengkakan kaki hewan uji akibat adanya udem dari pemberian karagenin. Semakin kecil nilai AUC, menyebabkan semakin besar nilai DAI. Sehingga dapat diketahui bahwa semakin kecil nilai AUC akan semakin poten obat tersebut.
Pada kelompok 1 didapatkan data bahwa AUC yang di dapat pada kontrol lebih besar dari pada pada perlakuan indometasin dan diklofenak. Pada perlakuan indometasin AUC yang diperoleh lebih besar daripada diklofenak. Sedangkan DAI indometasin lebih kecil daripada diklofenak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil percobaan menunjukkan bahwa diklofenak mempunyai daya antiinflamasi lebih besaar daripada indometasin. Sedangkan pada kelompok 2 diketahui bahwa AUC kontrol lebih kecil dibandingkan dengan AUC diklofenak tetapi lebih besar daripada AUC indometasin. Diperoleh perhitungan bahwa AUC indometasin lebih kecil dibandingkan diklofenak. Dari AUC ini diperoleh data yang menyatakan bahwa DAI diklofenak jauh lebih kecil dibandingkan dengan indometasin. Sehingga pada kelompok ini dapat disimpulkan bahwa daya antiinflamasi diklofenak jauh lebih kecil daripada indometasin. Pada kelompok 3 diketahui bahwa AUC kontrol lebih besar daipada AUC indometasin tetapi lebih kecil dari pada AUC pada diklofenak. Sehingga diperoleh perhitungan bahwa AUC indometasin lebih kecil daripada diklofenak. Dan diperoleh DAI indometasin jauh lebih besar daripada diklofenak.. sehingga dari kelompok 3 dapat disimpulkan bahwa daya antiinflamasi indometasin lebih besar daripada diklofenak.
Menurut teori daya antiinflamasi diklofenak dapat di samakan dengan indometasin. Tetapi indometasin merupakan penghambat prostagladin yang terkuat, ia di absorpsi dengan baik setelah pemberian per oral dan sebagian besar terikat oleh protein plasma karena pemnerian obat di lakukan secara per oral maka seharusnya daya antiinflamasi indometasin lebih besar daripada diklofenak. Perlakuan karagenin memyebabkan sintesis prostagladin meningkat sehingga PGE1 yang menimbulkan inflamasi udem diinduksi oleh mediator lain yang dilepaskan karena adanya karagenin. Udem yang disebabkan oleh injeksi karagenin diperkuat oleh mediator inflamasi terutama PGE1 dan PGE2 dengan cara menurunkan permeabilitas vaskuler. Apabila permeabilitas vaskuler turun maka protein-protein plasma dapat menuju ke jaringan yang luka sehingga terjadi udema. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa obat yang paling poten untuk menghambat peradangan karena pemberian karagenin adalah indometasin. Karena indometasin mampu menghambat prostagladin dan sebagian besar terikat dengan protein plasma. Terikatnya protein plasma dengan indometasin akan protein plasma tersebut tidak dapat menuju ke jaringan luka. Sehingga lama-kelamaan udema yang terjadi akan menurun.
Dari hasil percobaan diketahui bahwa hanya pada kelompok 2 dan 3 yang mendapatkan nilai daya antiinflamasi sesuai dengan teori. Pada kelompok 1 tidak. Walaupun demikian, data pada percobaan ini tidak dapat dijadikan acuan karena data yang diperoleh tidak valid. Sebagian besar kesalahan ini terjadi karena adanya kesalahan tekhnis saat penimbangan, dalam proses injeksi, dalam pemberian volume dosis, dan juga dalam perhitungan volume udem yang terjadi. Tidak hanya itu, kesalahan praktikum ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor biologis yang disebabkan karena adanya variasi pada hewan uji. Tetapi kesalahan ini tidak dapat dihindari karena walaupun sudah di antisipasi dengan penyeragaman fisik, jenis dan kondisi, variasi akan tetap ada antar hewan uji.
Analisis Secara Statistik
Pada percobaan ini digunakan analisis statistik dengan SPSS. Analisis yang digunakan adalah ANNOVA dengan taraf kepercayaan 95%. Digunakan uji ANNOVA karena sampel yang ada lebih dari 3 yaitu sebanyak 12. dengan SPSS dilakukan Test Homogeinity of Variance untuk mengetahui homogen atau tidak data yang ditetapkan. Jika nilai signifikansi lebih besar daripada 0,05 maka data tidak homogen. Data dikatakan homogen apabila memiliki nilai segnifikan kurang dari 0,05. data yang tidak homogen selanjutnya dikatakan tidak dapat memenuhi kurva distribusi normal atau tersebar di sekitar kurva distribusi normal.
Selanjutnya dilakukan uji ANNOVA pola searah dengan taraf kepercayaan 95%. Analisis ini bertujuan untuk membandingkan variasi respon dengan variasi respon yang disebabkan oleh faktor lain, seperti adanya faktor biologis pada tikus yamg dipakai. Kelemahan ANNOVA adalah tidak dapat diketahui kelompok mana yang memberikan perbedaan yang signifikan. Untuk itu, langkah selanjutnya adalah dengan melihat Post Hoc Test. Dua data dikatakan memiliki perbedaan yang signifikan bila taraf signifikansinya kurang dari 0,05.
Dalam percobaan ini dilakukan uji t pada %DAI. Uji t dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan yang signifikan pada perlakuan yang digunakan. Perlakuan yang digunakan ada 2 macam yaitu pada perlakuan indometasin dan diklofenak. Perlakuan tersebut dikatakan memiliki perbedaan yang signifikan apabalia taraf signifikansinya kurang dari 0,05. Dari percobaan diperoleh taraf signifikan sebesar 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa pada 2 perlakuan ini di dapatkan perbedaan yang nyata pada tiap %DAI.
Mau nanya,, kalo buat uji antiinflamasi tu baiknya pake tikus galur apa ya?? Yang Wistar ato Sprague Dawley??
BalasHapusmenurut saya semua galur bisa digunakan..dan bagus..
BalasHapusbagusnya pake wistar..
ato pake mencit itu juga bisa
kenapa pake wistar??
BalasHapusapa bedanya wistar ma SD??
menurut beberapa sumber itu paling bagus
BalasHapusbagaimana cara mengukur dolor(nyeri) berikut dengan statistiknya?
BalasHapusthx
bagaimana cara mengukur dolor(nyeri) berikut dengan statistiknya?
BalasHapusthx
bagaimana cara mengukur dolor(nyeri) berikut dengan statistiknya?
BalasHapusthx
sangat membantu sekali
BalasHapusterimakasih banyak sob :)
Min mau tanya, kenapa penginduksian karagenin diberikan setelah pemberian perlakuan ekstrak secara p.o?
BalasHapusBukan sblum pemberian perlakuan ekstrak?