2.1. Etiologi
Avian influenza (AI) disebabkan oleh virus influenza tipe A dari famili Orthomyxoviridae dengan antigen Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N). H dan N ini selanjutnya digunakan untuk memberi kode pada subtipe avian influenza.
Protein H menentukan tingkat patogen virus influenza. Virus tipe H5 dan H7 misalnya, mempunyai tingkat patogen yang tinggi terhadap ayam. Sementara itu, protein N juga berfungsi sebagai penentu batas inang (host) disamping juga menentukan tingkat patogennya. Walaupun protein N dikatakan berpengaruh terhadap penentuan inang, spesifikasi inang lebih ditentukan lagi oleh protein nukleokapsid (NP, Nucleocapsid Protein) yaitu protein yang berikatan langsung dengan gen RNA virus influenza. Karena itu, loncatan inang dari ayam ke manusia kemungkinan disebabkan oleh mutasi yang terjadi pada protein NP ini. Dengan kata lain, protein NP yang spesifik terhadap burung bermutasi menjadi protein yang bisa menginfeksi manusia.
Berdasarkan atas struktur antigen permukaan, yaitu hemaglutin (H) dan neuraminidase (N), maka virus influenza A dikelompokkan lagi menjadi banyak subtipe. Dewasa ini dikenal 16 subtipe H (1-16) dan 9 subtipe N (1-9). Keragaman jenis strain virus avian influenza disebabkan karena virus ini mudah berubah bentuk akibat timbulnya Antigenic Drift dan Antigenic Shift. Antigenic Drift adalah perubahan kecil yang terjadi secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu sehingga virus AI yang memakai “baju baru” itu tidak dikenali oleh sistem kekebalan tubuh. Jadi ayam yang pernah tertular salah satu jenis virus A masih dapat tertular lagi oleh virus baru. Sedangkan pada Antigenic Shift, perubahan yang terjadi lebih banyak lagi, meliputi perubahan subtipe hemaglutinin, neuraminidase atau keduanya. Antigenic Shift lebih jarang terjadi dibandingkan dengan antigenic drift. Namun pada virus AI dapat terjadi antigenic shift dan antigenic drift sekaligus.
Virus AI dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 220C dan lebih dari 30 hari pada 00C, tetapi virus ini akan mati pada pemanasan 600C selama 30 menit atau 560C selama 3 jam dan juga akan mati oleh detergent, desinfektan misalnya formalin serta cairan yang mengandung iodine. Masa inkubasi pada unggas adalah l minggu, sedangkan pada manusia l-3 hari.
Tingkat keganasan virus AI bervariasi dan dapat dibedakan atas virus LPAI dan HPAI. Virus LPAI dapat menimbulkan penyakit yang bersifat asimptomatik ataupun penyakit ringan yang terbatas pada saluran pernapasan atau reproduksi dengan tingkat mortalitas rendah. Sebaliknya, virus HPAI dapat menimbulkan penyakit multisistemik dengan tingkat morbiditas dan/atau mortalitas yang tinggi, diantara 70% sampai 100%. Virus HPAI bersifat sangat kontagius dan dapat berasal dari virus LPAI melalui mutasi pada protein permukaan hemaglutinin. Contoh strain virus AI yang termasuk HPAI adalah H5Nl, yang akhir-akhir ini mewabah di negara negara Asia Tenggara dan menyebabkan banyak kematian. Sedangkan yang termasuk LPAI misalnya strain H6N2 dengan angka kematian 0,25-3% dan penurunan produksi telur 40%.
3 Tipe influenza :
a. influenza A
v 15 jenis H (haemaglutinin ) è untuk menempel ke sel lain
v 9 jenis N (neuraminidase )
v Pada unggas H5N1 , H7N1
v Pada manusia H1 , H2 , H3 , N1 , N2 , H9N2
v Pada unggas dan manusia H5N1
b. influenza B
v Lebih ringan daripada A
v Hanya menyerang manusia
c. influenza C
v Sangat jarang dilaporkan pada manusia
2.2. Distribusi AI di Dunia
- 1878 : Avian influenza pertama kali ditemukan di italia
namun belum dikenal
- 1924-1925 : di Amerika Serikat AI menular di antara unggas
namun belum menular ke hewan lain
- 1979-1980 : di Amerika Serikat terjadi penularan virus AI dari
camar ke anjing laut, mengakibatkan 20% populasi
anjing laut mati.
- 1983-1984 : di Amerika Serikat terjadi infeksi virus AI H5N l,
mengakibatkan l7 juta ayam mati.
- 1985 : di Victoria, Australia wabah AI mengakibatkan
l05.000 ayam dibunuh.
- 1997 : di Hongkong terjadi infeksi virus AI H5Nl yang
mengakibatkan seorang anak laki-laki meninggal
dunia. Pada bulan Desember 1997, virus AI
menginfeksi l7 orang dan lima diantaranya
meninggal dunia. l,5 juta ayam dibinasakan karena
terjangkit virus ini.
- 1999 : di Hongkong seorang anak terjangkit virus AI H9N2
tetapi dapat disembuhkan.
- 1999-2001 : di Itali l3 juta unggas mati karena terinfeksi virus AI
H7Nl
- Februari 2003 : di Hongkong 2 orang tertular virus AI H5Nl dan l
diantaranya meninggal dunia.
- Desember 2003 : di Hongkong l orang tertular virus AI H9N2
- Februari 2003 : di Belanda 84 orang tertular virus AI H7N7 dan
seorang diantaranya meninggal dunia.
- Januari 2004 : Vietnam, kamboja dan thailand terserang virus AI
H5Nl
- l5 Januari 2004 : sebuah tim yang terdiri atas Kepala Badan Karantina
dan Direktur Kesehatan Hewan pergi ke cina sekitar
enam hari untuk mempelajari kasus avian influenza,
termasuk pengadaan vaksin.
- 2l Januari 2004 : Dirjen Bina Produksi peternakan menginformasikan
bahwa pemerintah menunjuk PT Bio Farma untuk
mengimpor vaksin avian influenza dengan jenis
patogenitas rendah.
- 24 Januari 2004 : ketua I Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI)
CA Nidom mengumumkan, dari identifikasi DNA
dengan sampel l00 ayam yang diambil dari daerah
wabah diketahui positif telah terjangkit avian
influenza.
- 25 Januari 2004 : Deptan mengumumkan secara resmi kasus avian
influenza terjadi di Indonesia, namun belum
ditemukan korban manusia akibat wabah tersebut.
(Kompas, 26 Januari 2004)
Selama periode 2004-2005 banyak kasus kematian unggas yang diperkirakan karena AI seperti yang terjadi di:
Ø Kulon Progo dan Turi Sleman Yogyakarta (Febuari 2004)
Ø Jawa Barat (awal tahun 2005)
Ø Sulawesi Selatan kabupaten Sidrap, Soppeng, Wajodan Maros (Maret 2005)
(Kompas, 4 November dan l7 Maret 2005)
KEJADIAN DI INDONESIA
- 29 Agustus 2003 : Muncul penyakit yang mematikan di peternakan ayam di kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Setelah itu menyebar di sejumlah kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
- Agustus 2003 : Office International des epizooties (OIE), yaitu Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan membuktikan bahwa penyebab kematian ayam ras/unggas peliharaan lain di Indonesia sejak bulan Agustus 2003 tersebut adalah virus influenza tipe A, subtipe H5N1 yang tergolong virus highly pathogenic avian influenza (HPAI).
- 23 Oktober 2003 : Deptan menginformasi wabah itu sebagai virus tetelo dengan jenis vilogenik viserotropik berdasarkan pengujian beberapa lembaga dan laboratorium.
- 28 Oktober 2003 : Otoritas Agrifood and Veterinary Authority (AVA) Singapura telah melarang sementara impor burung dan unggas lainnya dari Indonesia karena adanya informasi wabah penyakit Avian influenza di beberapa daerah.
- 19 November 2003 : Dua sumber independen yang layak dipercaya di Indonesia telah mengirim informasi adanya wabah avian influenza ke International Society for Infectious Disease (ISID). Mereka mengabarkan wabah tersebut telah terjadi di Jawa Barat dan Sumatra.
- 22 Desember 2003 : Pusat Informasi Unggas Indonesia (Pinsar) menyebutkan adanya keikutsertaan Avian Influenza dalam wabah tetelo yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Virus tersebut tidak hanya diisolasi, tetapi sudah diidentifikasi melalui berbagai metode diagnostic. Pinsar menyarankan virus Avian Influenza yang ditemukan sebaiknya dikirim ke laboratorium rujukan internasional di Australia, Inggris, Jerman, atau Amerika Serikat.
- Pertengahan Desember 2003 : Rapat dilangsungkan di rumah Menteri Pertanian Bungaran Saragih di Widya Candra, yang dihadiri pejabat Dirjen Bina Produksi pengusaha, dinas peternakan daerah dan lain-lain, untuk memperdebatkan masalah Avian Influenza.
- Desember 2004 : jumlah kumulatif kasus kematian ternak unggas akibat AI mencapai 6,27 juta ekor yang berasal dari 16 propinsi, yang mencakup 100 kabupaten/kota.
- Desember 2005 : Kematian unggas pada tahun 2005 cenderung menurun drastis dibandingkan dengan tahun 2003 maupun tahun 2004, walaupun daerah yang terserang cenderung lebih luas. Wilayah penyebaran AI pada unggas di Indonesia telah mencapai 24 propinsi, yang mencakup 155 kabupaten/kota dengan jumlah kematian unggas sekitar 53.984 ekor, yaitu Propinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, DIY, Jawa Timur, Bali, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, Jambi, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Nangroe Aceh Darussalam (Data Dirjen Peternakan, 2005).
2.3. Kejadian Avian Influenza pada Hewan
Spesies unggas yang bisa diserang dan dijadikan induk semang (inang) diantaranya adalah ayam, kalkun, bebek, puyuh dan burung-burung liar. Selain pada unggas, virus juga dapat bertahan hidup pada spesies lain seperti tikus, babi, kuda dan lalat. (Anonim 2004)
Di alam bebas virus AI dilestarikan oleh itik liar dan unggas liar lainnya seperti burung merpati. Di dalam tubuh unggas yang terinfeksi virus mengalami penggandaan di dalam saluran usus dan pernafasan karena sel-sel epitel organ ini dapat menghasilkan enzim yang penting untuk membelah hemaglutinin virus sehingga menjadi lebih aktif. Pada jenis AI yang patogenik pada tempat yang terbelah mempunyai tambahan asam amino sehingga menyebabkan hemaglutinin terbelah dengan penambahan enzim lebih luas ke seluruh tubuh.
Penularan virus AI dapat terjadi melalui kotoran yang mengandung virus AI secara oral maupun saluran pernafasan, dapat juga melalui ingus hewan reservoir. Penularan tersebut terjadi secara horizontal artinya bahwa penularan terjadi antara unggas hidup terinfeksi ke unggas sehat. Sedangkan penularan secara vertical yaitu dari induk terinfeksi ke telur tetas tidak dimungkinkan.
2.3.1. GEJALA KLINIS
- Tanda-tanda penyakit Avian Influenza pada hewan
Gejala timbulnya penyakit biasanya ditandai dengan terjadinya kematian mendadak dalam jumlah yang banyak (dapat mencapai 100%) yang ditandai dengan kematian yang meningkat secara drastis.Kematian terjadi secara perakut (sangat cepat) sehingga unggas yang terserang kebanyakan tidak/belum menunjukkan gejala klinis sebelum mati maupun perubahan patologis anatomis setelah mati.Hanya ±5 – 10% ayam yang terserang penyakit menunjukkan gejala yang cukup diagnostik untuk penyakit AI.
Gejala klinis yang terjadi pada Avian Influenza ini sangat bervariasi tergantung faktor inang yang diserang yaitu jenis, umur, kelamin, dan infeksinya. Selain factor inang, tipe virus influenza dan factor lingkungan juga menentukan. Beberapa virus dapat menyebabkan penyakit yang berbahaya dalam suatu jenis dan tidak menular pada jenis lain.
Pada unggas liar yang terserang biasanya tidak menunjukkan gejala klinis. Gejala-gejala klinis yang tampak pada hewan yang terserang meliputi gejala pernafasan, enteric, reproduksi dan terganggunya system syaraf.
Pola kematian tergantung dari cara/type pemeliharaan unggas seperti pemberian air minum dengan nipple atau dengan paralon, jumlah ayam dalam satu kandang battery, model/cara pemberian pakan, dsb. akan sangat mempengaruhi pola penyakit dan kematian unggas.
Berikut beberapa gejala klinis pada berbagai jenis ayam :
Ø Pada ayam petelur.
a) Kasus akut/perakut.
1. Ayam terlihat mengalami depresi, nafsu makan turun dan terjadi kelemahan.
2. Terjadi diare putih kehijauan dan sangat encer.
3. Penurunan produksi telur dan adanya kerabang telur yang lunak.
4. Suhu tubuh meningkat (panas).
b) Kasus subakut (lebih lama sakitnya).
- Selain gejala-gejala seperti diatas, akan terlihat munculnya gejala klinis:
5. Ayam mengalami depresi berat yang ditandai dengan menundukkan kepala dan keluar lendir kental dari mulut.
6. Terjadi sianosis dan udema berat pada jengger dan pial.
7. Udema dibawah kulit kepala terutama sekitar pharynx (dagu).
8. Terdapat perdarahan petekial dan/atau ekimotik pada kaki.
9. Gangguan pernafasan seperti ngorok, keluar leleran (jernih – kental) dari mulut dan hidung.
Ø Pada ayam broiler.
a) Gejala klinisnya mirip pada ayam petelur seperti:
1. Ayam mengalami depresi yang ditandai dengan menundukkan kepala dan keluar lendir kental dari mulut, nafsu makan turun dan terjadi kelemahan.
2. Terjadi diare putih kehijauan yang sangat encer.
3. Terjadi sianosis dan udema berat pada jengger dan pial dan terdapat timbunan cairan udema dibawah kulit kepala dan sekitar pharynx (dagu) secara merata sehingga kepala nampak bengkak dan kebiruan.
4. Terdapat perdarahan petekial dan/atau ekimotik pada kaki.
5. Gangguan pernafasan, ngorok, keluar leleran (jernih – kental) dari mulut.
Ø Pada ayam buras.
Gejalanya mirip gejala klinis pada ayam petelur tetapi diikuti dengan adanya pembengkakan kepala yang ekstrim akibat adanya udema bawah kulit kepala secara merata. Sianosis terjadi merata pada bagian kulit kepala sehingga kepala ayam nampak bengkak dan berwarna kebiruan.
Ø Pada ayam buras arab.
Gejala klinisnya mirip seperti pada ayam petelur.
Ø Pada puyuh.
Pada puyuh yang terserang AI tidak terlihat adanya gejala-gejala klinis yang jelas, tanda-tanda penyakit yang dapat diamati antara lain:
- Kematian mendadak dalam jumlah yang banyak.
- Sebagain puyuh yang sakit terlihat mengalami depresi.
- Ditemukan adanya telur dengan kerabang putih.
- Penurunan produksi telur.
Ø Pada itik, angsa dan itik manila (menthok).
Gejala klinisnya tidak menciri dan ditandai dengan:
- Kematian yang meningkat jumlahnya.
- Itik sakit mengalami depresi, sebagian mengalami kelumpuhan dan kesulitan berjalan.
- Kepala tremor dan ada sebagian mengalami tortikolis.
- Terjadi penurunan produksi telur secara drastis.
- Catatan: Itik cenderung lebih tahan dari pada ayam dan unggas yang lain.
Ø Pada burung merpati:
Gejala penyakitnya tidak menciri:
- Terjadi kematian mendadak dalam jumlah yang banyak dan burung yang sakit terlihat mengalami depresi.
- Kepala gemetar (tremor) diikuti dengan kelumpuhan kemudian kepala diletakkan dilantai dan mati.
Perubahan pasca mati
Ø Pada ayam petelur.
Pada ayam yang mati mendadak biasanya tidak dijumpai adanya perubahan yang menciri.
- Perubahan patologis anatomis yang cukup diagnostik untuk penyakit AI pada ayam petelur antara lain:
- Adanya udema (pembengkakan) dan sianosis pada pial dan jengger.
- Perdarahan petekial dan/atau ekimotik pada kaki ayam.
- Timbunan cairan udema pada bawah kulit kepala disekitar pharynx.
- Perdarahan (kemerahan/sianosis) pada kulit dada dekat abdomen.
- Perubahan patologis anatomis yang lain (tidak spesifik pada penyakit Avian Influenza ) :
- Perdarahan pada trachea.
- Perdarahan petekial dan/atau ekimotik pada limpa, mukosa trachea, usus, hati, proventrikulus, lapisan lemak, otot dada & kaki, paru-paru, ginjal dsb.
- Foki nekrosis pada pancreas, ginjal, limpa, hati, paru-paru, dsb.
- Indung telur yang lembek dan kuning telur yang pecah.
Ø Pada ayam broiler.
Perubahan patologis anatomis pada ayam broiler sama dengan perubahan pada ayam petelur dan terdapat perubahan yang cukup diagnostik yaitu adanya pembengkakan kepala yang cukup ekstrim akibat timbunan cairan udema bawah kulit kepala dan terjadi sianosis (kebiruan) berat.
Ø Pada ayam buras.
Perubahan patologis anatomis yang dapat diamati mirip pada ayam petelur dan perubahan yang cukup diagnostik yaitu adanya pembengkakan kepala yang cukup ekstrim akibat timbunan cairan udema bawah kulit kepala dan terjadi sianosis (kebiruan) berat.
Ø Pada ayam buras arab.
Perubahan patologis anatomis yang dapat diamati mirip pada ayam petelur.
Ø Pada puyuh.
Gambaran patologis anatomis yang dapat diamati (tidak menciri) antara lain:
- Terdapat cairan/lendir kental pada rongga mulut.
- Indung telur menjadi lembek.
- Terdapat perdarahan petekial dan/atau ekimotik serta foci nekrosis pada organ-organ dalam (perubahan non spesifik).
Ø Pada burung merpati.
Perubahan patologis anatomisnya tidak menciri:
- Terdapat cairan/lendir kental pada rongga mulut.
- Indung telur menjadi lembek (pada unggas yang sedang bertelur).
- Terdapat perdarahan petekial dan/atau ekimotik serta foci nekrosis pada organ-organ dalam (perubahan non spesifik).
Ø Pada itik, angsa dan itik manila.
Pada ketiga jenis unggas ini, perubahan patologis anatomisnya juga tidak menciri, tanda yang dapat diamati antara lain:
- Terdapat cairan/lendir kental pada rongga mulut.
- Indung telur menjadi lembek (pada unggas yang sedang bertelur).
- Terdapat perdarahan petekial dan/atau ekimotik serta foci nekrosis pada organ-organ dalam (perubahan non spesifik).
- Kejadian pada babi
Keberadaan virus avian influenza pada babi bukan hanya menempel pada organ babi tetapi sudah masuk ke dalam tubuh atau terinfeksi pada babi. Babi dianggap sebagai tempat pencampuran (mixing vessel) karena babi mempunyai komponen biologis yang dapat mengubah struktur virus avian influenza. Di dalam tubuh babi, virus avian influenza dapat melakukan penataan ulang menjadi virus baru dengan subtype baru sehingga virulensinya lebih tinggi dan apabila menular ke manusia, sistem antibody manusia tidak akan tanggap (Kompas, 9 April 2005).
Pada avian influenza unggas resiko penyakit tersebut untuk pindah dari unggas ke manusia sangat kecil namun pada babi yang terserang virus ini sangat membahayakan manusia di sekitarnya.
Ada 2 macam hipotesa yang dapat dikemukakan untuk mengetahui alasan tersebut, yang pertama karena adanya ketidaksamaan struktur antigenic permukaan pada unggas dan manusia. Struktur antigenic permukaan pada unggas adalah 2,3 sialic acid sedangkan pada manusia 2,6 sialic acid. Struktur antigenic permukaan ini sangat penting sebagai pengikat target sel untuk bereplikasi. Sedangkan pada hipotessa kedua pada babi yaitu dengan ditemukannya 2 struktur antigenic perumaan virus berupa 2,6 sialic acid dan 2,3 sialic acid.
Dari kedua hipotesa ini menimbulkan suatu pendapat bahwa agar virus avian influenza asal unggas dapat meinfeksi sel manusia terlebih dahulu harus merubah struktur antigenic permukaan 2,3 sialic acid menjadi 2,6 sialic acis (shift antigenic dan drift antigenic) di dalam tubuh babi sebagai hewan amplifier (Hunggar).
Babi yang terinfeksi virus avian influenza tidak akan menunjukkan gejala apapun. Namun sangat membahayakan manusia di sekitarnya. Virus bisa menular ke manusia bila kontak dengan babi, baik secara langsung maupun tidak, seperti dengan memegangnya atau mengurus kandangnya dan juga dari udara yang dihirup sekitar babi itu berada (Pikiran Rakyat Cyber Media 2002).
- Kejadian pada manusia
Robert Webster MD dari RS Anak St. Jude, Memphis AS menemukan virus avian influenza dari unggas dapat menular ke manusia melalui perantaraan babi. Webster mengatakan bahwa virus avian influenza dari manusia dan virus avian influenza dari unggas dapat menular ke babi. Pada tubuh babi, kedua virus dapat bermutasi atau bertukar gen dengan virus baru tersebut memungkinkan terjadinya penularan virus dari hewan ke manusia. Penularan dengan model itu sangat mungkin terjadi di Cina karena lokasi peternakan ayam, babi dan pemukiman manusia terletak berdekatan. Oleh karena itu, babi dapat disebut sebagai tempat pencampuran (mixing vessel) dan reservoir virus AI (Kompas, 26 januari 2004). Penularan dari manusia ke manusia belum terbukti secara jelas.
Pada bulan Juli 2005, kasus flu burung (pada manusia) pertama di Indonesia di laporkan di Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten walaupun sumber penularan tidak diketahui secara pasti. Meskipun demikian, jumlah kematian pada manusia yang berhubungan dengan kasus flu burung terus bertambah dan mencapai 7 orang meninggal sampai dengan 30 November 2005 (Data Depkes, 2005). Hasil analisis berbagai kasus yang dikonfirmasi menderita flu burung dan sejumlah pasien yang meninggal akibat flu burung menunjukkan kecenderungan penurunan patogenisitas dari virus tersebut, walaupun terjadi peningkatan angka serangan.
Masalah penting yang dikuatirkan oleh para ahli di dunia pada saat ini adalah kemungkinan munculnya subtipe baru virus influenza yang mampu untuk menular dari manusia ke manusia oleh karena saat ini virus H5N1 telah mampu untuk menular dari unggas ke manusia. Hal ini dapat terjadi sehubungan dengan adanya virus subtipe baru yang terbentuk akibat mutasi adaptif atau reasorsi virus AI asal unggas dan virus human influenza. Di masa yang akan datang subtipe virus AI mutan ini mungkin terus mengalami mutasi akibat adanya shift dan/atau drift antigenik yang dapat meningkatkan kemampuan virus tersebut untuk menginfeksi sel-sel dalam tubuh manusia, sehingga dapat terjadi penularan antar manusia yang merupakan awal dari pandemi global flu burung, seperti yang pernah terjadi pada tahun 1918-1919 (Spanish Flu), tahun 1957-1958 (Asian Flu), dan tahun 1967-1968 (Hongkong Flu).
Ø Gejala klinis pada manusia :
v Demam tinggi > 38° C
v Batuk, pilek, nyeri tenggorokan
v Lemas, sakit kepala, muntah, diare, nyeri perut, anoreksia
v Dapat berlanjut menjadi pneumonia è menciri pada manusia
gangguan saluran nafas è menyebabkan kematian.
Berikut ini skema perjalanan virus avian influenza hingga sampai menginfeksi manusia:
(Kompas, 26 Januari 2004)
Virus AI H5N1 menjadi perhatian utama Karena dapat bermutasi dengan cepat dan mampu berubah menjadi beberapa subtype virus baru sehingga dapat menular ke spesies lain, termasuk manusia. Didalam tubuh manusia, virus ini dapat menyebabkan penyakit yang akut karena subtype H5 mempunyai daya bunuh yang tinggi. Jika virus itu menular kepada lebih banyak orang lagi, subtype virus flu dari manusia dan unggas dapat bermutasi dan menghasilkan subtype ras baru. Virus itu sangat berbahaya karena mempunyai daya bunuh yang tinggi dan mungkin dapat ditularkan dari manusia ke manusia lain. Namun sampai saat ini belum ada bukti yang menunjukkan secara tepat adanya penularan dari manusia ke manusia, serta penularan pada manusia melalui daging yang dikonsumsi (Kompas, 26 Januari 2004).
Selain virus H5N1, virus avian influenza lain yang mampu menginfeksi adalah jenis H9N2. Wabah yang disebabkan H9N2 ini juga terjadi di Hongkong pada tahun 1999 namun tidak menyebabkan kematian. Hal ini dikarenakan tindakan yang cepat seperti stampingout, yakni membunuh semua ayam pada peternakan yang terserang dan desinfeksi kandang, karena itu masa kontak deengan manusia bisa diminimalkan sehingga dampak pada manusia tidak besar. (media Indonesia, 2004).
Terdapat tiga (3) definisi kasus avian influenza pada manusia menurut WHO yaitu :
1. Kasus suspek / posisible, jika :
a. Radang pernapasan akut ( demam >38oC), batuk, sakit tenggorokan, pilek) atau
b. Seminggu terakhir berkunjung ke perternakan yang terjangkit wabah avian influenza, atau
c. Kontak dengan penderita influenza subtype A (H5N1) yang konfirm, atau
d. Petugas laboratorium yang memeriksa spesimen orang atau hewan tersangka avian influenza (H5N1).
2. Kasus probable, jika :
a. Kasus suspek (possible) disertai salah satu dalam waktu singkat menjadi pneumonia, atau
b. Test laboratorium terbatas mengarah ke virus subtype A H5N1 positif (HI) test atau IFA menggunakan monoclonal antibody), atau
c. Tidak ada bukti penyebab yang lain
3. Kasus konfirm, jika
a. Kultur virus influenza subtype A H5N1 positif, atau
b. PCR influenza (H5) positif, atau
c. Peningkatan titer antibody H5N1, sebesar 4 kali
v Masa Inkubasi
1. Pada Unggas : 1 minggu
2. Pada Manusia : 1-3 hari , Masa infeksi 1 hari sebelum sampai
3-5 hari sesudah timbul gejala. Pada anak sampai 21 hari
Hampir separuh kasus avian influenza pada manusia menimpa anak-anak, terutama anak–anak dibawah usia 12 tahun karena system kekebalan tubuh anak-anak belum begitu kuat. Padahal penyakit belum ada obatnya. Obat-obatan yang diberikan hanya dapat meredakan gejala yang menyertai penyakit flu itu, seperti demam, batuk atau pusing, tetapi tidak mengobati.
Virus avian influenza mempunyai kemampuan untuk membangkitkan hampir keseluruhan respon “bunuh diri” dalam system imunitas tubuh manusia, semakin banyak virus itu tereplikasi, semakin banyak pula sitoksin–protein yang memicu untuk peningkatan respon imunitas dan memainkan peran penting dalam peradangan yang diproduksi tubuh. Sitoksin yang membangun aliran darah, karena virus yang bertambah banyak, justru melukai jaringan-jaringan dalam tubuh efek bunuh diri (Silalahi)
2.4. DIAGNOSA
Diagnosa penyakit AI dapat dilakukan dengan menggabungkan temuan sejarah kejadian penyakit, gejala klinis dan perubahan patologis anatomis yang terjadi. Untuk konfirmasi diagnosa penyakit perlu dilakukan uji isolasi virus.
Sebagai diagnosa banding antara lain penyakit Infectious Bronchitis (IB), Infectious Laryngotracheitis (ILT), Infectious Bursal Disease (IBD) pada ayam muda, Fowl Cholera, Newcastle Disease (ND), dsb.
Peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan pengiriman spesimen ke laboratorium dengan mengikut sertakan sejarah kejadian penyakit, gejala klinis dan temuan hasil uji bedah bangkai. Jenis spesimen dan cara penanganannya tergantung dari jenis pengujian yang diinginkan.
1. Uji Histopatologis.
Spesimen untuk uji histopatologis antara lain otak, paru-paru, limpa, hati, pancreas, jantung, ginjal, dsb. yang diawetkan dan dikirim dalam larutan buffer formalin 10%.
2. Uji Serologis.
Spesimen untuk uji serologis adalah serum (usahakan dipisahkan dari jendalan darah) yang dikirim dalam bentuk segar (dingin) tanpa pengawet.
3. Uji Virologis.
Spesimen untuk uji virologis (isolasi virus AI) harus dikirim dalam bentuk segar (dingin) tanpa penambahan bahan pengawet. Sebagai bahan uji dapat digunakan:
1. Swab cloaca, swab trachea atau leleran hidung dari unggas yang sakit/masih sehat.
2. Spesimen otak, paru-paru, limpa, pancreas dan trachea dari hewan yang telah dinekropsi.
2.5. Pencegahan dan Pengendalian
- Pengendalian saat terjadi wabah :
ü Unggas yang terinfeksi dibunuh saat itu juga
ü Karkas dan produk hewan yang terkontaminasi AI dimusnahkan
ü Seluruh peralatan di desinfektan
ü Unggas baru dapat dimasukkan ke daerah isolasi ≥ 21 hari setelah pemusnahan dilakukan
- Peningkatan Biosecurity
ü Karantiana/isolasi peternakan yang tertular.
ü Pembatasan orang, peralatan dan kendaraan keluar masuk peternakan.
ü Kendaraan pengangkutan harus didesinfeksi sebelum dan saat keluar peternakan.
ü Pekerja harus dalam keadaan sehat apabila memasuki areal peternakan.
ü Pekerja/orang yang masuk kandang harus menggunakan pakaian pelindung sesuai standar (sarung tangan, masker, tutup kepala, kacamata dan boot).
ü Pekerja wajib mendesinfeksi dirinya sendiri sebelum dan sesudah bekerja di peternakan.
- Depopulasi
Yaitu pemusnahan terbatas terhadap unggas sehat yang sekandang dengan unggas sakit pada petenakan yang tertular dengan cara euthanasia atau disembelih. Kemudian bangkainya di baker atau dikubur sedalam 1,5 meter dan disiram air kapur atau desinfektan.
- Pengendalian lalu lintas unggas, produk unggas dan limbah peternakan unggas.
Pelarangan keluar masuknya unggas sehat atau sakit secara bebas ke dalam atau keluar peternakan yang terinfeksi, hal ini dilakukan agar dapat mencegah infeksi yang lebih luas. Telur dari unggas yang terinfeksi lebih baik dimusnahkan karena walaupun AI tidak ditularkan secara vertikal ada kemungkinan telur terinfeksi karena tercemar feses. Limbah peternakan yang terinfeksi dimusnahkan dengan dibakar atau dikubur.
- Stamping out
Sebagian besar negara maju memilih stamping out yakni membunuh semua populasi ayam tertular apabila ditemukan virus AI ganas (HPAI).Hal ini dilakukan agar terjadi pemutusan jalur penularan antara ayam yang sehat dengan ayam yang positif terinfeksi AI. Namun di Indonesia hal itu jarang dilakukan karena tingginya biaya kompensasi.
- Peningkatan kesadaran masyarakat
Meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya dari virus avian influenza, sehingga pencegahan dapat dilakukan lebih dini.
- Monitoring dan evaluasi
Mengamati ada tidaknya mutasi virus atau pembentukan baru di lapangan. Mengamati hasil kegiatan vaksinasi.
- Surveilans dan penelusuran
Mengambil sampel kemudian dilakukan pengujian untuk mengkaji dinamika virus, efektifitas vaksin, menetapkan perwilayahan dan pemetaan penyakit.
- Pengisian kandang kembali setelah ≥ 21 hari.
- Penanganan spesimen yang di duga terkena virus avian influenza :
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menangani kasus penyakit pada unggas yang diduga AI antara lain:
1. Gunakan alat pelindung diri yang memadai (masker, kaos tangan, baju pelindung/lab jas, sepatu, dsb.).
2. Lakukan penanganan sample (pengamatan gejala klinis, pengambilan spesimen, nekropsi, dll.) ditempat yang aman.
3. Basahi sample unggas dengan desinfektan atau deterjen.
4. Cuci semua peralatan dan bahan yang digunakan dengan desinfektan/ deterjen.
5. Buang dan musnahkan/bakar semua sisa-sisa pengujian dan alat-alat/bahan-bahan yang sudah tidak terpakai.
6. Sterilisasikan lingkungan disekitar tempat terjadinya infeksi agar tidak menginfeksi tempat lain.
2.6. Penangan Penderita AI
Pengobatan bagi penderitan avian influenza adalah:
- Oksigenasi bila terjadi sesak nafas.
- Hidrasi dengan pemberian cairan parental (infus).
- Pemberian obat antivirus oseltamivir 75 mg dosis tunggal selama 7 hari.
Untuk anak <>
<>
<>
> 40 kg dosis 75 mg 2x sehari.
Untuk penderita berusia > 13 tahun dosis 75 mg 2 x sehari.
- Amantidin diberikan pada awal infeksi, sedapat mungkin dalam waktu 48 jam pertama selama 3-5 hari dengan dosis 5 mg/kg BB perhari dibagi dalam 2 dosis. Bila berat badan lebih dari 45 kg diberikan 100 mg 2x sehari (Suroso, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2005. Kajian Avian Influenza. www.avianinfluenza-ugm.org
Anonimus.2006. Avian Influenza A Viruses. www.cdc.gof/flu/avian/virus.htm
Hunggas, Y. U. Dampak Ekonomi, Zoonosis dan Pengendalian Flu Burung. Indosiar.com. Setelah Virus SARS Kini Flu Burung.
Haruan Pikiran Rakyat. 2002.
Harian Surat Kabar Kompas. 2004
Judarwanto, Widodo, Dr.SpA. Implikasi Flu Burung pada Manusia. Indosiar.com.
Prijono, Budi Walujo. Workshop Tenaga Medik Veteriner BPPV I – VII. Yogyakarta
Poultry Indonesia, Februari 2004. Wabah Flu Burung Perunggasan Asia dalam Ancaman.
Setiabudi, Paulus. 2005. Peluang dan Tantangan Serta Strategi Industri Pakan Ternak di Era Globalisasi. Yogyakarta.
Shiddieqy, M. Ikhsan. Biosecurity Cegah AI.
Shilalahi, Levi. Apa dan Bagaimana Menanggapi Flu Burung.
Suroso, Thomas. 2004. Infeksi dan Bahaya Flu Burung PADA Kesehatan Manusia.
Trobos. 2005. Curigai Bila Produksi Telur Ayam Anda Menurun.
Utama, Andi (Puslit Bioteknologi Lipi). 2004. Virus Flu Burung Berbahaya bagi Manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar